"Yan, tunggu dulu. Sebentar lagi, ya? Kita ambil foto dulu. Sebagai bukti." Bu Lasmi mencoba menenangkan anaknya, yang tidak lain adalah suamiku saat ini. Namun perkataannya barusan justru memantik rasa penasaranku. Sebagai bukti? Maksudnya?
Aku menatap keduanya dengan tanda tanya besar di kepalaku. Lalu refleks beralih memandang dua orang yang kukenal, Ibu dan Bella. Keduanya menunjukkan ekspresi yang berbeda. Ibu seolah tak tahu menahu dan langsung melengos, sedang Bella, adikku itu tersenyum miring."Del, dekatan lagi. Biar fotonya bagus.""Hah?! Oh, iya," jawabku kaget tapi segera menurut. Aku mendekatkan badanku ke Rayyan yang tak bergerak sama sekali dari posisinya duduk. Tak menoleh juga ke arahku. Beberapa buah foto diambil layaknya sebuah foto pernikahan, meskipun ekspresi Rayyan tak menunjukkan rasa suka, apalagi bahagia. Sama sepertiku namun aku masih bisa menyembunyikan rasa itu. Tidak sepertinya yang blak-blakan menunjukkan. Setelah sesi foto berakhir kulihat Rayyan dinaikan ke atas kursi roda oleh seseorang yang dipanggilnya Edo dibantu Bu Lasmi. Tertinggal aku sendiri dalam kebingungan. Orang-orang yang tadi berada di sini perlahan mulai menjauh sepertinya pulang seolah acara telah usai. Tak terlihat juga acara makan-makan. Setelah pengucapan ijab kabul, acara dianggap selesai. Aku sampai terbengong sendiri. Pernikahan apa ini?Bingung, aku harus ngapain? Netraku celingukan menatap tak jelas ke sembarang arah tak tahu harus bersikap bagaimana setelah ditinggal pergi Rayyan, laki-laki yang baru saja menikahiku. Aku mempelai wanita yang menyedihkan. Lalu orang-orang yang kusebut keluarga menghampiri."Del, kami pulang. Acaranya sudah selesai, kamu baik-baik ya, di sini. Jadilah mantu yang baik biar disayang ibu mertua." Ibu berucap menasihati sembari mengusap bahuku. Aku tersenyum getir mendengarnya."Iya, acaranya sudah selesai. Kami pulang ya, Kak. Selamat berbahagia dan menempuh hidup baru." Bella merangsek memelukku."Suami Kakak ganteng kan? Semoga bahagia," bisiknya lagi di dekat telingaku. Tawa kecilnya di akhir kalimat terdengar mengejek. Tak ada sahutan dariku. Tanganku mengepal kuat, menahan amarah. Entah kenapa aku merasa Ibu sengaja melemparku ke keluarga ini. Seolah membuangku secara halus dengan kedok pernikahan. Jujur kalau utang yang banyak itu bukan atas nama Ayah, aku tak kan mau dijadikan korban untuk melunasi utangnya. Bisa saja bersikap jahat dan memilih pergi untuk menghindari pernikahan ini. Namun bagaimana dengan Ayah? Rasa sayang dan tak tega memaksaku menerima semuanya. Menanggung sesuatu yang bukan kewajibanku. Aku menurunkan badanku sejajar pada Ayah yang duduk di kursi roda. Menatapnya sendu, menahan tangis. Laki-laki yang telah menjadi cinta pertamaku itu sudah berlinang air mata. Terpaksa aku yang tegar harus kuat untuk tidak menangis apalagi saat kata maaf terucap berulang kali dari mulutnya."Adel baik-baik saja kok, Yah. Jadi Ayah hiduplah yang baik juga. Jaga kesehatan karena kita masih tetap akan berjauhan." Kupegang erat tangannya, lalu menciumnya takzim. Ayah mengangguk. Tangannya mengelus lembut kepalaku."Kalau ada apa-apa, bilang ya? Ayah minta maaf." Lagi kata itu terucap kembali. Aku mengangguk dan segera berdiri. Perpisahan ini harus secepatnya disudahi. Kalau tidak, Ayah tidak akan berhenti meminta maaf dan menangis seperti anak kecil."Sudah, Yah. Tenang lah! Adel pasti baik-baik saja. Apalagi dia sudah menikah dengan orang kaya, pastilah kehidupannya terjamin." Ibu menarik kursi roda Ayah sedikit mundur menjauh dariku."Kami pamit, Del." Giliran Ibu yang memelukku. "Jangan buat masalah di sini. Mertuamu bukan orang sembarangan," imbuhnya kemudian memperingatkan dengan suara pelan. Tak kurespon. Aku mencoba mencerna ucapannya barusan. Mungkin maksudnya karena orang kaya, tentu keluarga Bu Lasmi bukan orang sembarangan. Kulambaikan tangan sebentar saat ketiganya pergi menjauh meninggalkan rumah ini."Non." Aku mendongak, menoleh pada seseorang yang memanggilku demikian."Saya?" ujarku memastikan karena tak ada siapa pun di ruangan ini selain diriku.Seorang wanita muda tersenyum sambil mengangguk."Ada apa?""Ikuti Saya, Non." Wanita muda tersebut memintaku mengikutinya. Dia berjalan lebih dulu. Tak ingin sendirian di ruangan yang terasa asing, aku pun mengekor langkahnya."Ini kamar Den Rayyan. Kamar Non juga," ujar wanita tersebut setelah mengetuk pintu salah satu kamar mewah di rumah ini."Oh, iya." Bingung menjawab apa."Saya tinggal ya Non." Wanita itu berlalu pergi begitu saja setelah mengatakan demikian. Membuatku terkejut bahkan tak sempat mencegahnya."Masuk!"Aku makin terkejut mendengar sahutan dari dalam kamar memintaku masuk. Perlahan aku membuka pintu kamar tersebut dan kudapati seorang laki-laki duduk sendiri menghadap jendela kamar. "Kita memang menikah, tapi hanya status."Rayyan, suamiku itu bicara. Aku yang masih berdiri di depan pintu, terpaku tak berani beranjak."Jadi, jangan menganggap serius hubungan ini.""Maksudnya?" tanyaku ingin diperjelas. Pernikahan adalah hubungan yang serius dan dia minta aku untuk tidak menganggap serius hal tersebut? Aneh!"Aku suamimu, kamu istriku. Itu cuma status di atas kertas, tapi kenyataannya kamu hanyalah perawat bagiku. Tanyakan saja sama Mama. Dia yang mengatur semuanya."Perawat?Penjelasan Rayyan barusan membuatku membulatkan mata. Namun laki-laki itu tak sedikit pun menoleh saat bicara. Tatapannya tetap lurus ke arah depan."Maksudnya?" Aku bertanya lagi. Namun ditunggu sekian detik hingga menit, laki-laki tersebut diam saja tak berniat menjawab. Dia masih menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Aku diabaikan. Tak ingin membuang waktu, aku keluar mencari sosok yang disebut mama olehnya. Aku ingin kejelasan tentang semua yang dikatakannya apakah benar atau sebuah kebohongan?"Non, mau kemana? ada yang bisa dibantu?" Aku berpapasan dengan wanita muda yang mengantarkanku sebelumnya ke kamar Rayyan."Hm, Bu Lasmi dimana ya?"Aku memanggilnya formal karena tidak tahu harus memanggilnya apa. Takut salah."Oh, nyonya? Mari ikut saya."Syukurlah, dia mau mengantarkan lagi. Jujur aku bingung berjalan di dalam rumah yang besar ini. Banyak ruangan dan aku tidak tahu ruangan apa saja ini dan dimana keberadaan wanita yang dipanggil nyonya tersebut. Wanita muda itu terus berjalan dan membawaku ke sebuah ruangan dengan pemandangan kolam renang sebelah kanan saat kami masuk. Di sana memang terlihat Bu Lasmi lagi duduk dengan laptop di pangkuannya.Wanita itu mendongak, mungkin terusik dengan kedatangan kami. Ia menatapku."Adel. Sini Nak. Duduk di sebelahku." Bu Lasmi menawarkan dengan mengulas senyum tipis kepadaku. Ditepuknya atas kursi memintaku duduk di sana.Dengan ragu aku mengangguk pelan dan memenuhi permintaannya. Duduk di sana."Maaf, Mama tidak menemuimu dulu. Sepertinya kamu bingung ya?"Mama? Artinya aku harus memanggilnya begitu dan wanita ini paham arti kedatanganku saat ini padanya."Jadi namamu Adelia. Anak tertua keluarga Pak Burhan. Ini kali pertama kita bertemu."Aku diam, mode menyimak. Ingin tahu juga dia mau bicara apa. Apakah akan menjelaskan semua kebingunganku ini atau malah membuatku makin bingung."Apa keluargamu sudah cerita kenapa kamu dinikahkan dengan Rayyan?""Sudah, tapi bolehkah kutahu alasan hm, Mama memintaku jadi mantu mama?" Sedikit ragu saat memanggilnya mama.Bu Lasmi tersenyum tipis. "Ya, panggil saja Mama sama seperti Rayyan. Kamu kan sudah jadi mantuku. Jadi kamu mau tahu kenapa aku memilihmu jadi istrinya Rayyan?"Aku mengangguk mengiakan."Random saja. Siapa pun istrinya, aku tak peduli. Yang pasti Rayyan harus menikah, meskipun kondisinya seperti itu."Hah?! Kucoba mengendalikan diri, tapi tetap saja raut terkejut tak bisa kusembunyikan dari wajahku."Aku tak bisa menjelaskan alasan utamanya. Kamu sudah melihat kondisi anakku kan? Sulit mencari jodoh untuknya yang terlihat tak sempurna itu. Anakku butuh orang yang bisa menjaganya dengan baik, yang 24 jam bisa bersamanya. Kalau menyewa jasa perawat, dia tidak mungkin satu kamar tidur dengan Rayyan. Jadi seorang istrilah yang dibutuhkannya. Makanya aku memanfaatkan kondisi keluargamu untuk anakku."Aku tersenyum miring mendengar jawabannya. "Jadi maksudnya aku dinikahi untuk jadi perawatnya? Begitu kan?"Bu Lasmi tersenyum lalu mengangguk seolah menjawab iya pertanyaanku. "Sebenarnya Rayyan tidak ingin menikah tapi keadaan memaksanya harus. Sekali lagi aku tidak bisa menjelaskan apa alasannya, ini berhubungan dengan masalah internal keluarga kami, tapi mencari wanita yang mau menerimanya apa adanya itu tidak akan mudah. Jadi inilah jalan satu-satunya. Aku terpaksa mengintimidasi keluargamu. Aku tahu kamu juga terpaksa. Jadi, kalau kamu keberatan, aku akan menggajimu karena mau merawat Rayyan. Anakku itu tidak lumpuh permanen, dia masih bisa berjalan asal rutin berobat dan menjalani terapi. Jadi kamu hanya akan merawatnya sampai dia bisa berjalan. Pernikahan kalian pun akan berakhir setelah Rayyan sembuh. Ini kesepakatan kita. Aku akan membayarmu asal kamu mau bertahan di sisinya. Apalagi jika mau membantu merawatnya dengan baik. Soal utang ayahmu, kamu jangan khawatir. Utangnya tetap dianggap lunas." Detak jantungku seakan terhenti saat mendapatkan tawaran gila dari ibu mertua. As
"Oh, I–iya." Aku mendekat ke arahnya. Duduk di sofa yang berdekatan dengan kursi rodanya. Tanganku gemetar saat ingin menyuapkan makanan ke mulutnya karena laki-laki di depanku ini menatap lekat tak berkedip. Namun hal memalukan terjadi. Perutku tiba-tiba berbunyi dan kuharap suara tersebut tak terdengar olehnya. Satu suapan telah berhasil masuk ke mulutnya. Syukurlah tak ada respon apa pun atas insiden bunyi memalukan itu. Sepertinya dia tidak dengar. Aku yang ingin menyuapkan kembali makanan tersebut ke mulutnya terhenti saat tangannya menahan tanganku di udara. "Aku kenyang." "Hah? Tapi baru satu suapan, ini masih banyak tersisa," ucapku terkejut dengan perkataannya. Apa makanannya tidak enak? Itu tidak mungkin. Aku yakin menu ini pasti pernah disajikan untuknya. Baru satu suapan, masa' sudah kenyang. "Kalau kubilang kenyang, ya kenyang. Kenapa? Masalah? Kamu tinggal membuangnya saja. Apa susahnya?" balasnya enteng membuat darah di otakku mendidih. Orang kaya memang segamp
"Ngapain Nenek kemari? Bukankah semua sudah beres, Ma?" Aku yang kebingungan hanya menatap bergantian antara Bu Lasmi dan Mas Rayyan. Menyimak obrolan mereka. "Entah. Tiba-tiba Nenek nelpon dan bilang mau kemari. Sepertinya dia mau memastikan pernikahan kamu dan mungkin mau kenalan sama istrimu." Saat mengatakan hal ini, Bu Lasmi menatapku. "Nenek bikin masalah saja. Terus kami harus satu kamar? Harus sekarang? Kenapa tidak besok saja?" Mas Rayyan menawar pada ibunya. Aku pun kalau dibolehkan bicara belum siap sebenarnya tidur dengannya. Apalagi kami tidak saling kenal. Bertemu pun baru ini, di hari pernikahan kami. Aku yakin tak ada yang mengalami pernikahan seperti kami. Bu Lasmi mengangguk. "Sekarang saja. Mama tidak tahu kapan Nenek datang. Takutnya dia datang mendadak terus tiba-tiba sudah ada di sini. Kamu kan tahu hal itu bukan hal yang sulit baginya."Oh, begitu ya. Untuk orang kaya memang bukan hal yang sulit. Tidak sepertiku yang harus naik bis, menempuh jarak empat jam
"Kenapa bengong?" "Jangan negatif dulu! Aku minta kamu siapkan air mandiku. Pakaian dan bantu aku ke kamar mandi. Bukan untuk ikut apalagi memandikanku. Aku bisa sendiri," lanjutnya lagi menjelaskan dengan wajah sewot. "Oh, i–iya," ujarku merasa lega. Pikiranku memang sudah negatif. Kirain minta dimandikan. Eh, tapi bagaimana caranya dia mandi kalau aku tidak ikut ke dalam, terus dia ….""Aduh!" Kepalaku dikeplaknya. "Mikir apa lagi? Cepat! Buruan!" paksanya dengan melotot dan memaksa aku bergerak cepat. "I–iya, tunggu." Aku bergegas menuju kamar mandinya. "Airnya anget aja ya. Kisaran 26 derajat," teriaknya lagi dari luar. Aku terbengong seraya menggaruk kepala. Tidak tahukah dia kalau aku dalam mode bingung berada di dalam kamar mandinya. Bingung memulai dari mana. Dia minta air hangat tapi aku tidak tahu bagaimana mengukur suhu tepat 26 derajat seperti permintaannya. Belum lagi banyak tombol yang jujur belum pernah kulihat sebelumnya karena belum pernah menggunakan kamar mandi
"Maaf, ya, yang tadi cuma bercanda kok." Dika meminta maaf dan mungkin untuk perkataannya yang ingin merebutku dari Mas Rayyan. Aku hanya tersenyum tetap dalam posisi yang sama berada dua meter dari mereka. Tidak juga mempercayai ucapannya karena aku yakin dia tak serius. Lagipula siapa diriku ingin diperebutkan oleh kedua laki-laki tampan ini? Meskipun yang satu statusnya jelas suami sendiri. Kulihat Dika masih sibuk memeriksa kondisi Mas Rayyan. Beberapa peralatan kedokteran dikeluarkannya dari dalam tas yang dibawanya. Aku mengamati serius apa yang dilakukannya. "Mau coba berjalan?" Mas Rayyan menggeleng tanda menolak."Tidak langsung jalan, mencoba berdiri dulu. Pelan-pelan." Suamiku itu tetap menggelengkan kepalanya.Terdengar helaan napas Dika. "Cobalah terapi berjalan, pasti cepat sembuh. Lumpuhmu ini tidak permanen, Yan. Kamu saja yang malas. Mau sampai kapan duduk di kursi roda? Jangan sampai menyesal nantinya," nasihat Dika. Ucapannya benar. Kalau memang ingin sembuh, ha
"Adel!" Aku menoleh ke asal suara. Itu suara Bu Lasmi, ibu mertuaku. Segera mungkin menghampirinya. "Dika sudah pulang?" tanyanya seraya mengitari sekitarku. "Iya, Ma. Baru saja."Bu Lasmi mengerjap sebentar. "Mama lihat kamu cukup dekat bicara dengannya." Aku mengikuti langkah Mama yang berjalan lebih dulu. "Hah? Tidak, Ma. Cuma ngobrol biasa. Maaf jika membuat Mama tidak nyaman melihatnya," tukasku menjawab. Ternyata Mama memperhatikanku saat bicara dengan Dika. Syukur juga aku tak menjawab banyak pertanyaan dokter muda tersebut. Pertanyaan pribadi masalah pertemuanku dengan Mas Rayyan tak kugubris dan tak kujawab dengan alasan banyak urusan yang ingin kukerjakan dan dokter tersebut memilih pulang tanpa mendapatkan jawabanku. "Dika akan datang ke sini seminggu sekali. Dia yang merawat Rayyan untuk saat ini, jadi tolong jangan terlalu dekat dengannya. Jangan bicara melebihi kapasitasmu sebagai istrinya Rayyan dan jangan ceritakan apa pun tentang yang terjadi di rumah ini padanya
"Iya, Nenek sudah datang. Dia mau makan malam bersamamu dan tentu saja ingin melihat istrimu secara langsung." Mama menatapku lalu meninggalkan Mas Rayyan berjalan ke arahku. "Poles wajahmu, jangan polosan begitu. Kamu istrinya Rayyan jadi harus tetap terlihat cantik!" titah Bu Lasmi membuatku mengangguk patuh. "Dimana diletakkan alat make up-mu? Maya sudah mengantarnya ke sini bukan?" Segera aku berjalan ke walk in closet arah lemari pakaianku karena semua alat make up dan skin care yang dibawakan Maya, kuletakkan di laci bagian tengah. Di dalam kamar ini tidak ada meja rias membuatku bingung harus menyimpan perlengkapan kecantikan wanita itu dimana. Lagipula aku tahu diri ini bukan kamarku seutuhnya, ini kamar Mas Rayyan, kamar laki-laki, jadi wajar tidak ada benda tersebut di sini. "Astaga kenapa diletakkan di sini?" Bu Lasmi protes. Ia lalu mengitari kamar anaknya dengan gelengan kepala. "Ya sudah, cepatan poles wajahmu, tapi jangan terlalu tebal. Ini sudah malam tak perlu ri
"Tentu saja, Bu. Lasmi akan memilihkan calon terbaik untuk Rayyan. Syukurlah kalau Ibu suka." Bu Lasmi menjawab jumawa pernyataan Nenek Alin. Senyum mengembang sempurna di bibirnya. Aku jadi tersenyum bangga dipuji dua wanita terhormat sekaligus seperti mereka. Tidak menyangka sama sekali akan respon Nenek Alin padaku. "Jadi benar yang dikatakan Adel kalau Rayyan bakal sembuh asal dia …." Nenek Alin bertanya kembali dengan menggantungkan ucapannya dan kali ini membahas kondisi Mas Rayyan. "Benar, Bu. Kata dokter Aldi juga begitu."Aku membiarkan Bu Lasmi yang menjawab karena memang sekarang kapasitas beliau yang bicara selaku ibu kandung Mas Rayyan yang paling memahami suamiku itu."Dika juga mengatakan hal yang sama, tapi … Rayyan yang susah diatur. Dia tidak mau diterapi." Tatapan Bu Lasmi ke arah Mas Rayyan. Terlihat wajah kekhawatiran di sana untuk anaknya. "Loh, kok tidak mau Yan? Ini demi kebaikanmu juga. Memang mau berada di sana untuk waktu yang lama? Kasihan juga istrimu d