"Baik, Bu Luna. Aku pastikan besok semua sudah beres," sahut Riva mengukir senyum dengan terpaksa."Bagus!"Luna berlalu seraya memainkan rambutnya yang ikal. Perangai manager Husein di perusahaan cabang tersbut memang terkesan sombong. Terlebih saat semua dipercayakan padanya.Husein sanbat jarang datang langsung untuk mengecek. Ia menerima hasil data saham melalui media online, dan selama ini semua berjalan stabil.Husein memberikan Luna banyak bonus serta gajih yang fantastis atas pencapaiannya. Bahkan, Husein berniat mengangkatnya jadi CEO di sana.Namun, hal itu sekarang kembali ia pertimbangkan, sebab Riva sudah mulai terjun ke dunia bisnis. Husein tentunya mau Riva yang memegang kendali untuk perusahaan tersebut.Sedangkan untuk Arsya, Husein pun telah menyiapkan perusahaan terbesar yang kini masih aktif ia kelola. Nantinya itu akan menjadi milik Arsya.Husein sudah memikirkan semuanya dengan adil. Untuk Ara, satu perusahaan baru yang sedang diinvestasikannya. Bulan depan akan
Cukup lama Khana dan Dokter Hans saling menatap dalam diam, hingga akhirnya mereka pulang ke kediaman masing-masing.Arsya ikut di mobil Husein bersama Areta. Sedangkan Ara menyetir mobilnya sendiri seperti biasa. Khana mengiringinya dari belakang.Sesungguhnya Khana sangat tersiksa dengan jarak yang tecipta saat berada di luaran. Ia ingin sekali memeluk Ara penuh cinta dan berkata bahwa gadis yang cantik dengan prestasi terbaik itu adalah putrinya.Selama perjalanan pulang, Arsya tak bicara sepatah kata pun. Hari ini harusnya menjadi momen terindah baginya, tapi justru ia bersedih, karena menyadari Raka sama sekali tak menoleh ke arahnya. Cinta Raka jelas tertuju hanya pada Ara."Sayang, kenapa dari tadi murung begitu? Apa kau tak senang dengan kelulusan ini?" tanya Areta membuka suara.Arsya hanya berdehem pelan, dan masih enggan bicara. Areta mulai merasa ada yang janggal. Tak biasanya sang putri bersikap demikian."Arsya sayang, setelah ini dirimu ingin langsung terjun ke dunia bi
Khana tak bisa marah dengan pengakuan Arsya. Sebab, apa yang dikatakan tentangnya memanglah benar.Dulu, betapa Areta pernah menderita dengan masuknya dirinya dalam rumah tangga mereka.Seperginya Arsya, Khana langsung mencoba mengetuk pintu kamar Ara."Sayang, buka pintunya, Nak! Bunda ingin bicara," seru Khana dengan intonasi suara yang lembut dan penuh kasih sayang."Maaf, Bunda. Ara ingin menenangkan diri. Bunda sudah mendengar cerita Arsya, bukan? jadi, tak perlu Ara mengulang kalimat yang sama," sahut Ara dengan suara yang terdengar bergetar.Khana menghela napas berat. Ia akhirnya mundur dan memberikan Ara waktu untuk menyendiri.__Malam harinya. Semua diminta berkumpul di meja makan. Husein memberikan perintah itu dengan tegas, karena ia sempat melihat kekacauan antara kedua putrinya hari ini.Ara dengan berat hati terpaksa ikut menghadap."Selesaikan makan malam kalian dengan baik! Jangan ada yang membahas apa pun sebelum makanan di piring masing-masing habis!" ujar Husein
Husein puas menerima laporan yang lengkap dari Roy. Ia tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menemui Raka serta orang tuanya.Sedangkan perusahaan yang dibangun untuk Ara sudah hampir siap. Husein tak tanggung-tanggung, ia telah membuka lowongan bagi mereka yang mempunyai kemampuan di bidang yang dibutuhkan.Dipimpin Robi, sebagai pengurus di perusahaan tersebut."Ara, Papa sudah menemukan tempat yang pas bagimu. Kau bisa belajar di sana! Memang tempat itu baru dibuka. Pemiliknya membutuhkan penulis yang berbakat, sekaligus yang mampu mengembangkan sarikat itu," ujar Husein.Ara menyambutnya dengan penuh semangat, Memang dirinya sudah tak sabar untuk terjun ke dunia kerja yang ia senangi."Benarkah, Papa? Di mana perusahaan itu? Ara akan segera menyiapkan berkas lamaran di sana.""Papa sendiri yang akan mengantarkanmu, Nak! Tak perlu membuat lamaran kerja, karena pemiliknya adalah rekan bisnis, Papa. Beliau mempercayai Papa, jadi dia juga mempercayai Putri Papa. Di sana, jabatanmu s
Kurang lebih satu jam Raka berada di dalam kamar Arsya. Mereka bercanda riang seolah semua baik-baik saja.Raka yang sudah tahu, bahwa kenyataannya Arsya menyukainya, tetapi Raka masih bersikap sebagai teman biasa.Hingga, akhirnya Arsya mengakui sendiri di hadapan Raka. Arsya berharap, Raka mau mempertimbangkan perasaannya."Raka ... aku sungguh malu untuk mengungkap kebenaran ini, tapi aku tersiksa jika terus menyembunyikannya," ujar Arsya dengan suara yang mulai tak seimbang.Raka dapat menebak hal apa yang akan dilontarkan Arsya. Ia ingin menghindar. Namun, tak mungkin bisa."Apa yang menyiksamu, Arsya? Tolong, jangan membuat dirimu terbebani sendiri! Bagilah denganku!" Raka mencoba tersenyum."Apa kau kiranya bersedia menemaniku dalam hal ini, Raka?"Raka bergeming sesaat. Ia harus memikirkan jawaban yang tepat agar tak melukai perasaan Arsya."Aku akan selalu menemanimu dalam situasi apa pun, Arsya."Arsya tersenyum dan matanya berbinar-binar."Aku menyukaimu. Maukah kau memberi
Seperginya Husein dari perusahaan tersebut, Luna langsung mengintrogasi semua yang ada."Apa di anatara kalian, ada yang mengadukan hal yang bukan-bukan pada Tuan Husein?" tanyanya dengan penuh penekanan.Semua menggeleng dengan serentak. Sedangkan Riva yang paling santai dan tak menanggapi. Seketika saja perhatian Luna tertuju pada Riva."Kalian semua boleh bubar dan silakan mengerjakan tugas masing-masing!" titahnya. "Kecuali kamu, Riva! Ikut ke ruangan saya!'Riva menarik napas panjang. Berhadapan dengan Luna bukanlah suatu yang menyenangkan.Sampai di dalam ruangan Luna."Ada apa, Bu Luna? Sebenarnya aku masih banyak pekerjaan. Jadi, kalau tak ada hal penting, aku ingin segera kembali ke ruanganku," ujar Riva yang sengaja berkata dengan lantang.Sontak saja ucapan Riva tersebut memancing emosi Luna. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan geram."Kau sungguh lancang! Apa kau tak sadar sedang bicara dengan siapa?" hardik Luna.'Kau yang tak sadar sedang bicara pada siapa saat ini, ne
Kuramg lebih lima brlas menit berlalu, akhirnya Khana sampai di depan halaman perusahaan besar yang dikelola putrinya itu."Terima kasih. Ini ... anggap saja sebagai ganti ongkos taksi," ujar Khana seraya menyerahkan beberapa lembar uang bewarna merah."Saya bukan sopir taksi, Nona! Simapn saja uang itu!" tolak Dokter Hans dengan senyuma miris."Maafkan, aku! Sungguh aku tak bermaksud menyinggungmu. Anda seorang Dokter? Sekali lagi aku sangat minta maaf." Khana menyesali tindakannya."Tidak masalah, Nona. Senang bisa membantumu."Khana turun, mesin mobil itu pu kembali dihidupkan. Sebelum pergi, Dokter Hans sempat tersenyum ke arahnya, hingga membuat debaran di dada Khana memburu.Seperginya lelaki tersebut, Khana langsung melangkah ke dalam."Selamat siang, Nona Khana!" sapa sekuriti di sana."Pagi! Aku ingin bertemu dengan CEO perusahaan ini," ujar Khana."Nona Arabella?""Ya. Apa bisa?""Tentu saja, Nona. Silakan!"Khana juga terkenal di seluruh kota itu. Statusnya sebagai istri k
Luna merasa sial, semenjak Riva turut bergabung di sana. Kini, diirnya harus menerima kehilangan pekerjaan yang sudah sangat membantu biaya kehidupannya selama ini.'Aku bersumpah akan membalas Riva nanti,' batinnya seraya meninggalkan perusahaan tersebut.Sementara di sisi lain, Arsya juga sedang memprsiapkan meeting penting yang pertama kali dipimpin olehnya. Seluruh harga penjualan saham dan sebagainya telah dijelaskan Jingga.Saat ini, semua bergantung pada keputusan Arsya."Pertama-tama, aku ucapkan terima kasih atas kerjasama kalian di perusahaan ini. Sungguh, tanpa bantuan kalian, maka aku tak akan mampu mengontrolnya sendiri. Rapat kali ini untuk menentukan harga penjualan produk yang akan diluncurkan minggu depan. Aku dan Bu Jingga sudah mendiskusikannya. Aku sudah mengambil keputusan," ujar Arsya dengan ekspresi yang tenang."Maaf, Nona Muda ... tapi, list harga yang tertera ini jauh lebih tinggi dari harga yang kita pasarkan bulan lalu. Apa tidak salah?" protes admin pemasa