"Lif, itu Adnan kan?" Maretha menunjuk ke arah sebuah tempat yang adalah sebuah bangunan lembaga pemasyarakatan. Dahi Alif berkerut melihat ke arah yang ditunjuk adik tirinya. Mereka baru aja akan berangkat ke kampus saat hari menjelang siang. Dan Alif benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat sang adik yang sedang memarkirkan motornya di luar gedung orang-orang pesakitan itu. Mau apa Adnan ke tempat seperti itu? Pikirannya berkecamuk. Karena rasa penasarannya, Alif kemudian memutar balik mobilnya saat sampai di lampu merah terdekat. Lalu dihentikannya mobilnya di seberang gedung dimana adik laki-lakinya tadi nampak memarkirkan motor kesayangannya. "Adnan ngapain ya ke situ?" gumamnya seolah bertanya pada dirinya sendiri. "Kamu mau aku selidiki?" usul Maretha. "Jangan macam-macam. Adnan kan sekarang udah kenal kamu. Dia bakalan tau lah kalau kamu masuk kesana untuk mengikutinya." Alif melotot ke arah adik tirinya. "O iya ya." Maretha
"Mas lihat kamu waktu itu di penjara sama mantan istrinya ayah, Dek." Alif bangkit dari tempat berbaringnya di tempat tidur Adnan, menatap punggung adiknya di meja belajarnya yang kemudian perlahan berbalik menghadapnya. Namun Adnan hanya menatapnya tak mengucapkan sepatah kata pun. "Kamu masih berhubungan sama dia?" Alif bertanya dengan hati-hati. Adnan menatap kakaknya sedikit ragu. Alif mengetahui dia bersama Soraya hari itu, tapi kenapa ibunya tidak marah padanya? Apakah berarti kakaknya itu tak memberitahu ibunya tentang kejadian itu? "Hanya ngantar dia pulang ke rumahnya. Dia keluar dari penjara hari itu." Setelah merasa yakin kakaknya menjaga rahasianya, Adnan pun mulai menjelaskan. "Dek, kalau ibu tau, dia pasti ..." "Jangan kasih tau ibu, Mas," sahut Adnan cepat. Alif perlahan menggeser letak duduknya agar lebih mendekat ke adiknya. Berharap tak ada orang di rumah ini yang akan mendengar pembicaraan mereka. "Tapi cepat atau lambat ibu pasti tau
Semenjak nomer kontaknya diblokir oleh mantan anak tirinya, Soraya menjadi sedikit pemurung. Entah kenapa justru perlakuan anak mantan suaminya padanya itu begitu membekas di hatinya. Dan dia merasa begitu kehilangan ketika tiba-tiba tanpa berkata apapun pemuda itu memblokir kontaknya. Namun bukan Soraya jika dia menyerah. Beberapa kali dia mencoba menghubungi Adnan lagi. Namun pemuda itu selalu memblokir nomernya lagi saat tahu bahwa dirinya yang menghubungi. "Nggak makan kamu, Nduk?" Ibunya menghampiri saat dia sedang duduk termenung di teras rumah sore itu. Soraya menggeleng. "Ada apa?" tanya ibunya lagi. "Nggak ada apa-apa, Bu," jawabnya singkat. "Wajah kamu pucat lho. Beberapa hari ibu perhatikan kamu makannya sedikit." "Aku agak kurang enak badan saja, Bu. Nggak nafsu makan." "Justru kamu harus paksakan makan kalau badan kamu lagi sakit begitu, Nduk. Nanti malah kebablasan penyakitnya nggak sembuh-sembuh," ucap sang ibu. "Enggak apa-apa kok, B
"Adnan, tunggu!" Seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya mengejar langkah Adnan siang itu menuju ke parkiran sebuah butik distro cukup terkenal di kota setempat. Adnan yang merasa dipanggil pun segera menoleh. Namun, wajahnya mendadak sedikit pucat saat melihat siapa yang sedang berjalan cepat ke arahnya. "Aku mencarimu kemana-mana, kenapa sih kamu menghindari aku?" tanya ketus gadis cantik berambut lurus sepinggang itu. "Aku nggak menghindar," elak Adnan sambil merapatkan tubuhnya ke motor kesayangannya. "Kalau nggak menghindar apa namanya? Kamu tidak menjawab teleponku, bahkan pesanku dari kemarin saja tidak kamu baca." Gadis itu mulai mengomel. "Maaf, Gina, aku sibuk." "Oooh sibuk ya? Kalau sudah begini kamu bilang kamu sibuk?" "Apa sih mau kamu?" Melihat gadis itu mulai berbicara tidak mengenakkan, akhirnya Adnan sedikit tersulut emosi juga. Dia sebenarnya bukan tidak tahu apa maksud gadis di depannya itu mencari-carinya.
Aira belum menyadari ada yang telah menunggunya di teras rumahnya saat dia turun dari mobil dan berjalan dengan tangan Seno menggamit erat pinggangnya. Keduanya terlihat asik mengobrol sambil berjalan saat tiba-tiba langkah Aira terhenti di tangga teras. Dia terhuyung nyaris jatuh saat kakinya seperti tak seimbang menahan berat tubuh saking kagetnya. Beruntung Seno sigap menangkap tubuh istrinya. "Ada apa, Sayang?" kata lelaki itu nampak khawatir. Aira tak menjawab, hanya matanya yang terus menatap lekat ke arah dua orang tamu yang sedang ada di teras rumah itu. Sementara Alif yang tadi melihat ibunya sempat limbung, sudah berada di dekatnya sekarang. "Mereka ke sini nyari Ibuk. Katanya mau minta maaf," bisik Alif di telinga ibunya sambil membantu memegangi lengan Aira. Namun baru saja Alif menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Soraya berlari ke arah mereka dan berlutut memegang kaki Aira sambil terisak. "Maafkan aku, Mbak Aira," ucapnya terbata. Aira bingung
"Ambil ini!" Adnan mengulurkan satu benda kecil terbungkus platik pada Gina. Matanya sesekali melirik ke segala arah seolah takut ada yang melihat apa yang sedang mereka lakukan. "Ini apa, Nan?" Gina menerimanya dan segera memasukkannya ke dalam saku seragamnya. "Aku beli di online. Katanya kalau diminum sekali, langsung bisa ilang." "Serius?" "Kata penjualnya gitu." "Bahaya enggak buat aku?" "Gin, pliss." Adnan mendekatkan wajahnya ke pacarnya. "Jangan tanya bahaya atau tidak, karena aku juga ngga tau. Aku taunya cuma ini solusi buat kita. Ngerti nggak sih?" "Iya aku ngerti, Nan. Tapi aku takut terjadi sesuatu sama aku kalau aku minum ini nanti." Wajah gadis itu nampak memucat sekarang. "Trus maunya kamu apa?" Adnan nampak mulai gusar. "Aku juga nggak tau. Tapi, bisakah kamu temani aku nanti?" "What?? Temenin dimana? Di rumah kamu? Ya nggak mungkin lah." "Kita ke hotel lagi atau ke kostnya Vira, temenku yang waktu itu." "
Perbincangan antar dua keluarga di dalam ruang perawatan VIP Gina itu berlangsung sedikit tegang. Adnan hanya bisa menunduk mendengarkan dua pasang orang tua yang sedang membahas kelakuannya yang sangat mengecewakan itu. Sementara Gina, mendengarkan dengan sesekali terisak di atas ranjang perawatannya. "Sebenarnya, tadinya kami bermaksud melaporkan perbuatan anak anda ke pihak yang berwajib. Namun setelah saya mendengar dari Bu Nilam tentang anda, Bu Aira, saya jadi berubah pikiran. Sepertinya kita bisa membicarakan ini secara baik-baik tanpa membawa aib ini keluar," jelas ibunda Gina panjang lebar, yang juga kemudian diiyakan dengan anggukan kepala oleh suaminya. "Saya justru yang berterima kasih, Bu. Anda baik sekali mau mempertimbangkan kesalahan anak saya. Saya nggak tau apa jadinya jika anda dan bapak melaporkan Adnan ke polisi. Dia bahkan belum lulus sekolah." "Itulah, Bu Aira, jadi saya minta dengan hormat kerjasamanya. Semua sudah terlanjur. Anak saya hamil. B
"Ada apa, Mas?" Aira nampak mengerutkan dahinya kala melihat suaminya termenung setelah membaca sesuatu di layar ponselnya.Mereka berdua sedang berada di salah satu kafe milik mereka untuk memeriksa persiapan sebuah acara yang akan diadakan di tempat itu saat sebuah pesan dari Maretha tiba-tiba masuk ke ponsel Seno."Retha tadi berangkat kuliah bareng Alif kan, Sayang?" tanyanya pada sang istri yang sedang sibuk membuka-buka buka file laporan keuangan di atas meja kerja."Iya sama Alif seperti biasa, Mas. Memangnya kenapa?" Aira memandag suaminya, menyelidik penasaran."Alifnya udh pulang belum ya? Ini, Retha kok malah minta dijemput di tempat temennya katanya." Raut wajah lelaki itu nampak keheranan."Masa sih, Mas? Sebentar coba aku telponkan Alif." Aira segera meraih ponselnya di atas meja, lalu sejurus kemudian mula