Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi.
Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan.
Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya.
"Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua.
"Kemana?" tanyaku.
"Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja.
"Itu punyaku!" keluhku.
Immanuel tak menghiraukan soal kopi, ia kembali ke topik sebelumnya. "Mau ikut atau tidak, di sana ada pemandangan yang bagus, kalau tidak yasudah."
"Aku ikut, sudah terlalu jenuh."
Aku mengganti bajuku terlebih dahulu sebelum pergi bersama Immanuel.
Ngomong-ngomong aku penasaran, mengapa Immanuel mengajakku? Apa mungkin karena kasihan. Ya, mungkin dia kasihan melihatku yang selama seminggu ini sering mengurung diri di kamar.
Saat keluar rumah aku sedikit terkejut dengan motor sport yang ada di halaman rumahku, sebelumnya tidak pernah ada motor sport yang terparkir di sini, apalagi kendaraan milik tetangga, tak pernah ada.
Aku melirik Immanuel, ia menaikan kedua alisnya ketika pandangan kami saling bertemu, "punyamu?" tebakku.
Immanuel mengangguk kemudian berkata, "Kau terlalu sering berdiam diri di kamar hingga tak mengetahui kalau aku telah memiliki motor. Ini harganya sangat mahal," tuturnya.
"Apa orang tuamu yang membelikannya?" tanyaku penasaran.
"Aku yang membelinya sendiri."
"Aku ragu, memangnya kau kerja apa hingga bisa membeli motor mahal?"
"Kerja disebuah tempat yang sangat keren. Lain kali akan kuajak kesana jika kau mau," ucapnya.
Immanuel menyalakan motornya, bersiap-siap untuk tancap gas. Ia juga memakaikan helm untukku, sesuatu yang sebenarnya dapat kulakukan sendiri, tapi biarlah.
Setelah semua siap, kami pun pergi tak tahu mau kemana, Immanuel juga tak bertanya, ia hanya mengendarai motornya menyusuri jalan raya.
Ini malam minggu, sepanjang perjalanan terlihat banyak orang yang lalu lalang di atas trotoar. Seingatku pernah juga berjalan kaki pada malam minggu bersama Yunanda, tapi kejadiannya sudah sangat lama.
"Mau kemana?" teriakku pada Immanuel.
"Nanti juga tau," sahutnya.
Melihat begitu banyaknya makanan kaki lima disepanjang perjalanan membuatku lapar, mungkin nanti akan kuminta Immanuel untuk mampir ke beberapa tempat makan di pinggir jalan.
Angin malam menusuk tubuhku, bahkan pakaian tebal yang kukenakan tidak benar-benar berfungsi dengan baik. Motor yang Immanuel kendarai semakin melaju kencang, hal tersebut membuatku refleks memeluknya. Tidak ada sekat penghalang diantara kami, wangi parfum ditubuhnya dapat kucium, semakin tubuhku mendekat wanginya semakin menyeruak.
Kata orang, kalau tidak memiliki wajah yang tampan setidaknya memiliki aroma yang wangi, tetapi Immanuel memiliki keduanya. Dia adalah definisi paket komplit.
Akhirnya kami parkir disebuah pasar malam. Immanuel segera membawaku berjalan melewati pedagang kaki lima. Di sini jauh lebih ramai ketimbang dagangan yang kulihat di jalan tadi. Berbagai jenis makanan tertata rapih, langsung dapat kami lihat secara langsung.
Ah, melihatnya saja sudah membuatku lapar.
Pengunjung di sini juga jauh lebih ramai. Tentu saja, karena selain makanan yang menarik perhatian, beberapa spot di sini juga bisa dijadikan untuk mengambil sebuah foto.
Lebih bagus kalau kemari bersama kekasih. Kalau tidak, kau hanya akan memperhatikan orang-orang pacaran yang mengambil foto atau bergandengan tangan sepanjang melewati pasar.
Kemudian entah bisikan darimana, laki-laki di sampingku ini malah menggenggam tanganku. "Takut hilang."
Aku mendongak, melotot padanya. "Hey, yah. Aku hanya pendek, bukan tak kasat mata!" cicitku.
Immanuel tertawa kecil, "Aku hanya bergurau," ucapnya sambil mengelus rambutku.
Bolehkah aku jujur? Hatiku sedikit menghangat mendapat perlakuan semacam itu darinya. Hal yang persis dilakukan Yunanda padaku dulu. Oh, kumohon aku ingin melupakan Yunanda.
Beberapakali jariku menunjuk dagangan yang menarik perhatianku, tubuhku juga hendak pergi kesana, namun Immanuem menahanku, dia mengatakan padaku agar tidak membeli apapun dulu, ia ingin menunjukan sesuatu padaku.
Dan dengan berat hati kuiyakan.
Laki-laki ini mulai menarik tanganku ketika sudah terlihat sebuah kedai mie ayam di depan kami. Immanuel menariku masuk ke dalam kedai tersebut, pengunjungnya lumayan banyak, tapi dia membawaku ke lantai atas, menaiki puluhan anak tangga hingga sampai di lantai tiga.
Ternyat sebuah balkon di lantai tiga, ada satu meja yang ditengahnya terdapat kaca hias berisikan bunga mawar, sudah ada pula dua kursi yang seakan menyapa kami.
Immanuel pun memberikan aba-aba lewat kedua matanya, dia mempersilahkanku duduk. Aku pun tanpa ragu menurutinya.
"Kenapa hanya ada kita berdua?" tanyaku.
"Kebetulan saja tidak ada yang ingin berada di sini," jawabnya.
Serius? Balkon di lantai tiga ini adalah pemandangan terindah. Banyak lampu hias, spot menarik dan minimalis untuk mengambil foto, pemandangannya mengarah langsung keluar, menampakan aktivitas jalan warga beserta beberapa perumahan warga seakan kami bisa memonitor semuanya dari atas sini.
Tak lama seorang pelayan datang membawa dua mangkuk mie ayam, padahal kami belum memesannya, atau mungkin Immanuel yang memesannya. Tidak peduli ah, yang penting makan.
"Terima kasih," ucapku kepada pelayan laki-laki itu sebelum ia melenggang pergi.
"Mau kusuapi?" tawar Immanuel.
"Tidak perlu," singkatku.
"Kau selalu terlihat pucat selama seminggu ini, aku tidak yakin kalau kau baik-baik saja. Apa kau putus cinta dengan Yunanda?"
Sontak, aku terkejut bukan main. "Darimana kau tau kalau aku berpacaran dengannya?" tanyaku penasaran.
"Mudah saja. Saat kita memenuhi undangan, aku dapat melihat dengan jelas kalau laki-laki itu memandangimu bersamaku seperti seorang kekasih yang cemburu buta. Aku memang lebih muda darimu tapi tidak lebih bodoh."
Aku tidak pernah berpikir bahwa akan ada orang lain yang mengetahui hubungan itu selain aku dan Yunanda. Kami adalah pihak yang salah, namun sama-sama merasa tersakiti.
Walau kami telah berpisah, apakah aku dapat tenang dengan satu orang seperti Immanuel yang mengetahui hubungan terlarang antara aku dan Yunanda? Sekarang aku mulai gelisah.
"Lihat di belakangmu," kata Immanuel.
Refleks aku menoleh ke belakang. Rupanya ada sebuah petasan yang dinyalakan secara beruntun dan bersinar indah di langit. Daridulu, aku sangat senang melihat petasan, sebuah keindahan yang ingin selalu berada di langit.
Ini mengingatkanku pada momen saat masih menyewa rumah nenek Elish dulu, menonton petasan di balkon rumah saat malam tahun baru bersama Gabriel.
Apa kabar dengan anak laki-laki itu? Jika boleh, aku ingin mengunjunginya, namun aku tidak tahu dimana ia tinggal. Mungkinkah nenek Elish masih hidup, atau mungkin tidak. Aku tidak tahu. Aku juga tidak tau apakah Gabriel akan mengingatku atau tidak.
"Immanuel, apa kau membenciku?" tanyaku tanpa menatapnya.
"Tidak."
"Kalau begitu, ajaklah aku pergi ketika kau tak memiliki kesibukan."
Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s
Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K
Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon
Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk
Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la
Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k
Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te
Awal bulan ini aku menyewakan kamar di loteng karena alasan mendesak. Perusahaan yang mempekerjakanku sudah memecatku tiga bulan yang lalu, akibatnya, uang tabunganku tengah diambang sekarat. Jadi, daripada membiarkan kamar di loteng penuh debu karena tidak pernah ditempati, maka dengan ide brilian kuputuskan untuk menyewakan kamar di loteng rumahku.Tidak mudah mendapat kesempatan untuk menjadi penyewa kamar di rumahku, ini edisi terbatas penuh sayarat. Tentu saja harus ada syaratnya, karena penyewa akan tinggal satu atap denganku.Syaratnya adalah harus perempuan sekaligus seorang pelajar. Mengapa begitu? Karena seorang pelajar akan lebih mudah diatur jika dibandingkan dengan orang seumuranku atau bahkan lebih tua dariku. Aku akan menutup pintu rumah tepat pukul 10 malam, dan bukankah pelajar harus tidur pada jam tersebut?Dan mengapa harus perempuan? Karena aku ingin menghindari hal yang dapat menyebabkan Yunanda cemburu, ia selalu membabi buta setiap kali me
Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te
Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k
Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la
Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk
Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon
Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K
Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s
Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan
Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga