Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja.
Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku.
Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa.
Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun.
"Mana bekalku?" tagihnya.
"Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan.
"Omong kosong, perutku juga butuh makanan," pekiknya. Dia menyambar kotak makan berwarna biru yang ada dimeja, kemudian mengambil kunci motornya dan berlalu keluar rumah.
Aku segera mengambil kotak makan berwarna pink milikku, tak lupa membawa tas yang tergeletak di atas sopa.
Immanuel masih berada di halaman saat aku tengah mengunci pintu rumah. Entah mengapa ia masih berada di sini, pikiranku sedikit menaruh curiga, sepertinya ia memang menungguku.
"Kenapa belum berangkat?"
"Menunggumu. Aku ingin berangkat bersamamu."
Alisku naik sebelah, "Tapi kau memiliki motor."
"Aku sedang menghemat biaya bensin."
Aku memutar kedua bola mataku setelah mendengar kalimatnya. "Motor bagus, tapi tak mampu membeli bensin."
"Bukan tak mampu, tapi hemat. Jangan sembarangan, uangku banyak."
"Sombong!"
Tak berlangsung lama, aku pun menghampiri mobilku, diikuti oleh immanuel yang sudah mengenakan seragam khas SMA. Sejujurnya, aku tak tahu letak pasti sekolah Immanuel, laki-laki itu juga tak mau memberitahuku, ia bersedia diturunkan di persimpangan.
Sekarang Immanuel mulai menyalakan musik lewat radio saat mobil baru saja melaju, dia mencari-cari lagu berisik kesukaannya. Akhirnya terputarlah lagu Yellow Claw berjudul dj turn it up, lagu yang berisik.
Ketika laki-laki di sampingku asik menggerakan kepalanya mengikuti irama lagu, aku segera mengganti lagu pada siaran radio tersebut sambil tetap menyetir. Sebuah lagu berjudul Bangun Cinta yang dinyanyikan salah satu penyanyi cover. Immanuel yang menyadari itu menatapku tak suka.
"Kau harus mendengarkan lagu yang tenang," ujarku.
Immanuel menghela nafas panjang, kali ini ia tak berbicara banyak. "Turunkan aku di depan sana."
Aku menghentikan mobil, sementara itu immanuel hendak keluar dari mobil tapi aku menarik tangannya lebih dulu. Kami bertemu pandang sesaat, aku segera mengancingkan seragamnya yang sedikit tak beraturan itu, membenarkan kerahnya yang tak rapih. Yang terakhir, memakaikan dasi yang tadinya hanya ia lilitkan ke lehernya.
Sebagai murid SMA, dia sama sekali tak memiliki nilai kerapihan.
Saat aku akan beralih memasukan bajunya yang tidak dirapihkan, tangan kuatnya secepat mungkin menahanku, "Jangan mendekat ke bagian sensitif."
Tubuhku memberi jarak darinya. "Aku hanya ingin membantumu," kataku.
Immanuel mendekatkan mulutnya ke telingaku, kemudian berbisik, "Ada batasan-batasan yang tidak boleh kau lewati, jika kau melanggar, maka yang beristirahat akan bangun."
Keningku berkerut. "Bicara apa kau ini?"
"Sudahlah," ucap Immanuel sedikit frustasi.
Immanuel keluar dari mobil, sementara itu aku langsung melajukan mobilku kembali, meninggalkannya sendiri di pinggir jalan yang mungkin butuh beberapa puluh kaki lagi untuk sampai di sekolahnya.
Sekilas, aku meliriknya lewat kaca spion mobil. Immanuel masih berdiri di sana, mengamati kepergianku.
Belum genap sebulan aku mengenalnya, kini aku menyadari bahwa hubungan diantaraku dan Immanuel sudah terjalin, hubungan harmonis antara pemiliki rumah dan penyewa, atau hubungan kami lebih dari itu?
Entahlah.
* * *
Pak Putra membawaku berkeliling perusahaan, dia juga mengajariku hal-hal yang harus kupelajari saat pertama kali berkecimpung di dunia IT. Karena aku tidak memiliki keahlian pada bidang tersebut, jadi Pak Putra mengajariku, dia bersedia melakukannya.
Mungkin karena pengaruh Eka, jadi kurasa itulah sebabnya Pak Putra menerimaku yang tak memiliki keahlian di dunia IT untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan bersedia ia mengajariku. Bukankah untuk mendapatkan semua ini dibutuhkan koneksi yang kuat?
Bukan hal yang baru bagiku bisa memiliki kesempatan bekerja di tempat yang bagus berkat koneksi. Di dunia pekerjaan, semua itu hal yang lumrah.
"Aku sudah berkecimpung di dunia IT selama 12 tahun lalu, belajar sendiri hingga mahir dan bisa merangkap mengerjakan beberapa spesialis IT. Kau memang tak memiliki pengalaman, sama sepertiku dulu, kau hanya perlu mengawalinya dengan belajar. aku percaya bahwa setiap orang dibekali sebuah bakat, tapi sebuah bakat itu dimulai dengan belajar, mendalami lagi dan terus menerus hingga mahir. Jika kau mau memulainya dengan belajar dan terus mendalami, aku pastikan kau bisa menguasai dunia IT."
Eka melambaikan tangannya ke arahku saat aku dan Pak Putra melewati sebuah ruangan berdinding kaca, gadis itu tengah berdiri didekat meja kerja. Kudengar Eka bertugas untuk mengontrol. Pekerjaan yang tak begitu sulit jika dipikir-pikir, tapi entahlah. Tidak seharusnya aku menyimpulkan demikian pada hari pertamaku bekerja.
Sekitar 1 jam aku berinteraksi dengan Pak Putra, laki-laki berusia 30-an itu pun akhirnya meninggalkanku dengan seorang laki-laki berkaca mata. Namanya Tirta, ia bekerja membuat aplikasi baru dan maintenance aplikasi sistem yang sudah ada sesuai requirement user.
Kesan pertamku saat bertemu Tirta, yaitu ramah, dia juga sangat profesional. Ia mengenalkanku dengan tugas yang dikerjakannya, "Dunia IT itu luas, spesialis dibidang IT tertentu sangatlah banyak. Sombong sedikit, aku sudah sangat mahir dibeberapa spesialis IT, sudah beberapa kali diincar perusahaan di luar negri, akhirnya aku memilih NT sebagai perusahaan tempatku bekerja," tuturnya.
"Kira-kira, apa yang membuatmu lebih tertarik di NT?" tanyaku penasaran.
Tirta menyanggah dagunya dengan tangan kananya, kemudain berkata, "Tentu saja karena kesepakatan yang sangat menjanjikan," jelasnya. "Bagaimana denganmu?"
"Perusahaan ini bersedia menerimaku yang tidak memiliki keahlian sama sekali."
"Sungguh? Apa bahkan kau tidak pernah kuliah dan mengambil jurusan teknologi informasi??"
Aku menggeleng kuat, "Tidak."
"Itu cukup aneh. Kau mau berbagi cerita pada jam istirahat? Kurasa kita perlu minum segelas kopi di lantai atas sambil membicarakan banyak hal. Tentunya mengenai pekerjaan juga," katanya.
"Ya, kurasa kita perlu membicarakan banyak hal sebagai rekan kerja yang baru."
Kembali fokus pada pembahasan pekerjaan, Tirta mulai memaparkan mengenai spesialis yang dikerjakannya.
Aku tidak bisa menyepelekan Tirta, dia tak kalah hebatnya dari Pak Putra pada pertemuan pertama. Walau NT belum seterkenal perusahaan IT lainnya, sepertinya perusahaan ini akan berkembang pesat lima tahun ke depan, mengetahui adanya orang-orang berbakat yang sudah didapatkan, salahsatunya Pak putra dan Tirta. Entah berapa banyak lagi karyawan yang sangat berbakat. Mungkin hanya aku yang tidak berguna.
Bisa berada di NT membuatku gugup. Astaga, aku berada disebuah perusahaan besar, dan anehnya meski aku tak memiliki keahlian sama sekali, perusahaan ini membuka tangannya lebar-lebar untuk menerimaku.
Harus kusebut keberuntungan atau apa?
Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk
Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la
Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k
Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te
Awal bulan ini aku menyewakan kamar di loteng karena alasan mendesak. Perusahaan yang mempekerjakanku sudah memecatku tiga bulan yang lalu, akibatnya, uang tabunganku tengah diambang sekarat. Jadi, daripada membiarkan kamar di loteng penuh debu karena tidak pernah ditempati, maka dengan ide brilian kuputuskan untuk menyewakan kamar di loteng rumahku.Tidak mudah mendapat kesempatan untuk menjadi penyewa kamar di rumahku, ini edisi terbatas penuh sayarat. Tentu saja harus ada syaratnya, karena penyewa akan tinggal satu atap denganku.Syaratnya adalah harus perempuan sekaligus seorang pelajar. Mengapa begitu? Karena seorang pelajar akan lebih mudah diatur jika dibandingkan dengan orang seumuranku atau bahkan lebih tua dariku. Aku akan menutup pintu rumah tepat pukul 10 malam, dan bukankah pelajar harus tidur pada jam tersebut?Dan mengapa harus perempuan? Karena aku ingin menghindari hal yang dapat menyebabkan Yunanda cemburu, ia selalu membabi buta setiap kali me
Sebelum kehilangan pekerjaan, aku adalah seorang perempuan yang cukup bergelimang uang, bukan hanya uang dari gajiku saja, uang dari Raka juga mengisi penuh amplop-amplop dilaciku.Sejujurnya tanpa menyewakan kamar di loteng pun tidak benar-benar membuatku kekurangan uang, namun aku mulai mengumpulkan uang yang rutin Yunanda berikan padaku, akan kukembalikan suatu hari nanti. Aku hanya ingin menggunakan uang hasil usahaku sendiri."Hey, ayo turun. Kita makan bersama," ajakku dari ambang pintu kamar di lantai dua kepada laki-laki yang sedang memainkan ponsel di atas ranjangnya.Kedua mata itu melirikku tajam "Panggil saja Immanuel. Jangan memanggilku seakan tak punya nama," ucapnya sedikit kesal."Ya, maaf. Ayo turun Immanuel, aku belum melihatmu makan sejak semalam."Kemarin, secara terpaksa kuputuskan untuk menerima Immanuel sebagai penyewa kamar, mengapa demikian? Tentu saja karena uang. Aku tak bisa menjamin dapat menemukan calon penyewa baru ap
Berkat Haura, perempuan yang kemarin tanpa sengaja bertemu denganku di kedai kopi setelah sekian lama, aku harus mempersulit diri agar sempurna saat memenuhi undangannya.Seperti yang orang lain tahu, Haura adalah istri sah dari Yunanda. Mereka sudah menikah sejak 3 tahun yang lalu.Mungkin orang-orang akan benci ketika mengetahui fakta ini, lebih tepatnya faktaku yang menjalani hubungan dengan laki-laki yang telah beristri, lalu aku harus apa kalau sudah begini?Hubunganku dengan Yunanda tidak bisa diputuskan begitu saja. Kami sudah memikirkannya dua tahun yang lalu, semua resiko dan yang akan terjadi kedepannya. Kami sudah mengambil keputusan, yaitu tetap bersama.Tak peduli apa kata orang, lagipula bukan orang lain yang menjalani hubungan ini, tidak ada yang lebih memahami tentang ini selain kami."Halo Jimmy, apa kau sibuk hari ini?" tanyaku pada orang di balik ponsel setelah panggilan dariku diangkatnya."Iya, ada bany
Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga
Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te
Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k
Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la
Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk
Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon
Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K
Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s
Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan
Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga