"Lisha." Aku menoleh pada Meisha yang mengintip di balik pintu. Kenapa dia? Aku memalingkan wajahku lagi malas berhubungan dengan orang-orang ini. Entah kenapa, aku ingin sepenuhnya bergantung hidup pada Ayden. Tapi dia saja masih remaja sepertiku. Coba saja dia sudah bekerja, aku dengan senang hati tinggal di rumahnya.
"Woi setan! Dipanggil." teriak Meisha dengan gondok. Tapi aku tetap mengabaikan dirinya. Memangnya dia siapa?
"Woi sial!"
Aku mengurat dadaku, saat Meisha langsung menendang pintu. Dia memang tak pernah tahu sopan santun! Meisha juga sangat kurang ajar padaku, padahal aku lebih tua darinya. Semua karena para iblis itu mengajarkan untuk anak kesayangan mereka jadi kurang ajar dan tidak tahu cara menghargai orang lain. Mereka bahkan menganggaapku binatang. Aku meremas bajuku, betapa hidupku tak berguna seperti ini. Bahkan, hidup nyamuk lebih bermartabat dariku.
"Woi sial! Minta nomor HP." Aku mengangkat wajahku dan menata
"Makan?" Aku menggeleng. Sudah seminggu aku terkurung dalam sangkar emas Oma. Harusnya aku merayakan bisa terbebas dari para iblis, tapi aku mengkhawatirkan sekolahku. Sedari dulu, walau bukan orang yang berprestasi aku selalu mengutamakan pendidikan. Aku ingin menjadi orang yang terpelajar dan terdidik agar bisa dihargai orang ketika menginjak usia dewasa."Oma ... Lisha mau sekolah.""Pulihkan diri dulu. Kamu tak bisa terus bersama para iblis itu. Atau mau pindah sekolah." Aku tahu, Oma sangat mengkhawatirkan kesehatan mentalku. Tapi aku sebenarnya ingin meyakinkan Oma bahwa aku baik-baik saja."Oma ... Lisha sebentar lulus sekolah. Saat masuk SMA, Lisha bisa pindah kesini. Sekarang mau pindah nanggung, Lisha hitungan bulan sudah tamat.""Bagaimana kalau mereka masih jahat sama kamu?" Aku terdiam, aku tahu tak ada jaminan untukku selamat dari Mama. Mama pasti akan menyimpan dendam lebih padaku, tapi aku juga harus sekolah. Sekolah ta
Masa remaja adalah masa untuk mengenal jati diri. Dan adalah masa percobaan. Banyak hal di sekitar yang membuat para remaja penasaran dan coba-coba. Jika, tidak dibekali dengan ilmu yang cukup atau diberi edukasi yang baik tentu mereka akan terjerumus dan masa remaja yang seharusnya disiapkan demi masa depan seolah tergerus dan tak ada masa depan yang menjanjikan di sana.Seks edukasi itu sangat penting. Dan para orang tua sebisa mungkin mendengarkan anak-anak mereka saat mereka mengadu menjalani pelecehan seksual. Bukan malah tutup mulut, karena pelaku adalah keluarga dan akhirnya membuat anak trauma hingga dewasa.Delisha benar-benar tak tahu, jika masa depannya telah direnggut paksa. Bagaimana ia tak tahu, jika masa depannya bisa hancur hanya karena semua kepolosannya. Ketika dengan suka cita Delisha menyerahkan dirinya pada Ayden. Padahal Ayden juga begitu muda, belum mengerti apa itu bertanggung jawab jika seandainya ia hamil. Bahkan Delisha tak mengerti
Dari kecil Delisha meragukan Tuhan. Dan sekarang, Delisha masih mempertanyakan Yang Maha Kuasa. Bagaimana mungkin ia diberi cobaan bertubi-tubi yang seolah tak ada habisnya. Menangis juga rasanya percuma, semuanya sudah terjadi.Delisha diam! Lebih baik malaikat maut mencabut nyawanya sekarang. Gadis itu hanya bisa terdiam dalam waktu yang tak bisa ia katakan. Terdiam dalam waktu yang lama. Walau langkah pertama yang Delisha lakukan adalah ingin pergi ke toko buku. Delisha ingin membeli buku tentang kehamilan, entah kenapa gara-gara perkataan manusia laknat itu Delisha langsung sadar dan membuka matanya tentang apa yang terjadi padanya selama ini. Menyesal, kata itu seolah tak layak untuk dirinya, ia juga yang bodoh jadi memang Delisha harus menghapus kata menyesal dalam kamus hidupnya.Delisha berjalan kaki siang ini ke toko buku yang berjarak satu kilo. Walau tubuhnya belum begitu sehat, tapi Delisha terus berjalan karena ujian dalam hidupnya lebih berat se
Aku merasa seperti banyak kegelapan menyelimuti hidupku. Suara-suara asing yang berlari dalam kepalaku membuatku pusing, aku takut, aku ingin berlari sejauh mungkin dari sini. Aku tak tahu, apa yang menimpa hidupku sebenarnya.Aku bisa menetralkan napasku, ketika membuka mata dan melihat Ayden berhenti di sebuah rumah besar walau dari luar terlihat menyeramkan. Selama perjalanan aku sudah menduga ada yang tak beres di sini."Aku nggak mau turun!" Aku jadi merajuk. Bukan merajuk-merajuk manja, tapi aku memang tak mau turun dan masuk dalam rumah sarang hantu tersebut, aku yakin di dalamnya banyak penghuni."Ayo turun! Dua jam kita pergi sejauh ini." Aku hanya menggeleng dan memeluk lututku sendiri. Tak mau turun demi apapun, aku ingin hidup tenang walau hidupku selalu dipenuhi dengan bencana, setidaknya aku tidak mengundang bencana yang lain."Aku mau pulang!""Lisha ... Aku masih manggil baik-baik, jangan sampai aku main kas
Tak kehabisan akal.Makhluk hidup mempunyai insting yang luar biasa untuk bertahan hidup, karena kejamnya seleksi alam yang jahat, membuat mereka melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Seperti para binatang liar yang hidup di Africa bagaimana mereka bertahan hidup, di tengah tanah gersang yang luas dan tetap bertahan hidup. Beruntunglah bagi binatang yang mempunyai kekuatan, kecepatan atau tubuhnya besar. Kita sering melihat bagaimana rusa yang malang tak tenang minum air di pinggir sungai karena bisa dimakan buaya secepat mungkin atau saat mereka tengah berjalan santai di tengah lapangan gersang tanpa sadar tubuh mereka telah terserat oleh singa yang buas dan berkuasa.Delisha menarik napas panjang. Melihat dirinya di cermin, ia beruntung mempunyai insting yang begitu tajam bagaimana bertahan dengan kondisinya yang seperti sekarang. Gadis itu menarik bungkusan pembalut, dan menatap nanar benda tersebut. Jika, tidak ia hanya perlu memakai setiap bulan dan t
"Papa benar-benar akan melihat kamu berjuang bagaimana mengurus anak, baru Papa izinkan mengurus anak sendiri."Ayden diam, ia kalah. Ia kalah sebelum berperang. Bahkan masih dengan darah di seluruh wajahnya, tapi orang tuanya seperti tak peduli, bahkan kalau boleh mereka ingin Ayden mati sekarang."Papa akan tunjukan satu hal sama kamu. Sebelum Papa akan menerima kamu menjadi anak."Ayden hanya menunduk, melihat banyak darah yang terus mengalir membasahi lantai dan juga seluruh pakaiannya. Entah dari mana sumber darah berasal."Sini Mama bersihkan." Ayden tak punya kuasa untuk melawan, dan menurut saja saat ia ditarik ke sofa dan ibunya menyeka darah-darah di wajahnya. Bisa dibilang wajah Ayden tak berbentuk sekarang. Wajah tampan yang sering ia banggakan jadi tak bersisa."Maksud Papa untuk kebaikan kamu, kamu masih terlalu muda untuk punya anak. Kamu akan tetap bertanggung jawab Mama pastikan itu, sedari kecil Mama
Entah ini sudah bulan ke berapa Delisha harus berpura-pura meneteskan darah palsu demi mengelabuhi semua orang."Capek sih ya. Tapi, mau bagaimana. Mau nangis? Kamu yang bodoh!" Delisha berbicara pada diri sendiri. Ia lebih dari kuat sekarang untuk bertahan, dan akan menerima semua takdir buruk di masa depan. Delisha tahu, hidupnya akan terus terpuruk dari waktu ke waktu.Walau begitu, ia akan terus melanjutkan hidupnya, dan mungkin melahirkan tanpa persiapan apa-apa. Delisha terkadang meringis membayangkan bagaimana seorang anak lahir, melalui lubang intinya yang begitu kecil, walau kata orang memang elastis tapi saat belum merasakan dan membayangkan sendiri membuat Delisha pusing. Apa ia bisa? Delisha jelas akan melahirkan sendiri, bagaimana ia akan melahirkan sendiri tanpa bantuan orang lain seperti kucing melahirkan.Gadis itu menyisir rambutnya sambil berkaca, melihat wajahnya yang masih anak-anak, tapi sudah punya anak. Delisha yakin, saa
Delisha tak menyangka, dalam hidupnya bisa bertemu dengan calon mertua semuda ini. Walau ia dan Ayden tak bisa jadi pasangan. Tapi permintaan laki-laki itu jelas menyita pikirannya.Apa yang sebenarnya Ibu Ayden mau? Delisha tak punya orang tua dan selalu berekspektasi jelek tentang orang tua."Mama mau jumpa sama kamu.""Mau ngapain?" Delisha memandang Ayden dan membenarkan rambutnya yang terus ditiup angin."Mau kasih sumbangan.""Oh ya? Padahal aku bukan korban banjir." tanya Delisha dengan polos, membuat Ayden langsung menarik hidung Delisha karena gemas. Walau mereka tak bisa hidup bersama, tapi keduanya akan jadi orang tua."Banjir perasaan." Delisha langsung memukul dada Ayden. Laki-laki itu tertawa. Walau masalah terus berdatangan dan seolah tak ada habisnya, bagi Ayden jalani semuanya dengan hati yang lapang, maka tidak akan merasa berat."Mau ya. Mama aku nggak jahat. Nggak gigit orang." De
"Cheryl, jangan cekik adiknya!" Delisha sudah berteriak, melihat Cheryl yang ternyata sangat nakal walau dia perempuan. Hobby manjat, merusak barang, dan membuat adiknya menangis.Delisha mendekat ke arah kedua anaknya dan memisahkan Cheryl dari Auden. Bayi mungil yang nengerjap-ngerjap lucu dan memasukan tangan ke mulut."Mami, makan." Delisha akhirnya mengendong Cheryl dan membawa ke dapur. Putrinya hanya bersandar di bahunya dan terus bergerak-gerak tak nyaman. Delisha merasa Cheryl ini lebih nakal dari Cheryl dan akan jadi preman ketika besar nanti."Mami masak spaghetti. Suka?" Cheryl mengangguk. Di usianya yang yang tiga tahun, Cheryl sudah lancar berbicara dan sangat cerewet."Duduk di meja, atau bantu Mami ngaduk pastanya." Cheryl membantu ibunya mengaduk dengan tangan mungilnya. Bocah itu duduk dekat tungku.Delisha menyiapkan saus untuk pasta mereka. Bayi Auden berusia lima bulan dan harus ekstra menjaganya,
Delisha memperhatikan perut buncitnya. Dengan terusan berwarna abu-abu dia duduk di sofa sambil nonton TV.Sejujurnya, untuk bernapas saja dia kesusahan sekarang. Wanita itu menunduk melihat kakinya yang membengkak."Mami, Sayang." Delisha berbalik melihat suaminya dan tersenyum, Ayden membawa susu di tangannya.Laki-laki itu meletakan gelas berisi susu di atas meja dan menarik kaki Delisha dan memijitnya."Capek bangat, ya?" Delisha hanya mengangguk. Sebenarnya sekarang masih pagi, dia sudah berjalan keliling komplek, disarankan berjalan atau melakukan olahraga kecil agar membantu proses kelahiran. Sedikit takut dan was-was. Saat kehamilan Cheryl dulu, Delisha tidak pernah merasa se was-was seperti ini. Mungkin karena kehamilan dulu tidak dia harapkan dan ketakutan."Kamu ngapaian?" pekik Delisha, ketika merasakan Ayden membuka dress miliknya. Terlihat gumpalan bulat dengan ujung perut yang terlihat memerah, urat-urat
Pesawat lepas landas dari Bandara Leonardo da Vinci di Fiumicino Roma menuju Bandara Punta Raisi di Palermo, ibu kota Sisilia. Cuaca pagi itu sangat cerah.Perjalanan satu jam menuju pulau Sisilia, membuat Mawar menggenggam tangan Juna norak, dia selalu terbayang tempat itu banyak mafia di sepanjang gang dan memegang senjata, salah melangkah, maka kamu akan tewas."Tuh kan, Yang." Mawar berbisik ketika tiba di bandara dan diperiksa langsung oleh seekor anjing herder besar berwarna coklat. Gadis itu mengintip melihat gigi-gigi anjing yang panjang dan tajam, bisa dipastikan semua kulit dan dagingnya koyak.Anjing itu mengendus-endus, jangan sampai ada barang haram yang terbawa masuk ke pulau ini.Setelah mengintip lagi, Mawar melihat banyak turis yang tersenyum cerah sama seperti cuaca di Sisilia pagi ini. Mawar sedikit bernapas lega, tampak tak ada polisi atau tentara bersenjata seperti bayangannya.Sisilia menawarkan keindah
Papergbag berisi banyak makanan, berada di tangannya.Keduanya berjalan sambil tersenyum, dan akan mengumumkan kehamilan Delisha ke orang tua Ayden. Usia yang tak lagi muda untuk mereka semua, tapi, Delisha dan Ayden menyambut antusias kehadiran Cheryl.Dulu sekali, saat masih remaja, bodoh dan naif, mereka merasa kehamilan itu awal bencana, teringat saat keduanya bolos sekolah demi mengugurkan anak walau gagal, berkali-kali menelan pil untuk mengugurkan anak, makan nanas mudah soda seperti yang orang-orang bilang, nyatanya tak berhasil."Mama." Delisha langsung bersorak norak, ketika memasuki ruang tamu.Ibu Ayden yang sudah tua dengan kulit keriput walau masih cantik tersenyum ke arahnya."Mama." Delisha memeluk Ibu Ayden, sosok ibu itu bisa dia rasakan, ketika dia hidup tidak pernah merasakan bagaimana punya ibu yang sayang dan peduli padanya."Papa." Delisha juga memeluk Papa mertua."Mama
"Di antara banyaknya kejadian, di antara semua kejadian yang entah sengaja atau tidak, pertemuan bersama kamu adalah sebuah pertemuan yang selalu membuatku bersyukur di antara semua embusan napas ini.Terima kasih, telah hadir dalam hidupku, terima kasih telah mengisi hari-hariku yang terasa suram dan seolah tak masa depan yang menjanjikan di sana, tapi, kehadiran kamu mencerahkan semuanya." Delisha tersenyum pada Ayden memegangi wajah laki-laki itu. Saat mengingat kisah hidupnya, dan juga perjalanan panjang ini rasanya air matanya terus saja meleleh, Ayden sengaja Tuhan ciptakan untuknya.Ayden menyeka air mata wanita cantik itu. Rumah tangga mereka terasa damai, usia yang matang membuat sama-sama mengerti dan mengalah. Telah saling mengenal nyaris seumur hidup, membuat Delisha dan Ayden sama-sama memahami."Terkadang, kalau dipikir-pikir, semuanya sudah Tuhan atur. Ya, dulu, aku merasa Tuhan kejam dan Tuhan tidak adil, tapi, ketika aku menari
Delisha tidak menyangka, ketika orang lain menikah di usia 20-an, maka, dia akan merasakan jadi pengantin baru di usia 36 tahun. Bukan lagi usia yang muda.Tidak ada acara mewah, tidak ada pesta di gedung seperti menikah banyakan wanita seperti seorang Princess. Cukup, dia terus bersama laki-laki itu.Kerasnya hidup membuat Delisha terus belajar, tak perlu banyak menuntut, asal bersyukur dengan apa yang kamu punya sekarang, maka, semuanya terasa lebih dari cukup.Wanita itu mematut dirinya di cermin. Gaun velvet brokat simple warna putih tulang yang Delisha pilih. Dia akan menambahkan mahkota kecil di kepalanya."Ah, sudah tua." Wanita itu berbicara pada dirinya sendiri dan menggeleng, takdir menuntun hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya ketika berusia 36 tahun, setelah melewati banyak hal bersama.Tak terasa, bulir bening setitik merembes melewati pipi kiri. Tidak ada yang dia punya di dunia kecuali Ayden. Wanita
"Anak Mami yang cantik, setahun itu rasanya cepat, lambat, menyiksa, kelam, terpendam. Tidak menyangka, kamu pergi untuk selamanya. Setahun berlalu, tapi, Mami tak pernah lihat senyuman kamu kecuali hanya dalam mimpi. Bahkan, udah jarang mami mimpi. Kenapa? Udah nggak rindu Mami, lagi? Udah bahagia di sana?" Delisha masih bersungut sambil curhat, di kuburan Cheryl."Ah, Mami masih belum ikhlas. Tapi ... Hari ini, dengan segala kelemahan, Mami datang untuk pertama kalinya ke sini. Ini bukan hal yang mudah, Nak. Tapi, perlahan Mami bisa bangkit. Kamu pergi, tapi, penyesalan terdalam dari kami semua takkan pernah kami lupa sama kami menyusulmu. Mami tahu, kamu pernah menyebut, Mami sebagai Mami yang kejam di muka bumi ini." air mata itu tak berhenti mengalir, bahkan semakin deras seperti air terjun Niagara. Padahal, Delisha sudah berjanji untuk melupakan semuanya, tapi kembali lagi ke kuburan, sama seperti kembali mengingat memori lama yang tersimpan, dan luka itu kembali
Enam bulan kemudian.Tidak mudah bagi Delisha untuk melewati ini semua. Dia terus saja menangis seperti orang gila, bahkan Delisha memilih resign dari pekerjaannya. Harusnya dia menyibukkan diri dengan bekerja agar tidak mengingat Cheryl terus-terusan, tapi Delisha tahu dia tidak akan bisa bekerja dengan tenang, daripada dia terus menangis saat bekerja, lebih baik Delisha mengurus anak-anaknya—berbagai macam bunga.Mulai menata diri, dan memperhatikan asupan.Bersama Ayden, Delisha bisa sampai sejauh ini. Jika tidak, mungkin dia sudah tinggal nama. Cheryl adalah alasan dia bertahan hidup, tapi saat putrinya pergi, dia tidak punya alasan lagi.Delisha menyisir rambutnya yang terus saja rontok, tapi dia sudah menata hidupnya, makan dengan teratur dan memberi vitamin rambut.Delisha sekarang jadi pengrajin bunga, dia menanam berbagai tanaman di samping rumahnya, yang ada gazebo. Delisha belum berani untuk mengunjung
Detik ini Delisha tahu hidupnya berubah, menit ini dia tahu putrinya yang cantik hanya tinggal nama. Berkali-kali dia pingsan, terbangun dan kembali pingsan, jika dia belum siap menerima kenyataan yang ada.Wanita itu terbaring lemah di atas kasur, jiwanya dibawa pergi, Cheryl pergi! Cheryl meninggalkan dirinya untuk selamanya, putri yang dia rawat dari kecil, putri cantik yang Delisha cinta sepenuh hati. Hatinya begitu sakit, tidak bersemangat untuk melakukan apa-apa."Lisha!" Delisha tak ingin mendengar apa-apa. Rasanya dia hanya ingin menangis, atau ikut meloncat ke kuburan Cheryl.Tubuhnya lemah. Saat merasakan sapuan itu Delisha semakin menutup matanya, jiwanya serasa ikut terbang, tidak ikhlas sama sekali!"Sayang." Delisha memekakan telinga dan mengunci semua indranya.Ini berat! Sangat berat!Ayden tahu, semuanya berubah dan tak lagi sama. Mungkin seumur hidupnya akan dia habiskan untuk penyesalan.