Share

IV. Up to you

Author: Kakgiwu
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai. 

Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku.

"Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.

Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku.

"Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya. 

"Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetanggaku saja tidak ada yang tau," cicitku. 

"Dia menggunakan mobil mewah berwarna putih, pakaiannya rapih dan ya... Wajahnya lumayan walau tak setampan diriku."

Omong kosong. Aku bahkan tak pernah memberitahu soal hubunganku dan Yunanda kepada siapapun. Jika itu memang Yunanda, aku tak bisa terang-terangan berinteraksi dengannya di depan Immanuel.

"Apa kau membukakan pintu untuknya?" tanyaku. 

"Tidak. Aku hanya melihatnya dari jendela di atas."

"Tolong diam di kamarku dulu, dan jangan keluar sampai aku memanggilmu," pintaku.

"Kuberi waktu 30 menit, setelah itu aku tak peduli boleh atau tidak, aku akan keluar dari kamar sesuai kemauanku."

"Satu jam?" tawarku. 

"30 menit atau tidak sama sekali."

"Baiklah."

Aku segera berlari menuju pintu utama rumah, tapi sebelum membukanya, aku menyeka sisa-sisa air mataku terlebih dahulu.

Pintu dibuka, dan memang benar itu Yunanda. Dia berdiri dengan wajah sedih di hadapanku, tak sampai sedetik, kurasakan pelukan hangat ditubuhku. 

Aroma parfum yang sudah lama tak menyapa indera penciumanku, akhirnya dapat dipertemukan lagi. Aku rindu Yunanda, aku rindu aroma tubuhnya, aku lebih rindu lagi pada sentuhannnya. 

Bagaimana bisa aku berpisah dengan laki-laki yang memelukku seakan tidak pernah mau melepaskanku. Terlalu sering bersamanya membuatku sulit berpisah dengannya.

Aku melepas pelukan Yunanda dari tubuhku "ayo bicara di dalam," ajakku. 

Kami memasuki rumah dan duduk di sopa yang sama. Ia memelukku lagi, kali ini lebih erat dan aku seperti bisa merasakan apa yang ia rasakan. Raka sangat mencintaiku, aku pun begitu.

"Selamat," ucapku tanpa keterangan lebih jelas.

"Kau marah padaku, kenapa tak membalas pesanku?" tanyanya. Aku tahu Yunanda memahami ucapanku tadi, tapi dia tidak ingin memperpanjangnya, jadi ia mengalihkan pembicaraan. 

"Entahlah, mungkin nanti akan kututup semua akses komunikasi denganmu," kataku sambil tersenyum pedih.

"Aku tidak akan membiarkannya. Jangan mengabaikan pesanku lagi, aku bisa bertindak lebih jauh," jelasnya. 

"Tapi kau akan segera memiliki seorang anak. Aku yakin, perlahan-lahan kau akan melupakanku."

"Tidak akan pernah, aku akan selalu ada untukmu. Bukankah kita sudah membuat rencana bersama untuk lima tahun ke depan, kau hanya perlu menunggu sebentar lagi."

"Tapi---"

Yunanda menempelkan jari telunjuknya tepat dibibirku, tak membiarkanku berbicara lagi. "Percaya padaku."

Kemudian ia melumat bibirku, pelan-pelan, aku mulai tergoda dengan permainan bibirnya. Aku juga merindukan yang satu ini.

Kami saling membalas ciuman hingga tanpa sadar tanganku sudah mengalung pada lehernya. Tempo ciuman kami semakin cepat, ia menelusuri lidahku, dan yang kurasakan saat ini adalah menginginkannya lagi dan lagi. 

Lalu dia beralih ke leher, melumat dan mengemutnya hingga aku sedikit mengeluarkan desahan. Tanggannya mulai berkeliaran pada kedua buah dadaku, sedikit meremasnya. 

Dan ketika tangan yang satu mulai mengusap lembut bagian inti yang masih tertutupi celana pendek, aku segera mendorong Raka dari tubuhku. Adegannya akan semakin panas jika terus kubiarkan. 

"Jangan lagi," pekikku.

Sekarang posisi tubuhnya sedikit menjauh dariku.

"Siapa yang datang bersamamu waktu itu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. 

"Itu tidak penting lagi."

"Tentu saja itu penting karena kau adalah milikku."

"Tapi kau bukan milikku," sentakku. 

Yunanda terdiam, sedangkan aku mulai menangis tanpa suara. Aku mengingat kejadian kemarin dengan baik, saat Haura mengumumkan kebahagiaannya. Seorang anak yang tengah dikandungnya, suatu hari nanti juga bisa menjadi penguat hubungannya bersama Yunanda.

Sepertinya hubungan kami memang cukup sampai di sini. Rencana masa depan yang sudah kami atur, perjuangan yang sempat kami bicarakan, sekarang semua hanya sekedar harapan yang tak akan kami wujudkan. 

Pada titik ini aku telah menyerah, aku sudah tak ingin melanjutkannya lagi. Mungkin kali ini Yunanda menerima keputusanku, dia sudah pasrah dengan hubungan kami yang kandas hari ini.

"Mari kita akhiri ini."

"Up to you."

*   *   *

Malam ini Immanuel tak pulang, harusnya ia sudah berada di rumah tepat pukul 10, tapi aku menunggunya hingga jam 12, masih tidak muncul juga batang hidungnya. 

Ini bukan karena aku mengkhawatirkanya, aku lebih mengkhawatirkan jam tidurku. Tetapi dia adalah penyewa di rumahku yang kebetulan tidak membawa kunci cadangan. 

kemana perginya anak itu sampai tengah malam minggu begini, apa dia sedang menghabiskan malam minggu dengan kekasihnya? 

6 jam lalu, sebelum ia pergi, aku sempat mendengarnya berbicara dengan seorang perempuan, setelah panggilan selesai ia pun langsung pergi meninggalkan rumah. mungkin itu pacarnya.

Aku juga pernah muda, pernah juga menghabiskan seharian penuh dengan Raka, namun setidaknya dia minta izin dariku agar aku tak perlu menunggunya. karena aku menganggap normal remaja yang pergi saat malam minggu, toh itu urusan pribadi. 

Beberapa kali aku mengirimnya email, namun tak ada balasan. lagi-lagi aku lupa meminta nomor whatsappnya. 

Keadaan di luar hujan, tidak begitu deras. Apa Immanuel akan menginap di rumah temannya?

Tok Tok Tok Tok

Suara pintu diketuk, ketukannya seperti tengah menggerutu, ingin segera di bukakan pintu. Pikiranku mengatakan bahwa itu adalah Immanuel. 

"Iya," ujarku setelah membukakan pintu. 

Ada seorang gadis berpakaian casual yang membopong laki-laki seumurannya dengan susah payah. Dia cantik, tapi raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan keramahan.

"Tolong bawa Gabriel masuk, di luar dingin," ucap gadis itu kepadaku. 

"Gabriel?"

"Iya," ketusnya.

Akhirnya, aku pun membantu membopong Immanuel menuju sopa. Kami merasa tidak cukup kuat membawanya ke lantai atas. 

Sekali lagi, raut wajahnya benar-benar tak ramah. Ia terlihat tak menyukaiku atau mungkin dia memang begitu. Kurasasa dugaan kedua adalah yang paling tepat. Aku tak pernah melihat orang itu sebelumnya, jadi mana mungkin ia tak menyukaiku. 

"Tolong jaga dia," titipnya.

"Jangan khwatir, aku sudah menganggapnya sebagai adikku," kataku. 

"Sungguh?" Dia memandangiku ragu, "Apakah kau tau dia menganggapmu apa?" tanyanya. 

"Maksudmu?" Aku bertanya balik.

"Sebenarnya dia itu..."

"Apa?" sentakku menuntut penjelasannya. 

"Lupakan saja," putusnya.

Dia mengabaikanku, dan tanpa sopan santun hendak pergi dari rumahku tanpa pamitan. Tidak tahu didikan!

"Siapa namamu?" tanyaku sebelum ia keluar rumah. 

Gadis itu menoleh padaku "Veronika."

Aku ingat nama itu, sempat dibicarakan Immanuel kepadaku. Ia pergi keluar rumah dengan sedikit bantingan pada pintu. Sumpah, aku ingin memarahinya, hanya saja ini sudah larut malam, tak enak jika terdengar oleh tetangga. 

Mungkin ia sedang memiliki masalah dengan Immanuel, kebetulan ada aku, dia jadi marah padaku. Perasaan perempuan memang mudah sekali berubah-ubah, aku paham akan itu. Tapi jujur saja aku sangat tersinggung dengan perlakuannya yang sangat tak ramah padaku yang lebih tua darinya. 

Dia seperti cemburu padaku, atau mungkin memang dia cemburu padaku? Bisa jadi ia seperti Yunanda yang tak suka melihat pasangannya berinteraksi bersama lawan jenisnya.

Entahlah.

Related chapters

  • LOVE THAT COME ONCE   V. Bersinar di langit

    Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan

  • LOVE THAT COME ONCE   VI. Nuansa Alam

    Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s

  • LOVE THAT COME ONCE   VII. Rabu

    Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K

  • LOVE THAT COME ONCE   VIII. IT

    Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon

  • LOVE THAT COME ONCE   IX. Web developer

    Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk

  • LOVE THAT COME ONCE   X. Lahan Kosong

    Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la

  • LOVE THAT COME ONCE   XI. Jumpa lagi

    Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k

  • LOVE THAT COME ONCE   XII. Teror

    Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te

Latest chapter

  • LOVE THAT COME ONCE   XII. Teror

    Aku masih memandangi email terakhir yang kukirimkan pada Immanuel. Tepat 10 detik lalu, aku baru saja turun dari mobil perusahaan yang berhenti di depan pagar rumahku. Sekarang mobil yang hanya menyisakan satu supir di dalamnya itu sudah pergi. Baru pukul 9 malam. Isi e-mail terakhir yang kukirim pada Immanuel adalah jawabanku yang akan kembali lebih awal. Aku menentangnya yang memintaku pulang jam 12 malam. Siapa juga yang ingin pulang tengah malam begitu? Sejak bertemu pasangan yang sangat kuhindari, ditambah mendapat kabar membingungkan dari Immanuel, aku tak bisa diam begitu saja. Sedih, kesal, kebingungan, marah. Semua itu bersarang dikepalaku. Aku berjalan lunglai memasuki rumah. Di ruang tengah sudah ada dua laki-laki, mereka sibuk memberesihkan lantai yang sangat kotor. "Immanuel," panggilku. Kedua laki-laki itu menoleh, wajahnya sangat asing. "Halo kak," sapa mereka. Rumah sudah definisi kapal pecah, te

  • LOVE THAT COME ONCE   XI. Jumpa lagi

    Melewati hari-hari yang penat belajar memahami bidangku sebagai web developer, akhirnya tiba saat bagiku menandatangani kontrak kerja di NT selama setahun. Pada pukul 08.00 pagi, Pak Putra menyerahkan beberapa berkas yang perlu kutandatangani. Salah satunya soal kontrak kerja, dilembar berikutnya kesepakatan kerja yang tercantum di sana. Sekarang aku sudah menandatanganinya, berarti sudah resmi menjadi bagian dari NT, sebuah perusahaan IT. Sesuai yang Pak Putra katakan padaku seminggu yang lalu, tiba di hari perusahaan mengadakan promosi yang ternyata berlokasi di Jakarta Utara. Tidak semua karyawan NT datang, hanya beberapa perwakilan saja yang datang termasuk Aku, Eka dan Pak Putra. Aku dan Eka naik mobil milik perusahaan bersama 3 orang lainnya, termasuk supir yang menyetir. Sedangkan Pak Putra naik mobil lain bersama 2 karyawan laki-laki. Kami sengaja berangkat telat karena partisipasi k

  • LOVE THAT COME ONCE   X. Lahan Kosong

    Semilir angin datang berkali-kali menyentuh kami. Terlihat ada beberapa orang yang datang membawa layang-layangan, ada juga anak perempuan yang asik berjalan kesana kemari. Tak begitu ramai seperti tempat kebanyakan, lagipula berapa banyak orang yang mau menyempatkan waktu ke tempat semacam ini? Aku dan Gabriel tengah berada di lahan kosong yang terletak di belakang rumah nenek Elish. Disekitar lingkungan kami ada banyak taman dan tempat-tempat bagus yang dapat dikunjungi, sayangnya aku tidak memiliki uang untuk pergi ke sana, ditambah harus membayarkan Gabriel. Uang darimana? Aku masih SMP, sedangkan Gabriel masih SD. Uang yang kami punya hanya cukup untuk membeli segelas susu hangat dan biskuit kelapa. Jika aku sudah bekerja, aku pastikan dapat mentraktir Gabriel. Semoga saja. "Jangan melamun," ujar anak la

  • LOVE THAT COME ONCE   IX. Web developer

    Menjadi web developer sangat rumit, tidak semudah ekspektasiku. Aku mempelajari programming secara autodidak lewat internet, ditambah beberapa referensi yang Pak Putra berikan padaku, mempelajari selama 5 jam lebih di depan laptop tanpa hasil. Ngomong-ngomong sudah pukul 10 malam, tersisa 2 jam lagi untuk setidaknya memahami materi programming. Harusnya aku sedikit paham, sayangnya tidak. Alih-alih memahami materi programming, malah frustasi yang kudapat. Bahasa programming itu sangat kompleks dan sangat-sangat sulit dipelajari olehku yang tidak pernah mempelajari ini sebelumnya. Kuulangi, sangat-sangat sulit. Pada materi pertama sudah membuatku pusing bukan main. Haruskan aku menyerah? Tapi gaji di NT sangat menggiurkan, apalagi Pak Putra memberikan kesempatan untukku mempelajari bidangku sebagai web developer. "Ganti dengan ini," ujar Immanuel yang mengambil kopi-ku dan menggantinya dengan segelas susu murni. "Aku akan mengantuk

  • LOVE THAT COME ONCE   VIII. IT

    Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. "Mana bekalku?" tagihnya. "Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan. "Omon

  • LOVE THAT COME ONCE   VII. Rabu

    Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini. Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau. "Kau terlihat sangat gugup," ujarnya. Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku. Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku? "Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "K

  • LOVE THAT COME ONCE   VI. Nuansa Alam

    Eka berjalan ke arahku, ia menenteng termos ditangannya. Perempuan itu ingin menyeduh dua gelas kopi yang berada di atas meja, untuk teman kami berbicara. Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya tapi sekarang sudah terasa sedikit asing. Siang tadi Eka mengundangku ke apartemennya lewat sebuah pesan singkat. Awalnya aku tidak menanggapi pesan itu secara serius, maka aku menolaknya. Namun Eka memintaku lagi dan sedikit memaksa. Ya, alasan aku menolaknya karena tidak seharusnya aku melibatkan Eka lagi dalam hidupku, sama halnya seperti Yunanda, secara bersamaan Eka juga kuanggap tak penting lagi. Tetapi aku teringat akan keramahan Eka padaku selama aku mengenalnya, meski kami jarang bertemu, aku cukup akrab dengannya. Jadi, bagaimana mungkin aku memiliki lebih banyak alasan untuk mengabaikan Eka daripada memenuhi undangannya? Walau Eka adalah akses utama dari Yunanda, kurasa sebuah obrolan ringan s

  • LOVE THAT COME ONCE   V. Bersinar di langit

    Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi. Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya. "Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. "Kemana?" tanyaku. "Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. "Itu punyaku!" keluhku. Immanuel tak menghiraukan

  • LOVE THAT COME ONCE   IV. Up to you

    Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai.Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku."Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku."Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya."Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetangga

DMCA.com Protection Status