"Baru pulang, Nan?" Kalimat khas sang kakek saat melihat cucu lelakinya pulang dari sekolah. Bahkan dia tidak bertanya hal lain meskipun hari ini Adnan pulang hampir jam setengah 7 malam dan masih mengenakan seragam sekolahnya. "Iya. Eyang mau kemana? Kok rapi?" tanya sang cucu sambil mencium punggung tangan kakeknya. "Biasa, kondangan di desa sebelah," jawab Pak Salim sambil membenarkan letak peci di kepalanya. "Bune, ayo cepetan! Acaranya udah mau mulai ini," teriak lelaki tua itu kemudian memanggil istrinya. "Ya, Pak. Ini lho sudah selesai." Bu Salim berjalan tergesa dari dalam rumah. "Lho, Nan. Baru pulang kamu? Dari mana?" tanya Bu Salim. "Biasa, ngerjain tugas sama temen, Eyang," jawab sang cucu. "Ooh, yo wis. Habis mandi cepetan makan yo? Tadi eyang masak ayam goreng kesukaan kamu. Wis yo, eyang jalan dulu," pamit Bu Salim. "Iya. Eh, ayah belum pulang ya?" Adnan mengamati sekeliling dan menyadari jika mobil ayahnya memang belum ada di ruma
"Nama kamu Alif, kan? Hai, Aku Retha." Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menjabat. Alif yang sedang fokus dengan bacaan di depannya mendongak. Lalu memindai dari atas ke bawah dan matanya berhenti pada tangan yang terulur itu. Tapi tangannya sendiri tak bergerak. Dia tahu siapa gadis yang sedang berdiri di samping tempat duduknya itu. Dari baju kurang bahan yang dikenakannya, Alif ingat dia adalah mahasiswi ekonomi yang kemarin tak sengaja dia tabrak saat akan menuju ke aula kampus. "Mau apa?" tanyanya dingin. Mendengar jawaban Alif, Maretha melengos sambil berdecak. Ternyata benar apa yang dibilang teman temannya tadi. Beberapa menit yang lalu, Maretha sedang duduk melingkar di salah satu sudut meja perpustakaan bersama tiga sahabatnya saat Alif datang di tempat itu. Dengan gayanya yang cool, pemuda itu langsung menuju ke rak buku, mengambil salah satu bacaan di sana, kemudian mengambil tempat duduk di salah satu sudut berseberangan dengan tempat Mare
Usai memarkirkan motornya di garasi, Adnan berlalu begitu saja meninggalkan ibu dan kakaknya yang masih terbengong dengan kedatangannya yang sudah larut malam. Remaja itu bergegas masuk rumah dan langsung menuju kamarnya. Aira yang khawatir sempat bermaksud untuk mengejarnya. Namun Alif mencegah. "Biarin dulu, Buk. Mungkin lagi ada masalah," kata Alif. Aira mengangguk, lalu urung mengikuti anak keduanya ke kamar. Wanita itu pun beranjak ke dapur untuk menyiapkan teh hangat untuk Adnan. Tak berapa lama kemudian, Adnan muncul dari ruang tengah sudah menenteng handuk di tangan. "Mau mandi, Nan?" tanya Aira. Adnan hanya memandang ibunya sekilas tanpa bicara apapun. Lalu bergegas begitu saja menuju kamar mandi. Alif yang juga baru saja masuk ke dapur memandang ibunya sambil mengedikkan bahu. Ada yang aneh dengan adiknya. "Ada apa ya, Mas? Apa berantem sama ayah?" Aira mendekati anak sulungnya. Bertanya dengan berbisik. "Mungkin, Buk." Kembali Alif mengang
"Oke. Aku terima tantanganmu," kata Alif. "Tapi aku mau taruhannya mobil kamu. Kalau kamu kalah, mobil kamu jadi milik aku. Gimana?" "Mobil ini?" Mata Maretha membelalak, tak percaya dengan permintaan Alif yang menurutnya sangat keterlaluan itu. "Iya. Kenapa? Nggak berani? Sayang sama mobil?" sindir Alif. "Enggak. Bukan gitu." Maretha memandang wajah di depannya sejenak. Nampak sedang berpikir. Lalu kemudian dia pun memutuskan. "Oke! Aku setuju. Deal," katanya. Alif yang mendengar itu pun mengulum senyum. "Mana ponselmu?" Alif mengulurkan tangannya. Maretha justru terdiam, bingung. "Malah bengong? Mana ponsel? Aku kasih nomerku," lanjut Alif. "Oh." Gadis itupun segera mengambil ponsel dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Alif. Alif nampak menuliskan sesuatu di layar dan tak lama kemudian mengembalikannya pada Maretha. "Nanti chat aku. Aku kasih alamat rumahku. Kita pulang pergi kuliah bareng. Dua minggu aja kan?" "Iya.
Adnan melangkah ke ruang guru sedikit tergesa mengikuti langkah lelaki di depannya. Ada sedikit kekhawatiran di hatinya saat ini. Beberapa menit yang lalu, seorang guru menjemputnya di ruang kelasnya, meminta ijin guru yang sedang mengajar di kelas untuk membawa Adnan karena ada tamu yang ingin bertemu, yang katanya ibunya. Tentu saja Adnan penasaran. Selama ini ibunya tak pernah menyusulnya ke sekolah jika tidak sangat penting. Jadi, remaja itu mengira pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Saat sampai di ruangan khusus yang biasa dipakai untuk menerima tamu, guru laki-laki itu pun menyuruh Adnan masuk. Sementara dia sendiri kembali ke ruang kerjanya. Perlahan Adnan memasuki ruangan. Tapi alangkah terkejutnya dia karena yang dia lihat bukan Ibunya, melainkan Soraya. "Tante ngapain ke sini?" "Duduk dulu, Nan. Tante perlu bicara sama kamu," kata Soraya. "Sebaiknya Tante pulang saja." "Adnan, kamu mau satu sekolah tau kalau bicaramu keras begitu? D
'Nggak lupa jadwal kuliahku hari ini kan?' tulis Alif di pesan yang ditujukannya untuk Maretha pagi itu. 'Iyaa, bawel amat. Nih juga udah siap. Tinggal sarapan.' balas Maretha sambil menyunggingkan senyum. Ada bahagia saat melihat nama Alif di layar ponselnya tadi. Apakah dia sedang jatuh hati pada targetnya kali ini? Setelah menyelesaikan make up tipis, gadis itu segera menyambar tasnya untuk kemudian turun ke lantai bawah dimana sang ayah sudah menunggunya untuk sarapan. "Tumben, bajunya begitu?" Seno yang pagi ini melihat anak gadisnya memakai kemeja sedikit longgar dipadu celana jeans warna hitam memandang dengan penuh tanya. "Apaan sih papa. Udaranya dingin, makanya pakai baju yang anget," kata Maretha beralasan. Seno pun tersenyum melihat raut muka anaknya yang tiba-tiba memerah. Maretha terlihat buru buru menggeser piring di depannya untuk kemudian fokus dengan sarapannya pagi itu. "Oya, Reth. Papa sebenarnya rencana mau ngenalin kamu sama
"Apa, Mas?! Kembali sama kamu?" Aira menyunggingkan senyum remehnya pada lelaki yang sedang duduk di hadapannya itu. "Itu tidak mungkin, Mas. Perasaanku sudah tidak ada lagi untuk kamu. Sudah lenyap ditelan pengkhianatan yang kamu lakukan dulu." "Demi anak-anak, Ra. Kita akan coba kembali seperti dulu." "Kamu pikir aku bisa melupakan semua yang pernah kamu lakukan sama aku dengan semudah itu, Mas? Aneh sekali kamu ini. Benar-benar tidak punya perasaan." "Tapi, Ra. Anak anak pasti akan lebih bahagia jika kita bisa kembali bersama. Dibanding mereka hidup dengan ayah tiri." "Mereka itu sudah besar, Mas. Mereka tau bagaimana harus bersikap. Jangan khawatir." Lalu Aira pun bangkit, bermaksud untuk pergi meninggalkan tempat itu. "Aku permisi, Mas. Rasanya sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Tolong fokuslah ke kehidupanmu yang sekarang. Aku juga akan menikmati kehidupanku sendiri." "Ra, tunggu!" Dhani terus memanggilnya saat Aira berlalu pergi m
Soraya bersimpuh tersedu-sedu di lantai, sementara muka Pak Salim terlihat lebam dimana mana, duduk di sofa sambil memegangi sudut bibir tuanya yang berdarah. Dhani benar-benar kalap saat ibunya menelpon siang itu menyuruhnya untuk pulang lalu menceritakan semua yang dia lihat padanya. Tidak terima dan sangat terhina, itu mungkin perasaan yang tepat menggambarkan Dhani saat ini. "Dia yang terus maksa aku, Mas. Dia bilang itu balasan untuk mobil yang dibelikan untukku," alasan Soraya berulang kali membela diri. Memohon pada suaminya untuk dimaafkan. Tapi Dhani sepertinya benar-benar sudah tidak bisa mendengar kata maaf dari wanita yang pernah sangat membuatnya tergila-gila itu. Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung saja menghajar ayahnya habis-habisan. Amarahnya tak terkendali sebelum bu Salim dengan susah payah berhasil menghentikannya. "Sekarang kalian berdua pergi dari rumah ini. Terserah kalian mau kemana. Aku sudah muak dengan kalian berdua. Dan aku akan s
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t
Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du