Seperginya Ros, Khana langsung menyusul Husein ke dalam kamar. Ia ingin menanyakan tentang keputusan suaminya pergi ke pengadilan."Tuan, hem ... apa Tuan masih marah padaku/" tanya Khana dengan ragu-ragu."Saya tidak marah. Saya hanya kecewa, dan dua hal itu berbeda makna, Nona Khana."Khana menghela nafas kasar mendegar perkataan suaminya. "Maafkan aku, Tuan. Seandainya waktu bisa kuulang, maka aku tak akan pernah melakukan hal tak terpuji itu.""Sudahlah! Nyatanya semua sudah terlanjur terjadi," ujar Husein seraya memalingkan tubuhnya membelakangi Khana."Tuan, sekali lagi aku mohon ampunanmu!""Saya butuh waktu untuk melupakan rasa kekecewaan ini. Jadi,saya harap kamu mengerti!" papar Husein dengan intonasi yang dingin."Oke, Tuan. Aku akan coba mengerti, tapi saat ini aku ingin membahas masalah lain.""Katakan! saya sangat lelah, jadi jangan bertele-tele!""Apa tadi Tuan jadi ke pengadilan?" tanya Khana dengan pelan.Husein menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan
Khana menguatkan langkahnya untuk kembali ke rumah sebelah. Sore ini ia membiarkan Husein meratapi kesedihannya seorang diri di dalam kamar milik Areta."Ternyata begini rasanya menjadi Nyonya Areta. Bahkan, mungkin jauh lebih sakit. Aku sadar, aku telah merusak kebahagiaannya. Sekarang aku baru terasa, betapa perihnya menerima orang yang dicintai, malah mencintai wanita lain," lirih Khana sembari meringkuk memegangi lututnya sendiri.Air mata berderai dengan deras di wajah cantik selir muda itu. Ia tak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Areta menerima kenyataan. Juga tak menyangka kalau Husein akan sesedih ini. Sekarang keadaan menjadi serba salah.Dering ponselnya membuat tangisan itu terhenti. Khana melirik ke layar handphone yang menyala. Sebuah nama tertera di sana, Areta. Cepat-cepat ia meraihnya dan menjawab panggilan dari istri pertama suaminya tersebut."Halo, Nyonya!" sapa Khana.Di seberang telepon, Areta mengusap air matanya yang kembali jatuh ke pipi. Bicara deng
Sejak mengetahui satu kebohongan yang disembunyikan Ibunya itu, Husein pun mulai lebih teliti dalam membaca dan mengawasi situasi. Musuh ternyata berada sangat dekat dengannya, bahkan ia juga mencurigai ucapan Dokter Hans adalah benar."Bagaimana kalau yang dikatakan Dokter sialan itu memang kebenarannya? Tidak! Saya tak bisa meneruskan perceraian dengan Areta sebelum semua ini jelas," gumam Husein sembari mondar-mandir di ruangan pribadinya.Tak lama ketukan pintu menyadarkan Husein dari kegelisahan."Husein, kau di dalam kah?" tanya Ros dengan intonasi suara penuh kasih sayang. Tidak ada yang janggal dan mencurigakan. Selama ini sikap Ibunya sangat baik dan penuh perhatian. Ia tak menyangka kalau wanita yang paling dipercayainya mampu membohongi dirinya masalah nafkah untuk Areta tersebut.Husein membukakan pintu, ia tersenyum seperti biasa, "Ada apa, Bu?""Hari ini kan hari minggu, tetapi kenapa kau berada di ruangan kerjamu?""Banyak tugas yang harus saya bereskan, Bu. Tak peduli
Waktu terus bergerak maju, tapi Husein malah semakin larut dalam kenangan masa lalu. Ia terlelap di bak mandi yang airnya sudah tak hangat lagi. Khana merasa ada yang aneh, karena tak biasanya sang suami mandi begitu lama.Akhirnya selir muda tersebut memberanikan diri melangkah ke depan pintu kamar mandi, lalu ia mengetuknya.Tok! Tok! "Tuan, apa Tuan baik-baik saja?"Husein terbangun mendengar suara Khana. Kemudia ia berseru, "Ya, saya sebentar lagi keluar! Jika, Nona ingin mandi sebaiknya ke kamar mandi yang lain saja!"Khana menautkan alisnya heran. Namun, ia tak berkata apa-apa lagi.Beberapa menit menunggu, Husein pun keluar menggunakan handuk di pinggangnya. Dada bidang yang penuh bulu halus itu menambah kesan kejantanannya semakin terpancar. Khana mendekat dan mencoba membelai penuh kasih sayang, tetapi Husein menolak."Saya sangat lelah, bisakah Nona minta pada pelayan untuk membuatkan saya lemon tea hangat?""Hem, baiklah." Khana sadar, itu hanya alasan Husein agar ia tak m
Husein memang tak betah di rumah, karena adanya Flo. Namun, bukan hanya itu, pikirannya sekarang selalu mengarah pada Areta. Ia tak mau melanjutkan perceraian.Di ruangan kerjanya, Husein mencoba meraih ponsel dan menekan tombol panggilan pada kontak mediator yang bertugas sebagai pembimbing mediasi mereka."Selamat pagi, Tuan Husein! Ada yang bisa saya bantu?""Pagi! Bisakah jadwal mediasi dimajukan sore ini? Ada hal penting yang harus saya sampaikan. Saya tak suka penolakan apa pun alasannya!" Kalimat Husein jelas bukan sebuah permintaan, tapi melainkan perintah."Ba--baik, Tuan."Panggilan ditutup. Detik berikutnya sang mediator menghubungi Areta untu memberitahukan jadwal mediasi kedua yang dipercepat."Sore ini?" Areta mendesah kesal. Dia berpikir Husein sudah tak sabar ingin memutuskan hubungan dengannya. "Baik. saya akan datang.""Terima kasih, Nyonya Areta. Sampai bertemu!"__Di sisi lain, Ros dan Flo sedang merencanakan sesuatu. Mereka tak terima dengan perlakuan serta sika
Di dalam kamar, husein meraih lembut tangan selirnya. Ia sangat tak menduga dengan kemurahan hati Khana pada Areta."Andai saya mendengarkan semua saran darimu, Nona Khana. Mungkin masalah ini tidak akan sempat menjadi begitu panjang," serunya."Hem, sudahlah, Tuan. Aku juga tak sempurna, tapi jujur aku ingin memperbaikinya. Tolong maafkan kesalahanku," papar Khana.Husein mengangguk seraya tersenyum ke arah Khana. Pelukan hangat tercipta lagi antara keduanya. Setelah itu, barulah dia keluar menemui Areta. Khana cemburu, tetapi keadaan ini jauh lebih menyenangkan.Langkah Husein gugup saat memasuki kamar istri tuanya. Sudah tiga bulan Areta tak bersamanya, rasa canggung itu menyeruak di dirinya."Areta," lirihnya dengan intonasi suara yang bergetar."Ya, Tuan." Dingin sikap Areta membuatnya semakin merasa bersalah."Saya tidak tahu bagaimana cara saya menebus kesalahan saya padamu. Akan tetapi, saya sungguh-sungguh menyesalinya. Saya akan melakukan apa saja untuk menerima maafmu."Are
Kepala Areta mendadak menjadi pusing, ia nyaris tumbang. Namun, untung saja Husein segera tiba dan menangkap tubuhnya yang sempoyongan."Areta ... Kau tidak apa-apa?" tanya Husein seraya turut menatap bingung ke arah dua orang wanita yang berwajah sama."Tuan, apa saya sedang berhalusinasi. Ada dua Nona Khana di hadapan saya," lirih Areta."Duduklah dulu, Areta. Kau tidak berhalusinasi."Husein melempar pandangan tajam pada kedua wanita yang kini ia tak tahu mana Khana yang asli."Lelucon macam apa ini? Nona Khana, tolong jelaskan!" titahnya.Dalam waktu bersamaan keduanya hendak membuka suara. Namun, Husein kembali menegaskan. "Cukup Nona Khana yang asli yang angkat bicara!""Aku Khana, Tuan. Entah siapa wanita yang berdiri sebagai diriku ini.""Kau yang siapa? Aku Adriana Zulaika, aku yang asli."Perdebatan riuh di ruang tengah. Kepala Areta semakin terasa pusing menyaksikan hal yang diluar jangkauan pikirannya, Husein juga ikut mual mendapati permasalahan seperti ini."Diam!" teria
Suasana jadi menegang. Husein masih menatap tajam ke arah bola mata emerald milik Khana. Otaknya yang jenius berhasil memecahkan teka-teki. 'Ya, mata itu bersinar dan hanya Nona Khana yang memilikinya.'"Nona Khana ... saya percaya kau adalah selir saya yang asli. Namun, maukah Nona bekerjasama kali ini?" Husein menurunkan volume suaranya agar tak ada yang mendengar termasuk Roy."Tuan sunguh-sungguh mempercayaiku? Akan tetapi, bukankah wanita itu sudah memiliki bukti yang Tuan inginkan?""Justru itu. Saya akan mencaritahu bagaimana bisa dia menyusup. Rasanya tak sulit karena wajahnya sama persis denganmu. Sekarang, Nona hanya perlu tetap di sini, dan saya akan bersandiwara di hadapannya," papar Husein.Khana tentunya mengangguk setuju. Ia senang sebab suaminya benar-benar cerdas.Detik berikutnya Husein melangkah memberikan Roy perintah."Nona Khana palsu itu sudah saya pindahkan ke ruangan khusus. Kalian tak ada yang boleh ke sana! Saya sendiri yang akan memberikan hukuman setiap ha