Sebenarnya aku lesu untuk mengikuti rentetan persidangan yang terdengar seperti omong kosong di mataku, bukankah jaman sekarang hukum bisa dibeli oleh mereka yang berkuasa dan punya pengaruh. Aku tak tahu apa rencana Mas Arga, tahu apa yang akan terjadi di ruang pengadilan, entah dia hanya ingin membuatku jera atau malah ingin merampas segalanya, aku tak tahu persis, yang pasti biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan.Harta Gono gini ...? Itu hanya alasan untuk mempersulitku yang kini terlihat bahagia dan bisa move on dari nya.Dia ingin mengambil rumah yang tadinya sudah dia serahkan pada kami sebagai penebus gugatan cerai sepihak yang dia lakukan, seperti menjilat ludah sendiri, pria itu menjelma menjadi sosok munafik yang plin-plan dimana ucapannya tidak satupun yang bisa dijadikan pegangan. Sekali dia bilang akan menyerahkannya padaku sebagai permintaan maaf dan sekali lagi dia katakan bahwa dia akan merampas segalanya.*Hari itu sebelum berangkat kerja aku antarkan Hafiz s
Mengetahui bahwa Mas Adit menawariku apartemen senilai 400 juta untuk ditempati dengan gratis, tentu saja aku sangat gembira tapi di sisi lain ada bagian tidak masuk akal juga. Aku ini hanya orang asing yang sama sekali tidak punya hubungan apapun, mengapa harus diberikan fasilitas semewah itu? Jika alasannya aku adalah kekasih, apakah itu sepadan untukku dan dirinya. Mungkinkan setelah itu, dia akan mengharap balasan dariku? Ah, perlahan dada ini berdesir.Bagaimana jika suatu malam dia datang, lalu memaksakan dirinya padaku, apakah itu nantinya tidak akan berakhir tragis? Oh Tuhan, aku dilema. Namun, sebenarnya aku tidak perlu khawatir Itu karena sebenarnya aku masih punya orang tua. Aku anak tunggal yang tentu saja jika kedua orang tuaku meninggal, rumah dan apa yang mereka miliki menjadi akan menjadi milikku. Sebenarnya ayah dan ibu juga tidak akan keberatan jika aku pulang dan membawa cucunya untuk tinggal dengan mereka, masalahnya aku sendiri yang tidak mau jadi beban orang
Begitu banyak orang yang berkerumun dalam ketegangan, begitu takut dan cemas tapi mereka tidak berani melerai. Sejak awal mereka tahu siapa yang lebih dulu menyulut emosi dan memancing kemarahan orang lain. "Lepaskan dia Kak, dia pasti sudah kapok," ujar seorang wanita."Iya, Kak, gak bakal diulang lagi kayaknya, itu orangnya udah ketakutan banget," timpal yang lain."Tidak, aku akan melemparnya ke muara agar menjadi santapan buaya, aku sama sekali tidak ragu," ujar Mas adit yang masih mencengkeram bagian leher pria yang kini mengucur darah segar dari bibir dan hidungnya."Aku tidak mengganggumu, beraninya kau mengganggu!" Mas Adit makin menggoyangkan badan Mas Arga, Mas Arga berteriak dan mencengkeram tangan kekasih baruku itu dengan panik."Aku juga akan membuatmu terjatuh bersamaku, hahahah," ujarnya. Tadinya dia ketakutan, tapi menit berikutnya pria itu seakan kehilangan akal, dia tertawa terbahak bahak dengan kondisi wajah yang sama sekali tidak sedap dipandang, babak belur dan
Menuruti saran dari ibu aku memilih waktu makan siang untuk mengajak massa adik bicara dia yang selalu jadi tempat langganan makan siang kami. Cafe yang berada di lantai dasar tower kantorku.Pukul 12:34 Mas Adit nampak turun dari loby dan langsung masuk ke cafe, dari pintu utama kami bersitatap dan seperti biaasanya senyum itu tersungging lebar."Kamu udah makan?""Belum, Mas, masih nungguin kamu," jawabku memperbaiki posisi duduk."Harusnya kamu pesenin aja, aku akan makan makanan apapun yang kamu suguhkan," jawabnya tersenyum, sekali lagi menggetarkan dadaku.Lama perasaan ini tidak disentuh romansa dan sensaasi manis menggoda, sehingga ketika tiba tiba Mas Adit datang. Ada rasa baru yang kini menghiasi hatiku, aku selalu ingin tersenyum dan bahagia kala berdekatand dengannya. Energinya yang positif, tampilannya yang bersih dan wangi membuatku nyaman berdekatan."Merasa nggak sih kalau akhir-akhir ini kita jadi topik pembicaraan di kantor?""Aku paham, tapi selagi kita bersikap p
Mungkin mas Arga tidak mau merasa dikalahkan dalam hal kebahagiaan, akhir akhir ini dia sering sekali membagikan link postingan Ig dan Facebooknya ke inbokku. Tautan yang dia kirim berisi postingan foto dan kata kata mesra untuk sang istri.Kadang aku melihat semua itu hanya menggeleng saja, postingannya bagiku bukan sebagai bentuk pamer atas kebahagiaan namun lebih terkesan memaksa terlihat bahagia dan yang ada hanya tempelan saja."Andai dia sungguh bahagia dengan cinta barunya, mungkin dia tak akan ingat untuk mengejarku lagi."Aku menggumam sambil meringis miris. Dari tempat dudukku, kupandangi anakku yang sibuk tertawa dan bermain dengan mainannya. Hanya menatapnya sehat dan ceria saja membuat hatiku tenteram dan bahagia. Itu saja sudah cukup. Aku tak butuh apapun lagi, aku sudah bekerja dan insya Allah bisa menanggung hidup sendiri.Jika suatu hari seorang pria baik dengan niat tulus datang melamar, maka aku akan menerima dengan syarat dia akan mencintai anakku juga.*Wak
Benar saja, sekitar dua puluh menit kemudian, aku bisa melihat pantulan cahaya motor di jendela kamar. Aku bangun memeriksa dan benar saja, itu adalah motor Gita. Sayup sayup kudengar mereka berdebat dengan teriakan, diantara rinai hujan dan petir malam.Kucoba menajamkan pendengaran dan memindai apa yang mereka lakukan."Aku nanya Mas, kamu lagi ngapain di sini?""Udahlah, itu bukan urusanmu, aku lagi mau ngomong sama ibunya Hafiz!""Tapi, ini hujan dan sudah malam, Mas. Ada apa kamu Mas?"Wanita itu mencengkeram bagian depan baju suaminya dengan kesal. Jilbab, wajah dan cardigannya basah tersapu hujan yang turun deras."Aku harus bicara. Itu tidak ada kaitannya denganmu," jawabnya sambil menghempas tangan sang istri."Kalau kamu gak ikut pulang sama aku, kita cerai aja Mas, itu artinya kamu gak mentingin aku!""Ya Allah, kamu pulang aja, aku masih ada urusan!"Mas Arga membentak Gita dengan kesal. "Oh ya ... jadi mau aku panggilkan Mbak Irma ke dalam, mau aku bilangin ke dia kala
Karena tidak mau terburu-buru menikah sebelum puas saling menjajaki, kuputuskan untuk melakukan acara lamaran dan pertunangan agar tali kasih di antara kami bisa diikat dalam satu janji.Kubagikan undangan pertunangan pada teman teman kerja di lingkungan kantor, kuminta dengan ramah dan sopan agar mereka berkenan datang untuk memberikan doa serta dukungan mereka. Kuserahkan amplop bersampul hitam putih dengan gambar bunga itu kepada Dina dan Reni, termasuk Ivanka, wanita yang menaksir pada calon suamiku. Dia yang kebetulan lewat kuhentikan dan dengan santun kusodorkan undangan itu."Mbak, aku mengundangmu," ucapku pelan. Sesaat wanita itu tertegun namun dia tetap menerima undanganku. Ditimbangnya amplop berukuran sedang itu dengan senyum miris, kalau dia menggumam sambil menggeleng pelan."Terima kasih, tapi sepertinya, aku tak bisa hadir," jawabnya dengan senyum kecut. Bahkan dia belum membukanya sehingga bisa tahu kapan dan hari apa, dia menunjukkan penolakan itu karena sudah jelas
Tadinya aku akan melangsungkan pesta pertunangan dan memberi waktu lebih banyak untuk penjajakan hubungan dengan Mas Adit. Tapi karena Mas Adit tidak sabar untuk segera menghalalkan hubungan, ditambah dia juga sudah dekat dengan ayah dan ibu, maka aku tak punya alasan untuk menolak.Bukankah, sebaiknya pernikahan dipercepat dan perceraianlah yang harus ditunda. Ada kalanya niat baik memang tak harusnya dipendap lebih lama. Khawatir gagal atau malah tertikung orang lain."Calon Nyonyaku, maukah kita percepat niat baik kita untuk merajut hubungan ke jenjang yang lebih serius?" Tiba tiba kekasih tampanku menghampiri dengan secarik kertas yang ditulis demikian."Apa ini?""Ya, itu ...." Dia mengangkat alis memintaku membaca ulang memo tempelnya. Bayangkan ... dia menempel itu di layar komputerku."Astaga, Mas Adit, lebay tahu gak sih, dilihat orang ...." Kucabit segera memo sambil tertawa."Ya enggak apa apa, aku cuma butuh jawaban.""Secepatnya," jawabku singkat."Kapan, kamu sih, PHP te