Aku terbatuk mendengar pertanyaan Wina karena kaget. Tenggorokanku terasa tercekat. Ingin minum tapi benda cair tersebut tidak ada di kamarku.
"Tunggu aku ambilkan air." Wina seolah paham dengan kondisiku. Namun tanganku menahan langkahnya. Kepalaku menggeleng menolak keinginannya tersebut."Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Setelah berdeham beberapa kali rasanya sudah mendingan.Wina urung keluar kamar. Aku tidak ingin merepotkannya."Maaf ya, cuma nanya. Soalnya aneh saja karena pernikahanmu terkesan mendadak dan ala kadarnya. Pagi buta diminta dadakan ke sini buat menghiasmu. Tak pernah terjadi padaku. Kukira ada insiden tersebut," ujarnya menjelaskan."Apa yang kalian tahu tentang pernikahanku ini? Maksudku apa kata warga sini? Mereka tahu kalau aku akan …."Wina menggendikan bahunya. "Sama sepertiku. Tidak tahu. Bu Mayang bahkan minta aku merahasiakan pernikahan ini. Kamu pulang saja sepertinya tidak ada yang tahu." Wina memberitahu sedikit berbisik sambil menoleh ke arah pintu kamarku yang terbuka seolah takut kedengaran.Oh, begitu. Syukurlah bukan hal yang jelek. Kukira semua orang menduga hal yang sama seperti Wina. Jadi ternyata mereka tidak ada yang tahu dengan kepulanganku saat ini. Memang saat ku pulang waktu itu suasana komplek sini lagi sepi. Aku pun tidak keluar dari rumah sejak pertama datang.Ini berita baik apa buruk untukku?"Hei, Del! Kok ngelamun? Kupanggil-panggil dari tadi nggak nyahut?""Eh, ehm, maaf," sahutku terkesiap dengan tepukannya di pundakku. Aku memang tidak mendengarnya memanggil. Pikiranku lagi kacau. Banyak hal berseliweran di dalam kepalaku tentang pernikahan ini dan apa saja yang bakal terjadi padaku nantinya."Cantik. Cocoklah sama anaknya Bu Lasmi."Wina memindai penampilanku dari atas ke bawah usai mendandaniku. Senyum puas terukir di wajahnya. Aku hanya tersenyum tipis. Bingung harus memberi respon apa. Namun memang penampilanku berbeda. Aku seperti bukan aku biasanya. Orang yang di dalam cermin itu sangat cantik. Kuakui tangan ajaib Wina memang hebat. Tidak kalah hebat dengan MUA profesional."Memangnya pernah lihat ya?" ujarku refleks bertanya. Penasaran.Wina tersenyum semringah. "Calonmu ini?" Aku mengangguk mengiakan."Iya, pernah lihat. Cakep Del, tapi--""Ekhem. Sudah make up-nya?" Suara ketus seseorang di depan pintu kamar membuatku tersentak dan refleks menoleh ke sana."Iya, baru saja, coba lihat, Bell! Kakakmu sangat cantik bukan?" Wina memujiku."B aja," balas Bella setelah memindaiku sebentar dengan sesekali melebarkan mulutnya, menguap. Dia maju menghampiri, tampak malas-malasan dengan segelas susu di tangannya."Ini minuman buat Kakak. Biar kuat sampai ijab kabul." Bella mengangsurkan segelas susu tersebut ke arahku. Penampilannya masih khas orang bangun tidur. Belum berdandan siap untuk acara pernikahanku. Tidak mungkin dia tidak ikut, bagaimanapun juga aku masih saudaranya."Kamu sudah sarapan Del?" Wina bertanya, menatapku lekat setelah kuterima susu tersebut dari Bella. Aku menggeleng lemah dengan mengulas senyum tipis.Tampak keterkejutan di wajahnya."Bel! Cuma susu? Makanannya mana?" Wina memanggil Bella yang ingin beranjak pergi.Bella menggeleng disertai gendikan bahu. "Ibu cuma memintaku mengantarkan susu ke kamar Kak Adel. Soal makannya, tanya sendiri sana!" Setelah mengatakan hal tersebut Bella berlalu pergi keluar dari kamarku."Astaga! Benar ya mereka seperti itu. Kukira cuma gosip saja." Wina menggelengkan kepala seolah tak menyangka dengan apa yang dilihatnya sekarang ini. Sepertinya sikap pongah Ibu dan adikku itu padaku sudah diketahui seantero kompleks ini. Entah sampai mana?"Harusnya kamu itu makan dulu biar kuat! Aku lupa lagi nanya. Maaf ya. Seharusnya Mereka yang ingatkan sebagai keluarga, malah tak ada rasa pedulinya." Wina masih ngedumel kesal. "Kalau sudah make up gini kan susah, takut rusak.""Nggak papa. Ini masih kepagian buatku sarapan. Segelas susu juga cukup. Aku akan hati-hati minumnya. Lagian kan pas nikahan nanti banyak makanan. Makannya pas di sana saja," ujarku mencoba menenangkan. Bicara bijak meski hati tak seirama.*** Aku memindai rumah yang berada di depan mataku saat ini. Mobil yang membawaku bersama keluarga berhenti tepat di depan rumah tersebut. Rumah besar yang diyakini merupakan rumah calon suamiku itu. Sepi, sama seperti rumah kami. Tak terlihat aktivitas bahwa di rumah ini bakal ada acara pernikahan."Ayo, Del, turun! Di sini tempatnya. Bella bantu kakakmu berjalan. Angkat ujung kebayanya biar tidak kotor!" ujar Ibu menitahkan hal tersebut pada Bella. Wajah Bella bersungut tak suka. Namun dia tidak berani protes apalagi membantah. Titah ibunya diturutinya juga."Selamat datang, silakan ikuti saya." Di depan pintu utama kami disambut seorang wanita kisaran umur tiga puluh ke atas. Dia meminta kami mengikutinya masuk ke dalam. Aku masih mencoba meraba apakah benar akan ada pernikahan di rumah ini atau aku sedang bermimpi. Suasananya sangat biasa saja. Tak ada juga hiasan atau dekorasi khas pernikahan pada umumnya. Hanya aku yang terlihat seperti mempelai wanita karena mengenakan kebaya putih khas pengantin."Silakan masuk!" Aku kembali dibuat terperangah saat diminta masuk ke dalam ruangan dimana di tengah-tengahnya sudah ada beberapa orang yang duduk di sana. Namun yang menarik penglihatanku adalah sosok laki-laki berjas hitam dengan peci hitam diatas kepalanya. Sosoknya paling mencuri perhatian dibandingkan laki-laki lain yang terlihat berumur. Dia pasti mempelai laki-laki yang akan menikah denganku. Tampak juga seorang wanita paruh baya, cantik, berkebaya emas di sebelahnya menyunggingkan senyuman ke arahku. Apa dia ibunya laki-laki itu?Aku masih terkesiap memindai semua orang di ruangan ini. tiba-tiba Ibu dan Bella kompak memegang lenganku dan memaksaku berjalan mendekati mereka. Lalu mendudukkanku di sebelah laki-laki tampan tanpa senyum di wajahnya itu. Tak ada ekspresi saat melihatku duduk di sebelahnya. Datar saja seolah tak tertarik atau terpesona dengan kehadiranku."Mempelai wanitanya sudah datang Pak, acara ijab kabulnya bisa segera dimulai." Wanita yang berkebaya emas tadi yang bicara barusan. Aku yakin dia yang disebut Bu Lasmi. Calon Ibu mertuaku. Ada kemiripan wajahnya dengan laki-laki yang ada di sebelahku saat ini.Laki-laki yang diajak bicara itu mengangguk. "Baik. Mari kita mulai ijab kabulnya. Nak Rayyan, tolong ikuti perkataan Bapak, ya," titahnya ke arah laki-laki yang berada di sebelahku ini dan dijawab dengan anggukkan kepala olehnya."Sah ….!" Koor suara serempak menyerukan kata sah atas ikrar ijab kabul yang baru saja dilakukan oleh Rayyan. Menyatakan kami telah sah sebagai suami-istri. Aku hanya mampu menarik napas panjang. Bukan lega tapi merasa makin berat bebanku. Aku tidak tahu seperti apa pernikahan kami nantinya. Pernikahan tanpa cinta dan keterpaksaan. Rayyan Arya Wijaya namanya. Baru kutahu nama lengkapnya, dan siapa nama orangtuanya. Baru sebatas itu. Selebihnya aku tak tahu. Kupindai juga penampilannya saat ada kesempatan, ia tampak seperti orang normal, tak terlihat kecacatan yang disebutkan Bella. Kakinya terlihat normal dan baik-baik saja. Apa mungkin karena dia dalam posisi duduk? Di dalam ruangan ini pun tak kuketahui yang mana keluarga suamiku dan mana yang bukan. Penampilan Bu Lasmi kontras dengan orang asing yang berada di ruangan ini. Mereka yang hadir tak tampak seperti keluarga dilihat dari pakaian yang dikenakannya. Bisa jadi cuma saksi dan orang luar. Jumlah yang hadir juga bisa dihitung jari. Ya Tuhan pernikahan apa ini? Kenapa semuanya serba tertutup dan tampak dirahasiakan? Bukan seperti ini pernikahan impianku."Adel!""Del!" Aku tersentak dari lamunan saat Ibu memanggil dan memberi kode agar aku mencium tangannya Rayyan. Aku pun melakukan semua itu dengan rasa canggung. Begitupun laki-laki yang berstatus suamiku ini mengulurkan tangannya dengan ragu. Ditambah adegan dicium kening. Ingin menolak tapi tak bisa. Aku tak berharap juga setelah melihat wajah tak suka Rayyan diminta melakukan hal tersebut padaku. Sepertinya kami sama-sama tertekan. Terjebak dalam pernikahan yang dipaksakan."Sudah kan, Ma? Aku mau ke kamar. Edo, ambilkan kursi rodaku!"Deg! Ucapan Rayyan membuatku terkejut. Bicaranya sangat ketus, dan apa tadi dia bilang kursi roda? Jadi benar suamiku ini cacat?"Yan, tunggu dulu. Sebentar lagi, ya? Kita ambil foto dulu. Sebagai bukti." Bu Lasmi mencoba menenangkan anaknya, yang tidak lain adalah suamiku saat ini. Namun perkataannya barusan justru memantik rasa penasaranku. Sebagai bukti? Maksudnya?Aku menatap keduanya dengan tanda tanya besar di kepalaku. Lalu refleks beralih memandang dua orang yang kukenal, Ibu dan Bella. Keduanya menunjukkan ekspresi yang berbeda. Ibu seolah tak tahu menahu dan langsung melengos, sedang Bella, adikku itu tersenyum miring. "Del, dekatan lagi. Biar fotonya bagus.""Hah?! Oh, iya," jawabku kaget tapi segera menurut. Aku mendekatkan badanku ke Rayyan yang tak bergerak sama sekali dari posisinya duduk. Tak menoleh juga ke arahku. Beberapa buah foto diambil layaknya sebuah foto pernikahan, meskipun ekspresi Rayyan tak menunjukkan rasa suka, apalagi bahagia. Sama sepertiku namun aku masih bisa menyembunyikan rasa itu. Tidak sepertinya yang blak-blakan menunjukkan. Setelah sesi foto berakhir kulihat Rayyan
Bu Lasmi tersenyum lalu mengangguk seolah menjawab iya pertanyaanku. "Sebenarnya Rayyan tidak ingin menikah tapi keadaan memaksanya harus. Sekali lagi aku tidak bisa menjelaskan apa alasannya, ini berhubungan dengan masalah internal keluarga kami, tapi mencari wanita yang mau menerimanya apa adanya itu tidak akan mudah. Jadi inilah jalan satu-satunya. Aku terpaksa mengintimidasi keluargamu. Aku tahu kamu juga terpaksa. Jadi, kalau kamu keberatan, aku akan menggajimu karena mau merawat Rayyan. Anakku itu tidak lumpuh permanen, dia masih bisa berjalan asal rutin berobat dan menjalani terapi. Jadi kamu hanya akan merawatnya sampai dia bisa berjalan. Pernikahan kalian pun akan berakhir setelah Rayyan sembuh. Ini kesepakatan kita. Aku akan membayarmu asal kamu mau bertahan di sisinya. Apalagi jika mau membantu merawatnya dengan baik. Soal utang ayahmu, kamu jangan khawatir. Utangnya tetap dianggap lunas." Detak jantungku seakan terhenti saat mendapatkan tawaran gila dari ibu mertua. As
"Oh, I–iya." Aku mendekat ke arahnya. Duduk di sofa yang berdekatan dengan kursi rodanya. Tanganku gemetar saat ingin menyuapkan makanan ke mulutnya karena laki-laki di depanku ini menatap lekat tak berkedip. Namun hal memalukan terjadi. Perutku tiba-tiba berbunyi dan kuharap suara tersebut tak terdengar olehnya. Satu suapan telah berhasil masuk ke mulutnya. Syukurlah tak ada respon apa pun atas insiden bunyi memalukan itu. Sepertinya dia tidak dengar. Aku yang ingin menyuapkan kembali makanan tersebut ke mulutnya terhenti saat tangannya menahan tanganku di udara. "Aku kenyang." "Hah? Tapi baru satu suapan, ini masih banyak tersisa," ucapku terkejut dengan perkataannya. Apa makanannya tidak enak? Itu tidak mungkin. Aku yakin menu ini pasti pernah disajikan untuknya. Baru satu suapan, masa' sudah kenyang. "Kalau kubilang kenyang, ya kenyang. Kenapa? Masalah? Kamu tinggal membuangnya saja. Apa susahnya?" balasnya enteng membuat darah di otakku mendidih. Orang kaya memang segamp
"Ngapain Nenek kemari? Bukankah semua sudah beres, Ma?" Aku yang kebingungan hanya menatap bergantian antara Bu Lasmi dan Mas Rayyan. Menyimak obrolan mereka. "Entah. Tiba-tiba Nenek nelpon dan bilang mau kemari. Sepertinya dia mau memastikan pernikahan kamu dan mungkin mau kenalan sama istrimu." Saat mengatakan hal ini, Bu Lasmi menatapku. "Nenek bikin masalah saja. Terus kami harus satu kamar? Harus sekarang? Kenapa tidak besok saja?" Mas Rayyan menawar pada ibunya. Aku pun kalau dibolehkan bicara belum siap sebenarnya tidur dengannya. Apalagi kami tidak saling kenal. Bertemu pun baru ini, di hari pernikahan kami. Aku yakin tak ada yang mengalami pernikahan seperti kami. Bu Lasmi mengangguk. "Sekarang saja. Mama tidak tahu kapan Nenek datang. Takutnya dia datang mendadak terus tiba-tiba sudah ada di sini. Kamu kan tahu hal itu bukan hal yang sulit baginya."Oh, begitu ya. Untuk orang kaya memang bukan hal yang sulit. Tidak sepertiku yang harus naik bis, menempuh jarak empat jam
"Kenapa bengong?" "Jangan negatif dulu! Aku minta kamu siapkan air mandiku. Pakaian dan bantu aku ke kamar mandi. Bukan untuk ikut apalagi memandikanku. Aku bisa sendiri," lanjutnya lagi menjelaskan dengan wajah sewot. "Oh, i–iya," ujarku merasa lega. Pikiranku memang sudah negatif. Kirain minta dimandikan. Eh, tapi bagaimana caranya dia mandi kalau aku tidak ikut ke dalam, terus dia ….""Aduh!" Kepalaku dikeplaknya. "Mikir apa lagi? Cepat! Buruan!" paksanya dengan melotot dan memaksa aku bergerak cepat. "I–iya, tunggu." Aku bergegas menuju kamar mandinya. "Airnya anget aja ya. Kisaran 26 derajat," teriaknya lagi dari luar. Aku terbengong seraya menggaruk kepala. Tidak tahukah dia kalau aku dalam mode bingung berada di dalam kamar mandinya. Bingung memulai dari mana. Dia minta air hangat tapi aku tidak tahu bagaimana mengukur suhu tepat 26 derajat seperti permintaannya. Belum lagi banyak tombol yang jujur belum pernah kulihat sebelumnya karena belum pernah menggunakan kamar mandi
"Maaf, ya, yang tadi cuma bercanda kok." Dika meminta maaf dan mungkin untuk perkataannya yang ingin merebutku dari Mas Rayyan. Aku hanya tersenyum tetap dalam posisi yang sama berada dua meter dari mereka. Tidak juga mempercayai ucapannya karena aku yakin dia tak serius. Lagipula siapa diriku ingin diperebutkan oleh kedua laki-laki tampan ini? Meskipun yang satu statusnya jelas suami sendiri. Kulihat Dika masih sibuk memeriksa kondisi Mas Rayyan. Beberapa peralatan kedokteran dikeluarkannya dari dalam tas yang dibawanya. Aku mengamati serius apa yang dilakukannya. "Mau coba berjalan?" Mas Rayyan menggeleng tanda menolak."Tidak langsung jalan, mencoba berdiri dulu. Pelan-pelan." Suamiku itu tetap menggelengkan kepalanya.Terdengar helaan napas Dika. "Cobalah terapi berjalan, pasti cepat sembuh. Lumpuhmu ini tidak permanen, Yan. Kamu saja yang malas. Mau sampai kapan duduk di kursi roda? Jangan sampai menyesal nantinya," nasihat Dika. Ucapannya benar. Kalau memang ingin sembuh, ha
"Adel!" Aku menoleh ke asal suara. Itu suara Bu Lasmi, ibu mertuaku. Segera mungkin menghampirinya. "Dika sudah pulang?" tanyanya seraya mengitari sekitarku. "Iya, Ma. Baru saja."Bu Lasmi mengerjap sebentar. "Mama lihat kamu cukup dekat bicara dengannya." Aku mengikuti langkah Mama yang berjalan lebih dulu. "Hah? Tidak, Ma. Cuma ngobrol biasa. Maaf jika membuat Mama tidak nyaman melihatnya," tukasku menjawab. Ternyata Mama memperhatikanku saat bicara dengan Dika. Syukur juga aku tak menjawab banyak pertanyaan dokter muda tersebut. Pertanyaan pribadi masalah pertemuanku dengan Mas Rayyan tak kugubris dan tak kujawab dengan alasan banyak urusan yang ingin kukerjakan dan dokter tersebut memilih pulang tanpa mendapatkan jawabanku. "Dika akan datang ke sini seminggu sekali. Dia yang merawat Rayyan untuk saat ini, jadi tolong jangan terlalu dekat dengannya. Jangan bicara melebihi kapasitasmu sebagai istrinya Rayyan dan jangan ceritakan apa pun tentang yang terjadi di rumah ini padanya
"Iya, Nenek sudah datang. Dia mau makan malam bersamamu dan tentu saja ingin melihat istrimu secara langsung." Mama menatapku lalu meninggalkan Mas Rayyan berjalan ke arahku. "Poles wajahmu, jangan polosan begitu. Kamu istrinya Rayyan jadi harus tetap terlihat cantik!" titah Bu Lasmi membuatku mengangguk patuh. "Dimana diletakkan alat make up-mu? Maya sudah mengantarnya ke sini bukan?" Segera aku berjalan ke walk in closet arah lemari pakaianku karena semua alat make up dan skin care yang dibawakan Maya, kuletakkan di laci bagian tengah. Di dalam kamar ini tidak ada meja rias membuatku bingung harus menyimpan perlengkapan kecantikan wanita itu dimana. Lagipula aku tahu diri ini bukan kamarku seutuhnya, ini kamar Mas Rayyan, kamar laki-laki, jadi wajar tidak ada benda tersebut di sini. "Astaga kenapa diletakkan di sini?" Bu Lasmi protes. Ia lalu mengitari kamar anaknya dengan gelengan kepala. "Ya sudah, cepatan poles wajahmu, tapi jangan terlalu tebal. Ini sudah malam tak perlu ri