"Mas," Aira membuka pelan pintu kamar anak sulungnya setelah mengetuknya beberapa kali.
"Ada apa, Buk?" Alif berjalan menghampiri pintu melihat ibunya menyembulkan kepala dari baliknya.
"Sudah mau tidur? Ibu mau bicara."
"Belum ngantuk kok. Bicara apa, Buk?" Alif menyingkir dari depan pintu untuk membiarkan ibunya masuk.
"Tutup pintunya ya, Mas. Ibu mau ngomong agak serius," kata Aira. Alif pun segera menutup pintu kamarnya. Lalu berjalan mendekati sang ibu yang sudah duduk di tepi ranjang.
Setelah Alif duduk, Aira nampak menyerahkan ponsel pada anaknya. Sebuah foto yang beberapa hari lalu dikirimkan Linda padanya.
"Ini apa, Buk?" Alif nampak sedikit bingung saat menerima ponsel ibunya.
"Baca aja dulu, Mas."
Kemudian dengan serius Alif mengamati foto undangan pernikahan yang diberikan oleh ibunya itu.
Tak ada yang dia ucapkan saat selesai membaca isi dalam undangan itu. Apalagi saat melihat wajah ayahnya yang terpampang jelas di dalamnya. Alif hanya menatap wajah ibunya tanpa bicara.
"Mas sudah paham kan apa yang ada di situ?" tanya Aira saat dilihatnya anaknya tak berkata apapun. Alif hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Lusa, ibu rencana mau ke tempat itu. Mas mau nemenin ibu? Tapi mas harus janji, jangan bilang masalah ini dulu sama adek-adek."
"Kenapa kita nggak kesana besok aja Buk? Biar Ayah nggak jadi menikah dengan orang itu."
"Nggak, Mas. Percuma saja. Kalau Ayah memang menginginkan hal itu, percuma saja jika kita menghalangi. Tidak ada gunanya. Bagi Ibu, yang penting Ayah tetap harus bertanggung jawab pada kalian. Karena kalian anak-anaknya. Kalau ibu, tidak berhak untuk melarang ayah berbuat apapun yang dia suka. Itu hak ayah. Ibu hanya ingin membuat ayah menyesal sudah melakukan itu pada kita."
"Ibu jangan sedih. Alif dan adek-adek akan tetap bersama ibu." Bagai hujan yang turun di tengah padang pasir. Mendengar kata-kata si sulung, air mata Aira segera menetes.
"Terima kasih, Mas. Jadi, mas mau nemenin ibu ke sana?" tanyanya lagi.
"Ya, Buk. Alif akan temenin Ibu ke sana. Alif nggak akan biarin ibu pergi sendirian."
"Oke. Kalau gitu mas sekarang istirahat dulu. Ibu juga sudah ngantuk. Ingat ya Mas? Adek-adek jangan sampai tahu dulu."
"Ya, Buk."
.
.
.
Dan dua hari kemudian, Aira berangkat bersama Alif ke kota sebelah. Hari dimana akan dilangsungkannya pernikahan suaminya dengan seorang gadis di kota itu.
Satu setengah jam perjalanan, Akhirnya Aira sampai di tempat tujuan. Dia memarkirkan mobilnya di pelataran gedung yang disewa untuk pesta pernikahan itu dengan hati tak karuan. Dia tahu akan sesakit apa nantinya melihat lelaki yang telah puluhan tahun menjadi suaminya itu bersanding di pelaminan bersama wanita lain. Namun dia berusaha menyembunyikan.perasaan gundahnya itu pada putra sulungnya.
Dari luar, pesta itu memang tampak megah. Seperti kata Linda, gadis yang dinikahi suaminya itu memang masih muda. Dia baru beberapa tahun lulus kuliah, sepantaran dengan keponakan Linda. Dan gadis itu merantau di kota yang sama dengan suami Aira.
Entah bagaimana cara mereka akhirnya saling mengenal. Namun sepengetahuan keluarga sang gadis, suami Aira adalah seorang duda. Mungkin itu sebabnya mereka merestui hubungan anak gadisnya dengan pria yang usianya sudah kepala empat itu.
Setelah menghela nafas dalam, Aira mengajak Alif turun. Sekuat tenaga dia berusaha terlihat sangat tegar. Sementara sang putra sulung yang sedari tadi sudah diwanti-wanti ibunya agar tidak melakukan hal yang membahayakan diri sendiri di dalam pesta pernikahan ayahnya itu, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang bergemuruh. Apalagi saat mereka mulai memasuki ruangan dan dilihatnya sang ayah sedang duduk di depan sana bersanding dengan wanita yang bukan ibunya.
Aira terus melangkah mendekat ke pelaminan dengan tangan Alif yang menggandengnya.
Tak seperti tamu tamu undangan lain yang datang dengan wajah tersenyum penuh kebahagiaan, Aira dan Alif sama sekali tak menampakkan senyum di wajah mereka. Beberapa pasang mata yang kebetulan menyadari kehadiran dua tamu misterius itu kemudian mulai saling berbisik.
Dan saat Aira dan Alif semakin dekat, Dhani yang mulanya sedang terlihat bercanda ria dengan mempelai wanitanya di pelaminan mendadak menghentikan senyuman. Wajahnya berubah tegang menyaksikan istri dan anak sulungnya tiba-tiba sudah berada di tempat itu. Benar-benar di luar dugaannya.
Perubahan jelas di wajahnya membuat mempelai wanitanya yang cantik bertanya-tanya.
"Ada apa, Mas? Siapa mereka?" tanyanya.
"Selamat, Mas, Kamu tidak menyangka kan aku akan ada di sini sekarang?" kata Aira saat dia dan anaknya telah sampai di panggung pelaminan megah itu. Berdiri tepat di hadapan dua mempelai yang sontak berdiri melihat mereka menghampiri.
"Dek, aku bisa jelaskan ini!" Dhani mulai panik. Apalagi melihat tatapan mata anak sulungnya yang berapi-api padanya.
"Tenang, Mas. Aku tidak akan mengganggu pernikahanmu. Kamu bisa melanjutkan pestamu setelah mereka tahu siapa sebenarnya kamu." Tangan Aira menunjuk ke.sekeliling ruangan.
Suasana pesta mendadak riuh tatkala semua tamu undangan baru tersadar bahwa sedang ada ketegangan di atas panggung pelaminan. Sementara Aira bergegas menghampiri MC pernikahan untuk mengambil microphone yang berada di atas meja. Beberapa orang yang sepertinya kerabat mempelai wanita berusaha mencegah Aira. Namun Karena melihat sikap tenang Aira, akhirnya mereka pun tak bisa berbuat banyak.
"Mohon perhatian semuanya. Saya, Humaira, istri sah dari Dhani Hendrawan Salim. Saya wanita yang dinikahinya 20 tahun yang lalu dan yang menemaninya saat dia masih miskin sampai dia sukses seperti sekarang. Dan kami juga telah memiliki 3 orang anak yang telah menginjak remaja. Perlu semua tahu bahwa saya, Humaira Aisya, belum pernah diceraikan oleh suami saya dan secara hukum masih menjadi istri sahnya."
Aira menghentikan kalimatnya. Tamu undangan yang tadinya mendengarkannya dengan serius kini terdengar riuh lagi. Sementara di kursi pelaminan, kedua mempelai dan orang tuanya mulai pucat pasi.
"Untuk keluarga mempelai wanita, semoga kalian segera menyadari, laki-laki seperti apa yang membuat kalian begitu bangga untuk kalian nikahkan dengan putri kalian ini. Dan kamu, mas Dhani. Setelah pestamu selesai, aku menunggumu di rumah untuk menjelaskan semua ini pada anak-anakmu. Dan bersiaplah untuk berurusan dengan pihak yang berwajib karena dokumen palsu yang telah kamu buat untuk melancarkan pernikahanmu ini. Ayo Alif, Kita pulang, Nak!"
Aira mengembalikan microphone ke tempatnya, lalu berjalan diikuti sang anak turun dari panggung pelaminan. Tak dihiraukannya Dhani yang memanggil namanya dan Alif beberapa kali.
Dan tak seperti tadi saat dia datang dengan wajah yang tegang, kali ini Aira berbalik meninggalkan pesta dengan senyuman tersungging di bibirnya.
'Bukan Kamu saja yang bisa menghancurkan impianku, Mas. Tapi aku pun bisa melakukannya. Dan ini baru permulaan.'
Hari berikutnya Linda menelpon Aira lagi. Wanita itu benar-benar tidak menyangka Aira nekat pergi ke pernikahan suaminya. "Kamu tahu dari mana, Lin, aku pergi ke sana?" "Ya dari keponakanku lah. Dia ada di sana pas kamu bikin semua tamu undangan melongo. Lalu saat kamu pergi, ibu mertua suamimu katanya sampai pingsan." "Oya? Kasihan juga ya sebenarnya. Tapi aku nggak terima dibohongi seperti ini, Lin." "Selamat Ra, kamu menang kok. Suamimu langsung diusir dari rumah mertuanya setelah itu. Tapi ..." "Tapi apa, Lin?" "Istri mudanya mengikutinya. Dia bersikukuh tetap ingin bersama suamimu katanya." "Ooh, cinta sejati rupanya?" kata Aira sarkas. "Nggak tau deh. Katanya sih karena dia terlanjur hamil." "Ooh, jadi begitu. Oke, Lin, terima kasih ya infonya. Sebenarnya yang kulakukan kemarin belum seberapa. Aku hanya ingin memperjuangkan anak-anakku, Lin. Maaf jika harus ada beberapa orang yang tersakiti karena tindakanku. Itu bukan mauku." "
"Kamu tidak akan bisa menghidupi anak-anak tanpa aku, Dek. Itulah kenapa aku tidak akan pernah menceraikanmu," ucap Dhani dengan sombongnya. "Jangan terlalu percaya diri, Mas. Aku tidak membutuhkan belas kasihanmu untuk menghidupi anak-anakku. Mereka tidak akan kubiarkan hidup dengan melihat kehidupan kita yang seperti ini. Melihat ayahnya memperlakukan seorang wanita.dengan.semena-mena. Apa jadinya kehidupan mereka nanti jika sampai ada yang menirumu?" "Maksud kamu apa, Dek? Aku nggak ngerti kamu ini ngomong apa sih?" "Kalau aku tetap bersama kamu. Anak anak akan melihat bahwa menyakiti pasangan itu sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah, Mas. Aku tidak ingin mereka kelak sepertimu." "Tapi aku masih mencintai kamu, Dek. Aku mencintai anak anak. Aku tidak mungkin meninggalkan kalian. Aku ... aku sebenarnya terpaksa menikahinya karena ..." "Cukup, Mas! Aku tidak mau mendengar alasan apapun darimu. Kenapa kamu menikah dengan wanita itu, sama sekali bukan urusanku
"Buk, ada eyang datang." Aira sedang berkutat di dapur untuk mempersiapkan makan malam saat Shofia mengabarkan kedatangan kakek neneknya sore itu. Mereka adalah orang tua Dhani, karena kedua orang tua Aira sendiri sudah berpulang beberapa tahun yang lalu. "Iya, di suruh masuk, Dek. Ibu cuci tangan dulu." "Sudah, Buk. Sudah di ruang tamu kok," jawab anak gadis remajanya itu. Aira sudah menduga. Mertuanya pasti akan datang sebagai penengah dalam permasalahannya dengan Dhani. Kedua orang tua yang sudah berumur itu tidak mungkin datang ke rumah ini tanpa sebab yang jelas. Usia mereka sudah cukup lanjut, itulah alasan kenapa selama ini Dhani tidak mengijinkannya dan anak-anak mereka ikut tinggal di perantauan bersamanya. Dhani adalah anak tunggal, dan kedua orang tuanya juga tidak mau diajak pindah meninggalkan rumah mereka. Jadi, Aira biasanya yang minimal dua kali seminggu menengok mereka untuk melihat keadaan. Meskipun Dhani sudah menyewa seorang asi
"Ibuk dari mana?" Alif menyambutnya di teras sesaat setelah Aira memarkirkan mobilnya di garasi. Wanita itu turun menutup pintu mobilnya, lalu berjalan beriringan dengan anak sulungnya ke dalam rumah. "Ibu habis dari toko perhiasan, Mas." Aira mendudukkan tubuh lelahnya di kursi tamu. "Lhoh, ngapain Buk?" "Ibu akhirnya jual perhiasan. Lumayan mas masih bisa laku 20an juta." "Perhiasan peninggalan eyang?" Alif mengikuti ibunya duduk. Dahinya berkerut. "Iya." "Katanya ibu mau jual motornya Alif? Kok malah perhiasannya yang dijual?" "Setelah Ibu pikir-pikir, mendingan perhiasannya aja mas yang dijual. Lagian Ibu juga nggak terlalu suka pakai perhiasan. Model perhiasan peninggalan eyang juga sudah kuno. Motor mas juga lebih berguna dibanding perhiasannya kan?" "Tapi kan Ibu sayang banget sama perhiasan itu. Satu satunya yang mengingatkan Ibu sama eyang." "Nggak apa apa, Mas. Cuma perhiasan aja kok. Yang penting doa ibu tidak pernah lupa un
"Sebenarnya Ibu ini heran, Le. Kenapa sih Kamu harus nyuruh Bapak sama Ibu nggak jujur soal pernikahanmu pada Aira?" Dhani sedang duduk di serambi rumah orang tuanya sore itu dengan sang bapak saat ibunya ikut bergabung. "Ini di luar rencanaku, Bu. Aku nggak menyangka Aira akan tahu soal pernikahan ini. Awalnya aku bermaksud merahasiakan ini dari Aira dan anak-anak. Aku ingin memberi mereka kejutan bahwa tahun ini aku sudah pindah ke kota ini memimpin kantor cabang baru. Momennya tepat, pas lebaran aku dipindahkan ke sini. Nggak taunya Aira malah datang ķe pernikahanku dan Soraya. Aku juga nggak tahu dia dapat informasi itu dari siapa." Dhani terlihat frustasi saat mengatakan semua itu. Bagaimana pun, dalam hatinya tak pernah ada niat untuk menyakiti Aira, apalagi anak-anaknya. Namun hasrat lelakinya yang meronta, saat berjauhan dengan sang istri selama berbulan-bulan membuatnya jatuh dalam pelukan karyawan barunya yang baru dua tahun bekerja di kantor itu. Soray
"Mas." Alif yang baru saja keluar dari kelasnya dan berniat menuju perpustakaan sontak menoleh. Adnan mengejar dengan langkah tergesa di belakangnya. "Ada apa?" tanyanya. "Ayah ngajak ketemuan. Nanti habis pulang sekolah." "Ya udah, temuin aja," jawabnya santai. "Tapi ayah suruh ngajak Mas Alif." "Dia nggak bilang kok. Kamu aja yang pergi. Mas nanti mau buru-buru pulang." "Tapi Mas, katanya penting. Soal Ibuk." "Kalau penting biar datang ke rumah aja. Udah Dek, nggak usah ikutan pusing," kata Alif menepuk bahu adiknya. "Mas mau kemana?" "Perpus. Mau ikut?" Adnan menggeleng. Lalu Alif pun berbalik melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda. . . . Siang harinya Adnan menunggu kakaknya di parkiran dengan gelisah. Kelasnya selesai setengah jam lebih awal dari kelas Alif. Sudah dari seperempat jam yang lalu, ponselnya tak berhenti bergetar. Dari sang ayah. Dan karena tidak enak hati, akhirnya Adnan memutuskan untuk menga
Aira mematut diri di cermin. Setelan gamis plus khimar warna salem jadi pilihannya untuk bertemu atasan Dhani malam ini. Cukup lama dia memperhatikan bayangan wajahnya di depan sana. Rupanya beberapa kerutan memang sudah lumayan terlihat jelas di wajahnya. Aira mendesah. "Ibuk cantik." Aira tersenyum tipis. Dari cermin dia bisa melihat Alif sudah berdiri bersandar di pintu kamarnya memperhatikannya yang masih duduk di depan meja rias. Anak itu sudah rapi dengan celana jeans dan kaos polonya. Alif memang sudah terlihat sangat dewasa di usianya yang hampir menginjak 18 tahun. Apalagi jika sedang mengenakan baju casualnya. Besar dan tinggi badannya pun sudah sedikit melampaui ayahnya, Dhani. "Apa sih, Mas?" Aira menepiskan tangannya ke udara sambil mengulum tersenyum. Alif pun kemudian berjalan menghampiri sang ibu. "Beneran, ibu masih cantik kok. Nggak kalah sama yang masih gadis," goda Alif. Aira tahu Alif hanya bermaksud menghiburnya saja. "Kalau ibuk
Suasana rumah keluarga Salim nampak sedikit sibuk malam itu. Pak Salim nampak sudah siap dengan dandanan jas warna hitamnya, sementara istrinya sudah rapi dengan kebaya dan sanggul besar di kepalanya. Raut muka mereka nampak begitu sumringah. Apalagi yang bisa membuat mereka bangga selain pelantikan putra semata wayangnya, Dhani Hendrawan Salim, sebagai Kepala Cabang kantor barunya yang diresmikan beberapa saat lagi. Dhani, keluar dari kamarnya dengan setelan jas warna navy, sementara Soraya sudah terlihat seksi dengan dress panjang ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan warna senada dengan suaminya. Seharusnya Aira lah yang malam ini mendampingi suaminya itu dalam pelantikan malam ini. Tapi apalah daya, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Dhani telah memiliki pendamping lain untuk acara membanggakannya malam ini. Istri mudanya yang juga berprofesi sebagai sekretarisnya selama ini. "Ayo buruan, Le. Nanti kita terlambat lho!" teriak sang Ibu dari
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t
Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du