Share

Apa Yang Sudah Kulakukan

“Wanita yang kau tolong itu, sekarang ….”

“Sebentar Zal, wanita yang mana?” Rangga menatap sahabatnya dengan raut wajah yang bingung.

“Hah sudahlah! Ikut saja denganku!” Zaldi pun kemudian mengambil jas putihnya kemudian kembali berlari tanpa mengindahkan sahabatnya itu mengikutinya atau tidak.

Masih dalam kondisi belum sepenuhnya tersadar dengan keadaan, Rangga pun mengikuti Zaldi berlari menyusuri koridor rumah sakit. Setelah melihat sahabatnya itu memasuki ruang ICU, langkahnya terhenti dan tercenung sejenak, ‘Siapa yang di dalam sana? Mengapa Zaldi terlihat begitu panik?’ Monolognya dalam hati.

Meskipun begitu ia akhirnya tetap melanjutkan langkahnya, menuju ruangan di mana Zaldi sedang melakukan tugasnya. Dirinya berdiri mematung memperhatikan sahabatnya yang seperti sedang dilanda kepanikan luar biasa di dalam sana. Tak lama kemudian masuk seseorang yang ia tahu bahwa itu adalah dokter ahli kandungan. Seorang perawat hendak menutup tirai dari dalam ruangan, tapi sepertinya dicegah oleh Zaldi, karena perawat tersebut langsung menghentikan langkahnya dan kemudian melanjutkan tugasnya yang lain.

Kurang lebih satu jam Rangga menunggu dan melihat yang terjadi di dalam sana, akhirnya terlihat Zaldi dan juga dokter lainnya keluar dari ruangan tersebut. Kemudian menghampiri Rangga dengan wajah lelahnya, “Tenanglah, wanita itu baik-baik saja sekarang. Meskipun tadi sempat mengalami pendarahan, tapi tidak sampai membahayakan janinnya. Dia wanita yang sangat tangguh rupanya, semoga kesadarannya cepat kembali.”

“Wanita? Siapa?” Rangga menatap sahabatnya dengan ekspresi bingung dan menuntut penjelasan darinya.

“Emmh, Anda silahkan kembali melanjutkan tugas, terima kasih sudah membantu, Good Job!” Zaldi mengusir rekan kerjanya secara halus. Sadar dengan keadaan, dokter wanita itu kemudian berlalu setelah sebelumnya membungkukan badannya tanda menghormati seniornya.

“Duduklah dulu, aku jelaskan sekarang. Mungkin kesadaranmu belum sepenuhnya kembali, mengingat kemarin adalah hari terberat buatmu,” ucap Zaldi pada sahabatnya itu sembari mengajaknya duduk di ruang tunggu.

“Jadi begini Ga, kemarin kamu mengalami kejadian yang nyaris membahayakan nyawamu. Dan wanita yang di dalam sana, adalah orang yang telah menyelamatkanmu …,” bebernya menjelaskan kronologis kejadian kemarin dengan sabar, karena dirinya tahu bahwa sahabatnya ini memiliki gejala penyakit Alzheimer, yang mana penderitanya akan mengalami lupa ingatan secara mendadak.

Rangga menyimak semua yang diucapkan Zaldi dengan seksama, seakan hendak mereview kembali ingatannya tentang hari kemarin. Perlahan raut wajahnya berubah menjadi sedikit tenang, menandakan dirinya sudah bisa mengingat kembali potongan kejadian yang dialaminya.

“Lalu, bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik saja?” Rangga bertanya dengan rasa ingin tahunya yang tiba-tiba saja kembali menyeruak.

Zaldi tersenyum melihatnya, kemudian menghela napasnya secara perlahan.

“Dia wanita yang kuat dan tangguh, begitupun dengan bayinya. Kamu berhutang penjelasan padaku tentang hal ini, Bung!” Zaldi memukul pundak sahabatnya perlahan.

“Maksudmu, penjelasan apa? Aku tahu wanita itu sedang hamil, tapi itu bukan anakku, Zal. Aku juga baru tahu dari dokter yang pertama kali menolongnya di rumah sakit asal,” geram Rangga.

“Hey, sabar Bro. Aku cuma bercanda tadi, supaya kamu gak terlalu serius,” sanggah Zaldi seraya tertawa terkekeh meilhat reaksi sahabatnya yang dianggapnya berlebihan. Rangga pun tak kalah kesalnya dengan kelakar yang dilontarkan oleh Zaldi, akhirnya mereka berdua pun tertawa bersama.

“Sudah pagi, kamu gak niat pulang, Ga? Gak ke kantor gitu?”

“Pulang, tapi rasanya aku malas. Ke kantor hanya akan menambah beban pikiranku semakin berat, entah kapan bisa kembali bertemu dengan putraku itu. Akan kuberikan semuanya, tinggal aku menikmati masa tuaku di mension,” jawab Rangga dengan sedikit keluhan terdengar dari mulutnya.

“Lebih dari dua puluh tahun mencari informasi keberadannya, sampai sekarang belum juga ada titik terang tentang Hendrick. Semua memang salahku yang terlalu egois mementingkan nama baik keluarga, tanpa memikirkan kebahagiaan putraku satu-satunya. Andai waktu bisa terulang kembali …,” sesal Rangga, wajahnya menunduk menyembunyikan duka yang mendalam.

“Sudahlah, Ga. Hendrick akan baik-baik saja dimanapun ia berada, dan aku yakin ia akan kembali menemuimu suatu hari nanti,” ucap Zaldi.

“Kuharap begitu, karena semalam aku bermimpi tentangnya. Seperti hendak menyampaikan sesuatu, tapi keburu kamu bangunkan,” sahut Rangga terdengar ada nada penyesalan dan kesedihan dari ucapannya.

“Maafkan aku, untuk itu. Tapi jika terjadi sesuatu yang buruk dengan wanita itu, aku yakin kamu gak akan pernah memaafkanku,”

“Ya, kamu betul. Dan aku tentu saja akan mempertimbangkan kembali posisimu sebagai direktur rumah sakit ini,” gurau Rangga kini sudah mulai bisa bercanda dan tersenyum kembali.

“Serah, boss mah bebas. Yok, kita cari minuman hangat. Aku dengar bubur di kantin, lumayan juga,” ajak Zaldi seraya berdiri, begitupun dengan Rangga. Mereka berdua berjalan beriringan menuju kantin rumah sakit, setelah sebelumnya memberikan pengarahan pada dokter dan juga perawat yang bertugas menangani wanita yang ditolong Rangga.

***

Sementara itu, jauh di kota tempat sosok wanita yang terluka parah ditemukan oleh Rangga, terdapat seorang pria sedang duduk santai menikmati secangkir teh melati hangat sembari membaca berita lokal dari ponselnya. Bibirnya terlukis seringai misteri kala melihat berita yang dicarinya, bahkan seringai itu pun kini telah berubah menjadi sebuah kekehan yang menyeramkan.

Kemudian pria itu mengeluarkan sebuah foto dari dalam dompetnya, dipandanginya foto tersebut dengan raut wajahnya yang telah berubah sendu.

“Maafkan aku sayang, terpaksa melakukan semua ini padamu. Andai saja kamu tak terlalu mendesakku untuk menikahimu segera, tentu kita masih duduk bersama pagi ini, menikmati indahnya mentari bersinar,” gumamnya seraya mengusap lembut foto tersebut.

“Ditambah pula ibu tirimu yang serakah itu, selalu mendesakku untuk secepatnya melenyapkanmu. Tapi kamu tenang saja, aku takkan pernah memberikan semua milikmu padanya. Hanya aku yang berhak, karena semua orang tahu bahwa aku adalah tunanganmu. Dan aku pastikan mengurus semuanya dengan baik, termasuk ibu tirimu. Berbahagialah di sana sayangku, Zora.” Pria itu kemudian merobek foto itu menjadi serpihan kecil, dan membuangnya begitu saja, membuat serpihan tadi terbang tertiup angin yang berhembus lembut di pagi hari itu.

Kemudian pria itu beranjak masuk ke dalam sebuah kamar, dan membuka lemari pakaian. Nampak barisan baju-baju indah tertata rapi di dalamnya, begitupun dengan baju-baju rumah. Pria itu kemudian mengambil sebuah koper besar dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu membukanya.

Dengan kasar di masukkannya semua baju-baju itu ke dalam koper, tanpa dirapikan terlebih dahulu. Terlihat koper itu tak bisa menampung semua baju-baju yang ada di dalam lemari tersebut, kemudian ia mengambil beberapa kardus dari dalam gudang. Setelah itu ia melanjutkan kembali memasukan semua baju ke dalam kardus yang telah disediakannya.

Namun pada saat memindahkan baju ditumpukan terakhir, tiba-tiba saja sebuah amplop putih terjatuh ke lantai.

“Apa ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status