"Terima kasih ya, Mas, kamu menyelamatkan harga diri dan martabatku di depan keluarga mantan suami yang selama ini sudah merendahkan diri ini.""Aku tahu, tapi wanita tegar seperti yang seharusnya tidak diperlakukan seperti itu, kau layak mendapatkan kehidupan dan perlakuan lebih baik, Irma.""Untuk pertama kalinya saya baru mendengar ungkapan demikian dari orang asing, biasanya selama ini satu-satunya penyemangatku hanya ibu dan ayah.""Bagaimana dengan sahabat.""Saya punya teman, tapi tidak semua hal yang menyangkut privasi hidup ini aku bagikan kepada mereka. Aku takut itu akan jadi senjata makan tuan ketika hubungan kami renggang.""Apa kamu merasa pertemanan hanya akan berakhir kerenggangan?""Tidak demikian, saya hanya berhati hati, Mas, saya membagikan keceriaan canda dan tawa juga beberapa ide dan pendapat tapi tidak dengan kesedihan," balasku sambil menghela napas."Kamu wanita hebat, aku salut padamu," ucapnya sambil menepuk bahuku lembut."Terima kasih, Mas, sekali lagi te
"Terima kasih ya, Mas, kamu menyelamatkan harga diri dan martabatku di depan keluarga mantan suami yang selama ini sudah merendahkan diri ini.""Aku tahu, tapi wanita tegar seperti yang seharusnya tidak diperlakukan seperti itu, kau layak mendapatkan kehidupan dan perlakuan lebih baik, Irma.""Untuk pertama kalinya saya baru mendengar ungkapan demikian dari orang asing, biasanya selama ini satu-satunya penyemangatku hanya ibu dan ayah.""Bagaimana dengan sahabat.""Saya punya teman, tapi tidak semua hal yang menyangkut privasi hidup ini aku bagikan kepada mereka. Aku takut itu akan jadi senjata makan tuan ketika hubungan kami renggang.""Apa kamu merasa pertemanan hanya akan berakhir kerenggangan?""Tidak demikian, saya hanya berhati hati, Mas, saya membagikan keceriaan canda dan tawa juga beberapa ide dan pendapat tapi tidak dengan kesedihan," balasku sambil menghela napas."Kamu wanita hebat, aku salut padamu," ucapnya sambil menepuk bahuku lembut."Terima kasih, Mas, sekali lagi te
Kami sampai ke sebuah tempat ekowisata, hutan pinus dengan perbukitan yang di bawahnya menghampar hijau kebun teh, begitu luas, seperti permadani yang sengaja dihamparkan untuk menyejukkan pandangan mata.Aku dan Mas Adit turun dari mobil, dengan berjalan beriringan kami menuju loket masuk dan membeli karcis.Setelah berhasil masuk, Mas Adit membelikqn gulali dan balon gas untuk hafiz, tentu putraku bahagia menerima pemberian dari temanku itu, teman yang sebentar lagi, mau tak mau akan jadi kekasihku. Ya, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, di saat ada orang yang begitu baik memperhatikanku dan putraku, ditambah dia tampan, nampak dari kalangan mampu dengan segala penampilan dan mobilnya yang berkelas, apa lagi kurangnya?Betapa bodohnya, kalau aku sampai menolaknya."Kita makan dulu, sebelum memutuskan berkeliling," ucapnya."Sebenarnya aku bingung kita akan ngapain saja di sini," ucapku tanpa sengaja, buru buru kuralat ucapan dengan permintaan maaf, khawatir dia akan tersingg
Sekembalinya kami dari tempat wisata, masih diantar Mas Adit, aku kemudian turun dari mobilnya dan berterima kasih. Berterima kasih karena dia sudah mengajakku melepas penat dan kesedihan."Terima kasih untuk Harinya yang seru," ucapku sambil menggendong Hafiz."Sama sama, kuharap kamu sangat senang," ucapnya."Sungguh senang, kapan kapan aku ingin mengulang," ucapku melambaikan tangan. Mobil Mas Adit meluncur perlahan, lalu pergi meninggalkan jalan dan berbelok di ujung, aku mendorong gerbang dan berniat masuk, namun baru saja melangkahkan kaki ke pekarangan, tiba tiba Mas Arga mencekalku, dia menatapku tajam dengan ekspresi yang tidak bisa kumengerti. "Jadi kamu serius lagi dekat sama dia?!""Apaan sih kamu?" tanyaku dengan wajah tak suka, entah kenapa dia tiba tiba ada di dekat gerbang rumah, bersembunyikah dia di balik rimbunnya bunga Bougenville?"Teganya kamu dengan santainya datang ke pesta dan memamerkan kebahagiaan kamu," ucapnya."Siapa yang lebih bahagia pengantin yang
Sebenarnya aku lesu untuk mengikuti rentetan persidangan yang terdengar seperti omong kosong di mataku, bukankah jaman sekarang hukum bisa dibeli oleh mereka yang berkuasa dan punya pengaruh. Aku tak tahu apa rencana Mas Arga, tahu apa yang akan terjadi di ruang pengadilan, entah dia hanya ingin membuatku jera atau malah ingin merampas segalanya, aku tak tahu persis, yang pasti biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan.Harta Gono gini ...? Itu hanya alasan untuk mempersulitku yang kini terlihat bahagia dan bisa move on dari nya.Dia ingin mengambil rumah yang tadinya sudah dia serahkan pada kami sebagai penebus gugatan cerai sepihak yang dia lakukan, seperti menjilat ludah sendiri, pria itu menjelma menjadi sosok munafik yang plin-plan dimana ucapannya tidak satupun yang bisa dijadikan pegangan. Sekali dia bilang akan menyerahkannya padaku sebagai permintaan maaf dan sekali lagi dia katakan bahwa dia akan merampas segalanya.*Hari itu sebelum berangkat kerja aku antarkan Hafiz s
Mengetahui bahwa Mas Adit menawariku apartemen senilai 400 juta untuk ditempati dengan gratis, tentu saja aku sangat gembira tapi di sisi lain ada bagian tidak masuk akal juga. Aku ini hanya orang asing yang sama sekali tidak punya hubungan apapun, mengapa harus diberikan fasilitas semewah itu? Jika alasannya aku adalah kekasih, apakah itu sepadan untukku dan dirinya. Mungkinkan setelah itu, dia akan mengharap balasan dariku? Ah, perlahan dada ini berdesir.Bagaimana jika suatu malam dia datang, lalu memaksakan dirinya padaku, apakah itu nantinya tidak akan berakhir tragis? Oh Tuhan, aku dilema. Namun, sebenarnya aku tidak perlu khawatir Itu karena sebenarnya aku masih punya orang tua. Aku anak tunggal yang tentu saja jika kedua orang tuaku meninggal, rumah dan apa yang mereka miliki menjadi akan menjadi milikku. Sebenarnya ayah dan ibu juga tidak akan keberatan jika aku pulang dan membawa cucunya untuk tinggal dengan mereka, masalahnya aku sendiri yang tidak mau jadi beban orang
Begitu banyak orang yang berkerumun dalam ketegangan, begitu takut dan cemas tapi mereka tidak berani melerai. Sejak awal mereka tahu siapa yang lebih dulu menyulut emosi dan memancing kemarahan orang lain. "Lepaskan dia Kak, dia pasti sudah kapok," ujar seorang wanita."Iya, Kak, gak bakal diulang lagi kayaknya, itu orangnya udah ketakutan banget," timpal yang lain."Tidak, aku akan melemparnya ke muara agar menjadi santapan buaya, aku sama sekali tidak ragu," ujar Mas adit yang masih mencengkeram bagian leher pria yang kini mengucur darah segar dari bibir dan hidungnya."Aku tidak mengganggumu, beraninya kau mengganggu!" Mas Adit makin menggoyangkan badan Mas Arga, Mas Arga berteriak dan mencengkeram tangan kekasih baruku itu dengan panik."Aku juga akan membuatmu terjatuh bersamaku, hahahah," ujarnya. Tadinya dia ketakutan, tapi menit berikutnya pria itu seakan kehilangan akal, dia tertawa terbahak bahak dengan kondisi wajah yang sama sekali tidak sedap dipandang, babak belur dan
Menuruti saran dari ibu aku memilih waktu makan siang untuk mengajak massa adik bicara dia yang selalu jadi tempat langganan makan siang kami. Cafe yang berada di lantai dasar tower kantorku.Pukul 12:34 Mas Adit nampak turun dari loby dan langsung masuk ke cafe, dari pintu utama kami bersitatap dan seperti biaasanya senyum itu tersungging lebar."Kamu udah makan?""Belum, Mas, masih nungguin kamu," jawabku memperbaiki posisi duduk."Harusnya kamu pesenin aja, aku akan makan makanan apapun yang kamu suguhkan," jawabnya tersenyum, sekali lagi menggetarkan dadaku.Lama perasaan ini tidak disentuh romansa dan sensaasi manis menggoda, sehingga ketika tiba tiba Mas Adit datang. Ada rasa baru yang kini menghiasi hatiku, aku selalu ingin tersenyum dan bahagia kala berdekatand dengannya. Energinya yang positif, tampilannya yang bersih dan wangi membuatku nyaman berdekatan."Merasa nggak sih kalau akhir-akhir ini kita jadi topik pembicaraan di kantor?""Aku paham, tapi selagi kita bersikap p
Prang!Prak!Suara sepatuku memukul helm Mas Arga dengan kencang. Pria itu nyaris terjatuh dari motornya andai tidak menahan keseimbangan. "Astaga ... kamu kenapa Irma.""Kamu yang kenapa ngikutin aku terus? kamu dah gila ya Mas?""Aku gak ngikutin kamu, kamunya aja yang kepedean," jawabnya sambil melepas helm dan mengusap kepalanya yang kupukul tadi."Arah kantor kamu gak di sini Mas, tapi di jalur berbeda kamu gak malu mas dengan baju dinas keliling ngikutin aku dan suami, kamu gak malu pada keluargamu dan keluarga mertuamu?""Hei, aku gak ikutin kamu, aku cuma mau ke toko sparepart yang ada di jalan Ahmad Yani, kepedean kamu," balasnya."Kamu pikir aku gak lihat kamu ngikutin dari arah rumah? Awas ya Mas, kalau masih ngikutin aku, kulaporkan kamu ke polisi.""Lapor saja, aku ga takut polisi!""Hah, percuma bicara," balasku sambil membalikkan badan dan kembali ke mobil."Sombong sekali kamu, mentang mentang punya suami baru," ucapnya berteriak."Biarin!"" ... nanti juga kamu mento
"Darimana Sayang?" tanya Mas Adit ketika aku baru saja masuk ke kamar."Menemui tamu yang tidak diharapkan," jawabku sambil tersenyum padanya."Apa ada tamu yang tidak diharapkan?""Ya, ada, jenis tamu pengganggu yang akan merusak segalanya.""Siapa orangnya?""Istri mantan suamiku.""Ada apa dengannya?" suamiku langsung mengerjab dan bangkit dari pembaringannya."Dia merasa bahwa Mas Arga masih denganku dan terobsesi pada diri ini. Aku sangat tidak nyaman dengan itu," balasku."Kemarilah," ujarnya memberi isyarat, kuhampiri dia, kubawa diriku ke dalam rangkulannya serta kuletakkan kepala di atas bahunya."Dengar sayang, di rumah tangga kita hanya kita yang bisa menentukan bahagia atau tidaknya, mereka orang luar hanya segelintir gangguan yang tidak perlu dianggap serius.""Aku setuju dengan ucapanmu, Mas.""Jika istri mantanmu merasa risih tapi kau sama sekali tidak berhubungan dengan suaminya, maka kau tidak perlu khawatir dengan semua tuduhan itu. Selagi tidak ada bukti, anggap sa
Tentu saja orang-orang langsung berkerumun memperhatikan pria yang baru saja selesai bernyanyi tiba tiba langsung pingsan saja. Terlebih pingsannya di pelaminan tentu makin mengundang perhatianlah dia."Astaga dia siapa?""Arga mantan suami Irma," jawab seorang pria yang mengenal."Ya ampun, kasihan ....""Mungkin gak kuat menerima kenyataan," ujar yang lain. Reaksi orang beragam, ada yang tertawa, ada yang menatap miris dan lain pula reaksi kedua orang tuaku yang berdiri berdampingan sebagai pendamping pengantin mereka nampak sangat marah dengan keberadaan Mas Arga."Lagipula ngapain sih harus datang ke sini, nyusahin aja!" geram ayah dengan kesalnya."Mungkin dia ingin melihat Irma," jawab Ibu sambil mendekat dan memperhatikan mantan menantunya."Kayaknya bapak ini kelelahan, stress dan dehidrasi, mungkin seseorang bisa hubungi ambulans," ucap seorang temanku yang merupakan seorang petugas kesehatan, dia tadi memeriksa nadi dan wajah Mas Arga dan langsung menyimpulkan."Iya mari g
Tadinya aku akan melangsungkan pesta pertunangan dan memberi waktu lebih banyak untuk penjajakan hubungan dengan Mas Adit. Tapi karena Mas Adit tidak sabar untuk segera menghalalkan hubungan, ditambah dia juga sudah dekat dengan ayah dan ibu, maka aku tak punya alasan untuk menolak.Bukankah, sebaiknya pernikahan dipercepat dan perceraianlah yang harus ditunda. Ada kalanya niat baik memang tak harusnya dipendap lebih lama. Khawatir gagal atau malah tertikung orang lain."Calon Nyonyaku, maukah kita percepat niat baik kita untuk merajut hubungan ke jenjang yang lebih serius?" Tiba tiba kekasih tampanku menghampiri dengan secarik kertas yang ditulis demikian."Apa ini?""Ya, itu ...." Dia mengangkat alis memintaku membaca ulang memo tempelnya. Bayangkan ... dia menempel itu di layar komputerku."Astaga, Mas Adit, lebay tahu gak sih, dilihat orang ...." Kucabit segera memo sambil tertawa."Ya enggak apa apa, aku cuma butuh jawaban.""Secepatnya," jawabku singkat."Kapan, kamu sih, PHP te
Karena tidak mau terburu-buru menikah sebelum puas saling menjajaki, kuputuskan untuk melakukan acara lamaran dan pertunangan agar tali kasih di antara kami bisa diikat dalam satu janji.Kubagikan undangan pertunangan pada teman teman kerja di lingkungan kantor, kuminta dengan ramah dan sopan agar mereka berkenan datang untuk memberikan doa serta dukungan mereka. Kuserahkan amplop bersampul hitam putih dengan gambar bunga itu kepada Dina dan Reni, termasuk Ivanka, wanita yang menaksir pada calon suamiku. Dia yang kebetulan lewat kuhentikan dan dengan santun kusodorkan undangan itu."Mbak, aku mengundangmu," ucapku pelan. Sesaat wanita itu tertegun namun dia tetap menerima undanganku. Ditimbangnya amplop berukuran sedang itu dengan senyum miris, kalau dia menggumam sambil menggeleng pelan."Terima kasih, tapi sepertinya, aku tak bisa hadir," jawabnya dengan senyum kecut. Bahkan dia belum membukanya sehingga bisa tahu kapan dan hari apa, dia menunjukkan penolakan itu karena sudah jelas
Benar saja, sekitar dua puluh menit kemudian, aku bisa melihat pantulan cahaya motor di jendela kamar. Aku bangun memeriksa dan benar saja, itu adalah motor Gita. Sayup sayup kudengar mereka berdebat dengan teriakan, diantara rinai hujan dan petir malam.Kucoba menajamkan pendengaran dan memindai apa yang mereka lakukan."Aku nanya Mas, kamu lagi ngapain di sini?""Udahlah, itu bukan urusanmu, aku lagi mau ngomong sama ibunya Hafiz!""Tapi, ini hujan dan sudah malam, Mas. Ada apa kamu Mas?"Wanita itu mencengkeram bagian depan baju suaminya dengan kesal. Jilbab, wajah dan cardigannya basah tersapu hujan yang turun deras."Aku harus bicara. Itu tidak ada kaitannya denganmu," jawabnya sambil menghempas tangan sang istri."Kalau kamu gak ikut pulang sama aku, kita cerai aja Mas, itu artinya kamu gak mentingin aku!""Ya Allah, kamu pulang aja, aku masih ada urusan!"Mas Arga membentak Gita dengan kesal. "Oh ya ... jadi mau aku panggilkan Mbak Irma ke dalam, mau aku bilangin ke dia kala
Mungkin mas Arga tidak mau merasa dikalahkan dalam hal kebahagiaan, akhir akhir ini dia sering sekali membagikan link postingan Ig dan Facebooknya ke inbokku. Tautan yang dia kirim berisi postingan foto dan kata kata mesra untuk sang istri.Kadang aku melihat semua itu hanya menggeleng saja, postingannya bagiku bukan sebagai bentuk pamer atas kebahagiaan namun lebih terkesan memaksa terlihat bahagia dan yang ada hanya tempelan saja."Andai dia sungguh bahagia dengan cinta barunya, mungkin dia tak akan ingat untuk mengejarku lagi."Aku menggumam sambil meringis miris. Dari tempat dudukku, kupandangi anakku yang sibuk tertawa dan bermain dengan mainannya. Hanya menatapnya sehat dan ceria saja membuat hatiku tenteram dan bahagia. Itu saja sudah cukup. Aku tak butuh apapun lagi, aku sudah bekerja dan insya Allah bisa menanggung hidup sendiri.Jika suatu hari seorang pria baik dengan niat tulus datang melamar, maka aku akan menerima dengan syarat dia akan mencintai anakku juga.*Wak
Menuruti saran dari ibu aku memilih waktu makan siang untuk mengajak massa adik bicara dia yang selalu jadi tempat langganan makan siang kami. Cafe yang berada di lantai dasar tower kantorku.Pukul 12:34 Mas Adit nampak turun dari loby dan langsung masuk ke cafe, dari pintu utama kami bersitatap dan seperti biaasanya senyum itu tersungging lebar."Kamu udah makan?""Belum, Mas, masih nungguin kamu," jawabku memperbaiki posisi duduk."Harusnya kamu pesenin aja, aku akan makan makanan apapun yang kamu suguhkan," jawabnya tersenyum, sekali lagi menggetarkan dadaku.Lama perasaan ini tidak disentuh romansa dan sensaasi manis menggoda, sehingga ketika tiba tiba Mas Adit datang. Ada rasa baru yang kini menghiasi hatiku, aku selalu ingin tersenyum dan bahagia kala berdekatand dengannya. Energinya yang positif, tampilannya yang bersih dan wangi membuatku nyaman berdekatan."Merasa nggak sih kalau akhir-akhir ini kita jadi topik pembicaraan di kantor?""Aku paham, tapi selagi kita bersikap p
Begitu banyak orang yang berkerumun dalam ketegangan, begitu takut dan cemas tapi mereka tidak berani melerai. Sejak awal mereka tahu siapa yang lebih dulu menyulut emosi dan memancing kemarahan orang lain. "Lepaskan dia Kak, dia pasti sudah kapok," ujar seorang wanita."Iya, Kak, gak bakal diulang lagi kayaknya, itu orangnya udah ketakutan banget," timpal yang lain."Tidak, aku akan melemparnya ke muara agar menjadi santapan buaya, aku sama sekali tidak ragu," ujar Mas adit yang masih mencengkeram bagian leher pria yang kini mengucur darah segar dari bibir dan hidungnya."Aku tidak mengganggumu, beraninya kau mengganggu!" Mas Adit makin menggoyangkan badan Mas Arga, Mas Arga berteriak dan mencengkeram tangan kekasih baruku itu dengan panik."Aku juga akan membuatmu terjatuh bersamaku, hahahah," ujarnya. Tadinya dia ketakutan, tapi menit berikutnya pria itu seakan kehilangan akal, dia tertawa terbahak bahak dengan kondisi wajah yang sama sekali tidak sedap dipandang, babak belur dan