Ternyata Khana mengikuti Husein secara diam-diam. Ia juga mendengar semua ucapan Dokter Hans."Apa benar yang dikatan lelaki bedebah itu?" tanya Khana seorang diri.Dokter Hans yang pingsan akhirnya ditinggalkan begitu saja di dalam sel tahanan. Husein pun beranjak pergi. Sementara Khana langsung bersembunyi.Detik berikutnya Khana juga meninggalkan markas rahasia itu sebelum ketahuan sang suami kalau dirinya tak ada di rumah.Sampai di rumah, Khana langsung pura-pura tidur di kamarnya, sedangkan Husein kembali ke rumah utama untuk mempertanyakan pada ibunya tentang pengakuan Dokter Hans."Dari mana saja kau, sayang?" tanya Ros seraya tersenyum menatap wajah Putranya."Dari markas, Bu.""Malam-malam begini?''Husein mengangguk, "Ya, Bu.""Kau pasti menunemui Dokter pengkhianat itu, bukan?""Ya, dan dia berkata tentang dua kejujuran malam ini," papar Husein."Apa yang dikatakannya?""Ibu adalah dalang dari semuanya.''Mata Ros membesar mendengar penuturan Husein tersebut. Detik beriku
Areta yang mendengar berita terbaru dari Khana itu, ia langsung bergegas menuju kota kediaman suaminya untuk janjian berjumpa dengan Adik madunya, Khana.Sampai di sebuah cafe, Areta duduk sembari menunggu kedatangan Khana. Ia juga memesan segelas minuman dingin."Areta," lirih seseorang yang suaranya tak asing baginya.Areta menoleh ke arah suara, dan ternyata ...."Mery, senangnya bisa bertemu denganmu di sini," seru Areta antusias.Areta dan Mery saling berpelukan melepas rindu setelah beberapa bulan tak pernah bertemu."Apa kabarmu, Areta? Sekarang kau tinggal di mana?""Saya tidak baik-baik saja, Mer. Tuan Husein tak lama lagi akan menceraikan saya," papar Areta."Apa dia setidak percaya itu padamu, Areta? Semua ini pasti karena wanita murahan itu!""Siapa yang anda maksud murahan?" sambung Khana yang muncul di antara keduanya.Mery berlonjak kaget. Ia tak menyangka kalau orang yang ia maksud hadir di dekatnya."Duduklah, Nona Khana! Tidak perlu memperpanjang masalah lain," ujar
Seperginya Ros, Khana langsung menyusul Husein ke dalam kamar. Ia ingin menanyakan tentang keputusan suaminya pergi ke pengadilan."Tuan, hem ... apa Tuan masih marah padaku/" tanya Khana dengan ragu-ragu."Saya tidak marah. Saya hanya kecewa, dan dua hal itu berbeda makna, Nona Khana."Khana menghela nafas kasar mendegar perkataan suaminya. "Maafkan aku, Tuan. Seandainya waktu bisa kuulang, maka aku tak akan pernah melakukan hal tak terpuji itu.""Sudahlah! Nyatanya semua sudah terlanjur terjadi," ujar Husein seraya memalingkan tubuhnya membelakangi Khana."Tuan, sekali lagi aku mohon ampunanmu!""Saya butuh waktu untuk melupakan rasa kekecewaan ini. Jadi,saya harap kamu mengerti!" papar Husein dengan intonasi yang dingin."Oke, Tuan. Aku akan coba mengerti, tapi saat ini aku ingin membahas masalah lain.""Katakan! saya sangat lelah, jadi jangan bertele-tele!""Apa tadi Tuan jadi ke pengadilan?" tanya Khana dengan pelan.Husein menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan
Khana menguatkan langkahnya untuk kembali ke rumah sebelah. Sore ini ia membiarkan Husein meratapi kesedihannya seorang diri di dalam kamar milik Areta."Ternyata begini rasanya menjadi Nyonya Areta. Bahkan, mungkin jauh lebih sakit. Aku sadar, aku telah merusak kebahagiaannya. Sekarang aku baru terasa, betapa perihnya menerima orang yang dicintai, malah mencintai wanita lain," lirih Khana sembari meringkuk memegangi lututnya sendiri.Air mata berderai dengan deras di wajah cantik selir muda itu. Ia tak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Areta menerima kenyataan. Juga tak menyangka kalau Husein akan sesedih ini. Sekarang keadaan menjadi serba salah.Dering ponselnya membuat tangisan itu terhenti. Khana melirik ke layar handphone yang menyala. Sebuah nama tertera di sana, Areta. Cepat-cepat ia meraihnya dan menjawab panggilan dari istri pertama suaminya tersebut."Halo, Nyonya!" sapa Khana.Di seberang telepon, Areta mengusap air matanya yang kembali jatuh ke pipi. Bicara deng
Sejak mengetahui satu kebohongan yang disembunyikan Ibunya itu, Husein pun mulai lebih teliti dalam membaca dan mengawasi situasi. Musuh ternyata berada sangat dekat dengannya, bahkan ia juga mencurigai ucapan Dokter Hans adalah benar."Bagaimana kalau yang dikatakan Dokter sialan itu memang kebenarannya? Tidak! Saya tak bisa meneruskan perceraian dengan Areta sebelum semua ini jelas," gumam Husein sembari mondar-mandir di ruangan pribadinya.Tak lama ketukan pintu menyadarkan Husein dari kegelisahan."Husein, kau di dalam kah?" tanya Ros dengan intonasi suara penuh kasih sayang. Tidak ada yang janggal dan mencurigakan. Selama ini sikap Ibunya sangat baik dan penuh perhatian. Ia tak menyangka kalau wanita yang paling dipercayainya mampu membohongi dirinya masalah nafkah untuk Areta tersebut.Husein membukakan pintu, ia tersenyum seperti biasa, "Ada apa, Bu?""Hari ini kan hari minggu, tetapi kenapa kau berada di ruangan kerjamu?""Banyak tugas yang harus saya bereskan, Bu. Tak peduli
Waktu terus bergerak maju, tapi Husein malah semakin larut dalam kenangan masa lalu. Ia terlelap di bak mandi yang airnya sudah tak hangat lagi. Khana merasa ada yang aneh, karena tak biasanya sang suami mandi begitu lama.Akhirnya selir muda tersebut memberanikan diri melangkah ke depan pintu kamar mandi, lalu ia mengetuknya.Tok! Tok! "Tuan, apa Tuan baik-baik saja?"Husein terbangun mendengar suara Khana. Kemudia ia berseru, "Ya, saya sebentar lagi keluar! Jika, Nona ingin mandi sebaiknya ke kamar mandi yang lain saja!"Khana menautkan alisnya heran. Namun, ia tak berkata apa-apa lagi.Beberapa menit menunggu, Husein pun keluar menggunakan handuk di pinggangnya. Dada bidang yang penuh bulu halus itu menambah kesan kejantanannya semakin terpancar. Khana mendekat dan mencoba membelai penuh kasih sayang, tetapi Husein menolak."Saya sangat lelah, bisakah Nona minta pada pelayan untuk membuatkan saya lemon tea hangat?""Hem, baiklah." Khana sadar, itu hanya alasan Husein agar ia tak m
Husein memang tak betah di rumah, karena adanya Flo. Namun, bukan hanya itu, pikirannya sekarang selalu mengarah pada Areta. Ia tak mau melanjutkan perceraian.Di ruangan kerjanya, Husein mencoba meraih ponsel dan menekan tombol panggilan pada kontak mediator yang bertugas sebagai pembimbing mediasi mereka."Selamat pagi, Tuan Husein! Ada yang bisa saya bantu?""Pagi! Bisakah jadwal mediasi dimajukan sore ini? Ada hal penting yang harus saya sampaikan. Saya tak suka penolakan apa pun alasannya!" Kalimat Husein jelas bukan sebuah permintaan, tapi melainkan perintah."Ba--baik, Tuan."Panggilan ditutup. Detik berikutnya sang mediator menghubungi Areta untu memberitahukan jadwal mediasi kedua yang dipercepat."Sore ini?" Areta mendesah kesal. Dia berpikir Husein sudah tak sabar ingin memutuskan hubungan dengannya. "Baik. saya akan datang.""Terima kasih, Nyonya Areta. Sampai bertemu!"__Di sisi lain, Ros dan Flo sedang merencanakan sesuatu. Mereka tak terima dengan perlakuan serta sika
Di dalam kamar, husein meraih lembut tangan selirnya. Ia sangat tak menduga dengan kemurahan hati Khana pada Areta."Andai saya mendengarkan semua saran darimu, Nona Khana. Mungkin masalah ini tidak akan sempat menjadi begitu panjang," serunya."Hem, sudahlah, Tuan. Aku juga tak sempurna, tapi jujur aku ingin memperbaikinya. Tolong maafkan kesalahanku," papar Khana.Husein mengangguk seraya tersenyum ke arah Khana. Pelukan hangat tercipta lagi antara keduanya. Setelah itu, barulah dia keluar menemui Areta. Khana cemburu, tetapi keadaan ini jauh lebih menyenangkan.Langkah Husein gugup saat memasuki kamar istri tuanya. Sudah tiga bulan Areta tak bersamanya, rasa canggung itu menyeruak di dirinya."Areta," lirihnya dengan intonasi suara yang bergetar."Ya, Tuan." Dingin sikap Areta membuatnya semakin merasa bersalah."Saya tidak tahu bagaimana cara saya menebus kesalahan saya padamu. Akan tetapi, saya sungguh-sungguh menyesalinya. Saya akan melakukan apa saja untuk menerima maafmu."Are