"Lishaa ... Yuhu.." aku yang sedang membaca buku di bawah ranjang menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Meisha. Mau apa dia? Malas melayani, aku tetap melanjutkan membaca cerpen di buku pelajaran bahasa Indonesia. Aku suka membaca, ya memang apalagi yang bisa aku sukai?
"Woi setan, dipanggil juga." tegur Meisha gondok, setelah sadar aku tidak menggubrisnya.
"Apa?"
"Besok sekolah?"
"Ya."
"Besok sama aku ke sekolah."
"Kenapa?"
"Ngikut aja sialan! Bagus ada teman."
sungut Meisha. Aku meletakan buku pelajaran bersampul biru di atas kasur, sambil merenggangkan tanganku dan memandang Meisha malas. Ah, punya saudara tidak menarik dan tidak seru. Atau aku yang tidak seru? Mungkin, aku tidak pandai dalam memilih teman, karena aku selalu kesepian setiap saat. Bisa makan, tidur, menghirup oksigen gratis dan sekolah, sudah lebih dari cukup buatku.Aku naik ke atas ranjang, dan memilih untuk tidur. Malas, untuk melayani Meisha.
"Woi setan!" Meisha menarik selimutku, aku menarik kembali selimut dan menutup diri.
"Anjirrr Lisha. Bangun, anak setan. Aku tuh mau ngomong." Rambutku ditarik, jika tak ingat dia saudariku sudah kutampar wajah Meisha. Atau kalau tak ingat Mama membela Meisha aku sudah menendanganya jauh, menyusahkan saja.
"Apa!" tanyaku dengan nada tak senang dan duduk di atas ranjang. Meisha melihat ke arahku.
"Besok ke sekolah sama aku, nanti aku traktir, tapi jangan kabur kemana-mana."
"Emang kenapa?"
"Nurut aja sialan!" Aku mengepalkan tanganku, dia yang memaksa dan dia yang emosi sendiri. Saudara gila! Semua orang di rumah ini memang gila, tak ada satupun yang beres. Mereka menganggapku sampah, aku tak kasat mata di hadapan mereka. Aku menekan rasa sakit di dadaku, sesak sekali. Kenapa harus seperti ini?
"Bye jalang! Tidur yang nyeyak biar kuat ngangkang besok."
Setelah mengeluarkan kata laknat itu, Meisha langsung keluar dan membanting pintu dengan kasar, aku yang tadi sedikit mengantuk dan langsung merasa segar sekarang. Aku bangun dan memeluk kakiku sendiri. Aku hanya anak kecil dan masih di bawah umur, tapi mereka menganggapku sudah besar dan sangat siap dengan segala komen jelek mereka padaku, tanpa mereka ketahui diriku hancur, hatiku hancur.
Aku menenggelamkan kepalaku di kaki, sambil memeluk diri sendiri. Harusnya di usia seperti ini, aku mendapat kasih sayang yang berlimpah atau pusing hanya masalah PR di sekolah, bukan mendapat cacian setiap saat dari orang-orang di rumah ini, bahkan di sekolah. Aku juga tak terlalu suka dengan guru-guru di sekolah, apalagi guru laki-laki, bukan ingin menjelekan tapi aku tahu, guru laki-laki yang sudah tua juga menatapku penuh minat. Dan aku benci dengan kecantikan ini.
Aku pun, akhirnya membuka pintu penghubung balkon dan duduk disana, sambil memeluk diriku dan merasakan dinginnya udara menusuk hingga ke tulang.
Ponselku bergetar dan aku langsung mengambilnya di saku, pasti dari operator yang memberitahu pulsaku habis atau masa aktif sudah habis.
+6283184780006
Hi, Maniez
Jalan-jalan ke Kota Medan
Jangan lupa singgah di Rawa-rawaHatiku mengatakan kangen
Tapi kau jauh disanaSorry typing jamet.
Aku langsung merinding membaca pesan itu, siapa manusia kurang kerjaan seperti ini. Mana gombalannya bikin muntah. Aku langsung mual membaca pesan itu, ewhhhh...
Aku langsung menutup layar ponsel dan meletakan di lantai. Ponsel ini adalah ponsel pemberian nenek saat berumur 14 tahun. Kata Nenek, anak-anak Bill Gates diberi ponsel umur 14 tahun walau mereka orang kaya. Nenek adalah, segalanya bagiku. Beliau suka bercerita segala hal tentang kehidupan membuatku tetap bertahan demi nenek, nenek adalah wanita strong yang pernah kutemui.
Ah, jadi rindu nenek. Jika berlibur, aku bisa pulang. Walau nenek lebih suka aku bersama orang tuaku, karena nenek tak tahu apa yang terjadi dan aku memang tak perlu menceritakan kejadian jelek yang orang tuaku lakukan padaku, biar Tuhan yang membuka mata mereka suatu hari nanti, aku layak diperhitungkan bukan hanya Kak Geisha atau Meisha.Ponselku meraung lagi. Aish siapa lagi.
+6283184780006
Aku Bee ππππ
"Bee norak." gumanku tanpa sadar tersenyum. Dia norak, tapi bisa membuatku tertawa. Tiba-tiba aku teringat ciuman itu, tanpa sadar aku meraba bibirku. Bisa-bisanya aku yang polos, mencium orang lain. Tapi bukankah si norak itu yang menciumku. Tapi, berciuman tidak terlalu buruk bagiku. Rasanya membuat banyak kupu-kupu bertebrangan dari perutku, saat napas hangatnya menerpa kulitku, saat lidahnya yang panas bertaut dengan lidahku, saat bibirnya menyecap bibir di segala sudut. Aku menutup mataku sambil menggigit bibir. Apakah aku menginginkan ciuman lagi? Tidak! Aku harus menjauhi cowok itu.
+6283184780006
Hey bee here π―π―π―π―π―
DelishaMara : Ck! Norak.
Aku membalas pesannya. Dia memang norak.
+6283184380006
Kenapa nama kamu marah begitu maniez.
DelishaMara : Jangan ganggu aku!
Aku langsung membalas dengan cepat, agar ia tahu aku tak suka ia mengirim pesan atau meganggu hidupku. Sebenarnya dia sopan, tapi juga norak. Tapi, aku memang tak ingin berteman dengan siapapun.
+6283184780006
Jumpa besok maniez. Can't wait to see ya.
Aku menggeleng dan masuk lagi ke kamar. Aku membuka lenganku dan melihat bekas luka di lengan yang belum sembuh, kali ini hatiku masih sedikit baik, jadi aku tak perlu menambah koleksi baru. Aku menciumi luka-luka itu dan menutupnya.
___________________________Tinggiku dan tinggi Meisha sebenarnya sama saja. Aku tak begitu tinggi seperti pertumbuhan Kak Geisha. Jadi, jika Meisha mengandengku orang akan mengira kami sepantaran.
Dan pagi ini, Meisha seperti kesurupan begitu baik megandeng tanganku di sekolah, dan aku yang merasa risih dengan semuanya. Ada apa dengan Meisha hari ini?
"Pokoknya ikutin aku aja hari ini." tekan Meisha. Aku hanya mencibir dan berjalan duluan, mendahului Meisha. Tapi, ia mencengkram tanganku kuat, membuat darah merembes dari lenganku, kalian tentu tahu bagaimana cara aku bersenang-senang, dan sekarang disentuh seperti, membuat rasa sakit itu muncul. Karena aku tidak dalam kondisi sakit yang lain.
Apa sebenarnya mau orang-orang ini padaku? Kenapa harus aku? Aku bahkan tak pernah berbuat jahat pada siapapun. Kelewat kesal pada Meisha, aku langsung berlari melewati koridor kelas tanpa menghiraukan Meisha yang memaki diriku.
"Woy Lisha sialan! Eh, si anying belum juga selesai urusan." Biasanya aku capek menangis, tapi sekarang aku ingin menangis sebisanya aku ingin meluapkan semua perasaan ini, yang terasa menyesakkan dada. Aku meremas dadaku, sambil berlari tak tentu arah. Aku benci diriku! Aku benci hidupku.
Sampe merasa mentok dan sesak napas aku hanya berdiri menghadap tembok usang tersebut dan menangis mengeluarkan semua yang kurasakan. Dosa apa aku di masa lalu, hingga seperti ini? Apa aku pernah jadi Pelakor dalam kehidupan permaisuri dan raja? Tapi bukankah itu terlalu berlebihan.
Aku menghapus air mataku dan memegang tembok dan bersandar disana. Ya Tuhan, kenapa hidup begitu berat bagiku? Aku hanyalah anak kecil, yang tak layak mendapat perlukan seperti ini dari orang-orang. Aku terduduk dan menelungkupkan kepalaku dan menangis lebih keras. Aku benci air mata ini terus menetes, tapi air mata selalu turun saat merasa hatiku tidak bahagia. Air mata adalah lambang emosi, tapi aku membenci air mataku sendiri. Hidupku penuh dengan kebencian.
"Kenapa menangis sendirian disini?" Aku langsung mengangkat wajahku dan melihat cowok yang sering mengangguku. Kenapa dia ada di mana-mana?
"Kamu siapa?" tanyaku pura-pura. Aku ingat orangnya, tapi aku lupa lagi namanya.
"Aku bee. Kenapa nangis?" tanya cowok itu lembut, entah kenapa aku bisa merasakan ketulusan dari nadanya. Tapi apa benar ia tulus? Siapa tahu, ia sama seperti laki-laki yang lain, yan hanya menhincar fisikku. Sebenarnya, aku ingin mecelakai diriku, agar menjadi buruk rupa hingga aku bisa melihat siapa orang yang benar-benar tulus dengan hidupku. Lagi-lagi hidup tak pernah adil, dan juga hidup begitu kejam, pada manusia hina dan lemah sepertiku.
"Kenapa menangis maniez?" Cowok itu menyeka sisa air mataku, aku menepis tanganya sambil membasahi bibirku.
"Kau norak!" Bukannya marah atau tersinggung, cowok itu malah tertawa dan menyugar rambutnya ke belakang. Dia gila fiks! Tapi bukankah, lebih baik berteman dengan orang gila yang tulus daripada yang waras tapi modus semuanya? Tapi, aku tak percaya pada cowok ini.
"Duh makin manis. Mau masukan karung dan kurung di rumah." kata cowok itu geram sambil mencengkram daguku lembut. Aku hanya menatap matanya, matanya kelam. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tak bisa membaca yang ada dalam matanya.
Cowok itu menggurung diriku dengan kedua tangannya dan mengimpit tubuhku ke tembok. Aku mencium aroma khas cowok yang membuatku hanya mampu menelan ludah kasar.
"Kamu udah sikat gigi?" Aku mengangkat alisku, tak mengerti dengan pertanyaan absurdnya dan saat merasakan bibir hangat itu menempel di bibirnya. Aku menghindar, akhirnya bibirnya mencium pipiku. Aku hanya mampu menunduk, tak ingin berurusan dengan orang-orang seperti ini.
"Aku mau masuk kelas." Aku mendorong dadanya. Cowok itu mengangguk, sebelum kakiku melangkah jauh ia menarik tanganku.
"Jangan pulang sama adikmu. Sembunyi dulu, nanti pulang sama aku." Aku langsung menghempaskan tangannya dan berlari ke kelas. Oh, aku bahkan tidak tahu sekarang berada di gedung yang mana, karena saking banyaknya gedung. Akhirnya mencari jalan keluar dan menunu kelasku. Kelas IX.2
________________________Aku jadi curiga, Meisha punya satu rencana padaku. Bahkan, saat istirahat ia datang ke kelasku dan membawa beberapa jajanan ringan walau tak kuhiraukan. Aku tak percaya pada siapapun, dan tak ada orang yang benar-benar peduli kecuali diri kamu sendiri. Ini yang aku dapat setelah mengetahui kejamnya dunia.
Sekarang, sudah waktunya pulang sekolah, entah kenapa pantatku enggan untuk bangkit sebelum petugas datang dan mengunci semua pintu kelas, aku masih betah disana. Aku malas pulang ke rumah cepat dan juga, malas melihat wajah Meisha yang jelek dan licik. Huh, kenapa tidak mati saja orang seperti itu? Kenapa harus anak manis dsn cantik sepertiku yang harus menerima kenyataan pahit ini, menghadapai betapa tidak adilnya dunia padaku.
Aku menenlungkupkan kepalaku di meja, aku merasa mengantuk. Semalam aku tidak bisa tidur, oh iya setiap malam aku tak pernah merasa tidur dengan tenang, bahkan aku sering mengkonsumsi obat tidur. Aku tahu, obat tidur yang overdosis sangat berbahaya, tapi kadang aku risau dan ingin menangis, saat aku bahkan tak bisa menutup mataku. Karena saat, membuka mataku aku kembali dihadapkan kenyataan yang lebih pahit, membuatku belum siap dengan semua ini.
Aku menutup mataku, merasakan angin sepoi-sepoi yang berasal dari celah jendela yang sengaja kubuka. Setelah ini, aku akan menguncinya dan menutup pintu kelas.
Aku mendengar bunyi pintu kelas yang dibuka dengan paksa, membuat pintu kelas hampir lepas dari engselnya. Aku mengelus dadaku, hufh... Manusia rese ini ada di mana-mana, dia adalah induknya cenayang sepertinya selalu tahu di mana saja aku berada.
"Ayo pulang." ajaknya tanpa dosa.
"Hah?" tanyaku seperti orang bego. Pulang? Oh iya, ia sepertinya mengira aku menunggunya. Yang benar saja, aku tak berminat untuk menunggu siapapun. Aku juga tidak ingin berteman dengan orang lain, aku menikmati kesendirianku.
"Ck ayo. Sebelum Pak Suris, nutup pintu." Laki-laki itu menarik tanganku, akhirnya aku menurut. Aku menarik tasku yang bewarna norak sangat mencolok. Besok-besok jika ganti tas, aku harus mengganti warna yang lebih kalem, karena warna cerah lebih banyak mengundang perhatian. Aku benci menjadi pusat perhatian.
Aku dan si cenayang keluar dari kelas, benar saja, Pak Suris baru menutup pintu di kelas IX.1. Entah kenapa, aku takut Pak Suris memikirkan yang tidak-tidak. Hufh ... Aku tak ingin bermasalah.
Pak Suris hanya melihatku dan si cenayang keluar. Mungkin dia heran, anak laki-laki berseragam SMA yang masuk ke dalam kelasku dan sekarang memegang tanganku erat. Jangan-jangan orang akan mengira aku pacaran dengan cowok ini? Oh tidak!
Aku menarik tanganku, tapi pegangannya di celah-celah jariku begitu erat, seperti tak ingin melepaskanku. Akhirnya aku membiarkan dirinya menggenggam tanganku sepanjang keluar dari sekolah, lagian sekolah sudah sepi, jadi aku bebas dari gosip besok. Sudah biasa dikatai murahan, aku seperti kebal dengan kata-kata itu.
"Aku bawa motor."
"Oh iya."
Aku berusaha menarik tanganku saat merasakan tanganku sudah berkeringat. Aku bisa melihat sebuah motor berwarna putih terpampang gagah disana, tapi aku tak ingin diantar sampai rumah, karena tak mau dilihat orang rumah. Aku terdengar seperti begitu percaya diri, si cenayang mau mengantarku. Siapa tahu, ia hanya mau pamer motornya padaku.
Si cenayang menyugar rambutnya dan memakai helm. Ia naik ke atas motornya, aku hanya berdiri memperhatikan dirinya.
"Ayo naik." Ia menoleh padaku. Aku yang seperti kambing congek hanya menggeleng.
"Udah cepat." Akhirnya menarik napas panjang aku naik ke atas motornya. Karena posisi motor yang tinggi membuatku takut dan jatuh akhirnya dengan gaya norak aku memegang ujung seragamnya yang berwarna putih dan si cenayang mulai berjalan membelah jalanan. Tanpa sadar, aku menutup mataku dan tersenyum. Apa aku bahagia?
Tanpa sadar, aku semakin melingkarkan kedua tanganku ke pinggangnya, dan menyandarkan kepalaku di belakangnya. Hanya satu kata sekarang : nyaman.
Aku menutup mataku dan membiarkan laki-laki itu membawaku kemana, yang kutahu aku nyaman bersamanya.
_________________________Semoga kalian nggak bosan, kalau ternyata ini cerita anak kinyis-kinyis. Tapi konflik mereka berat, tapi yang mengalami di bawah umur.
Berharap banyak pelajaran yg bisa diambil.
Terima kasih sudah membacaππππ
"Ini kemana?" tanyaku panik, saat tahu kami berada di sebuah tempat yang sepi. Sebuah jembatan, dengan banyak batu besar di bawahnya dan airnya sedikit. Seperti musim kemarau panjang, hingga air di sungai ikut kering. Jarak antara jembatan dan jurang ke bawah begitu jauh, jadi aku bisa menjamin siapa yang yang jatuh ke bawah sengaja ataupun tidak, nyawanya ikut melayang."Tuh lihat di sebelah jembatan ada kuburan." Benar, saat aku melihat di samping jembatan, ada banyak kuburan disana."Itu adalah bekas orang-orang yang meninggal karena jembatan ini. Saat itu, hujan terus sampai banjir dan orang yang disini saat nyebrang maupun yang tinggal di sini banyak yang terhanyut, jadi jasad mereka di makamkan di sampingnya.""Oh ya?" Aku menatap cowok di sampingku yang tersenyum, rambutku terus tertiup angin yang begitu kencang saat berdiri di sekitar sini.Tiba-tiba cowok itu mengeluarkan rokoknya dan menyalakan a
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani bersuara. Aku harus berontak, karena aku tak bisa dibiarkan terus tersiksa seperti ini."Kenapa Lisha nggak pernah disayang Ma? Apa Lisha anak haram?" tanyaku dengan lirih, berharap hati orang tuaku luluh. Kalau aku anak mereka, karena keiginan mereka aku dilahirkan ke dunia. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia, jika tahu hidupku hanya akan membuat orang di sekitarku benci dan selalu pembawa sial."Nggak usah banyak tanya! Jangan panggil aku mama!" teriakan Mama semakin membuatku hancur. Aku sempat melirik ke arah Papa yang memalingkan wajahnya. Tubuhku semakin bergetar, jika memang kehadiranku tak bisa diharapkan siapapun, lebih baik aku tidak hidup di dunia ini. Aku mengepalkan tanganku, rasa untuk bunuh diri begitu besar. Jika orang beranggapan bahwa orang bunuh diri adalah orang pengecut, kalian salah besar. Orang yang bunuh diri adalah pemberani yang mengambil keputusan
"Bisa-bisanya, udah sebulan tapi tak berhasil juga." Jovan menghisap rokoknya karena kesal. Pemburuannya tak membuahkan hasil. Si perek kecil itu susah sekali ditemukan. Ayden yang bersama rombongan memilih diam, karena ia yang selalu menyelamatkan gadis itu dari rencana busuk Jovan dan kawan-kawan.Apa Ayden tulus? Kita lihat saja nanti. Ayden memilih pura-pura menggigit roti. Selama ini Jovan dan kawan-kawan tak tahu, jika ia sengaja tak berkumpul atau pura-pura izin karena ingin terus bersama Delisha. Bersama gadis itu seperti menjadi candunya. Saat melihat tatapan polos, tapi menyimpan banyak luka di dalam. Ayden bisa melihatnya, bukan berarti ia cenayang atau seorang psikolog handal, Ayden hanya bisa melihat melalui mata itu, mata itu mengatakan segalanya.Ayden merenggakan jari-jarinya, diam-diam ia merindukan gadis itu. Ayden senang saat melihat bagaimana Delisha melotot padanya, bagaimana ekspresi Delisha yang membuatnya selalu gem
Aku menutup mataku, menggigit bibirku menikmati rasa asing yang nikmat menyerangku dari berbagai arah. Kenapa aku baru tahu, kalau bermain seperti ini rasanya luar biasa? Ya Tuhan, biasakah aku merasakan ini untuk selamanya?"Enak?" tanya Ayden. Aku hanya mengeluh, tak berani membuka mataku. Ini rasanya seperti surga. Diibaratkan makanan juga, makanan kalah enaknya karena ini seperti makanan paling lezat sedunia. Aku memeluk belakang Ayden, mencium aroma tubuhnya yang lama-lama berubah bercampur dengan keringatnya, tapi masih menjadi bau yang enak dicium."Nggak sakit 'kan?" Aku menggeleng, dan tak bisa bicara lagi, saat Ayden dengan brutal mencium bibirku dan juga miliknya di bawah sana semakin dalam memompa miliku, aku merasa sesak dan penuh. Kupu-kupu semakin berterbangan dan aku merasa seperti ingin meledak ke awan. Ini bukan tentang rasa asin, manis atau gurih, ini tentang bagaimana semua rasa nikmat disatukan dan membuat kita tak bisa mengatasi semua
"Lisha." Aku menoleh pada Meisha yang mengintip di balik pintu. Kenapa dia? Aku memalingkan wajahku lagi malas berhubungan dengan orang-orang ini. Entah kenapa, aku ingin sepenuhnya bergantung hidup pada Ayden. Tapi dia saja masih remaja sepertiku. Coba saja dia sudah bekerja, aku dengan senang hati tinggal di rumahnya."Woi setan! Dipanggil." teriak Meisha dengan gondok. Tapi aku tetap mengabaikan dirinya. Memangnya dia siapa?"Woi sial!"Aku mengurat dadaku, saat Meisha langsung menendang pintu. Dia memang tak pernah tahu sopan santun! Meisha juga sangat kurang ajar padaku, padahal aku lebih tua darinya. Semua karena para iblis itu mengajarkan untuk anak kesayangan mereka jadi kurang ajar dan tidak tahu cara menghargai orang lain. Mereka bahkan menganggaapku binatang. Aku meremas bajuku, betapa hidupku tak berguna seperti ini. Bahkan, hidup nyamuk lebih bermartabat dariku."Woi sial! Minta nomor HP." Aku mengangkat wajahku dan menata
"Makan?" Aku menggeleng. Sudah seminggu aku terkurung dalam sangkar emas Oma. Harusnya aku merayakan bisa terbebas dari para iblis, tapi aku mengkhawatirkan sekolahku. Sedari dulu, walau bukan orang yang berprestasi aku selalu mengutamakan pendidikan. Aku ingin menjadi orang yang terpelajar dan terdidik agar bisa dihargai orang ketika menginjak usia dewasa."Oma ... Lisha mau sekolah.""Pulihkan diri dulu. Kamu tak bisa terus bersama para iblis itu. Atau mau pindah sekolah." Aku tahu, Oma sangat mengkhawatirkan kesehatan mentalku. Tapi aku sebenarnya ingin meyakinkan Oma bahwa aku baik-baik saja."Oma ... Lisha sebentar lulus sekolah. Saat masuk SMA, Lisha bisa pindah kesini. Sekarang mau pindah nanggung, Lisha hitungan bulan sudah tamat.""Bagaimana kalau mereka masih jahat sama kamu?" Aku terdiam, aku tahu tak ada jaminan untukku selamat dari Mama. Mama pasti akan menyimpan dendam lebih padaku, tapi aku juga harus sekolah. Sekolah ta
Masa remaja adalah masa untuk mengenal jati diri. Dan adalah masa percobaan. Banyak hal di sekitar yang membuat para remaja penasaran dan coba-coba. Jika, tidak dibekali dengan ilmu yang cukup atau diberi edukasi yang baik tentu mereka akan terjerumus dan masa remaja yang seharusnya disiapkan demi masa depan seolah tergerus dan tak ada masa depan yang menjanjikan di sana.Seks edukasi itu sangat penting. Dan para orang tua sebisa mungkin mendengarkan anak-anak mereka saat mereka mengadu menjalani pelecehan seksual. Bukan malah tutup mulut, karena pelaku adalah keluarga dan akhirnya membuat anak trauma hingga dewasa.Delisha benar-benar tak tahu, jika masa depannya telah direnggut paksa. Bagaimana ia tak tahu, jika masa depannya bisa hancur hanya karena semua kepolosannya. Ketika dengan suka cita Delisha menyerahkan dirinya pada Ayden. Padahal Ayden juga begitu muda, belum mengerti apa itu bertanggung jawab jika seandainya ia hamil. Bahkan Delisha tak mengerti
Dari kecil Delisha meragukan Tuhan. Dan sekarang, Delisha masih mempertanyakan Yang Maha Kuasa. Bagaimana mungkin ia diberi cobaan bertubi-tubi yang seolah tak ada habisnya. Menangis juga rasanya percuma, semuanya sudah terjadi.Delisha diam! Lebih baik malaikat maut mencabut nyawanya sekarang. Gadis itu hanya bisa terdiam dalam waktu yang tak bisa ia katakan. Terdiam dalam waktu yang lama. Walau langkah pertama yang Delisha lakukan adalah ingin pergi ke toko buku. Delisha ingin membeli buku tentang kehamilan, entah kenapa gara-gara perkataan manusia laknat itu Delisha langsung sadar dan membuka matanya tentang apa yang terjadi padanya selama ini. Menyesal, kata itu seolah tak layak untuk dirinya, ia juga yang bodoh jadi memang Delisha harus menghapus kata menyesal dalam kamus hidupnya.Delisha berjalan kaki siang ini ke toko buku yang berjarak satu kilo. Walau tubuhnya belum begitu sehat, tapi Delisha terus berjalan karena ujian dalam hidupnya lebih berat se
"Cheryl, jangan cekik adiknya!" Delisha sudah berteriak, melihat Cheryl yang ternyata sangat nakal walau dia perempuan. Hobby manjat, merusak barang, dan membuat adiknya menangis.Delisha mendekat ke arah kedua anaknya dan memisahkan Cheryl dari Auden. Bayi mungil yang nengerjap-ngerjap lucu dan memasukan tangan ke mulut."Mami, makan." Delisha akhirnya mengendong Cheryl dan membawa ke dapur. Putrinya hanya bersandar di bahunya dan terus bergerak-gerak tak nyaman. Delisha merasa Cheryl ini lebih nakal dari Cheryl dan akan jadi preman ketika besar nanti."Mami masak spaghetti. Suka?" Cheryl mengangguk. Di usianya yang yang tiga tahun, Cheryl sudah lancar berbicara dan sangat cerewet."Duduk di meja, atau bantu Mami ngaduk pastanya." Cheryl membantu ibunya mengaduk dengan tangan mungilnya. Bocah itu duduk dekat tungku.Delisha menyiapkan saus untuk pasta mereka. Bayi Auden berusia lima bulan dan harus ekstra menjaganya,
Delisha memperhatikan perut buncitnya. Dengan terusan berwarna abu-abu dia duduk di sofa sambil nonton TV.Sejujurnya, untuk bernapas saja dia kesusahan sekarang. Wanita itu menunduk melihat kakinya yang membengkak."Mami, Sayang." Delisha berbalik melihat suaminya dan tersenyum, Ayden membawa susu di tangannya.Laki-laki itu meletakan gelas berisi susu di atas meja dan menarik kaki Delisha dan memijitnya."Capek bangat, ya?" Delisha hanya mengangguk. Sebenarnya sekarang masih pagi, dia sudah berjalan keliling komplek, disarankan berjalan atau melakukan olahraga kecil agar membantu proses kelahiran. Sedikit takut dan was-was. Saat kehamilan Cheryl dulu, Delisha tidak pernah merasa se was-was seperti ini. Mungkin karena kehamilan dulu tidak dia harapkan dan ketakutan."Kamu ngapaian?" pekik Delisha, ketika merasakan Ayden membuka dress miliknya. Terlihat gumpalan bulat dengan ujung perut yang terlihat memerah, urat-urat
Pesawat lepas landas dari Bandara Leonardo da Vinci di Fiumicino Roma menuju Bandara Punta Raisi di Palermo, ibu kota Sisilia. Cuaca pagi itu sangat cerah.Perjalanan satu jam menuju pulau Sisilia, membuat Mawar menggenggam tangan Juna norak, dia selalu terbayang tempat itu banyak mafia di sepanjang gang dan memegang senjata, salah melangkah, maka kamu akan tewas."Tuh kan, Yang." Mawar berbisik ketika tiba di bandara dan diperiksa langsung oleh seekor anjing herder besar berwarna coklat. Gadis itu mengintip melihat gigi-gigi anjing yang panjang dan tajam, bisa dipastikan semua kulit dan dagingnya koyak.Anjing itu mengendus-endus, jangan sampai ada barang haram yang terbawa masuk ke pulau ini.Setelah mengintip lagi, Mawar melihat banyak turis yang tersenyum cerah sama seperti cuaca di Sisilia pagi ini. Mawar sedikit bernapas lega, tampak tak ada polisi atau tentara bersenjata seperti bayangannya.Sisilia menawarkan keindah
Papergbag berisi banyak makanan, berada di tangannya.Keduanya berjalan sambil tersenyum, dan akan mengumumkan kehamilan Delisha ke orang tua Ayden. Usia yang tak lagi muda untuk mereka semua, tapi, Delisha dan Ayden menyambut antusias kehadiran Cheryl.Dulu sekali, saat masih remaja, bodoh dan naif, mereka merasa kehamilan itu awal bencana, teringat saat keduanya bolos sekolah demi mengugurkan anak walau gagal, berkali-kali menelan pil untuk mengugurkan anak, makan nanas mudah soda seperti yang orang-orang bilang, nyatanya tak berhasil."Mama." Delisha langsung bersorak norak, ketika memasuki ruang tamu.Ibu Ayden yang sudah tua dengan kulit keriput walau masih cantik tersenyum ke arahnya."Mama." Delisha memeluk Ibu Ayden, sosok ibu itu bisa dia rasakan, ketika dia hidup tidak pernah merasakan bagaimana punya ibu yang sayang dan peduli padanya."Papa." Delisha juga memeluk Papa mertua."Mama
"Di antara banyaknya kejadian, di antara semua kejadian yang entah sengaja atau tidak, pertemuan bersama kamu adalah sebuah pertemuan yang selalu membuatku bersyukur di antara semua embusan napas ini.Terima kasih, telah hadir dalam hidupku, terima kasih telah mengisi hari-hariku yang terasa suram dan seolah tak masa depan yang menjanjikan di sana, tapi, kehadiran kamu mencerahkan semuanya." Delisha tersenyum pada Ayden memegangi wajah laki-laki itu. Saat mengingat kisah hidupnya, dan juga perjalanan panjang ini rasanya air matanya terus saja meleleh, Ayden sengaja Tuhan ciptakan untuknya.Ayden menyeka air mata wanita cantik itu. Rumah tangga mereka terasa damai, usia yang matang membuat sama-sama mengerti dan mengalah. Telah saling mengenal nyaris seumur hidup, membuat Delisha dan Ayden sama-sama memahami."Terkadang, kalau dipikir-pikir, semuanya sudah Tuhan atur. Ya, dulu, aku merasa Tuhan kejam dan Tuhan tidak adil, tapi, ketika aku menari
Delisha tidak menyangka, ketika orang lain menikah di usia 20-an, maka, dia akan merasakan jadi pengantin baru di usia 36 tahun. Bukan lagi usia yang muda.Tidak ada acara mewah, tidak ada pesta di gedung seperti menikah banyakan wanita seperti seorang Princess. Cukup, dia terus bersama laki-laki itu.Kerasnya hidup membuat Delisha terus belajar, tak perlu banyak menuntut, asal bersyukur dengan apa yang kamu punya sekarang, maka, semuanya terasa lebih dari cukup.Wanita itu mematut dirinya di cermin. Gaun velvet brokat simple warna putih tulang yang Delisha pilih. Dia akan menambahkan mahkota kecil di kepalanya."Ah, sudah tua." Wanita itu berbicara pada dirinya sendiri dan menggeleng, takdir menuntun hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya ketika berusia 36 tahun, setelah melewati banyak hal bersama.Tak terasa, bulir bening setitik merembes melewati pipi kiri. Tidak ada yang dia punya di dunia kecuali Ayden. Wanita
"Anak Mami yang cantik, setahun itu rasanya cepat, lambat, menyiksa, kelam, terpendam. Tidak menyangka, kamu pergi untuk selamanya. Setahun berlalu, tapi, Mami tak pernah lihat senyuman kamu kecuali hanya dalam mimpi. Bahkan, udah jarang mami mimpi. Kenapa? Udah nggak rindu Mami, lagi? Udah bahagia di sana?" Delisha masih bersungut sambil curhat, di kuburan Cheryl."Ah, Mami masih belum ikhlas. Tapi ... Hari ini, dengan segala kelemahan, Mami datang untuk pertama kalinya ke sini. Ini bukan hal yang mudah, Nak. Tapi, perlahan Mami bisa bangkit. Kamu pergi, tapi, penyesalan terdalam dari kami semua takkan pernah kami lupa sama kami menyusulmu. Mami tahu, kamu pernah menyebut, Mami sebagai Mami yang kejam di muka bumi ini." air mata itu tak berhenti mengalir, bahkan semakin deras seperti air terjun Niagara. Padahal, Delisha sudah berjanji untuk melupakan semuanya, tapi kembali lagi ke kuburan, sama seperti kembali mengingat memori lama yang tersimpan, dan luka itu kembali
Enam bulan kemudian.Tidak mudah bagi Delisha untuk melewati ini semua. Dia terus saja menangis seperti orang gila, bahkan Delisha memilih resign dari pekerjaannya. Harusnya dia menyibukkan diri dengan bekerja agar tidak mengingat Cheryl terus-terusan, tapi Delisha tahu dia tidak akan bisa bekerja dengan tenang, daripada dia terus menangis saat bekerja, lebih baik Delisha mengurus anak-anaknya—berbagai macam bunga.Mulai menata diri, dan memperhatikan asupan.Bersama Ayden, Delisha bisa sampai sejauh ini. Jika tidak, mungkin dia sudah tinggal nama. Cheryl adalah alasan dia bertahan hidup, tapi saat putrinya pergi, dia tidak punya alasan lagi.Delisha menyisir rambutnya yang terus saja rontok, tapi dia sudah menata hidupnya, makan dengan teratur dan memberi vitamin rambut.Delisha sekarang jadi pengrajin bunga, dia menanam berbagai tanaman di samping rumahnya, yang ada gazebo. Delisha belum berani untuk mengunjung
Detik ini Delisha tahu hidupnya berubah, menit ini dia tahu putrinya yang cantik hanya tinggal nama. Berkali-kali dia pingsan, terbangun dan kembali pingsan, jika dia belum siap menerima kenyataan yang ada.Wanita itu terbaring lemah di atas kasur, jiwanya dibawa pergi, Cheryl pergi! Cheryl meninggalkan dirinya untuk selamanya, putri yang dia rawat dari kecil, putri cantik yang Delisha cinta sepenuh hati. Hatinya begitu sakit, tidak bersemangat untuk melakukan apa-apa."Lisha!" Delisha tak ingin mendengar apa-apa. Rasanya dia hanya ingin menangis, atau ikut meloncat ke kuburan Cheryl.Tubuhnya lemah. Saat merasakan sapuan itu Delisha semakin menutup matanya, jiwanya serasa ikut terbang, tidak ikhlas sama sekali!"Sayang." Delisha memekakan telinga dan mengunci semua indranya.Ini berat! Sangat berat!Ayden tahu, semuanya berubah dan tak lagi sama. Mungkin seumur hidupnya akan dia habiskan untuk penyesalan.