Berkat Haura, perempuan yang kemarin tanpa sengaja bertemu denganku di kedai kopi setelah sekian lama, aku harus mempersulit diri agar sempurna saat memenuhi undangannya.
Seperti yang orang lain tahu, Haura adalah istri sah dari Yunanda. Mereka sudah menikah sejak 3 tahun yang lalu.
Mungkin orang-orang akan benci ketika mengetahui fakta ini, lebih tepatnya faktaku yang menjalani hubungan dengan laki-laki yang telah beristri, lalu aku harus apa kalau sudah begini?
Hubunganku dengan Yunanda tidak bisa diputuskan begitu saja. Kami sudah memikirkannya dua tahun yang lalu, semua resiko dan yang akan terjadi kedepannya. Kami sudah mengambil keputusan, yaitu tetap bersama.
Tak peduli apa kata orang, lagipula bukan orang lain yang menjalani hubungan ini, tidak ada yang lebih memahami tentang ini selain kami.
"Halo Jimmy, apa kau sibuk hari ini?" tanyaku pada orang di balik ponsel setelah panggilan dariku diangkatnya.
"Iya, ada banyak pekerjaan hari ini. Memangnya ada apa, Rain?" tanya Jimmy kembali. Dia adalah rekan kerjaku dulu, sebenarnya kami tidak begitu dekat.
"Tadinya aku ingin memintamu menemaniku disebuah acara," jawabku.
"Maaf Rain, tapi aku tidak bisa," tolaknya.
"Tidak apa-apa. Terima kasih ya atas waktunya," putusku.
Untuk kesekian kalinya aku menghela nafas putus asa setelah panggilan lagi-lagi kuputuskan tanpa mendapat apa-apa. Pesta akan dimulai malam ini, tepatnya 2 jam lagi, tetapi aku tidak memiliki teman yang dapat kuajak kesana.
Kedatanganku untuk memenuhi undangan akan dirasa gagal jika tidak terlihat membawa teman agar orang lain menganggapnya pasanganku.
Immanuel baru saja datang, laki-laki itu memandangiku dari bawah ke atas.
"Apa?" desisku.
Dia duduk di sampingku kemudian menjawab, "Kau lumayan juga."
"Pacarku selalu memujiku juga" timpalku.
"Iya, tapi masih lebih besar punya Veron."
Mataku melotot bingung. "Apanya yang besar?"
"Yang dua itu. Kalau tidak keberatan, tolong fotokan dan kirim padaku lewat email" ucapnya.
Spontan aku melirik persis pada kedua buah dadaku, lalu menatap Immanuel yang tersenyum padaku. "Kurang ajar!"
Dia tertawa kecil, "Lupakan saja, aku hanya bercanda."
Aku ingin marah, tapi kuurungkan niatku karena memiliki niat lain yang jauh lebih penting.
"Apa hari ini kau sibuk?"
"Tidak juga."
"Bisa menemaniku ke sebuah acara?"
"Tidak."
"Ayolah, disana akan ada banyak makanan enak. Diadakannya di hotel bintang lima."
Ia mendengus kesal. "Kau kira aku terlalu miskin untuk sekedar membeli makanan mahal dan pergi menikmati hotel bintang lima? Aku bisa kemana pun jika memang menginginkannya.".
"Baiklah kalau tidak mau."
"Memangnya pacarmu kemana?"
"Sibuk."
"Kalau begitu aku akan menemanimu."
* * *
Kali ini aku memakai dress berwarna abu, tas berwarna senada dan sepatu kaca. Sedangkan Immanuel, memakai kemeja putih, dilengkapi jas abu, sneakers berwarna putih dan sedikit bergaya dengan kaca mata hitamnya.
Bukankah penampilan Immanuel sudah mendeskripsikan rapih dan keren?! Dia cocok dengan pakaian itu, wajah tampannya semakin menonjol.
Kami baru saja sampai di lobi hotel, bergandengan tangan seperti sepasang kekasih, melewati banyak tamu undangan yang memandangi kami untuk waktu yang lama. Mungkin karena kami paling menonjol dari tamu yang di dominasi oleh orang berumur 25 tahun lebih.
Atau lebih tepatnya orang-orang memandangi kami karena wajah Immanuel. Jika kalian melihat parasnya detik ini, matamu akan tanpa sadar tidak berkedip untuk waktu yang lama.
Immanuel adalah perpaduan dari sangat tampan dan muda.
Seluruh tubuhku sedikit gugup dan Immanuel dapat merasakan itu dari tangan kami yang saling menggandeng. Laki-laki itu mengelus tanganku, tetapi jangan salah paham, ini bagian dari pura-pura, agar orang mengira bahwa kami sepasang kekasih yang sangat ideal.
Saat memasuki ruangan utama, di mana semua para tamu berkumpul, aku kesulitan untuk mencari meja kosong. Ada banyak kursi kosong tetapi aku tidak mengenal orang-orang di sebelahnya.
Satu hal yang perlu diketahui, tamu di sini hampir sepenuhnya adalah orang-orang yang terjun di dunia politik. Dan Haura adalah anak bungsu sekaligus salah satu pewaris Neo Group, sebuah perusahaan sekaligus label bisnis yang memiliki terobosan dibanyak bidang. Tak hanya itu, Ayahnya juga seorang ketua dari partai politik yang terkenal.
Mau tau tentang Yunanda? Dia adalah salah satu anggota DPR yang dipastikan memiliki karier cerah di dunia politik. Semua itu tak lain atas dukungan dari Haura dan ayahnya.
"Rain!" Panggil seseorang, antusias.
Aku menoleh ke sumber suara, ternyata ia Haura, perempuan yang mengundangku kemari. "Halo Kak."
"Tampan sekali pacarmu," pujinya.
"Iya" sahutku ramah.
Haura menarik lenganku, membawaku menuju salah satu meja yang berada di dekat panggung. Sesuatu yang telah berada di sana membuatku menghela nafas panjang, itu meja Haura, di sana sudah ada Yunanda, suaminya.
Tatapan Yunanda padaku tidak baik-baik saja, kurasa ia akan murka setelah melihaku menggandeng Immanuel. Ditambah Immanuel yang kemudian mengenggam tanganku erat, seakan kami benar-benar pasangan yang nyata.
"Ayo duduk," Persilahkan Haura pada aku dan Immanuel. Kami pun duduk tanpa penolakan.
"Halo kak," sapaku pada Yunanda.
"Iya," sahutnya ketus.
Aku melirik Yunanda sekilas lagi, ia juga memperhatikanku juga dengan pandangan penuh kesal, sudah seperti sengatan listrik. Aku tahu Yunanda, dia sangat posesif, tidak pernah suka aku bersama laki-laki lain apalagi bersentuhan.
Yunanda sering berkata, aku itu miliknya, tidak boleh ada laki-laki lain yang menyentuhku selain dia. Jadi, bisa dibayangkan betapa kesalnya ia sekarang.
"Kau cantik sekali seperti biasanya," ucap Immanuel padaku, aku tahu kalau ini bagian dari pura-pura.
"Kau juga tampan," balasku seraya tersenyum lembut.
Setelah dialog antara aku dan Immanuel, kulihat Yunanda melakukan hal yang sama pada Haura. Yunanda menggenggam tangan Haura, menciumnya lalu berkata "Kamu yang paling cantik di ruangan ini," pujinya.
Bohong jika aku bilang baik-baik saja setelah mendengar pujian Yunanda pada Haura, aku sangat cemburu. Bukankah aku perempuan yang sangat ia cintai, kenapa sekarang aku merasa dibodohi?
Namun aku sadar akan posisiku. Memangnya aku ini siapa? Hanya kekasihnya.
Acara hari ini di mulai oleh seorang MC terkenal. Ada banyak pertunjukan, entah itu nyanyian dari musisi terkenal atau tarian tradisional. Mereka pasti mengeluarkan banyak uang untuk mengundang bintang tamu sebagus itu.
Immanuel sangat menikmati pertunjukan-pertunjukan yang ada, tetapi aku memiliki gangguan untuk sekedar menikmati pertunjukan. Ketika Haura sama halnya dengan Imanuel Immanuel, di sisi lain Yunanda seperti sangat kacau. Ia tak terlihat menikmati sama sekali, padahal musisi yang tengah menyanyi di panggung adalah idolanya.
Bisa kulihat kekesalan dalam ekspresinya. Astaga Rain, kau sedang dalam masalah besar.
Pertunjukan kesenian atau pertunjukan dari artis sebenarnya bukan hal yang paling utama di sini, melainkan pidato dari ketua partai adalah hal paling utama. Dan sekarang bagian paling utama.
Para tamu termasuk aku menunggu saat-saat ini. Ketua partai sekaligus Ayah dari Haura akan menyampaikan pidato di depan panggung. Harusnya begitu jika dilihat dari undangan yang tertera, tapi malah Haura yang mengisi sesi ini.
Perempuan itu maju ke panggung sambil tersenyum. Mengambil mic dari MC yang malah menatapnya bingung.
"Sebelumnya aku ingin meminta maaf karena telah mengisi sesi ini yang harusnya diisi oleh Ayahku. Satu jam lalu aku meminta izin pada Ayahku selaku ketua Partai sekaligu ketua Neo Group. Maksudku di sini ingin memberitahu," ucapnya, dijeda.
Aku melirik Yunanda, ia juga balik melirikku. Kami sama-sama penasaran.
Haura menarik nafasnya panjang, ia tersenyum bahagia kemudian lanjut berbicara, "Aku tengah mengandung."
Semua orang yang berada di ruangan ini tersenyum lalu tepukan tangan terdengar dari sebagian besar tamu, ketua Neo Group yang duduk paling depan juga ikut tersenyum bahagia. Mereka telah merencanakan pengumuman ini, lalu sekarang apa?
Aku hancur saat menyadari bahwa anak yang dikandung Haura adalah anaknya Yunanda. Bukankah Yunanda hanya mencintaiku bukannya Haura.
Bajingan!
Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga
Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan
Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s
Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K
Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon
Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk
Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la
Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k
Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te
Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k
Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la
Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk
Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon
Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K
Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s
Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan
Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga