Share

VI. Nuansa Alam

Penulis: Kakgiwu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara.

Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing.

Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa.

Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi.

Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya?

Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan sambil minum kopi bukan sesuatu yang perlu kutakutkan.

"Sebenarnya aku sudah tak lagi bekerja untuk Pak Yunanda," ucapnya setelah menuangkan air panas ke dalam gelas berisikan kopi.

Aku mengerutkan kedua alisku penuh tanya. "Kenapa?"

"Selama ini aku mendapatkan uang dari Pak Yunanda untuk pekerjaan yang bersifat rahasia. Kira-kita aku ini apa ya. Apakah bandar, detektif, asisten tersembunyi, pembantu? Selama dua tahun aku mendapat uang untuk pekerjaan yang tidak jelas, bahkan yang terkhir hanya untuk membersihkan debu jendela," tuturnya sambil tersenyum kecil.

"Bukankah menyenangkan memiliki pekerjaan," ujarku.

Eka menggeleng kuat, "Tidak juga. Orang-orang bertanya mengenai pekerjaanku, terkadang aku bilang bahwa aku seorang asisten manager, terkadang juga aku bilang bahwa aku salah satu karyawan di neo group. Tapi mereka sadar bahwa itu tak mungkin karena aku lebih sering berdiam diri di rumah. Memang menyenangkan ketika uang mengalir begitu saja ke rekeningku padahal yang kukerjakan sangat sederhana, tapi gunjingan dari orang-orang sekitar sangat tak semenyenangkan," lanjutnya.

"Jadi sekarang kau hanya menganggur?" tanyaku penasaran.

"Tentu saja tidak, sebelum memutuskan kerjasama dengan Pak Yunanda, aku sudah mencoba melamar ke berbagai tempat hingga akhirnya diterima," Dia menyeruput kopinya sebelum kembali berbicara. "Aku bekerja disalah satu perusahaan IT yang baru diresmikan."

"Luar biasa. Selamat Eka."

"Apa kau mau ikut bekerja juga? Di sana sedang membuka lowongan, banyak tempat yang masih tersedia."

"Aku---"

Obrolan kami terjeda saat seseorang memukul-mukul pintu, minta dibuka-kan. Aku tahu siapa orangnya. Eka melirik ke arahku, aku pun segera menghampiri sumber suara. Ini bukan pertama kalinya dia membuat berisik selama waktu yang singkat, sebelumnya ia juga mengetuk-ngetuk pintu, ya walau tidak sekeras dan sebising yang ini.

Itu Immanuel. Laki-laki yang mengantarku ke apartemen Eka menggunakan motor Sportnya. Immanuel terlihat mendengus kesal ketika aku muncul dihadapannya.

"Lama!" keluhnya.

"Ini baru setengah jam!" pekikku.

"Memangnya butuh berapa lama hingga selesai? Kaki-ku keram karena terus berdiri," cicitnya.

"Itu salahmu, kau yang menawarkan diri untuk mengantarku kemari, dan sekarang kau malah mengeluh. Padahal bukan aku yang memintamu mengantarku kemari!" balasku.

"Ada apa ini?" Sela Eka yang baru saja hadir diantar kami, "Kenapa tidak diajak masuk?" tanyanya padaku.

"Dia tidak cocok dengan obrolan kita, pemikirannya pasti kurang rasional. Eka, kupikir aku harus pulang sekarang," ucapku.

"Buru-buru sekali. Kita baru saja masuk ke pembicaraan inti," ujarnya.

"Kita bisa bicarakan itu besok lagi," singkatku.

"Baiklah. Hati-hati ya," putusnya.

Akhirnya aku pergi, mendorong laki-laki tinggi di hadapanku agar dia tidak kembali menggerutu. Aku menyesal menerima tawaran Immanuel untuk mengantarku ke apartemen, laki-laki itu berubah  menjengkelkan.

Kami masuk lift, pergi menuju lantai utama. Sepanjang berada di lift tidak ada sama sekali hal yang kami bicarakan. Immanuel terdiam tanpa wajah bersalah, sementara itu aku mengumpat berkali-kali di dalam hati.

                            *   *   *

Aku benar-benar marah pada Immanuel. Tadi, ia mengeluh saat di apartemen, sekarang bukannya pulang ke rumah dan beristirahat, dia malah membawaku ke perkebunan teh.

"Ada apa dengan wajahmu? Muram sekali," ujarnya.

"Bukankah harusnya kau berada di rumah saja?! Kau sudah mengacaukan urusanku dengan Eka, dan sekarang malah datang kemari," gerutuku.

"Kapan aku mengajak kembali ke rumah? Aku hanya ingin pergi dari apartemen itu," pekiknya.

"Terserah," kesalku.

"Ayo ikut aku."

Immanuel menarik tanganku, dia membawaku memasuki perkebunan teh hijau yang langsung menghipnotisku dengan pemandangannya yang indah.

Seketika hiruk pikuk kehidupan di kota yang dipenuhi gedung tinggi pun menghilang, hampir sepenuhnya yang kujumpai di sini adalah pohon dan dedaunan hijau yang menyegarkan mata.

Nuansa alam tidak pernah gagal. Hanya melihat lukisan alam saja sudah membuatku merasa damai, apalagi disuguhkan secara nyata seperti saat ini.

Immanuel, kau berhasil meluluhkanku dengan pemandangan seindah ini. Sekarang aku tidak marah lagi. "Terima kasih sudah membawaku kemari."

Laki-laki itu hanya mengacungkan kedua jempolnya sebari berekspresi datar, sebuah ciri khasnya.

Pemandangan ini membuatku teringat kejadian 2 tahun lalu saat aku harus bolak-balik psikiater. Ada banyak saran penyembuhan yang diberikan psikiater padaku, salah satu sarannya yang sangat sederhana adalah pergi ke tempat-tempat yang indah semacam ini. Aku menyesal mengapa dulu mengabaikan saran tersebut hanya karena kuanggap sebagai saran yang paling tak penting.

Jika aku sedih lagi, daripada mengurung diri dikamar, memang sebaiknya pergi ke tempat semacam ini.

Jika kebanyakan orang yang tengah berada ditempat seperti ini akan meminta diambilkan fotonya, berbeda dengan Immanuel, dia malah mengambil beberapa gambar langit menggunakan ponsel miliknya. mengambil foto kebun teh, mengambil foto daun teh dari jarak yang sangat dekat. Immanuel tak seperti manusia pada umumnya.

"Tolong ambilkan fotoku," Pintaku  sambil menyerahkan ponsel milikku.

Aku mulai membuat pose kala laki-laki itu bersiap mengambil fotoku, dia menjepret beberapa kali, begitu pula denganku yang merubah pose setiap kali menyadari Immanuel akan mengambil fotoku yang baru. Setelah dirasa selesai, ia menyerahkan kembali ponselku.

Aku pun memeriksa galeriku, semua foto yang diambil Immanuel sangat bagus, tidak ada satu pun yang mines. Mungkin dia memang sudah ahli mengambil foto.

"Buatlah pose, aku akan mengambil gambarmu," titahku.

Bukannya tersenyum lebar ke arah kamera seperti dugaanku, dia malah menghampiriku dan menyandarkan kepalanya dibahuku sambil kedua matanya tertutup.

"Apa-apaan ini?" desisku.

"Ambil fotonya sekarang," katanya.

"Foto bersamaku?" Tanyaku tak yakin.

"Apa kau masih tak paham?" Dia malah balik bertanya padaku.

Tanpa berbicara lebih lanjut, aku pun segera mengambil foto kami. Yang pertama hanya tersenyum ke kamera, pose yang kedua, kami membuat jari kami berbentuk V. Yang terakhir sangat diluar dugaanku, Immanuel mengecup pipiku yang tak sengaja berhasil kujepret. Aku refleks memegangi pipi kiriku tak percaya, seakan yang barusan terjadi adalah sebuah mimpi di siang bolong. Dia sudah mengubah posenya sepihak.

"Itu pose terbaik," katanya.

Ia merenggut ponselku, sepertinya ingin mengirimkan foto tadi ke ponselnya. Lalu apa yang terjadi denganku saat ini? Aku malah berdiam diri, bukannya memarahinya karena mengecup pipiku.

Mengapa aku tak bisa marah?

Bab terkait

  • LOVE THAT COME ONCE   VII. Rabu

    Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K

  • LOVE THAT COME ONCE   VIII. IT

    Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon

  • LOVE THAT COME ONCE   IX. Web developer

    Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk

  • LOVE THAT COME ONCE   X. Lahan Kosong

    Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la

  • LOVE THAT COME ONCE   XI. Jumpa lagi

    Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k

  • LOVE THAT COME ONCE   XII. Teror

    Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te

  • LOVE THAT COME ONCE   I. Penyewa

    Awal bulan ini aku menyewakan kamar di loteng karena alasan mendesak. Perusahaan yang mempekerjakanku sudah memecatku tiga bulan yang lalu, akibatnya, uang tabunganku tengah diambang sekarat. Jadi, daripada membiarkan kamar di loteng penuh debu karena tidak pernah ditempati, maka dengan ide brilian kuputuskan untuk menyewakan kamar di loteng rumahku.Tidak mudah mendapat kesempatan untuk menjadi penyewa kamar di rumahku, ini edisi terbatas penuh sayarat. Tentu saja harus ada syaratnya, karena penyewa akan tinggal satu atap denganku.Syaratnya adalah harus perempuan sekaligus seorang pelajar. Mengapa begitu? Karena seorang pelajar akan lebih mudah diatur jika dibandingkan dengan orang seumuranku atau bahkan lebih tua dariku. Aku akan menutup pintu rumah tepat pukul 10 malam, dan bukankah pelajar harus tidur pada jam tersebut?Dan mengapa harus perempuan? Karena aku ingin menghindari hal yang dapat menyebabkan Yunanda cemburu, ia selalu membabi buta setiap kali me

  • LOVE THAT COME ONCE   II. Istri

    Sebelum kehilangan pekerjaan, aku adalah seorang perempuan yang cukup bergelimang uang, bukan hanya uang dari gajiku saja, uang dari Raka juga mengisi penuh amplop-amplop dilaciku.Sejujurnya tanpa menyewakan kamar di loteng pun tidak benar-benar membuatku kekurangan uang, namun aku mulai mengumpulkan uang yang rutin Yunanda berikan padaku, akan kukembalikan suatu hari nanti. Aku hanya ingin menggunakan uang hasil usahaku sendiri."Hey, ayo turun. Kita makan bersama," ajakku dari ambang pintu kamar di lantai dua kepada laki-laki yang sedang memainkan ponsel di atas ranjangnya.Kedua mata itu melirikku tajam "Panggil saja Immanuel. Jangan memanggilku seakan tak punya nama," ucapnya sedikit kesal."Ya, maaf. Ayo turun Immanuel, aku belum melihatmu makan sejak semalam."Kemarin, secara terpaksa kuputuskan untuk menerima Immanuel sebagai penyewa kamar, mengapa demikian? Tentu saja karena uang. Aku tak bisa menjamin dapat menemukan calon penyewa baru ap

Bab terbaru

  • LOVE THAT COME ONCE   XII. Teror

    Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te

  • LOVE THAT COME ONCE   XI. Jumpa lagi

    Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k

  • LOVE THAT COME ONCE   X. Lahan Kosong

    Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la

  • LOVE THAT COME ONCE   IX. Web developer

    Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk

  • LOVE THAT COME ONCE   VIII. IT

    Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon

  • LOVE THAT COME ONCE   VII. Rabu

    Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K

  • LOVE THAT COME ONCE   VI. Nuansa Alam

    Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s

  • LOVE THAT COME ONCE   V. Bersinar di langit

    Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan

  • LOVE THAT COME ONCE   IV. Up to you

    Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga

DMCA.com Protection Status