"Ini kemana?" tanyaku panik, saat tahu kami berada di sebuah tempat yang sepi. Sebuah jembatan, dengan banyak batu besar di bawahnya dan airnya sedikit. Seperti musim kemarau panjang, hingga air di sungai ikut kering. Jarak antara jembatan dan jurang ke bawah begitu jauh, jadi aku bisa menjamin siapa yang yang jatuh ke bawah sengaja ataupun tidak, nyawanya ikut melayang.
"Tuh lihat di sebelah jembatan ada kuburan." Benar, saat aku melihat di samping jembatan, ada banyak kuburan disana.
"Itu adalah bekas orang-orang yang meninggal karena jembatan ini. Saat itu, hujan terus sampai banjir dan orang yang disini saat nyebrang maupun yang tinggal di sini banyak yang terhanyut, jadi jasad mereka di makamkan di sampingnya."
"Oh ya?" Aku menatap cowok di sampingku yang tersenyum, rambutku terus tertiup angin yang begitu kencang saat berdiri di sekitar sini.
Tiba-tiba cowok itu mengeluarkan rokoknya dan menyalakan api, padahal angin bertiup kencang. Aku tak suka orang merokok. Aku hanya menutup hidungku dari asap yang masuk ke paru-paruku yang masih bersih. Baiklah, hatiku sudah menghitam, karena keadaan keluargaku.
Cowok itu memeluk leherku. Aku langsung menepuk tangannya, hufh ... Dia rese sekali.
"Kamu cantik." Aku melihat ke arahnya, yang masih memandang ke bawah dengan dua jari mengapit rokok. Apa enaknya sih merokok?
"Ayo jalan."
"Heh kemana?" pekikku saat tubuhku sudah ditarik dari jembatan dan menuju pinggir jembatan. Ia membawaku ke semak-semak, banyak tumbuh ilalang yang begitu tinggi. Sebenarnya ini pinggir jalan, tapi sepi kendaraan yang melewati.
"Kita mau ke kuburan."
"Hih. Takut." Cowok itu terkekeh, dan mengacak rambutku. Dia suka mengacak rambutku, membuatku hanya mengerucutkan wajahku karena kesal. Sambil memukul tangannya.
"Ayo." Ia pun menarik tanganku, sambil berlari kecil. Aku juga mengikutinya, berlari-lari seperti anak kecil, tapi rasanya menyenangkan walaupun norak.
Tiba-tiba kami sudah masuk ke dalam semak-semak tinggi tadi. Di dalamnya tidak menyeramkan seperti terlihat dari luar. Kami masuk ke dalam dan terdapat sebuah lapangan yang sedikit lapang hanya sekedar duduk ditutupi oleh hanyak ilalang, yang tumbuh di sekitarnya.
"Baring sini." Cowok itu menunjuk lapangan luas di sampingnya. Aku hanya melototkan mataku, tidak mau! Kukitku akan terasa gatal dan banyak batu-batu tajam kecil yang akan menusuk tubuhku.
"Ayo cepat kesini." Perlahan aku mendekatinya. Ia duduk, dan aku ikut duduk di sampingnya.
"Bukankah berbaring seperti ini indah?"
"Tapi, aku nggak mau. Nanti gatal-gatal badannya."
"Baring di atas tubuh abang dek." Aku hanya tertawa, saat cowok itu menepuk dadanya. Dia rese tapi suka menghibur juga. Entah berapa kali bersamanya, aku terus tertawa.
Akhirnya, aku duduk di sampingnya tiba-tiba ia menggenggam tanganku, aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum padaku, aku hanya diam. Dia tampan, senyumannya manis. Tangannya terasa dingin, tapi juga menghangatkan. Ia membawa tanganku dalam mulutnya, dan menciumnya disana. Aku mencium aroma rokok dari tangannya.
Kemudian, aku menurut saja saat ia membawa tubuhku berbaring di rumput tadi. Aku menurut, dan ekspektasi batu-batu kecil tajam yang menusuk tidak ada. Aku tetap berbaring, tanpa merasakan kesakitan, rupanya rumputnya sedikit tebal.
Tangan kami saling bertaut dan berbaring di rumput, sambil menutup mata karena silau dengan matahari.
Aku menutup semua mataku, dan memikirkan keluargaku yang berantakan. Bukan! Aku saja yang berantakan. Kehadiranku, tidak diterima oleh mereka. Aku mencoba mengingat dari kecil, apa pernah disayang? Rasanya tidak ada. Saat aku tahu bagaimana kejamnya dunia, aku tahu aku selalu dibedakan oleh saudara-saudaraku. Saat Meisha yang berbuat salah, maka aku yang disalahkan. Selalu seperti itu, apalagi jika aku berbuat salah, mama akan lebih murka padaku, bahkan aku masih ingat mama menamparku hingga berdarah.
Aku menggigit bibirku, dan hampir meneteskan air mata. Mataku sudah memanas, walau aku menutup mata. Tahu dunia begitu kejam padaku yang manusia hina, dunia tidak pernah berpihak padaku. Dunia senang menghukumku, atas kesalahan yang aku sendiri tidak tahu.
Saat sadar, aku meniduri tas dan di bawahnya ada pena yang bisa patah, aku bangun dan melepaskan tas milikku, sambil duduk. Kepalaku pusing, berbaring di tempat yang rata dan keras tak ada bantal.
"Lihat burung-burung disana. Mereka seperti tak ada beban, bebas terbang ke angkasa tanpa berpikir PR, berpikir tentang kesalahan yang mereka lakukan." Aku mengangguk mengiyakan, bahkan hidup burung lebih berguna dari hidupku.
Cowok itu tiba-tiba memeluk pinggangku. Awalnya aku risih, tapi aku hanya diam, dan kami terdiam dengan memikirkan masalah kehidupan masing-masing.
Aku terlalu sibuk dengan kerasnya hidupku, sampai aku seperti tak pernah menikmati hidupku sebagai seorang remaja. Padahal katanya, masa remaja adalah masih paling indah, dari semua fase kehidupan manusia. Saat remaja, kita hanya disibukkan dengan masalah cinta. Perasaan yang berbalas, atau mempunyai pacar yang brengsek. Tapi, hidupku terlalu keras membuatku tak sempat berpikir kesana. Dan juga, aku tak ingin berpacaran, karena semakin menambah beban dan masalah di hidupku nanti. Aku mencoba meminimalisir permasalahan di kehidupanku.
"Masih panas nggak?" tanya cowok itu, aku hanya menggeleng. Aku masih memikirkan nasibku dan keluargaku. Panas seperti ini, tidak sepanas di rumah yang terasa seperti neraka buatku.
"Mau pulang?" Entah kenapa aku menggeleng. Dunia seperti menolakku untuk pulang ke rumah yang penuh neraka. Biarkan aku seharian berada di luar, dan merasakan sedikit kelagaan dalam berpikir dan bernapas. Saat berada dalam rumah, aku merasa seperti napasku dicekik.
"Yaudah, disini panas. Mau ke rumahku?"
"Heh ngapain?"
"Makan?" Aku menatap cowok itu, dia sebenarnya tulus atau tidak.
"Kamu tulus berteman sama aku?" Aku menatapnya dalam. Ia menatapku tapi mata itu, selalu tak bisa dibaca. Cowok itu menarik napas panjang. Jika dia tulus berteman bersamaku, tidak ada salahnya aku berteman bersama dia dan aku mungkin bisa menceritakan sikap keluargaku atau apa yang aku rasakan. Sejujurnya, aku butuh teman untuk berbagi.
"Iya. Ayok."
Cowok itu berdiri dan menarik tanganku. Aku mengikutinya dan berdiri. Matahari yang tadinya meninggi, sekarang seperti malu-malu bersembunyi di balik awan. Panas tadi yang menyengat, tiba-tiba terasa kelam sekarang. Langit berubah, jika hatiku sedang sedih sekarang aku dengan senang hati mengizinkan hujan turun sekarang dan aku bisa menangis di bawah guyuran hujan dari langit.
"Mendung." Cowok itu mengandeng tanganku sambil memandang ke atas. Aku hanya diam, belum sempat kami berlari dari kuasa alam. Hujan sudah turun. Cepat sekali hujan turun? Padahal, baru saja tadi aku merasakan panas.
Akhirnya dengan buru-buru kami menaiki motor cowok itu, sambil menerobos hujan. Aku memeluk jaket kulitnya yang basah. Aku hanya mampu menunduk, saat merasakn bulir-bulir hujan yang sangat besar menumpahi diriku dan rasanya sakit.
Aku tahu, sekarang tubuhku sudah basah. Hufh, dan bagaimana dengan buku-buku yang ada dalam tas.
"Nanti jemur dulu bajunya."
"Hah?" Aku tak terlalu medengar jelas karena hujan sangat deras, dan cowok itu melaju sangat kencang. Aku semakin mencengkram jaket miliknya sambil bersembunyi di balik punggungnya.
Saat motornya melaju perlahan, aku tahu saat itu kami sudah memasuki rumahnya. Aku mengangkat wajahku melihat rumahnya, rumah cowok ini cantik dan bisa dibilang mewah. Ia tinggal di kawasan yang khusus rumah cantik.
Saat membuka pintu pagar, kami masuk ke dalam rumahnya. Halaman depan rumahnya banyak bunga dengam berbagai macam warna, dan ada pohon mangga di depannya. Rumahnya cantik.
Tubuhku menggigil.
"Oh iya, kamu ganti baju ya. Nanti bajunya dikeringkan dulu." Aku menunduk melihat rok milikku yang terus menetes. Aku memeluk diriku sendiri. Yang aku inginkan, baju kering dan selimut yang hangat, sambil tidur.
Aku membuka sepatuku yang basah dan hanya berdiri di teras rumahnya. Tak berani masuk, nanti rumahnya basah.
"Nggak papa, masuk aja. Nanti di bagian kanan ada kamar mandi. Ada handuk juga di dalam. Nanti aku pinjamkan baju aku." Aku mengangguk, dan berlari cepat ke kamar mandi walau rumahnya sudah basah. Dengan cepat aku melaksanakan ritual mandi dan keluar hanya berbalut handuk. Aku memeras baju seragam hingga kering. Karena aku harus pulang dengan memakai seragam yang sudah kering.
"Oh iya ini baju aku. Celananya juga pakai boxer aja ya." Cowok itu melempar bajunya berwarna kuning dan boxer berwarna biru. Bahkan dalam kamar mandi, aku sempat mencium aroma tubuhnya. Aku suka wangi tubuhnya.
Aku melihat tubuh kecilku tenggelam dalam baju kebesaran ini hingga mencapai lutut dan juga boxer yang kebesaran, beruntung celana karet yang tidak kedodoran.
"Alamak tak pakai BH." aku berseru malu, saat melihat ada tonjolan di pakaianku. Semoga cowok itu tidak sadar.
Aku keluar, dan melihat cowok itu sudah menonton TV.
"Oh iya ini jemurnya di mana?" Aku menunjuk pakaianku yang basah. Bahkan bra dan panties sengaja kucuci dan peras nanti bisa dipakai lagi.
"Sini." Cowok itu mengambil pakaianku. Tapi dengan cepat aku mencegahnya karena takut ia memegang pakaian dalam milikku.
"Aku aja yang jemur."
"Tuh kipasnya." Cowok itu menunjuk kipas besi yang berdiri kokoh di samping TV ramping yang berlayar sangat luas tersebut.
Aku mengibaskan dan berharap semoga pakaianku cepat kering dan pulang.
"Mau dikeringin pakai mesin cuci nggak? Biar cepat kering." Aku menggeleng, dan duduk di samping cowok ini, sambil memeluk tubuh sendiri.
Dingin, tapi perutku keroncongan.
"Dingin-dingin gini, enak makan mie." Dengan cepat aku mengangguk. Perutku lapar dan mie kedengarannya sangat mengiurkan.
"Aku masak dulu."
"Biar aku bantu." Aku langsung menawarkan diri. Dia sudah berbaik hati menampungku dan mau memberiku makan, jadi aku harus membalasnya. Asal dia mendampingiku agar aku tak kesulitan mencari barang-barang.
Cowok itu mengeluarkan dua bungkus mie dari laci.
"Kamu suka pakai sayur?" Cowok itu mengangguk, aku memegang pisau sekarang, niat hati ingin mengiris bawang karena aku ingin menumis bawang terlebih dahulu.
"Semua suka." Komentarnya, sambil mengeluarkan sayur dari dalam kulkas.
"Orang tuamu nggak ada?" Cowik itu menatapku sebentar. Ia sedang berjongkok di bawah kulkas, mengambil sawi yang mau dimasak.
"Ada kerja." Cowok itu mengambil sayur dan mencuci terlebih dahulu.
"Oh iya, aku selalu lupa nama kamu. Siapa nama kamu?"
"Panggil aku bee." Aku menggeleng. Kedengarannya begitu norak. Aku hanya ingin panggilan normal.
"Ayden. Kan aku udah bilang berkali-kali." Aku langsung mencatat namanya dalam otakku, semoga aku tidak melupakan namanya secepat ini.
Aku meletakan wajan di atas kompor menghidupkan kompor dan menumis bawang terlebih dahulu.
"Oh iya, makan pedas enak juga." Cowok itu langsung mengeluarkan sebotol saos dari lucu. Rumahanya semua makanan lengkap. Aish lupa, namanya Ayden. Tolong ingatkan aku, jika aku lupa lagi namanya. Padahal, namanya tidak susah.
Aku memasukan sayur, telur dan terkahir mie. Hufh, dari baunya saja snagat mengugah selera. Di luar juga hujan sepertinya tidak sederas awal.
Mie aku tuangkan dalam dua mangkok. Cowok itu membawa minuman dingin, aku membawa mie tadi duduk di depan sofa tadi yang awalnya. Kami melewati pakaianku yang masih dijemur. Terlihat, panties milikku berwarna pink sedang melayang di atas kipas. Hufh... Bikin malu saja.
"Jangan lihat dalaman aku." Aku berbalik dan melihat cowok itu. Dan benar saja, matanya melihat kesana.
"Coba tadi nggak bilang, aku nggak lihat kok." alibinya. Aku hanya mendesis kesal. Alasan banyak.
Kami kembali duduk di sofa tadi, dengan memegang masing-masing mangkok yang berisi mie yang masih berasap.
Aku membuka minuman kaleng terlebih dahulu, mendinginkan perutku sebelum makanan hangat menyapa lambungku.
"Nanti pulangnya nunggu hujan reda aja." Aku mengangguk, kami makan dalam diam. Aku harus menunggu pakaianku kering baru pulang. Lagian di rumah, tidak ada yang menungguku dan mereka tak peduli jika aku tidak pulang. Bahkan mereka senang, dan berharao aku mati duluan.
Selesai makan, cowok itu mengajak nonton TV, awalnya ia ingin menonton film horor, tapi aku tak mau karena aku tak suka film horor dan bisa saja ia modus.
Bosan nonton TV, ia mengajakku main monopoli. Sampai bosan, tapi aku senang berada di sekitarnya. Aku bebas tertawa, dan mengeluarkan ekspresiku. Bukan hanya terkurung sendirian dalam kamar yang membuat hidupku terlihat makin menyedihkan, dan membuatku ingin terus melukai diri. Akhir-akhir ini, aku sudah jarang melukai diri. Mungkin aku sudah pada tahap bodo amat, walau aku masih belum tenang saat tidur setiap malam. Aku harus minum obat tidur, baru aku merasakan ketangangan.
Saat hujan reda dan bajuku kering, sudah sangat malam. Pukul 09.27. saat aku melangkah keluar dari rumah itu. Aku sudah makan malam, cowok itu bilang orang tuanya kerja tapi orang tuanya tak ada pulang. Malam itu, ia memasan ayam goreng. Kami kembali makan, dan bermain monopoli hingga bosan.
Ia mengajakku untuk kembali ke rumahnya, tapi aku tak menjawabnya.
_____________________________Dan sekarang, aku sedang berjalan pelan menuju rumahku sambil menenteng sepatuku yang masih basah. Aku tak tahu, besok mau pakai sepatu apa ke sekolah. Aku tak punya cadangan.
Aku membuka pelan pintu dapur, berharap belum dikunci.
"Nggak bisa gitu mak! Walau bagaimanapun, dia harus dicari. Bagaimana kalau dia dicuri om-om pedofil, pejahat kelamin?"
"Biar aja, biar dia membusuk di jalanan!" Mama berteriak. Tubuhku sampai gemetaran mendergarnya.
"Lisha anak kita Ma."
"Dia bukan anak aku!" pekikan Mama begitu kuat. Aku mengintip di balik pintu, dengan tubuh gemetaran. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tak mungkin tidur di luar. Jika, aku masuk sekarang, Mama dan Papa akan semakin murka padaku.
Aku bersandar di pintu, tanpa sadar pintu tergeser. Oh bencana!
Ke dua orang tua itu, menatapku seperti melihat daging segar. Habislah diriku setelah ini.
"Jalan kecil pulang pak. Dia cari pelanggan sampai larut seperti ini. Mulai besok, jangan kasih dia makan. Biar dia cari om-om perut buncit yang mau kasih makan dia!"
Aku hanya berani menunduk, tak berani menatap mereka, dan tak berani bergerak. Tubuhku kaku.
Plak!
Plak!
Plak!
Plak!
Dan saat kurasakan empat kali tamparan keras melayang ke pipiku. Kepalaku langsung pusing, air mata turun tanpa bisa kucegah. Seperti yang kubilang, aku benci dengan hidupku!
"Anak pembawa sial! Kenapa tak mati aja dari dulu?!"
Dan sepertinya aku harus bersenang-senang malam ini, dengan mengoreskan lenganku yang lukanya sudah kering.
_______________________Hi, gimana perasaan kalian baca bab ini?
Tujuan cerita ini untuk menceritakan, sex edu dan juga bagaimana kekerasan terhadap anak. Jangan sampai, kita mengalami seperti ini atau melakukan seperti ini. Jangan yaπ₯Ίπ₯Ίπ₯Ί.
Buat para orang tua. Please-please sayangilah mereka. Mereka adalah titipan, bukan hak kalian yang bisa kalian buat sesukanya. Tidak! Kalian mempunyai tugas yang berat, untuk mengajarkan mereka.
Semoga kita mendapatkan atau mendidik anak kita bukan seperti cerita ini.
Jangan bosan!Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berani bersuara. Aku harus berontak, karena aku tak bisa dibiarkan terus tersiksa seperti ini."Kenapa Lisha nggak pernah disayang Ma? Apa Lisha anak haram?" tanyaku dengan lirih, berharap hati orang tuaku luluh. Kalau aku anak mereka, karena keiginan mereka aku dilahirkan ke dunia. Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia, jika tahu hidupku hanya akan membuat orang di sekitarku benci dan selalu pembawa sial."Nggak usah banyak tanya! Jangan panggil aku mama!" teriakan Mama semakin membuatku hancur. Aku sempat melirik ke arah Papa yang memalingkan wajahnya. Tubuhku semakin bergetar, jika memang kehadiranku tak bisa diharapkan siapapun, lebih baik aku tidak hidup di dunia ini. Aku mengepalkan tanganku, rasa untuk bunuh diri begitu besar. Jika orang beranggapan bahwa orang bunuh diri adalah orang pengecut, kalian salah besar. Orang yang bunuh diri adalah pemberani yang mengambil keputusan
"Bisa-bisanya, udah sebulan tapi tak berhasil juga." Jovan menghisap rokoknya karena kesal. Pemburuannya tak membuahkan hasil. Si perek kecil itu susah sekali ditemukan. Ayden yang bersama rombongan memilih diam, karena ia yang selalu menyelamatkan gadis itu dari rencana busuk Jovan dan kawan-kawan.Apa Ayden tulus? Kita lihat saja nanti. Ayden memilih pura-pura menggigit roti. Selama ini Jovan dan kawan-kawan tak tahu, jika ia sengaja tak berkumpul atau pura-pura izin karena ingin terus bersama Delisha. Bersama gadis itu seperti menjadi candunya. Saat melihat tatapan polos, tapi menyimpan banyak luka di dalam. Ayden bisa melihatnya, bukan berarti ia cenayang atau seorang psikolog handal, Ayden hanya bisa melihat melalui mata itu, mata itu mengatakan segalanya.Ayden merenggakan jari-jarinya, diam-diam ia merindukan gadis itu. Ayden senang saat melihat bagaimana Delisha melotot padanya, bagaimana ekspresi Delisha yang membuatnya selalu gem
Aku menutup mataku, menggigit bibirku menikmati rasa asing yang nikmat menyerangku dari berbagai arah. Kenapa aku baru tahu, kalau bermain seperti ini rasanya luar biasa? Ya Tuhan, biasakah aku merasakan ini untuk selamanya?"Enak?" tanya Ayden. Aku hanya mengeluh, tak berani membuka mataku. Ini rasanya seperti surga. Diibaratkan makanan juga, makanan kalah enaknya karena ini seperti makanan paling lezat sedunia. Aku memeluk belakang Ayden, mencium aroma tubuhnya yang lama-lama berubah bercampur dengan keringatnya, tapi masih menjadi bau yang enak dicium."Nggak sakit 'kan?" Aku menggeleng, dan tak bisa bicara lagi, saat Ayden dengan brutal mencium bibirku dan juga miliknya di bawah sana semakin dalam memompa miliku, aku merasa sesak dan penuh. Kupu-kupu semakin berterbangan dan aku merasa seperti ingin meledak ke awan. Ini bukan tentang rasa asin, manis atau gurih, ini tentang bagaimana semua rasa nikmat disatukan dan membuat kita tak bisa mengatasi semua
"Lisha." Aku menoleh pada Meisha yang mengintip di balik pintu. Kenapa dia? Aku memalingkan wajahku lagi malas berhubungan dengan orang-orang ini. Entah kenapa, aku ingin sepenuhnya bergantung hidup pada Ayden. Tapi dia saja masih remaja sepertiku. Coba saja dia sudah bekerja, aku dengan senang hati tinggal di rumahnya."Woi setan! Dipanggil." teriak Meisha dengan gondok. Tapi aku tetap mengabaikan dirinya. Memangnya dia siapa?"Woi sial!"Aku mengurat dadaku, saat Meisha langsung menendang pintu. Dia memang tak pernah tahu sopan santun! Meisha juga sangat kurang ajar padaku, padahal aku lebih tua darinya. Semua karena para iblis itu mengajarkan untuk anak kesayangan mereka jadi kurang ajar dan tidak tahu cara menghargai orang lain. Mereka bahkan menganggaapku binatang. Aku meremas bajuku, betapa hidupku tak berguna seperti ini. Bahkan, hidup nyamuk lebih bermartabat dariku."Woi sial! Minta nomor HP." Aku mengangkat wajahku dan menata
"Makan?" Aku menggeleng. Sudah seminggu aku terkurung dalam sangkar emas Oma. Harusnya aku merayakan bisa terbebas dari para iblis, tapi aku mengkhawatirkan sekolahku. Sedari dulu, walau bukan orang yang berprestasi aku selalu mengutamakan pendidikan. Aku ingin menjadi orang yang terpelajar dan terdidik agar bisa dihargai orang ketika menginjak usia dewasa."Oma ... Lisha mau sekolah.""Pulihkan diri dulu. Kamu tak bisa terus bersama para iblis itu. Atau mau pindah sekolah." Aku tahu, Oma sangat mengkhawatirkan kesehatan mentalku. Tapi aku sebenarnya ingin meyakinkan Oma bahwa aku baik-baik saja."Oma ... Lisha sebentar lulus sekolah. Saat masuk SMA, Lisha bisa pindah kesini. Sekarang mau pindah nanggung, Lisha hitungan bulan sudah tamat.""Bagaimana kalau mereka masih jahat sama kamu?" Aku terdiam, aku tahu tak ada jaminan untukku selamat dari Mama. Mama pasti akan menyimpan dendam lebih padaku, tapi aku juga harus sekolah. Sekolah ta
Masa remaja adalah masa untuk mengenal jati diri. Dan adalah masa percobaan. Banyak hal di sekitar yang membuat para remaja penasaran dan coba-coba. Jika, tidak dibekali dengan ilmu yang cukup atau diberi edukasi yang baik tentu mereka akan terjerumus dan masa remaja yang seharusnya disiapkan demi masa depan seolah tergerus dan tak ada masa depan yang menjanjikan di sana.Seks edukasi itu sangat penting. Dan para orang tua sebisa mungkin mendengarkan anak-anak mereka saat mereka mengadu menjalani pelecehan seksual. Bukan malah tutup mulut, karena pelaku adalah keluarga dan akhirnya membuat anak trauma hingga dewasa.Delisha benar-benar tak tahu, jika masa depannya telah direnggut paksa. Bagaimana ia tak tahu, jika masa depannya bisa hancur hanya karena semua kepolosannya. Ketika dengan suka cita Delisha menyerahkan dirinya pada Ayden. Padahal Ayden juga begitu muda, belum mengerti apa itu bertanggung jawab jika seandainya ia hamil. Bahkan Delisha tak mengerti
Dari kecil Delisha meragukan Tuhan. Dan sekarang, Delisha masih mempertanyakan Yang Maha Kuasa. Bagaimana mungkin ia diberi cobaan bertubi-tubi yang seolah tak ada habisnya. Menangis juga rasanya percuma, semuanya sudah terjadi.Delisha diam! Lebih baik malaikat maut mencabut nyawanya sekarang. Gadis itu hanya bisa terdiam dalam waktu yang tak bisa ia katakan. Terdiam dalam waktu yang lama. Walau langkah pertama yang Delisha lakukan adalah ingin pergi ke toko buku. Delisha ingin membeli buku tentang kehamilan, entah kenapa gara-gara perkataan manusia laknat itu Delisha langsung sadar dan membuka matanya tentang apa yang terjadi padanya selama ini. Menyesal, kata itu seolah tak layak untuk dirinya, ia juga yang bodoh jadi memang Delisha harus menghapus kata menyesal dalam kamus hidupnya.Delisha berjalan kaki siang ini ke toko buku yang berjarak satu kilo. Walau tubuhnya belum begitu sehat, tapi Delisha terus berjalan karena ujian dalam hidupnya lebih berat se
Aku merasa seperti banyak kegelapan menyelimuti hidupku. Suara-suara asing yang berlari dalam kepalaku membuatku pusing, aku takut, aku ingin berlari sejauh mungkin dari sini. Aku tak tahu, apa yang menimpa hidupku sebenarnya.Aku bisa menetralkan napasku, ketika membuka mata dan melihat Ayden berhenti di sebuah rumah besar walau dari luar terlihat menyeramkan. Selama perjalanan aku sudah menduga ada yang tak beres di sini."Aku nggak mau turun!" Aku jadi merajuk. Bukan merajuk-merajuk manja, tapi aku memang tak mau turun dan masuk dalam rumah sarang hantu tersebut, aku yakin di dalamnya banyak penghuni."Ayo turun! Dua jam kita pergi sejauh ini." Aku hanya menggeleng dan memeluk lututku sendiri. Tak mau turun demi apapun, aku ingin hidup tenang walau hidupku selalu dipenuhi dengan bencana, setidaknya aku tidak mengundang bencana yang lain."Aku mau pulang!""Lisha ... Aku masih manggil baik-baik, jangan sampai aku main kas
"Cheryl, jangan cekik adiknya!" Delisha sudah berteriak, melihat Cheryl yang ternyata sangat nakal walau dia perempuan. Hobby manjat, merusak barang, dan membuat adiknya menangis.Delisha mendekat ke arah kedua anaknya dan memisahkan Cheryl dari Auden. Bayi mungil yang nengerjap-ngerjap lucu dan memasukan tangan ke mulut."Mami, makan." Delisha akhirnya mengendong Cheryl dan membawa ke dapur. Putrinya hanya bersandar di bahunya dan terus bergerak-gerak tak nyaman. Delisha merasa Cheryl ini lebih nakal dari Cheryl dan akan jadi preman ketika besar nanti."Mami masak spaghetti. Suka?" Cheryl mengangguk. Di usianya yang yang tiga tahun, Cheryl sudah lancar berbicara dan sangat cerewet."Duduk di meja, atau bantu Mami ngaduk pastanya." Cheryl membantu ibunya mengaduk dengan tangan mungilnya. Bocah itu duduk dekat tungku.Delisha menyiapkan saus untuk pasta mereka. Bayi Auden berusia lima bulan dan harus ekstra menjaganya,
Delisha memperhatikan perut buncitnya. Dengan terusan berwarna abu-abu dia duduk di sofa sambil nonton TV.Sejujurnya, untuk bernapas saja dia kesusahan sekarang. Wanita itu menunduk melihat kakinya yang membengkak."Mami, Sayang." Delisha berbalik melihat suaminya dan tersenyum, Ayden membawa susu di tangannya.Laki-laki itu meletakan gelas berisi susu di atas meja dan menarik kaki Delisha dan memijitnya."Capek bangat, ya?" Delisha hanya mengangguk. Sebenarnya sekarang masih pagi, dia sudah berjalan keliling komplek, disarankan berjalan atau melakukan olahraga kecil agar membantu proses kelahiran. Sedikit takut dan was-was. Saat kehamilan Cheryl dulu, Delisha tidak pernah merasa se was-was seperti ini. Mungkin karena kehamilan dulu tidak dia harapkan dan ketakutan."Kamu ngapaian?" pekik Delisha, ketika merasakan Ayden membuka dress miliknya. Terlihat gumpalan bulat dengan ujung perut yang terlihat memerah, urat-urat
Pesawat lepas landas dari Bandara Leonardo da Vinci di Fiumicino Roma menuju Bandara Punta Raisi di Palermo, ibu kota Sisilia. Cuaca pagi itu sangat cerah.Perjalanan satu jam menuju pulau Sisilia, membuat Mawar menggenggam tangan Juna norak, dia selalu terbayang tempat itu banyak mafia di sepanjang gang dan memegang senjata, salah melangkah, maka kamu akan tewas."Tuh kan, Yang." Mawar berbisik ketika tiba di bandara dan diperiksa langsung oleh seekor anjing herder besar berwarna coklat. Gadis itu mengintip melihat gigi-gigi anjing yang panjang dan tajam, bisa dipastikan semua kulit dan dagingnya koyak.Anjing itu mengendus-endus, jangan sampai ada barang haram yang terbawa masuk ke pulau ini.Setelah mengintip lagi, Mawar melihat banyak turis yang tersenyum cerah sama seperti cuaca di Sisilia pagi ini. Mawar sedikit bernapas lega, tampak tak ada polisi atau tentara bersenjata seperti bayangannya.Sisilia menawarkan keindah
Papergbag berisi banyak makanan, berada di tangannya.Keduanya berjalan sambil tersenyum, dan akan mengumumkan kehamilan Delisha ke orang tua Ayden. Usia yang tak lagi muda untuk mereka semua, tapi, Delisha dan Ayden menyambut antusias kehadiran Cheryl.Dulu sekali, saat masih remaja, bodoh dan naif, mereka merasa kehamilan itu awal bencana, teringat saat keduanya bolos sekolah demi mengugurkan anak walau gagal, berkali-kali menelan pil untuk mengugurkan anak, makan nanas mudah soda seperti yang orang-orang bilang, nyatanya tak berhasil."Mama." Delisha langsung bersorak norak, ketika memasuki ruang tamu.Ibu Ayden yang sudah tua dengan kulit keriput walau masih cantik tersenyum ke arahnya."Mama." Delisha memeluk Ibu Ayden, sosok ibu itu bisa dia rasakan, ketika dia hidup tidak pernah merasakan bagaimana punya ibu yang sayang dan peduli padanya."Papa." Delisha juga memeluk Papa mertua."Mama
"Di antara banyaknya kejadian, di antara semua kejadian yang entah sengaja atau tidak, pertemuan bersama kamu adalah sebuah pertemuan yang selalu membuatku bersyukur di antara semua embusan napas ini.Terima kasih, telah hadir dalam hidupku, terima kasih telah mengisi hari-hariku yang terasa suram dan seolah tak masa depan yang menjanjikan di sana, tapi, kehadiran kamu mencerahkan semuanya." Delisha tersenyum pada Ayden memegangi wajah laki-laki itu. Saat mengingat kisah hidupnya, dan juga perjalanan panjang ini rasanya air matanya terus saja meleleh, Ayden sengaja Tuhan ciptakan untuknya.Ayden menyeka air mata wanita cantik itu. Rumah tangga mereka terasa damai, usia yang matang membuat sama-sama mengerti dan mengalah. Telah saling mengenal nyaris seumur hidup, membuat Delisha dan Ayden sama-sama memahami."Terkadang, kalau dipikir-pikir, semuanya sudah Tuhan atur. Ya, dulu, aku merasa Tuhan kejam dan Tuhan tidak adil, tapi, ketika aku menari
Delisha tidak menyangka, ketika orang lain menikah di usia 20-an, maka, dia akan merasakan jadi pengantin baru di usia 36 tahun. Bukan lagi usia yang muda.Tidak ada acara mewah, tidak ada pesta di gedung seperti menikah banyakan wanita seperti seorang Princess. Cukup, dia terus bersama laki-laki itu.Kerasnya hidup membuat Delisha terus belajar, tak perlu banyak menuntut, asal bersyukur dengan apa yang kamu punya sekarang, maka, semuanya terasa lebih dari cukup.Wanita itu mematut dirinya di cermin. Gaun velvet brokat simple warna putih tulang yang Delisha pilih. Dia akan menambahkan mahkota kecil di kepalanya."Ah, sudah tua." Wanita itu berbicara pada dirinya sendiri dan menggeleng, takdir menuntun hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya ketika berusia 36 tahun, setelah melewati banyak hal bersama.Tak terasa, bulir bening setitik merembes melewati pipi kiri. Tidak ada yang dia punya di dunia kecuali Ayden. Wanita
"Anak Mami yang cantik, setahun itu rasanya cepat, lambat, menyiksa, kelam, terpendam. Tidak menyangka, kamu pergi untuk selamanya. Setahun berlalu, tapi, Mami tak pernah lihat senyuman kamu kecuali hanya dalam mimpi. Bahkan, udah jarang mami mimpi. Kenapa? Udah nggak rindu Mami, lagi? Udah bahagia di sana?" Delisha masih bersungut sambil curhat, di kuburan Cheryl."Ah, Mami masih belum ikhlas. Tapi ... Hari ini, dengan segala kelemahan, Mami datang untuk pertama kalinya ke sini. Ini bukan hal yang mudah, Nak. Tapi, perlahan Mami bisa bangkit. Kamu pergi, tapi, penyesalan terdalam dari kami semua takkan pernah kami lupa sama kami menyusulmu. Mami tahu, kamu pernah menyebut, Mami sebagai Mami yang kejam di muka bumi ini." air mata itu tak berhenti mengalir, bahkan semakin deras seperti air terjun Niagara. Padahal, Delisha sudah berjanji untuk melupakan semuanya, tapi kembali lagi ke kuburan, sama seperti kembali mengingat memori lama yang tersimpan, dan luka itu kembali
Enam bulan kemudian.Tidak mudah bagi Delisha untuk melewati ini semua. Dia terus saja menangis seperti orang gila, bahkan Delisha memilih resign dari pekerjaannya. Harusnya dia menyibukkan diri dengan bekerja agar tidak mengingat Cheryl terus-terusan, tapi Delisha tahu dia tidak akan bisa bekerja dengan tenang, daripada dia terus menangis saat bekerja, lebih baik Delisha mengurus anak-anaknya—berbagai macam bunga.Mulai menata diri, dan memperhatikan asupan.Bersama Ayden, Delisha bisa sampai sejauh ini. Jika tidak, mungkin dia sudah tinggal nama. Cheryl adalah alasan dia bertahan hidup, tapi saat putrinya pergi, dia tidak punya alasan lagi.Delisha menyisir rambutnya yang terus saja rontok, tapi dia sudah menata hidupnya, makan dengan teratur dan memberi vitamin rambut.Delisha sekarang jadi pengrajin bunga, dia menanam berbagai tanaman di samping rumahnya, yang ada gazebo. Delisha belum berani untuk mengunjung
Detik ini Delisha tahu hidupnya berubah, menit ini dia tahu putrinya yang cantik hanya tinggal nama. Berkali-kali dia pingsan, terbangun dan kembali pingsan, jika dia belum siap menerima kenyataan yang ada.Wanita itu terbaring lemah di atas kasur, jiwanya dibawa pergi, Cheryl pergi! Cheryl meninggalkan dirinya untuk selamanya, putri yang dia rawat dari kecil, putri cantik yang Delisha cinta sepenuh hati. Hatinya begitu sakit, tidak bersemangat untuk melakukan apa-apa."Lisha!" Delisha tak ingin mendengar apa-apa. Rasanya dia hanya ingin menangis, atau ikut meloncat ke kuburan Cheryl.Tubuhnya lemah. Saat merasakan sapuan itu Delisha semakin menutup matanya, jiwanya serasa ikut terbang, tidak ikhlas sama sekali!"Sayang." Delisha memekakan telinga dan mengunci semua indranya.Ini berat! Sangat berat!Ayden tahu, semuanya berubah dan tak lagi sama. Mungkin seumur hidupnya akan dia habiskan untuk penyesalan.