Kurang lebih satu jam Raka berada di dalam kamar Arsya. Mereka bercanda riang seolah semua baik-baik saja.Raka yang sudah tahu, bahwa kenyataannya Arsya menyukainya, tetapi Raka masih bersikap sebagai teman biasa.Hingga, akhirnya Arsya mengakui sendiri di hadapan Raka. Arsya berharap, Raka mau mempertimbangkan perasaannya."Raka ... aku sungguh malu untuk mengungkap kebenaran ini, tapi aku tersiksa jika terus menyembunyikannya," ujar Arsya dengan suara yang mulai tak seimbang.Raka dapat menebak hal apa yang akan dilontarkan Arsya. Ia ingin menghindar. Namun, tak mungkin bisa."Apa yang menyiksamu, Arsya? Tolong, jangan membuat dirimu terbebani sendiri! Bagilah denganku!" Raka mencoba tersenyum."Apa kau kiranya bersedia menemaniku dalam hal ini, Raka?"Raka bergeming sesaat. Ia harus memikirkan jawaban yang tepat agar tak melukai perasaan Arsya."Aku akan selalu menemanimu dalam situasi apa pun, Arsya."Arsya tersenyum dan matanya berbinar-binar."Aku menyukaimu. Maukah kau memberi
Seperginya Husein dari perusahaan tersebut, Luna langsung mengintrogasi semua yang ada."Apa di anatara kalian, ada yang mengadukan hal yang bukan-bukan pada Tuan Husein?" tanyanya dengan penuh penekanan.Semua menggeleng dengan serentak. Sedangkan Riva yang paling santai dan tak menanggapi. Seketika saja perhatian Luna tertuju pada Riva."Kalian semua boleh bubar dan silakan mengerjakan tugas masing-masing!" titahnya. "Kecuali kamu, Riva! Ikut ke ruangan saya!'Riva menarik napas panjang. Berhadapan dengan Luna bukanlah suatu yang menyenangkan.Sampai di dalam ruangan Luna."Ada apa, Bu Luna? Sebenarnya aku masih banyak pekerjaan. Jadi, kalau tak ada hal penting, aku ingin segera kembali ke ruanganku," ujar Riva yang sengaja berkata dengan lantang.Sontak saja ucapan Riva tersebut memancing emosi Luna. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan geram."Kau sungguh lancang! Apa kau tak sadar sedang bicara dengan siapa?" hardik Luna.'Kau yang tak sadar sedang bicara pada siapa saat ini, ne
Kuramg lebih lima brlas menit berlalu, akhirnya Khana sampai di depan halaman perusahaan besar yang dikelola putrinya itu."Terima kasih. Ini ... anggap saja sebagai ganti ongkos taksi," ujar Khana seraya menyerahkan beberapa lembar uang bewarna merah."Saya bukan sopir taksi, Nona! Simapn saja uang itu!" tolak Dokter Hans dengan senyuma miris."Maafkan, aku! Sungguh aku tak bermaksud menyinggungmu. Anda seorang Dokter? Sekali lagi aku sangat minta maaf." Khana menyesali tindakannya."Tidak masalah, Nona. Senang bisa membantumu."Khana turun, mesin mobil itu pu kembali dihidupkan. Sebelum pergi, Dokter Hans sempat tersenyum ke arahnya, hingga membuat debaran di dada Khana memburu.Seperginya lelaki tersebut, Khana langsung melangkah ke dalam."Selamat siang, Nona Khana!" sapa sekuriti di sana."Pagi! Aku ingin bertemu dengan CEO perusahaan ini," ujar Khana."Nona Arabella?""Ya. Apa bisa?""Tentu saja, Nona. Silakan!"Khana juga terkenal di seluruh kota itu. Statusnya sebagai istri k
Luna merasa sial, semenjak Riva turut bergabung di sana. Kini, diirnya harus menerima kehilangan pekerjaan yang sudah sangat membantu biaya kehidupannya selama ini.'Aku bersumpah akan membalas Riva nanti,' batinnya seraya meninggalkan perusahaan tersebut.Sementara di sisi lain, Arsya juga sedang memprsiapkan meeting penting yang pertama kali dipimpin olehnya. Seluruh harga penjualan saham dan sebagainya telah dijelaskan Jingga.Saat ini, semua bergantung pada keputusan Arsya."Pertama-tama, aku ucapkan terima kasih atas kerjasama kalian di perusahaan ini. Sungguh, tanpa bantuan kalian, maka aku tak akan mampu mengontrolnya sendiri. Rapat kali ini untuk menentukan harga penjualan produk yang akan diluncurkan minggu depan. Aku dan Bu Jingga sudah mendiskusikannya. Aku sudah mengambil keputusan," ujar Arsya dengan ekspresi yang tenang."Maaf, Nona Muda ... tapi, list harga yang tertera ini jauh lebih tinggi dari harga yang kita pasarkan bulan lalu. Apa tidak salah?" protes admin pemasa
Akhirnya Raka memutuskan bergabung di perusahaan Husein. Hari ini ia membawa semua kelengkapan berkas lamaran untuk memenuhi syarat diterima di sana."Raka, kamu akan menjadi asisten pribadiku di sini. Bagaimana? Apa posisi itu cukup?" tanya Arsya seraya mengukir senyum senang."Apa tidak berlebihan mengangkat aku di posisi itu dengan waktu seawal ini, Arsya?""Aku rasa tidak. Kau kan pintar dan berprestasi. Perusahaan butuh semangat juang anak muda. Jadi, kau hanya perlu melakukan tugasmu sebaik mungkin setelah ini," papar Arsya pula.Raka mengangguk setuju. "Terima kasih, Nona muda."Arsya tertawa lepas mendengar panggilan itu dari Raka. Namun, ia juga tak membantahnya, sebab dirinya harus profesional kerja.__Di sisi lain, Ara juga tengah bersemangat menjalani tugas-tugasnya sebagai penulis sekaligus penerbit. Bagas yang setiap hari berada satu kantor dengan Ara, pun akhirnya menyadari kalau benih cintanya semakin tumbuh bersemi.Namun, sebaliknya. Ara sudah tak merasakan apa-apa
"katakan kalau tebakan Bundamu salah, Ara! Katakan kau masih menginginkan Bagas seorang,' gumam Arsya dalam hatinya.Ia cemas, takut Ara memikirkan pernyataan cinta dari Raka."Ara hanya sedang ingin fokus pada karir Ara, Bunda. Saat ini, Ara tak mau memikirkan hal lain, apa lagi cinta. Ara masih muda. Biarlah Ara menyelesaikan impian Ara terlebih dahulu,'' paparnya."Itu sangat keren, sayang." Husein memujinya dengan bangga.Namun, Arsya semakin gelisah. 'Kenapa sikap Ara seolah benar-benar sudah tak mengharapkan Bagas? Apa perasaan bisa dihapuskan semudah itu?'.Malam harinya, Riva dan Flo tak juga beranjak dari rumah utama."Sayang, ini sudah larut. Kau mau pulang jam berapa? Papa mengkhawatirkanmu menyetir sendiri malam-malam begini," ujar Husein."Papa, sebenarnya aku ingin meminta izin untuk menginap di sini malam ini. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat agar tak telat. Boleh, Papa?""Tentu saja boleh. Kau tak perlu mempertanyakan itu, sayang.""Terima kasih, Papa. Selama
Seharian hari ini suasana hati Riva tak baik-baik saja. Ia terngiang-ngiang akan ucapan Husein yang mengatakan kalau pernikahan dirinya dengan Flo hanyalah sebuah kecelakaan."Kenapa? Kenapa aku harus mendengar pernyataan yang menyakitkan itu? Jika, memang pernikahan Mami dan Papa cuma karena keterpaksaan, berarti aku juga adalah Anak yang tak diinginkan," gumamnya seorang diri di dalam ruangan kerja.Tak lama, Husein pun sampai di sana. Riva menatap datar ke arah sang ayah yang menyapa. "Selamat pagi, sayang! Kenapa kau pergi dari rumah tanpa pamit dengan Papa?""Hem, maaf Tuan Husein! Sebaiknya kita bersikap profesional di sini. Takut ada yang mendengar, lalu identitasku terbongkar. Nanti akan membuat Tuan malu," desis Riva seraya menyeringai miris.Husein terkejut mendapati sikap Riva pagi ini. Tak biasanya Riva berbicara seserius itu ketika sedang berdua."Tidak akan ada siapa-siapa yang mendengar di sini, Nak. Ruangan ini dibangun kedap suara," ujar Husein pula.Riva membuang muk
Malam semakin larut, tamu undangan yang hadir pun sudah pulang. Hanya tersisa Raka dan Bagas di sana."Kau ke sini membawa mobil sendiri atau diantar jemput?" tanya Raka pada Ara."Aku membawa mobil sendiri. Kenapa?""Kalau begitu, aku ikut di mobilmu, boleh?""Tidak!" Ara menolak dengan cepat. Sebab ia melihat wajah Arsya sudah berubah menjadi tegang."Pelit sekali," cibir Raka.Ara tak merespon apa-apa lagi. Ia hanya berharap Raka dan Bagas segera pergi dari rumah utama."Ya sudah, sekarang ayo pulang!" ajak Bagas pula."Kau duluan saja," sahut Ara."Aku tak akan tenang pulang duluan, sementara ada seorang wanita yang menyetir sendirian tengah malam begini."Raka melotot mendengar bentuk perhatian Bagas yang tecurah untuk Ara, wanita impiannya."Ara, ayo pulang. Aku akan mengikutimu di belakang," sambung Raka yang tak mau kalah."Tapi, bukankah kau pulang bersama Ayahmu? Lihatlah, Ayahmu sudah menunggu di dalam mobil. Sebaiknya kau segera ke sana! Urusan Ara, kau tak perlu khawatir!