"Ini barang-barang yang saya temukan kemarin di tas Adnan, Bu Aira, Pak Dhani." Bu Nilam meletakkan dengan hati-hati beberapa benda di atas meja yang seketika membuat Aira dan Dhani membelalakkan mata, shock. Mata Aira pun bahkan langsung berkabut melihat benda-benda itu. Sudah sebegitu lalaikah dia menjaga Adnan? Sejak kapan anak keduanya itu menggunakan barang-barang yang seharusnya belum boleh dimilikinya itu? Dhani sendiri hanya lebih ke rasa kaget. Dia justru memperhatikan satu persatu benda-benda di atas meja itu dengan insting kelelakiannya. Dia ingat dulu pernah memiliki benda-benda seperti itu juga saat masih muda, tapi tentu tidak semuda usia Adnan saat ini. Alat pengaman dan benda-benda lainnya yang harusnya hanya boleh dipunyai oleh orang-orang yang sudah dewasa dan menikah, tentunya. "Ini baru sebagian, Bu, Pak. Yang lebih mengejutkannya ada di dalam sini." Bu Nilam mengeluarkan sebuah benda yang Aira sangat kenal, yaitu ponsel milik Adnan. Aira dan
"Ah semua itu omong kosong! Guru itu hanya mengada-ada saja." "Adnan! Kenapa bicara seperti itu? Ayah ini bicara baik-baik sama kamu," kata Dhani mulai bersungut. Dia mulai merasa tidak dihargai sebagai orang tua karena Adnan dari tadi terus-terusan membela diri dan tidak mau mengatakan apa yang terjadi. Melihat mantan suaminya mulai emosi, Aira segera mendekat, menyentuh bahu Dhani pelan. "Jangan kasar, mas," katanya setengah berbisik. "Nan, ayah sama ibu itu pengennya kamu bisa diajak ngomong baik-baik. Agar kita bisa mencari jalan keluar dari semua ini, terutama untuk kamu." Lelaki itu nampak mulai mereda lagi. Walaupun sebenarnya mengendalikan diri bukan salah satu hal yang dikuasai Dhani, namun demi Aira, dia harus bisa melakukan apapun agar mantan istrinya itu mau memaafkannya. "Kami nggak marah, Nak. Kami hanya ingin kamu tau kalau semua orang sayang dan peduli sama kamu. Semua pengen bantu Adnan lepas dari masalah ini," sahut Aira dengan kalimatnya se
Soraya dan Adnan baru saja turun dari mobil malam itu di pelataran area kost, saat tiba-tiba beberapa orang dengan pakaian gelap mendekat. "Ibu Soraya?" tanya salah seorang diantaranya. Wanita yang baru saja menutup pintu mobil itu sontak kaget. "Ya?" "Silahkan ikut kami ke kantor polisi. Anda ditangkap atas tuduhan penyekapan dan pelecehan anak di bawah umur." "Apa? Penyekapan? Anda pasti salah orang, Pak." Mata Soraya membelalak. Tidak menyangka bahwa malam ini mendadak saja dia ditangkap atas tuduhan yang sama sekali tidak dia sadari sebelumnya. Sementara Adnan yang berdiri tak jauh dari wanita itu juga nampak kaget dan hanya melihat kejadian itu dengan tak mengerti. Bahkan dia hanya diam saat melihat Soraya berteriak-teriak memberontak saat dibawa masuk ke mobil polisi. "Adik ini yang namanya Adnan?" Seorang petugas lagi tiba-tiba sudah berada di dekatnya. "I-ya," jawabnya terbata, terlihat masih shock dengan apa yang terjadi di hadapannya.
Soraya dan Adnan baru saja turun dari mobil malam itu di pelataran area kost, saat tiba-tiba beberapa orang dengan pakaian gelap mendekat. "Ibu Soraya?" tanya salah seorang diantaranya. Wanita yang baru saja menutup pintu mobil itu sontak kaget. "Ya?" "Silahkan ikut kami ke kantor polisi. Anda ditangkap atas tuduhan penyekapan dan pelecehan anak di bawah umur." "Apa? Penyekapan? Anda pasti salah orang, Pak." Mata Soraya membelalak. Tidak menyangka bahwa malam ini mendadak saja dia ditangkap atas tuduhan yang sama sekali tidak dia sadari sebelumnya. Sementara Adnan yang berdiri tak jauh dari wanita itu juga nampak kaget dan hanya melihat kejadian itu dengan tak mengerti. Bahkan dia hanya diam saat melihat Soraya berteriak-teriak memberontak saat dibawa masuk ke mobil polisi. "Adik ini yang namanya Adnan?" Seorang petugas lagi tiba-tiba sudah berada di dekatnya. "I-ya," jawabnya terbata, terlihat masih shock dengan apa yang terjadi di hadapannya.
"Jadi kamu cuma mau ngajakin aku ngomongin ini, Lif?" Maretha meletakkan kembali peralatan makannya dengan kesal. Alif yang awalnya dia pikir mau menyatakan cinta itu justru mengajaknya membahas hubungan kedua orang tua mereka. "Kita akan lebih baik jadi saudara, Reth. Nggak akan ada yang tersakiti." "Tapi aku suka kamu, Lif. Aku nggak mau jadi adik kamu. Aku maunya jadi pasangan kamu." "Coba kamu pikirkan lagi perasaan papa kamu. Mereka saling cinta, Reth. Dan pasti nggak mudah lho jatuh cinta di usia yang sudah tua. Butuh mencocokkan banyak hal dan itu jauh lebih sulit. Kalau kita, masih banyak kemungkinan nanti kamu ketemu sama cowok-cowok lain yang akan bikin kamu jatuh cinta lagi. Iya kan?" Maretha tak menjawab. Dia hanya memandangi wajah pemuda di depannya tak percaya. Bagaimana mungkin Alif justru memikirkan perasaan orang tua mereka dibanding perasaannya. "Kamu bisa bilang gini karena kamu nggak suka kan sama aku?" ujar Maretha mulai ketus. "Kam
"Mama kecewa sama kamu, Reth!" Vina menatap anak gadisnya tak percaya. Anak yang diharapkannya bisa menjadi jalan untuk kembali pada mantan suaminya itu, hari ini justru datang mengabarkan bahwa Seno akan segera melangsungkan pernikahannya dengan Aira. "Mah, jangan begitu." Maretha mendekat ke arah mamanya, lalu memeluk pinggangnya dengan manja dan penuh sayang. "Kamu udah nggak sayang sama mama ternyata. Sekarang kamu malah mendukung papa sama wanita itu." Vina melengos, tak mempedulikan pelukan sang anak. "Tapi papa mencintai Tante Aira, Mah. Retha udah tanya berulang kali sama papa. Papa bilang dia nggak bisa lagi kembali sama mama." Raut muka gadis itu nampak sedih saat mendongak ke wajah ibunya yang masih saja tak mau melihat ke arahnya. "Retha ingin papa bahagia," lanjutnya kemudian. "Trus kamu nggak ingin melihat mamamu ini bahagia, gitu?" Vina makin melengos. "Bukan begitu, Mah. Duuuh mama jangan salah paham dong. Retha yakin kok mama habis ini juga
Tiga bulan kemudian Seno dan Aira pun memutuskan untuk menikah. Sebelum itu, keduanya ternyata telah mempersiapkan rumah yang lebih besar untuk menjadi istana bagi pasangan pengantin baru itu dan anak-anak mereka. Seno dan Aira bahagia saat akhirnya memboyong semua buah hatinya untuk berkumpul menjadi satu di tempat baru yang dipersiapkan Seno di sebuah kawasan pemukiman elit di kota itu. Awalnya, Seno masih harus bolak balik dari rumah lamanya ke rumah Aira karena Maretha masih belum mau bergabung tinggal bersama mereka di rumah baru. Walaupun menyetujui usulan Alif untuk menerima pernikahan orangtua mereka, bukan berarti sifat Maretha lalu berubah 180 derajat menjadi seorang gadis yang dewasa. Dia tetaplah Maretha yang dulu, yang masih suka merajuk, kolokan, dan masih harus dituruti segala kemauannya oleh sang papa. Termasuk bahwa papanya harus membeli rumah baru agar dia bersedia tinggal bersama dengan ibu barunya dan saudara-saudara tirinya. Maretha tidak ingin tinggal
"Lif, itu Adnan kan?" Maretha menunjuk ke arah sebuah tempat yang adalah sebuah bangunan lembaga pemasyarakatan. Dahi Alif berkerut melihat ke arah yang ditunjuk adik tirinya. Mereka baru aja akan berangkat ke kampus saat hari menjelang siang. Dan Alif benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat sang adik yang sedang memarkirkan motornya di luar gedung orang-orang pesakitan itu. Mau apa Adnan ke tempat seperti itu? Pikirannya berkecamuk. Karena rasa penasarannya, Alif kemudian memutar balik mobilnya saat sampai di lampu merah terdekat. Lalu dihentikannya mobilnya di seberang gedung dimana adik laki-lakinya tadi nampak memarkirkan motor kesayangannya. "Adnan ngapain ya ke situ?" gumamnya seolah bertanya pada dirinya sendiri. "Kamu mau aku selidiki?" usul Maretha. "Jangan macam-macam. Adnan kan sekarang udah kenal kamu. Dia bakalan tau lah kalau kamu masuk kesana untuk mengikutinya." Alif melotot ke arah adik tirinya. "O iya ya." Maretha
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t
Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du