"Jadi kamu cuma mau ngajakin aku ngomongin ini, Lif?" Maretha meletakkan kembali peralatan makannya dengan kesal. Alif yang awalnya dia pikir mau menyatakan cinta itu justru mengajaknya membahas hubungan kedua orang tua mereka. "Kita akan lebih baik jadi saudara, Reth. Nggak akan ada yang tersakiti." "Tapi aku suka kamu, Lif. Aku nggak mau jadi adik kamu. Aku maunya jadi pasangan kamu." "Coba kamu pikirkan lagi perasaan papa kamu. Mereka saling cinta, Reth. Dan pasti nggak mudah lho jatuh cinta di usia yang sudah tua. Butuh mencocokkan banyak hal dan itu jauh lebih sulit. Kalau kita, masih banyak kemungkinan nanti kamu ketemu sama cowok-cowok lain yang akan bikin kamu jatuh cinta lagi. Iya kan?" Maretha tak menjawab. Dia hanya memandangi wajah pemuda di depannya tak percaya. Bagaimana mungkin Alif justru memikirkan perasaan orang tua mereka dibanding perasaannya. "Kamu bisa bilang gini karena kamu nggak suka kan sama aku?" ujar Maretha mulai ketus. "Kam
"Mama kecewa sama kamu, Reth!" Vina menatap anak gadisnya tak percaya. Anak yang diharapkannya bisa menjadi jalan untuk kembali pada mantan suaminya itu, hari ini justru datang mengabarkan bahwa Seno akan segera melangsungkan pernikahannya dengan Aira. "Mah, jangan begitu." Maretha mendekat ke arah mamanya, lalu memeluk pinggangnya dengan manja dan penuh sayang. "Kamu udah nggak sayang sama mama ternyata. Sekarang kamu malah mendukung papa sama wanita itu." Vina melengos, tak mempedulikan pelukan sang anak. "Tapi papa mencintai Tante Aira, Mah. Retha udah tanya berulang kali sama papa. Papa bilang dia nggak bisa lagi kembali sama mama." Raut muka gadis itu nampak sedih saat mendongak ke wajah ibunya yang masih saja tak mau melihat ke arahnya. "Retha ingin papa bahagia," lanjutnya kemudian. "Trus kamu nggak ingin melihat mamamu ini bahagia, gitu?" Vina makin melengos. "Bukan begitu, Mah. Duuuh mama jangan salah paham dong. Retha yakin kok mama habis ini juga
Tiga bulan kemudian Seno dan Aira pun memutuskan untuk menikah. Sebelum itu, keduanya ternyata telah mempersiapkan rumah yang lebih besar untuk menjadi istana bagi pasangan pengantin baru itu dan anak-anak mereka. Seno dan Aira bahagia saat akhirnya memboyong semua buah hatinya untuk berkumpul menjadi satu di tempat baru yang dipersiapkan Seno di sebuah kawasan pemukiman elit di kota itu. Awalnya, Seno masih harus bolak balik dari rumah lamanya ke rumah Aira karena Maretha masih belum mau bergabung tinggal bersama mereka di rumah baru. Walaupun menyetujui usulan Alif untuk menerima pernikahan orangtua mereka, bukan berarti sifat Maretha lalu berubah 180 derajat menjadi seorang gadis yang dewasa. Dia tetaplah Maretha yang dulu, yang masih suka merajuk, kolokan, dan masih harus dituruti segala kemauannya oleh sang papa. Termasuk bahwa papanya harus membeli rumah baru agar dia bersedia tinggal bersama dengan ibu barunya dan saudara-saudara tirinya. Maretha tidak ingin tinggal
"Lif, itu Adnan kan?" Maretha menunjuk ke arah sebuah tempat yang adalah sebuah bangunan lembaga pemasyarakatan. Dahi Alif berkerut melihat ke arah yang ditunjuk adik tirinya. Mereka baru aja akan berangkat ke kampus saat hari menjelang siang. Dan Alif benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat sang adik yang sedang memarkirkan motornya di luar gedung orang-orang pesakitan itu. Mau apa Adnan ke tempat seperti itu? Pikirannya berkecamuk. Karena rasa penasarannya, Alif kemudian memutar balik mobilnya saat sampai di lampu merah terdekat. Lalu dihentikannya mobilnya di seberang gedung dimana adik laki-lakinya tadi nampak memarkirkan motor kesayangannya. "Adnan ngapain ya ke situ?" gumamnya seolah bertanya pada dirinya sendiri. "Kamu mau aku selidiki?" usul Maretha. "Jangan macam-macam. Adnan kan sekarang udah kenal kamu. Dia bakalan tau lah kalau kamu masuk kesana untuk mengikutinya." Alif melotot ke arah adik tirinya. "O iya ya." Maretha
"Mas lihat kamu waktu itu di penjara sama mantan istrinya ayah, Dek." Alif bangkit dari tempat berbaringnya di tempat tidur Adnan, menatap punggung adiknya di meja belajarnya yang kemudian perlahan berbalik menghadapnya. Namun Adnan hanya menatapnya tak mengucapkan sepatah kata pun. "Kamu masih berhubungan sama dia?" Alif bertanya dengan hati-hati. Adnan menatap kakaknya sedikit ragu. Alif mengetahui dia bersama Soraya hari itu, tapi kenapa ibunya tidak marah padanya? Apakah berarti kakaknya itu tak memberitahu ibunya tentang kejadian itu? "Hanya ngantar dia pulang ke rumahnya. Dia keluar dari penjara hari itu." Setelah merasa yakin kakaknya menjaga rahasianya, Adnan pun mulai menjelaskan. "Dek, kalau ibu tau, dia pasti ..." "Jangan kasih tau ibu, Mas," sahut Adnan cepat. Alif perlahan menggeser letak duduknya agar lebih mendekat ke adiknya. Berharap tak ada orang di rumah ini yang akan mendengar pembicaraan mereka. "Tapi cepat atau lambat ibu pasti tau
Semenjak nomer kontaknya diblokir oleh mantan anak tirinya, Soraya menjadi sedikit pemurung. Entah kenapa justru perlakuan anak mantan suaminya padanya itu begitu membekas di hatinya. Dan dia merasa begitu kehilangan ketika tiba-tiba tanpa berkata apapun pemuda itu memblokir kontaknya. Namun bukan Soraya jika dia menyerah. Beberapa kali dia mencoba menghubungi Adnan lagi. Namun pemuda itu selalu memblokir nomernya lagi saat tahu bahwa dirinya yang menghubungi. "Nggak makan kamu, Nduk?" Ibunya menghampiri saat dia sedang duduk termenung di teras rumah sore itu. Soraya menggeleng. "Ada apa?" tanya ibunya lagi. "Nggak ada apa-apa, Bu," jawabnya singkat. "Wajah kamu pucat lho. Beberapa hari ibu perhatikan kamu makannya sedikit." "Aku agak kurang enak badan saja, Bu. Nggak nafsu makan." "Justru kamu harus paksakan makan kalau badan kamu lagi sakit begitu, Nduk. Nanti malah kebablasan penyakitnya nggak sembuh-sembuh," ucap sang ibu. "Enggak apa-apa kok, B
"Adnan, tunggu!" Seorang gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya mengejar langkah Adnan siang itu menuju ke parkiran sebuah butik distro cukup terkenal di kota setempat. Adnan yang merasa dipanggil pun segera menoleh. Namun, wajahnya mendadak sedikit pucat saat melihat siapa yang sedang berjalan cepat ke arahnya. "Aku mencarimu kemana-mana, kenapa sih kamu menghindari aku?" tanya ketus gadis cantik berambut lurus sepinggang itu. "Aku nggak menghindar," elak Adnan sambil merapatkan tubuhnya ke motor kesayangannya. "Kalau nggak menghindar apa namanya? Kamu tidak menjawab teleponku, bahkan pesanku dari kemarin saja tidak kamu baca." Gadis itu mulai mengomel. "Maaf, Gina, aku sibuk." "Oooh sibuk ya? Kalau sudah begini kamu bilang kamu sibuk?" "Apa sih mau kamu?" Melihat gadis itu mulai berbicara tidak mengenakkan, akhirnya Adnan sedikit tersulut emosi juga. Dia sebenarnya bukan tidak tahu apa maksud gadis di depannya itu mencari-carinya.
Aira belum menyadari ada yang telah menunggunya di teras rumahnya saat dia turun dari mobil dan berjalan dengan tangan Seno menggamit erat pinggangnya. Keduanya terlihat asik mengobrol sambil berjalan saat tiba-tiba langkah Aira terhenti di tangga teras. Dia terhuyung nyaris jatuh saat kakinya seperti tak seimbang menahan berat tubuh saking kagetnya. Beruntung Seno sigap menangkap tubuh istrinya. "Ada apa, Sayang?" kata lelaki itu nampak khawatir. Aira tak menjawab, hanya matanya yang terus menatap lekat ke arah dua orang tamu yang sedang ada di teras rumah itu. Sementara Alif yang tadi melihat ibunya sempat limbung, sudah berada di dekatnya sekarang. "Mereka ke sini nyari Ibuk. Katanya mau minta maaf," bisik Alif di telinga ibunya sambil membantu memegangi lengan Aira. Namun baru saja Alif menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Soraya berlari ke arah mereka dan berlutut memegang kaki Aira sambil terisak. "Maafkan aku, Mbak Aira," ucapnya terbata. Aira bingung