"Kartu nama? Saya tidak punya Pak saya hanya staf biasa," jawabku gemetar."Kalau begitu meletakkan nama dan nomor ponselmu agar aku bisa memintamu melakukan sesuatu untukku.""Bagaimana kalau saya bayar saja ganti rugi kemeja itu pak agar saya tidak merasa berhutang lagi?""Kemeja saya adalah Polo original seharga dua juta, kamu mau membayarnya?""Bahkan itu melebihi dari setengah gaji saya Pak, ini masih tanggal tua, dan saya pun ...." Aku hanya bisa menarik nafas dalam menahan mengendalikan hatiku yang sangat syok mendengar angka 2 juta."Kamu tinggal berikan nama dan nomor ponselmu lalu saya akan melupakan semua itu," ucap Pria itu sambil menahan tawa."Sungguhkah?""Maksud saya jika kamu mampu membayar dengan harga yang sama.""Saya belum punya uang pak," jawabku sambil meremas jemari."Bagaimana kalau kita berteman?"Pertanyaannya barusan langsung membuatku terkejut gugup lalu mendongak dan menatap matanya, ingin kutelisik apakah dia tengah bercanda atau serius, namun dari sorot
Seiring berjalannya waktu yang bergulir, aku dan Mas Aditya semakin berteman dekat, sering kami menghabiskan makan siang bersama atau pergi menikmati suasana pantai di akhir pekan. Bukan hanya aku dan dia, tapi ada Hafiz juga.Tak jarang orang-orang yang kebetulan melihat kami bersama menganggap kami seperti sebuah keluarga padahal sebenarnya tidak, aku dan Mas Adit hanya berteman. Sejauh ini aku belum menangkap sinyal tanda-tanda bahwa dia menyukaiku dalam arti menyukai secara berlebihan, seperti ketertarikan seorang lelaki kepada wanita untuk menjalin asmara, aku belum menangkap hal itu. Mas Adit yang belum memberikan tanda atau malah akunya yang tidak peke, entah.Lagipula pria yang punya tutur kata lembut dan terlihat penyayang terhadap anakku, membuat diri ini makin terkesan padanya, belum lagi perhatian dan beberapa kiriman makanan dan kebutuhan balita untuk Hafiz yang kerap dikirimkan melalui kurir. Tak tahu bagaimana cara aku berterima kasih atau mengungkapkan betapa aku me
"Halo ...."Tadinya aku tidak berkenan mengangkat panggilan dari Mas Arga, tapi karena dering ponsel terus mengganggu, aku terpaksa menjawab."Boleh ketemu?""Buat apa?""Demi hubungan baik di antara kita dan demi anak kita ke depannya," balasnya."Ah, ya ampun, selalu tentang anak," gumamku sambil memutar bola mata."Mau bahas apaan sih? aku sibuk hari ini dan full jadwal," balasku."Cukup 5 menit aja," balasnya cepat."Oke, silakan datang ke kantor kita ketemu di cafe seperti biasa," jawabku."Tidak bisakah kamu mendatangi restoran yang sudah aku reservasi untuk kenyamanan kita?""Maaf ya, kita kan tidak sedang berkencan jadi bertemu di manapun tidak masalah, lagi pula aku tidak tahu membuat calon istrimu salam paham," balasku.Meski akhir akhir ini Mas Arga menunjukkan tanda penyesalan, tapi aku juga tak melihat sinyal bahwa dia dan Gita sudah berpisah, oleh karenanya, kusebut wanita itu calon istrinya Arga untuk menyentil hatinya."Tolong jangan katakan itu," bisiknya pelan."Data
"Terima kasih ya, Mas, kamu menyelamatkan harga diri dan martabatku di depan keluarga mantan suami yang selama ini sudah merendahkan diri ini.""Aku tahu, tapi wanita tegar seperti yang seharusnya tidak diperlakukan seperti itu, kau layak mendapatkan kehidupan dan perlakuan lebih baik, Irma.""Untuk pertama kalinya saya baru mendengar ungkapan demikian dari orang asing, biasanya selama ini satu-satunya penyemangatku hanya ibu dan ayah.""Bagaimana dengan sahabat.""Saya punya teman, tapi tidak semua hal yang menyangkut privasi hidup ini aku bagikan kepada mereka. Aku takut itu akan jadi senjata makan tuan ketika hubungan kami renggang.""Apa kamu merasa pertemanan hanya akan berakhir kerenggangan?""Tidak demikian, saya hanya berhati hati, Mas, saya membagikan keceriaan canda dan tawa juga beberapa ide dan pendapat tapi tidak dengan kesedihan," balasku sambil menghela napas."Kamu wanita hebat, aku salut padamu," ucapnya sambil menepuk bahuku lembut."Terima kasih, Mas, sekali lagi te
"Terima kasih ya, Mas, kamu menyelamatkan harga diri dan martabatku di depan keluarga mantan suami yang selama ini sudah merendahkan diri ini.""Aku tahu, tapi wanita tegar seperti yang seharusnya tidak diperlakukan seperti itu, kau layak mendapatkan kehidupan dan perlakuan lebih baik, Irma.""Untuk pertama kalinya saya baru mendengar ungkapan demikian dari orang asing, biasanya selama ini satu-satunya penyemangatku hanya ibu dan ayah.""Bagaimana dengan sahabat.""Saya punya teman, tapi tidak semua hal yang menyangkut privasi hidup ini aku bagikan kepada mereka. Aku takut itu akan jadi senjata makan tuan ketika hubungan kami renggang.""Apa kamu merasa pertemanan hanya akan berakhir kerenggangan?""Tidak demikian, saya hanya berhati hati, Mas, saya membagikan keceriaan canda dan tawa juga beberapa ide dan pendapat tapi tidak dengan kesedihan," balasku sambil menghela napas."Kamu wanita hebat, aku salut padamu," ucapnya sambil menepuk bahuku lembut."Terima kasih, Mas, sekali lagi te
Kami sampai ke sebuah tempat ekowisata, hutan pinus dengan perbukitan yang di bawahnya menghampar hijau kebun teh, begitu luas, seperti permadani yang sengaja dihamparkan untuk menyejukkan pandangan mata.Aku dan Mas Adit turun dari mobil, dengan berjalan beriringan kami menuju loket masuk dan membeli karcis.Setelah berhasil masuk, Mas Adit membelikqn gulali dan balon gas untuk hafiz, tentu putraku bahagia menerima pemberian dari temanku itu, teman yang sebentar lagi, mau tak mau akan jadi kekasihku. Ya, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, di saat ada orang yang begitu baik memperhatikanku dan putraku, ditambah dia tampan, nampak dari kalangan mampu dengan segala penampilan dan mobilnya yang berkelas, apa lagi kurangnya?Betapa bodohnya, kalau aku sampai menolaknya."Kita makan dulu, sebelum memutuskan berkeliling," ucapnya."Sebenarnya aku bingung kita akan ngapain saja di sini," ucapku tanpa sengaja, buru buru kuralat ucapan dengan permintaan maaf, khawatir dia akan tersingg
Sekembalinya kami dari tempat wisata, masih diantar Mas Adit, aku kemudian turun dari mobilnya dan berterima kasih. Berterima kasih karena dia sudah mengajakku melepas penat dan kesedihan."Terima kasih untuk Harinya yang seru," ucapku sambil menggendong Hafiz."Sama sama, kuharap kamu sangat senang," ucapnya."Sungguh senang, kapan kapan aku ingin mengulang," ucapku melambaikan tangan. Mobil Mas Adit meluncur perlahan, lalu pergi meninggalkan jalan dan berbelok di ujung, aku mendorong gerbang dan berniat masuk, namun baru saja melangkahkan kaki ke pekarangan, tiba tiba Mas Arga mencekalku, dia menatapku tajam dengan ekspresi yang tidak bisa kumengerti. "Jadi kamu serius lagi dekat sama dia?!""Apaan sih kamu?" tanyaku dengan wajah tak suka, entah kenapa dia tiba tiba ada di dekat gerbang rumah, bersembunyikah dia di balik rimbunnya bunga Bougenville?"Teganya kamu dengan santainya datang ke pesta dan memamerkan kebahagiaan kamu," ucapnya."Siapa yang lebih bahagia pengantin yang
Sebenarnya aku lesu untuk mengikuti rentetan persidangan yang terdengar seperti omong kosong di mataku, bukankah jaman sekarang hukum bisa dibeli oleh mereka yang berkuasa dan punya pengaruh. Aku tak tahu apa rencana Mas Arga, tahu apa yang akan terjadi di ruang pengadilan, entah dia hanya ingin membuatku jera atau malah ingin merampas segalanya, aku tak tahu persis, yang pasti biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan.Harta Gono gini ...? Itu hanya alasan untuk mempersulitku yang kini terlihat bahagia dan bisa move on dari nya.Dia ingin mengambil rumah yang tadinya sudah dia serahkan pada kami sebagai penebus gugatan cerai sepihak yang dia lakukan, seperti menjilat ludah sendiri, pria itu menjelma menjadi sosok munafik yang plin-plan dimana ucapannya tidak satupun yang bisa dijadikan pegangan. Sekali dia bilang akan menyerahkannya padaku sebagai permintaan maaf dan sekali lagi dia katakan bahwa dia akan merampas segalanya.*Hari itu sebelum berangkat kerja aku antarkan Hafiz s