Share

LOVE THAT COME ONCE
LOVE THAT COME ONCE
Penulis: Kakgiwu

I. Penyewa

Penulis: Kakgiwu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Awal bulan ini aku menyewakan kamar di loteng karena alasan mendesak. Perusahaan yang mempekerjakanku sudah memecatku tiga bulan yang lalu, akibatnya, uang tabunganku tengah diambang sekarat. Jadi, daripada membiarkan kamar di loteng penuh debu karena tidak pernah ditempati, maka dengan ide brilian kuputuskan untuk menyewakan kamar di loteng rumahku.

Tidak mudah mendapat kesempatan untuk menjadi penyewa kamar di rumahku, ini edisi terbatas penuh sayarat. Tentu saja harus ada syaratnya, karena penyewa akan tinggal satu atap denganku.

Syaratnya adalah harus perempuan sekaligus seorang pelajar. Mengapa begitu? Karena seorang pelajar akan lebih mudah diatur jika dibandingkan dengan orang seumuranku atau bahkan lebih tua dariku. Aku akan menutup pintu rumah tepat pukul 10 malam, dan bukankah pelajar harus tidur pada jam tersebut?

Dan mengapa harus perempuan? Karena aku ingin menghindari hal yang dapat menyebabkan Yunanda cemburu, ia selalu membabi buta setiap kali melihatku sekedar berinteraksi dengan mahluk lain berlabel laki-laki. Kupikir itu adalah alasan yang tepat. 

Sebenarnya sudah seminggu lalu aku mengirim email mengenai menyewakan kamar di loteng kepada beberapa sekolah di sekitar wilayahku. Kemudian memajang iklan gratis pada fitur marketplace, Dan mengunggah beberapa foto kamar beserta fasilitasnya ke beberapa situs gratis. Namun hasilnya nihil, padahal kupikir akan mudah membuat orang-orang tertarik.

Kemudian dua hari yang lalu seseorang mengirim email kepadaku, dia mengatakan sudah memenuhi kriteria untuk menjadi penyewa di rumahku. Tentu saja ini sebuah kabar bahagia, akhirnya rekeningku tidak jadi diblockir oleh pihak bank, lalu kepahitan lainnya karena kekurangan uang dapat segera disudahi.

Aku melihat di halaman rumah sudah muncul sosok Eka, dia temannya Yunanda yang akan membantuku merapihkan rumah hari ini. Kehadiran Eka bukan atas keinginanku, aku bisa sekedar merapihkan rumah sendirian, tapi semenjak Yunanda mengetahui vonis dokter kepadaku, laki-laki itu jadi sangat membatasiku melalukan aktivitas yang cukup melelahkan. 

Awalnya aku menganggap perhatian Yunanda kepadaku adalah sesuatu yang normal, dari seorang laki-laki kepada kekasihnya secara umum, namun sekarang rasanya terlalu berlebihan, pekerjaan yang super ringan seperti mengangkat barang 5kg saja sudah dianggap penyiksaan bagi Yunanda ketika aku yang melakukannya.

"Halo Rain, sudah lama tidak berjumpa," Sapa Eka, kemudian memberikan pelukan hangat kepadaku. 

"Iya, sudah lama sekali. Terima kasih sudah mau datang," sambutku. 

Tak butuh waktu lama untuk berbasa-basi, kami segera pergi ke loteng dan merapikan kamar yang akan disewakan. Tidak banyak yang perlu kami bersihkan maupun tata, hanya beberapa partikel kecil dan sangat mudah, karena aku sudah merapihkan semua sebelumnya. Tapi berkat keputusan sepihak dari Yunanda, dengan mudahnya ia menugaskan Eka ke rumah. Pekerjaan yang ringan sekalipun terkesan berat. 

Tapi sungguh, Eka sampai kebingungan memberi bantuan apa, karena sebetulnya tidak ada yang begitu perlu diubah di sini. Akhirnya dia mengambil alat penyedot debu, menggunakannya untuk menyedot debu-debu yang ada di pinggiran jendela.

Aku mengecek ponselku beberapa kali, menunggu pesan dari email dengan nama Immriel. Pesan terakhirnya masih tak berubah, dua jam yang lalu. Dia tak mau meninggalkan nomor ponsel atau bahkan akun yang dapat kuhubungi, dia hanya meninggalkan sebuah foto kartu pelajar yang bagian nama dan tubuhnya ditutupi stiker. Sangat misterius, tapi itu cukup untuk menjamin bahwa dia tidak akan main-main denganku. 

"Menurutku ini lebih baik ditaruh di sudut kanan saja," Usul Eka, dengan maksud meminta izin memindahkan sebuah vas kaca berisikan bunga mawar segar yang berada dimeja belajar.

"Baiklah, taruh saja disana," kataku, seraya tersenyum kecil padanya.

Aku mengecek aplikasi w******p yang terakhir kubuka satu jam lalu, isinya hanya sebuah stiker random dari Yunanda. Jelas dia hanya ingin sedikit menggangguku menggunakan beberapa stiker populer Kwon Yuli. Sudah sekitar 2 tahun aku mendapat kiriman stiker Kwon Yuli dari Yunanda, tapi beberapa bulan yang lalu ia sering mengatakan ingin memiliki anak seperti Kwon Yuli.

Sebuah keinginan yang membuatku sedikit meringis.

"Belum ada kabar lagi dengan penyewanya?" tanya Eka.

"Aku belum menerima email apapun, padahal ia harusnya sudah sampai."

Perempuan yang mengenakan kemeja putih itu terdiam sesaat, "Coba berikan ponselmu kepadaku," pintanya. 

Dia langsung membuka emailku setelah aku memberikan ponselku padanya, lalu melakukan sesuatu. "Sudah kuduga, kau tidak terbiasa menggunakan email."

Eka mengembalikan ponselnya padaku dan betapa terkejutnya aku ketika melihat sebuah email baru, bahkan bukan hanya satu. Ya ampun, aku tidak menyegarkan emailku. 

Immriel28@g***l.com

Aku menunggu di gerbang. 

Sangat panas. Tolong segera kemari.

???

"Aku keluar dulu," kataku pada Eka. 

Email itu sudah ada sejak 30 menit lalu, sungguh ini sebuah kecerobohan yang menjengkelkan. Cuaca di luar panas, mungkin calon penyewa rumah itu sudah pergi, tapi aku berharap ia masih berada ditempat.

Aku bergerak cepat menuruni tangga, meraih pintu dan pergi keluar rumah.

Nafasku tak teratur ketika sampai di gerbang, lebih buruknya lagi sosok yang ingin kujumpai tidak ada sama sekali. Mataku melihat ke sisi kanan juga sisi kiri, mencari di sekitar rumahku sendiri. Namun, tidak ada. 

Rasanya putus asa, padahal aku sudah melibatkan Eka. Ini salahku, harusnya aku mengatakan pada calon penyewa bahwa dia wajib memberikan nomor ponsel atau nomor whatsappnya, karena aku tidak terbiasa menggunakan email.

Aku membuka kembali email-ku, mencoba memberi pesan singkat kepada email dengan username Immriel. Mengetik beberapa kalimat, memintanya datang kemari lagi dan memberi beberapa kalimat permohonan maaf. Dibanding menerima jawaban, aku sudah memutuskan untuk pasrah. 

Kaki-ku berjalan gontai menuju kursi di teras rumah. Menyesal dan kesal, perasaan itu campur aduk dalam pikiranku. Kecerobohan ini akan selalu kuingat, memberikan sebuah pelajaran agar aku bertanya mengenai cara kerja aplikasi yang jarang kugunakan. 

Kalau tidak sedang berada diluar rumah dan hanya ada aku sendirian, sudah pasti aku akan menangis sangat keras. Pupus sudah harapanku dapat menggagalkan bank memblokir rekeningku yang sudah sangat lama tidak diisi. Sekarang, biar saja jika pihak bank mau memblockir. Jangankan untuk mengisi saldo atm-ku, mengisi celengan kaleng yang berada dilemari saja sudah tidak sanggup. 

Benar-benar calon gembel.

"Atas nama Nur Rain?"

Suara serak itu memecah lamunanku. Seorang laki-laki tampan berkaos putih, celana jenis trening dan memakai tas ransel merk Adidas dipunggungnya. Dia sangat tampan, namun aku tidak mengenalnya.

"Saya tidak memiliki paket," sahutku. 

"Apa saya salah rumah? Tapi atas nama Nur Rain memberikan alamat ini kepada saya," tuturnya.

"Saya memberikan alamat pada anda, atas dasar apa saya memberikan alamat saya kepada anda? Sudah saya bilang kalau saya tidak memiliki paket," tegasku. 

"Maaf, saya bukan tukang paket. Saya mau membicarakan mengenai sewa kamar dengan seseorang atas nama Nur Rain," jelasnya. 

Mulutku mendadak kaku "Immriel?"

Kemudian laki-laki yang wajahnya terlihat lebih muda dariku itu mengangguk dengan ekspresi datar. Aku sudah sangat kelewatan. Entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang, aku sedikit gelisah.

"Mari masuk," ajakku dengan ekspresi kaku.

Laki-laki itu mengekoriku memasuki rumah setelah aku berjalan lebih dulu, ia tak bicara sepatah kata apapun. Sesekali ia tampak memperhatikan setiap bagian yang ia lewati saat kami hendak berjalan menuju lantai atas. Entah itu dinding, lemari, sofa, meja makan, dapur, bahkan aku melihat matanya memperhatikan pakaian dalam yang belum sempat kumasukkan ke kamar. 

Ah, malu sekali!

Sesampainya di loteng, Eka spontan menyingkir, berdiri ke pinggir saat menyadari kehadiranku yang baru saja membukakan pintu kamar. 

"Oh, sudah ada ya. Kalau begitu aku pulang ya Rain," pamitnya. 

"Terima kasih ya Eka," kataku sebelum  Eka benar-benar pergi keluar.

Kini perhatianku sepenuhnya untuk laki-laki di hadapanku "Maaf sebelumnya sudah membuatmu menunggu, aku benar-benar mengalami kendala dengan email, karena aku jarang sekali mengirim pesan lewat email," jelasku. 

"Bukan masalah. Langsung saja ke intinya," ketusnya.

Sesaat, aku menelan salivaku "Jadi, seperti yang kuinformasikan lewat email dan beberapa sosial media, aku menyewakan sebuah kamar di loteng rumahku. Aku memberikan fasilitas makanan gratis dan fasilitas seperti televisi, air, listrik, serta fasilitas tambahan lainnya yang ada di kamar, secara gratis. Bahkan kau boleh menikmati beberapa fasilitas di lantai satu secara gratis," jelasku.

Bukannya bertanya lebih lanjut, laki-laki itu lebih memilih melihat-lihat setiap sudut pada kamar seakan tidak membutuhkan keterangan lainnya dariku. Mata sipitnya tampak jeli. 

"Itu siapa?" Pertanyaan asal itu membuat mataku beralih pada sebuah foto di dalam lemari kaca. 

"Itu aku dan Gabriel, fotonya diambil saat aku masih SMP."

"Dia siapamu?"

"Cucu dari pemilik rumah yang kusewa dulu, dia sudah seperti adik bagiku."

Kulihat ia mengangguk tenang, "kirim rekeningmu ke emailku, aku akan membayar biaya sewa lima bulan. Hari ini juga aku akan menempati kamar ini."

Diluar dugaanku, ternyata deal-nya akan secepat ini. 

"Aku akan mengirim nomornya lewat email," ujarku.

"Setelah itu aku sudah boleh tinggal disini kan?" 

"Maksudmu, teman atau sepupumu yang akan tinggal disini?! Tentu saja setelah transaksi selesai, kamar bisa langsung ditempati."

Dia mengernyit heran "Kapan aku mengatakan teman atau sepupu?"

Pada detik selanjutnya aku terdiam mematung. Jadi apa? Bukankah sudah kucantumkan syarat menyewa di rumahku. Apa maksudnya sudah sesuai kriteria? sudah jelas kalau dia seorang laki-laki padahal yang kuinginkan seorang perempuan!

Ya Tuhan, tolong beri aku perempuan sebagai penyewa kamar di loteng rumahku. Bukan seorang laki-laki. Kuulangi sekali lagi, seorang perempuan. Bukan mahluk berlabel laki-laki!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • LOVE THAT COME ONCE   II. Istri

    Sebelum kehilangan pekerjaan, aku adalah seorang perempuan yang cukup bergelimang uang, bukan hanya uang dari gajiku saja, uang dari Raka juga mengisi penuh amplop-amplop dilaciku.Sejujurnya tanpa menyewakan kamar di loteng pun tidak benar-benar membuatku kekurangan uang, namun aku mulai mengumpulkan uang yang rutin Yunanda berikan padaku, akan kukembalikan suatu hari nanti. Aku hanya ingin menggunakan uang hasil usahaku sendiri."Hey, ayo turun. Kita makan bersama," ajakku dari ambang pintu kamar di lantai dua kepada laki-laki yang sedang memainkan ponsel di atas ranjangnya.Kedua mata itu melirikku tajam "Panggil saja Immanuel. Jangan memanggilku seakan tak punya nama," ucapnya sedikit kesal."Ya, maaf. Ayo turun Immanuel, aku belum melihatmu makan sejak semalam."Kemarin, secara terpaksa kuputuskan untuk menerima Immanuel sebagai penyewa kamar, mengapa demikian? Tentu saja karena uang. Aku tak bisa menjamin dapat menemukan calon penyewa baru ap

  • LOVE THAT COME ONCE   III. Mengandung

    Berkat Haura, perempuan yang kemarin tanpa sengaja bertemu denganku di kedai kopi setelah sekian lama, aku harus mempersulit diri agar sempurna saat memenuhi undangannya.Seperti yang orang lain tahu, Haura adalah istri sah dari Yunanda. Mereka sudah menikah sejak 3 tahun yang lalu.Mungkin orang-orang akan benci ketika mengetahui fakta ini, lebih tepatnya faktaku yang menjalani hubungan dengan laki-laki yang telah beristri, lalu aku harus apa kalau sudah begini?Hubunganku dengan Yunanda tidak bisa diputuskan begitu saja. Kami sudah memikirkannya dua tahun yang lalu, semua resiko dan yang akan terjadi kedepannya. Kami sudah mengambil keputusan, yaitu tetap bersama.Tak peduli apa kata orang, lagipula bukan orang lain yang menjalani hubungan ini, tidak ada yang lebih memahami tentang ini selain kami."Halo Jimmy, apa kau sibuk hari ini?" tanyaku pada orang di balik ponsel setelah panggilan dariku diangkatnya."Iya, ada bany

  • LOVE THAT COME ONCE   IV. Up to you

    Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga

  • LOVE THAT COME ONCE   V. Bersinar di langit

    Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan

  • LOVE THAT COME ONCE   VI. Nuansa Alam

    Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s

  • LOVE THAT COME ONCE   VII. Rabu

    Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K

  • LOVE THAT COME ONCE   VIII. IT

    Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon

  • LOVE THAT COME ONCE   IX. Web developer

    Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk

Bab terbaru

  • LOVE THAT COME ONCE   XII. Teror

    Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te

  • LOVE THAT COME ONCE   XI. Jumpa lagi

    Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k

  • LOVE THAT COME ONCE   X. Lahan Kosong

    Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la

  • LOVE THAT COME ONCE   IX. Web developer

    Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk

  • LOVE THAT COME ONCE   VIII. IT

    Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon

  • LOVE THAT COME ONCE   VII. Rabu

    Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K

  • LOVE THAT COME ONCE   VI. Nuansa Alam

    Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s

  • LOVE THAT COME ONCE   V. Bersinar di langit

    Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan

  • LOVE THAT COME ONCE   IV. Up to you

    Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga

DMCA.com Protection Status