Share

II. Istri

Penulis: Kakgiwu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sebelum kehilangan pekerjaan, aku adalah seorang perempuan yang cukup bergelimang uang, bukan hanya uang dari gajiku saja, uang dari Raka juga mengisi penuh amplop-amplop dilaciku.

Sejujurnya tanpa menyewakan kamar di loteng pun tidak benar-benar membuatku kekurangan uang, namun aku mulai mengumpulkan uang yang rutin Yunanda berikan padaku, akan kukembalikan suatu hari nanti. Aku hanya ingin menggunakan uang hasil usahaku sendiri.

"Hey, ayo turun. Kita makan bersama," ajakku dari ambang pintu kamar di lantai dua kepada laki-laki yang sedang memainkan ponsel di atas ranjangnya.

Kedua mata itu melirikku tajam "Panggil saja Immanuel. Jangan memanggilku seakan tak punya nama," ucapnya sedikit kesal.

"Ya, maaf. Ayo turun Immanuel, aku belum melihatmu makan sejak semalam."

Kemarin, secara terpaksa kuputuskan untuk menerima Immanuel sebagai penyewa kamar, mengapa demikian? Tentu saja karena uang. Aku tak bisa menjamin dapat menemukan calon penyewa baru apalagi sampai deal, itu hal yang sangat sulit. 

Sedangkan Immanuel, tanpa berpikir berhari-hari, ia langsung membayar biaya sewa selama 5 bulan. Sungguh luar biasa, pasti dia anak orang kaya, atau sudah memiliki bisnis diusia muda. Pikirku, mengapa tidak menyewa apartemen saja?

Ah sudahlah, uangnya sudah terlanjur kukantongi.

Kira-kira sudah lebih dari lima kali aku memanggilnya agar turun ke lantai bawah untuk makan bersama, lima kali juga aku diabaikan tanpa mendapat respon darinya. Kemarin malam, makanan yang kusediakan dimeja tidak disentuh sama sekali olehnya. Apa dia benci menu makanan yang kusediakan, atau malah tidak tertarik sama sekali? 

Ada setumpuk sampah bekas minuman kaleng dan beberapa kemasan makanan ringan berukuran jumbo ditempat sampah yang berada di depan pintu kamarnya, dia lebih memilih camilan daripada makanan yang kusediakan. Mungkinkah karena dia anti nasi, tidak mau memakan daging atau anti makanan berminyak? Makanan yang kubuat memang tidak begitu sehat terkecuali brokoli kukus.

Wajar saja kalau tidak sehat, namanya juga makanan instan. Sepertinya lain kali harus ikut kursus memasak. 

"Kenapa kemarin kau tidak makan?," tanyaku pada Immanuel yang sudah berada dimeja makan bersamaku. 

"Saat melihat begitu banyak kemasan makanan instan dikulkas, selera makanku jadi berkurang. Bahkan robot pun pandai memasak, dan kau sebagai manusia tidak bisa melakukannya."

"Memangnya kau pernah melihat robot memasak?!" kataku meragukan. 

"Aku pernah pergi ke festival robot. Ada sebuah robot yang dapat memasak berbagai menu, meski hanya beberapa menu, tapi rasanya seperti buatan rumahan," ungkapnya.

"Rupanya aku kalah saing dengan sebuah robot," gumamku.

"Bukan masalah dengan rasa, aku bisa memakan semuanya ketika lapar."

Immanuel mulai mengeruk nasi dan lauk pauknya satu persatu. Dia memasukan begitu banyak ke dalam piring, hanya menyisakan beberapa porsi makanan untukku. 

Bukan masalah, porsi makanku memang sedikit.

"Jangan lupa berdo'a, baca bismillah!" Aku mengingatkannya saat ia hendak memasukan paha ayam ke dalam mulutnya. 

"Untuk apa?" Pertanyaan Immanuel membuatku heran.

"Tentu saja berterima kasih dan sebagai bentuk rasa syukur karena dapat makan," jelasku.

Immanuel tak berbicara lagi, dia malah terdiam.

Aku mengabaikannya, mengangkat kedua tangnku lebar-lebar seraya menunduk penuh hayat. Membaca do'a makan menggunakan bahasa Arab, ditambah beberapa patah kalimat dalam bahasa Indonesia yang kurangkai sendiri. Setelah selesai berdo'a, aku meraih alat makan, mengambil beberapa makanan ke dalam piringku. Immanuel sendiri sudah makan lebih dulu. 

"Kau bukan muslim ya?!" Suaraku menghentikan geraknya.

"Bukan."

Rupanya begitu.

Sekarang aku merasa tak enak karena sembarangan menyuruh orang lain berdo'a layaknya aku berdo'a dalam agamaku. Padahal aku belum tahu agamanya, dan belum tentu semua orang itu muslim. Bahkan saat aku SMA dulu, ada banyak murid non muslim.

Nama Immanuel juga biasanya digunakan oleh orang-orang yang bukan beragama muslim. Aku harap Immanuel tidak mempersoalkan hal ini, kenyamanannya di rumahku adalah hal yang harus kujamin.

"Siang ini aku akan pergi, kunci cadangannya akan kutaruh di pot bunga," ujarku dengan harapan mengalihkan keheningan.

"Iya," ketusnya.

*    *   *

Siang harinya aku pergi ke kedai kopi terdekat dari rumahku, ini tempat langgananku. Aku biasa datang kemari saat mendekati jam istirahat kedai, bukan tanpa sebab, semua pegawai di sini yang jumlahnya 3 orang adalah temanku. 

Dulu, aku sering kemari sendirian untuk meminum kopi hingga sore, kadang-kadang sampai kedainya tutup. Semua pegawai di kedai ini sudah tak asing denganku, Nur Rain, gadis yang menghabiskan banyak gelas kopi sambil mengamati sosial media lewat laptop berwarna abu-abu. 

Tapi untuk sekarang porsi minum kopiku jauh lebih sedikit, mungkin segelas pun tak habis. Meski begitu, para pegawai tidak keberatan akan hal tersebut. Mereka selalu menerima kedatangku dengan penuh antusias. 

"Akhirnya datang juga," ujarku saat kak Mimi duduk untuk menemaniku. 

"Jangan kebanyakan minum kopi, tidak sehat," bisiknya. 

"Hanya kali ini saja," kataku, ikut berbisik. 

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan penyakitmu, apa sudah mendapatkan titik terang?" tanya kak Mimi penasaran. 

"Entahlah, aku hanya menghubungi dokter untuk konsultasi dan selalu meminum obat sesuai anjurannya."

"Kau harus sembuh, Rain. Bukankah tahun depan menjadi targetmu untuk menikah?!" serunya. 

Ucapan kak Mimi membuatku teringat. Saat SMA, aku selalu mencatat semua targetku. Dimulai dengan membuka rekening, membeli sepedah motor, membeli mobil, membeli rumah, kemudian menikah diusia 23 tahun. 

Ada orang yang mencintaiku, dia juga ingin menikahiku, tetapi entah kapan. Apakah aku akan lebih dulu menikah atau lebih dulu menemui kematian?

"Apa kau sudah membicarakannya dengan kekasihmu? Yang namanya Yunanda itu," sambungnya.

"Aku---"

TING 

Suara bel yang digantung dia atas pintu membuat obrolanku dan kak Mimi terjeda. Seorang perempuan yang mengenakan pakaian super rapih itu mengalihkan perhatian kami, sementara itu aku merasa tak asing dengannya.

"Aku ingin kopi paling spesial yang ada di kedai ini, tolong bawakan ke mejaku."

Nada bicaranya santai namun seperti memekik, dan ketika ia berbalik, aku bisa melihat wajah yang tak asing lagi.

Kali ini dia melihat ke arahku "Rain."

Setengah jiwaku tiba-tiba terasa melayang dalam waktu yang singkat.

Dia bergerak mendekat, kak Mimi yang menyaksikan itu perlahan mundur meninggalkanku. Semakin mendekat, semakin mencekam. Dan entah mengapa udara di ruangan ini tiba-tiba terasa sangat panas.

"Kau Rain 'kan. Masih ingat aku?"

"Oh iya," kataku gugup. 

Itu Haura, perempuan yang tak pernah asing bagiku meski kami hanya pernah bertemu 3 kali. Hubungan antara aku dan dia tidak begitu akrab, aku kaget ia bisa mengingatku padahal kami tidak pernah dekat sebelumnya.

Sekarang, ia duduk persis di hadapanku. "Sudah lama sekali tidak berjumpa, terakhir kali kita berinteraksi saat melakukan kegiatan sosial tahun lalu," tuturnya. 

"Aku masih mengingatnya dengan sangat baik," timpalku. 

"Tentu saja kau akan mengingatnya, apalagi mengingat suamiku. Dialah yang selalu membawamu ikut serta dalam kegiatan sosial kami, maka aneh ketika kau tidak pernah terlibat lagi. Apakah kau dan Yunanda putus hubungan?" Kalimat itu membuatku gugup bukan main. "Maksudku putus kontak," ralatnya.

"Tidak putus kontak, hanya sama-sama sibuk untuk sekedar saling menghubungi," jawabku.

"Kau benar sekali, Yunanda terlalu sibuk bahkan untuk sekedar menghubungiku. Akan menjadi sebuah pertanyaan jika dia selalu menghubungimu tapi jarang menghubungiku, dia itu suamiku atau suamimu," Ia tertawa diakhir kalimatnya, tapi tidak denganku. "Maaf, aku hanya bergurau."

"Tidak apa-apa," ucapku.

"Sebelumnya aku tidak pernah menduga bahwa kita akan bertemu, ini sebuah kebetulan. Aku juga ingin mengobrol panjang lebar denganmu, tapi hari ini urusanku cukup padat. Jika tidak keberatan, aku akan mengundangmu ke pesta milik keluargaku."

"Pesta apa?" tanyaku.

"Neo Group, milik Ayahku."

"Semoga aku bisa," kataku. 

"Aku tidak suka penolakan, Rain. Datanglah untuk mengormatiku dan suamiku, Yunanda."

Bab terkait

  • LOVE THAT COME ONCE   III. Mengandung

    Berkat Haura, perempuan yang kemarin tanpa sengaja bertemu denganku di kedai kopi setelah sekian lama, aku harus mempersulit diri agar sempurna saat memenuhi undangannya.Seperti yang orang lain tahu, Haura adalah istri sah dari Yunanda. Mereka sudah menikah sejak 3 tahun yang lalu.Mungkin orang-orang akan benci ketika mengetahui fakta ini, lebih tepatnya faktaku yang menjalani hubungan dengan laki-laki yang telah beristri, lalu aku harus apa kalau sudah begini?Hubunganku dengan Yunanda tidak bisa diputuskan begitu saja. Kami sudah memikirkannya dua tahun yang lalu, semua resiko dan yang akan terjadi kedepannya. Kami sudah mengambil keputusan, yaitu tetap bersama.Tak peduli apa kata orang, lagipula bukan orang lain yang menjalani hubungan ini, tidak ada yang lebih memahami tentang ini selain kami."Halo Jimmy, apa kau sibuk hari ini?" tanyaku pada orang di balik ponsel setelah panggilan dariku diangkatnya."Iya, ada bany

  • LOVE THAT COME ONCE   IV. Up to you

    Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga

  • LOVE THAT COME ONCE   V. Bersinar di langit

    Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan

  • LOVE THAT COME ONCE   VI. Nuansa Alam

    Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s

  • LOVE THAT COME ONCE   VII. Rabu

    Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K

  • LOVE THAT COME ONCE   VIII. IT

    Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon

  • LOVE THAT COME ONCE   IX. Web developer

    Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk

  • LOVE THAT COME ONCE   X. Lahan Kosong

    Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la

Bab terbaru

  • LOVE THAT COME ONCE   XII. Teror

    Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te

  • LOVE THAT COME ONCE   XI. Jumpa lagi

    Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k

  • LOVE THAT COME ONCE   X. Lahan Kosong

    Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la

  • LOVE THAT COME ONCE   IX. Web developer

    Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk

  • LOVE THAT COME ONCE   VIII. IT

    Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon

  • LOVE THAT COME ONCE   VII. Rabu

    Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K

  • LOVE THAT COME ONCE   VI. Nuansa Alam

    Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s

  • LOVE THAT COME ONCE   V. Bersinar di langit

    Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan

  • LOVE THAT COME ONCE   IV. Up to you

    Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga

DMCA.com Protection Status