***Husein sampai di kantor, ternyata sudah ada banyak calon pelamar kerja yang menunggu kedatangannya."Jesika, sekarang kamu bisa meminta pelamar kerja itu masuk secara bergantian! Saya akan melakukan interview," ujar Husein pada staf yang bertugas."Baik, Tuan."Jesika langsung mengatur siapa saja yang mendapat giliran depan."Kamu, silakan masuk!" titah Jesika pada salah satu wanita yang turut mengantri."Terima kasih, Bu."Seorang wanita muda berjalan santai sambil mengatur degup jantungnya. Ia tentu merasa gugup karena akan menghadap seorang Tuan Husein."Selamat pagi, Tuan Husein!""Pagi! Langsung saja perkenalkan dirimu dan berikan berkas pengalaman kerjamu!" titah Husein tanpa basa-basi."Nama saya, Rinjani. Umur 21 tahun, dan saya menguasai tiga bahasa. Pertama bahasa Indonesia, kedua bahasa Inggris, dan terakhir bahasa Mandarin. Ini riwayat pengalaman kerja saya, Tuan. Umur saya memang masih terkesan muda, tapi saya sudah terbiasa bekerja dari saya kuliah dulu," papar gadis
***Seperginya Husein, Khana pun bersiap-siap untuk mengunjungi markas rahasia milik suaminya. Hal itu tentu Khana coba sembunyikan dari Areta."Eh, Nyonya Areta sudah pulang. Oya, tadi Tuan Husein menitipkan pesan. Katanya beliau akan ke luar kota selama beberapa hari, jadi Nyonya diminta untuk tidak membuat keributan di sini," ujar Khana sembari melintir rambut ikalnya.Bongkahan amarah yang sudah menumpuk di diri Areta membuat ia langsung naik pitam. "Diam kau jalang!""Upss! Menggerikan sekali Nyonya utama ini. Padahal aku baru saja menyampaikan perintah Tuan Husein. Hem, baiklah tak masalah. Aku ingin menginap di apartemen saja malam ini. Aku takut di rumah tanpa Tuan Husein," desis Khana pula."Pergilah! Akan lebih baik lagi jika kau tak kembali ke rumah ini, pun ke kehidupan suami saya," hardik Areta.Khana hanya menyeringai santai. Detik berikutnya ia bergegas meminta sopir yang ditugaskan Husein untuk mengantarnya ke tempat tujuan.--Sampai di markas, Khana langsung menyuru
***Hari berikutnya Khana bergegas pergi ke markas sebelum Areta bangun dan menanyakan banyak hal.Akan tetapi, kali ini Khana keliru. Ternyata Areta sudah tahu lebih dulu. Ia tersenyum miris dari jendela kamarnya menatap kepergian Khana yang terlihat begitu tergesa-gesa."Kau memang cerdik, Nona Khana. Namun, aku bukan bodoh untuk bisa kau kelabui," gumam Areta.Dering ponsel yang berbunyi membuyarkan tatapan tajam Areta ke arah jalan yang membuat jejak Khana sudah hilang.Sebuah panggilan suara tertera di layar handphone dengan bertuliskan nama 'Tuan Husein'"Halo, Tuan! Senang sekali di telepon sepagi ini," seru Areta."Kamu akhir-akhir ini pandai merayu, Areta. Saya cuma mau bilang kalau saya nanti sore pulang. Tidak jadi menunggu beberapa hari," papar Husein."Oh, begitu. Ya sudah, saya juga mau menyampaikan sesuatu, Tuan.""Katakan saja!""Nona Khana pergi pagi-pagi entah ke mana? Dia tak meminta izin atau berpamitan dengan saya.""Biarkan saja. Tadi Nona Khana sudah meminta izi
***Sepanjang perjalanan menuju pulang Khana memikirkan obat yang disuntikkan Dokter Hans. Ia tak mengerti apa tujuan dokter itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sumpahnya sebagai seorang penyelamat bagi banyak manusia.Hingga sampai di rumah, Khana langsung masuk ke dalam kamarnya dan tak ingin menyapa Areta yang sudah siap memancing keributan."Tumben," lirih Areta pelan.Sampai di dalam kamar, Khana mencoba memikirkan rencana ke depannya untuk mengungkap tujuan Dokter Hans. Namun, ia tak bisa menceritakan pada Husein tentang masalah ini sebelum semuanya jelas."Brengsek! Aku kira Dokter Hans benar-benar lelaki yang polos dan baik," gumam Khana. "Siapa pun yang berani berbuat curang dan tujuan itu untuk merugikan aku, maka bersiaplah menerima pembalasan yang akan aku berikan."Di ruang tengah Husein sudah berada di sana. Ia baru saja sampai dari kantornya."Apa Nona Khana sudah kembali?" tanya Husein pada Areta."Sudah. Dia tadi langsung ke kamar. Sepertinya selir Tuan i
***Sampai di rumah, Khana semakin tak tenang. Bayangan Dokter Hans yang tampan tiba-tiba sudah berubah jadi sangat menggerikan.Khana gemetar di dalam kamar sambil meringkuk memegangi lututnya sendiri."Apa yang harus aku lakukan? Jangan sampai Dokter sialan itu merencanakan kejahatan untukku dan juga Tuan Husein. Aku bersumpah akan segera membungkam keangkuhannya," gumam Khana.Pikiran-pikiran buruk memenuhi isi kepala. Takut bercampur kesal menjadi satu menyerang ketenangannya. Khana benar-benar berada di situasi yang serba salah. Diceritakan bisa mengancam statusnya, jika dibiarkan tentu akan memakan korban nantinya."Nona Khana, sedari tadi saya mengetuk pintu tapi kamu tidak mendengar dan tidak membukakannya," ujar Areta yang sudah berdiri di dalam kamar Khana."Oh, benarkah? Aku sungguh tak menyadari. Ada apa, Nyonya?""Hem, ada Ibu mertua yang baru sampai dari luar negeri. Kamu belum pernah bertemu beliau, bukan? Jadi keluarlah! Ibu menunggumu," papar Areta pula. Ia mencoba be
***Ros akhirnya pergi bersama Khana menuju markas rahasia Husein. Sepanjang perjalanan keduanya berbagi cerita hangat. Khana benar-benar merasa sangat bahagia berada di dekat sang mertua."Bu, berarti Tuan Husein sudah menceritakan tentang tawanan kami di markas itu?" tanya Khana penuh hati-hati.Ros menarik lekuk bubur tuanya itu untuk menyuguhkan senyuman. "Benar, sayang. Se-mu-a-ny-a.""Hem, tapi masalahnya sekarang itu adalah Sherly mengalami kelumpuhan dan hilangnya daya mengingat, Bu. Padahal hanya dia yang bisa menjawab semua pertanyaan kami selama ini.""Kenapa bisa mendadak lupa ingatan?" Kening tua Ros mengernyit."Aku juga tak tahu, Bu. Aneh sekali, awalnya dia hanya dihukum dalam ruangan penuh dengan nyamuk saja.""Tenanglah, sayang! Ibu pasti akan berada di pihakmu. Sekarang kita turun dan cek lagi kondisi Sherly."Khana mengangguk setuju mengiringi langkah Ros yang lebih dulu keluar dari mobil. Di hati selir muda itu dipenuhi kebimbangan. Jika, sampai sang mertua tahu t
***Waktu terus berjalan, semakin hari pembangunan rumah untuk Khana sudah terlihat hasilnya. Desain yang sempurna sesuai pilihan wanita cantik itu."Aku tak menyangka kalau hasilnya akan secepat ini, Tuan. Sungguh aku tak sabar ingin segera melihat hasil sempurnanya nanti," ujar Khana seraya mengitari ke dalam bangunan.Kesiapannya sudah mencapai lima puluh persen. Khana sangat bahagia."Tuan, dan Nona Khana dipanggil Nyonya besar." Seorang pelayan di rumah utama berlari menghampiri kedua majikannya."Oh, baiklah. Kami akan segera menemui beliau," sahut Husein.Langkah Husein lebih dulu meninggalkan Khana, tapi tingkah manja yang semakin diperlihatkan Khana membuat Husein harus menuruti permintaannya."Tuan, tunggu!" Khana menggandeng sang suami, kemudian baru masuk ke rumah utama.Hati Areta bertambah panas melihat kemesraan yang diperlihatkan oleh adik madunya itu. Sesak di dada kian memburu. Khana melirik ke arahnya dan menyadari akan hal itu. Namun, ia malah merasa puas."Ibu mem
***Pencarian terus dilakukan sampai malam. Namun, keberadaan Khana belum juga menemukan titik terang.Husein sangat cemas. Matanya berkaca-kaca memikirkan selir mudanya yang saat ini sangat ia cinta.Sementara di rumah Areta merasa senang. Tiadanya Khana membuat suasana hatinya menjadi tentram.'Rasakan kau, jalang! Aku sungguh bahagia dengan keadaan ini. Semoga selamanya kau tak akan kembali,' lirih Areta sembari menatap wajahnya sendiri di hadapan cermin besar.Di sisi lain, Husein hampir putus asa. Ia telah mengelilingi seluruh kota. Bahkan semua anak buahnya pun sudah dikerahkan untuk mencari keberadaan Khana.Hingga malam semakin larut. Husein dan yang lain terpaksa pulang terlebih dahulu. Di depan pintu Areta sudah menyambut dengan wajah yang dibuatnya seolah ikut cemas juga."Bagaimana, Tuan? Apa Nona Khana sudah ditemukan?" tanya Areta.Husein menatap lemah, ia langsung menerobos masuk dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.Areta menusuk sembari mencoba memeluk sang suami aga
Ros ingin berdiri dan menyelamatkan diri dari sana. Namun, kedua kakinya terasa lemah. Ia hanya mencoba menarik napas agar sedikit tenang."Ibu, saya sungguh tak menyangka kalau Ibu sama sekali tak bisa berubah. Ibu rela menjebak Anak Ibu sendiri demi ambisi yang tak ada hasilnya itu!" papar Husein dengan sorot mata siap menerkam."Husein ... itu semua belum tentu benar, Nak! Nona Khana pasti sudah merekayasanya. Kalau tidak, dari mana dia bisa menemukan rekaman yang dua puluh tahun lalu? Itu omong kosong, bukan?"Husein beralih menatap ke arah Khana."Aku mendapatkannya di hotel tempat kejadian itu, Tuan. Aku memang curiga, dan aku menyelidikinya. Kalau Tuan tak percya, silakan cek keaslian video rekaman ini!"Husein ingin semuanya jelas tanpa menduga-duga lagi. Ia mengundang seseorng yang ahli mengamati semua konten.Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, Flo dan Riva akhirnya tiba di rumah utama. Bersamaan dengan orang suruhan Husein."Ada apa kami dipanggil malam-malam begini?" ta
Husein mengambil bantal dan berbaring di sofa yang ada di kamar tersebut."Kenapa Tuan tidur di situ?" tanya Flo dengan suara gemetar. Ia gugup bercampur terlalu senang."Lalu saya harus tidur di ranjang denganmu?" Wajah Husein sangar menatap ke arahnya.Flo menunduk dan menjawab, "Saya pikir Tuan memang mau tidur di kamar ini satu ranjang dengan saya.""Jangan mimpi! Saya pun sebenarnya tak sudi berada di sini. Semua saya lakukan hanya semata-semata untuk Riva," hardik Husein.Flo tak berani lagi membuka suara. Ia naik ke atas ranjang seraya memperhatikan secara diam-diam sosok lelaki yang menutup mata di atas sofa. Ia tersenyum miris, tapi hatin ya tetap saja merasakan senang karena setidaknya ia bisa berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang malam ini.'Mungkin sekarang Tuan memang tak mau satu ranjang dengan saya, tapi suatu hari nanti saya yakin Tuan akan luluh juga. Riva akan tetap jadi senjata bagi saya melemahkanmu, Tuan," batin Flo.__Pagi sekali Husein telah menghilang
Malam harinya, semua kembali berkumpul di meja makan. Khana dan Ara tak pernah melewatkan makan malam bersama di rumah utama. Keduanya selalu memenuhi perintah Husein.Namun, malam ini Areta dan Arsya yang tak terlihat batang hidungnya. Sedangkan Riva bersama Flo turut hadir berkunjung, karena besok adalah wekeend."Ke mana Areta?" tanya Husein menatap ke arah Khana."Mungkin di kamar Arsya," sahut Khana dengan santai."Panggil dan ajak makan bersama!" titah Husein pula."Biar Ara saja yang memanggil Mama dan Arsya," sambung Ara yang dengan sugap berdiri.Ia melangkah perlahan dan mencoba memeberanikan diri menemui Arsya. Ia tahu, pasti Arsya juga sakit hatinya padanya.Sampai di depan kamar, Ara mengetuk pintu yang tak terkunci itu. Kemudian ia menerobos masuk."Mama, Arsya ... Papa sedang menunggu kalian untuk makan malam," ujar Ara mengukir senyum kaku."Kau makan saja dengan yang lain, Ara! Arsya tidak mau keluar kamarnya. Mama akan mengimbanginya makan di sini nanti," papar Areta
Areta dan Husein saling melempar pandangan mendengar penuturan dari Khana."Nona Khana ... apa maksudmu?" tanya Husein menyelidik.Ros seketika langsung pucat dan ketar-ketir."Husein, jangan dengarkan omong kosong dari istrimu yang tak setia ini. Dia mencoba memfitnah Flo! Padahal dirinya dulu pernah berkhianat."Suasana memanas. Arsya yang tengah terluka hatinya, ia memberontak dan berteriak akan kekacauan yang seolah tak menghiraukan keadaannya."Semua sama saja! Tidak ada yang mengerti perasaanku saat ini!" teriaknya, kemudian ia berlari ke dalam kamar.Areta menyusulnya. Untuk sesaat Areta tak mau memikirkan masalah lain. Arsya jauh lebih penting baginya."Nona Khana ... tolong kau jelaskan apa maksud ucapanmu barusan?" tanya Husein mengulang kalimatnya.Khana melemparkan pandangan tajam ke arah Ros dan seketika ia menyeringai sinis. "Ibu yang paling mengerti. Maka, tanyakanlah padanya!""Ibu sama sekali tak tahu apa yang dibicarakan istrimu ini, Husein. Ibu rasa dia sudah gila!'
Malam semakin larut, tamu undangan yang hadir pun sudah pulang. Hanya tersisa Raka dan Bagas di sana."Kau ke sini membawa mobil sendiri atau diantar jemput?" tanya Raka pada Ara."Aku membawa mobil sendiri. Kenapa?""Kalau begitu, aku ikut di mobilmu, boleh?""Tidak!" Ara menolak dengan cepat. Sebab ia melihat wajah Arsya sudah berubah menjadi tegang."Pelit sekali," cibir Raka.Ara tak merespon apa-apa lagi. Ia hanya berharap Raka dan Bagas segera pergi dari rumah utama."Ya sudah, sekarang ayo pulang!" ajak Bagas pula."Kau duluan saja," sahut Ara."Aku tak akan tenang pulang duluan, sementara ada seorang wanita yang menyetir sendirian tengah malam begini."Raka melotot mendengar bentuk perhatian Bagas yang tecurah untuk Ara, wanita impiannya."Ara, ayo pulang. Aku akan mengikutimu di belakang," sambung Raka yang tak mau kalah."Tapi, bukankah kau pulang bersama Ayahmu? Lihatlah, Ayahmu sudah menunggu di dalam mobil. Sebaiknya kau segera ke sana! Urusan Ara, kau tak perlu khawatir!
Seharian hari ini suasana hati Riva tak baik-baik saja. Ia terngiang-ngiang akan ucapan Husein yang mengatakan kalau pernikahan dirinya dengan Flo hanyalah sebuah kecelakaan."Kenapa? Kenapa aku harus mendengar pernyataan yang menyakitkan itu? Jika, memang pernikahan Mami dan Papa cuma karena keterpaksaan, berarti aku juga adalah Anak yang tak diinginkan," gumamnya seorang diri di dalam ruangan kerja.Tak lama, Husein pun sampai di sana. Riva menatap datar ke arah sang ayah yang menyapa. "Selamat pagi, sayang! Kenapa kau pergi dari rumah tanpa pamit dengan Papa?""Hem, maaf Tuan Husein! Sebaiknya kita bersikap profesional di sini. Takut ada yang mendengar, lalu identitasku terbongkar. Nanti akan membuat Tuan malu," desis Riva seraya menyeringai miris.Husein terkejut mendapati sikap Riva pagi ini. Tak biasanya Riva berbicara seserius itu ketika sedang berdua."Tidak akan ada siapa-siapa yang mendengar di sini, Nak. Ruangan ini dibangun kedap suara," ujar Husein pula.Riva membuang muk
"katakan kalau tebakan Bundamu salah, Ara! Katakan kau masih menginginkan Bagas seorang,' gumam Arsya dalam hatinya.Ia cemas, takut Ara memikirkan pernyataan cinta dari Raka."Ara hanya sedang ingin fokus pada karir Ara, Bunda. Saat ini, Ara tak mau memikirkan hal lain, apa lagi cinta. Ara masih muda. Biarlah Ara menyelesaikan impian Ara terlebih dahulu,'' paparnya."Itu sangat keren, sayang." Husein memujinya dengan bangga.Namun, Arsya semakin gelisah. 'Kenapa sikap Ara seolah benar-benar sudah tak mengharapkan Bagas? Apa perasaan bisa dihapuskan semudah itu?'.Malam harinya, Riva dan Flo tak juga beranjak dari rumah utama."Sayang, ini sudah larut. Kau mau pulang jam berapa? Papa mengkhawatirkanmu menyetir sendiri malam-malam begini," ujar Husein."Papa, sebenarnya aku ingin meminta izin untuk menginap di sini malam ini. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat agar tak telat. Boleh, Papa?""Tentu saja boleh. Kau tak perlu mempertanyakan itu, sayang.""Terima kasih, Papa. Selama
Akhirnya Raka memutuskan bergabung di perusahaan Husein. Hari ini ia membawa semua kelengkapan berkas lamaran untuk memenuhi syarat diterima di sana."Raka, kamu akan menjadi asisten pribadiku di sini. Bagaimana? Apa posisi itu cukup?" tanya Arsya seraya mengukir senyum senang."Apa tidak berlebihan mengangkat aku di posisi itu dengan waktu seawal ini, Arsya?""Aku rasa tidak. Kau kan pintar dan berprestasi. Perusahaan butuh semangat juang anak muda. Jadi, kau hanya perlu melakukan tugasmu sebaik mungkin setelah ini," papar Arsya pula.Raka mengangguk setuju. "Terima kasih, Nona muda."Arsya tertawa lepas mendengar panggilan itu dari Raka. Namun, ia juga tak membantahnya, sebab dirinya harus profesional kerja.__Di sisi lain, Ara juga tengah bersemangat menjalani tugas-tugasnya sebagai penulis sekaligus penerbit. Bagas yang setiap hari berada satu kantor dengan Ara, pun akhirnya menyadari kalau benih cintanya semakin tumbuh bersemi.Namun, sebaliknya. Ara sudah tak merasakan apa-apa
Luna merasa sial, semenjak Riva turut bergabung di sana. Kini, diirnya harus menerima kehilangan pekerjaan yang sudah sangat membantu biaya kehidupannya selama ini.'Aku bersumpah akan membalas Riva nanti,' batinnya seraya meninggalkan perusahaan tersebut.Sementara di sisi lain, Arsya juga sedang memprsiapkan meeting penting yang pertama kali dipimpin olehnya. Seluruh harga penjualan saham dan sebagainya telah dijelaskan Jingga.Saat ini, semua bergantung pada keputusan Arsya."Pertama-tama, aku ucapkan terima kasih atas kerjasama kalian di perusahaan ini. Sungguh, tanpa bantuan kalian, maka aku tak akan mampu mengontrolnya sendiri. Rapat kali ini untuk menentukan harga penjualan produk yang akan diluncurkan minggu depan. Aku dan Bu Jingga sudah mendiskusikannya. Aku sudah mengambil keputusan," ujar Arsya dengan ekspresi yang tenang."Maaf, Nona Muda ... tapi, list harga yang tertera ini jauh lebih tinggi dari harga yang kita pasarkan bulan lalu. Apa tidak salah?" protes admin pemasa