Bu Lasmi tersenyum lalu mengangguk seolah menjawab iya pertanyaanku.
"Sebenarnya Rayyan tidak ingin menikah tapi keadaan memaksanya harus. Sekali lagi aku tidak bisa menjelaskan apa alasannya, ini berhubungan dengan masalah internal keluarga kami, tapi mencari wanita yang mau menerimanya apa adanya itu tidak akan mudah. Jadi inilah jalan satu-satunya. Aku terpaksa mengintimidasi keluargamu. Aku tahu kamu juga terpaksa. Jadi, kalau kamu keberatan, aku akan menggajimu karena mau merawat Rayyan. Anakku itu tidak lumpuh permanen, dia masih bisa berjalan asal rutin berobat dan menjalani terapi. Jadi kamu hanya akan merawatnya sampai dia bisa berjalan. Pernikahan kalian pun akan berakhir setelah Rayyan sembuh. Ini kesepakatan kita. Aku akan membayarmu asal kamu mau bertahan di sisinya. Apalagi jika mau membantu merawatnya dengan baik. Soal utang ayahmu, kamu jangan khawatir. Utangnya tetap dianggap lunas." Detak jantungku seakan terhenti saat mendapatkan tawaran gila dari ibu mertua. Astaga, apa ini? Aku tak pernah membayangkan pernikahan seperti ini, apalagi dengan mengambil upah karena merawat suami yang lumpuh. Tak terbersit sedikit pun rencana atau keinginan aneh tersebut. Justru aku merasa terpanggil ingin merawatnya sampai sembuh layaknya seorang istri. Meskipun sikapnya sangat dingin terhadapku."Adel, bagaimana?""Eh, A–adel … nggak tahu, Bu, eh Mama." Aku yang terkejut karena bahuku ditepuk Bu Lasmi, jadi bicara tergagap saat menjawabnya.Bu Lasmi menatapku lamat-lamat, mungkin memastikan lagi jawabanku. Lalu entah bagaimana caranya tiba-tiba kuanggukkan kepala dengan sendirinya isyarat iya. Aku seakan terhipnotis saat ditatap selekat itu. Seperti ada yang mendorongku untuk mengiakan."Tapi Ma, maksudnya bukan iya mau dibayar karena merawat Mas Rayyan, Adel ikhlas kok merawatnya tanpa bayaran apa pun," jawabku menegaskan tak ingin Bu Lasmi salah paham. Bagiku merawat orang sakit itu bisa mendatangkan berkah dan kuharap itu yang kudapat dengan merawat suami yang lumpuh. "Oh, ya terserah. Baguslah kalau kamu tidak meminta bayaran. Tolong rawat anakku dengan baik dan apa pun yang dikatakannya tolong jangan dimasukkan ke hati. Sejak dia di duduk kursi roda karena kecelakaan itu, sejak saat itu dia sangat sensitif dan gampang marah, jadi kalau dia bersikap buruk padamu, tolong dimaafkan dan dimaklumi. Tolong bertahan sebentar sampai dia sembuh karena sudah sekian orang yang kubayar untuk merawatnya, hm…." Bu Lasmi menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Seperti berat untuk melanjutkan."Semua berakhir buruk, mereka minta berhenti cepat karena tak sanggup dengan sikap kasar Rayyan," ujarnya melanjutkan.Aku mencoba meresapi ucapan ibu mertuaku barusan. Entah sekasar apa laki-laki itu. Kuharap tak sampai melampaui batas. Namun siapa pun mungkin akan bersikap demikian karena tiba-tiba harus duduk di kursi roda. Apalagi masih muda, seakan kehilangan masa depannya. Emosinya berubah menjadi wajar karena pasti sulit untuk bisa menerima keadaan dirinya sekarang ini. "Hm … Adel. Ada lagi yang ingin disampaikan?"Aku terdiam, berpikir cepat lalu menggelengkan kepala padanya. "Tidak ada, Ma."Bu Lasmi menganggukkan kepala. "Bisa tinggalkan Mama?" Lirikan Mama ke arah laptopnya. Kode memintaku pergi dan sepertinya beliau lagi sibuk dengan pekerjaannya. Kaca mata masih bertengger manis di hidung mancungnya.Kuanggukkan kepala dan pamit pergi. Setelah dari menemui Mama, langkahku refleks kembali ke kamar suamiku itu. Aku sendiri bingung kenapa malah ke sana."Masuk!"Deg! Mendengar suara tegasnya membuatku gugup seketika. Lagipula pergi kemana lagi karena aku belum paham dan mengenal betul rumah ini. Baik Ibu mertua maupun orang yang tinggal di rumah ini tidak mengatakan apa pun aku harus apa dan tidur dimana.Perlahan masuk dengan langkah hati-hati. Menatap ke sosok yang sedang fokus ke sebuah buku di tangannya.Suamiku itu menoleh sebentar ke arahku. Lalu kembali menatap bukunya. Hening mewarnai suasana di kamar ini. Laki-laki itu diam dan aku pun ikutan diam."Kenapa kemari lagi?" Setelah sekian menit aku berdiri tanpa pergerakan, akhirnya Mas Rayyan bersuara."Aku istrimu, jadi … ini kamarku juga, bukan?" jawabku dengan berani. Masih di tempatku berdiri, di depan pintu yang tertutup."Tapi aku tak ingin tidur sekamar denganmu. Jadi, keluar dan jangan masuk sini lagi!"Aku tersentak. Jadi ini maksud ibu mertuaku akan sikap kasar anaknya? Benar, ini kasar dan menyakitkan."Mama memintaku di sini. Bagiku, aku istrimu dan kamu suamiku, aku tidak akan pergi. Kalau kamu cuma menganggapku perawatmu, ya anggap saja begitu, tapi aku tetap di sini."Tak ada balasan dari laki-laki bergelar suami tersebut. Aku memberanikan diri mendekatinya. Meskipun jujur aku sangat takut."Baca apa?" tanyaku mencoba mengajaknya bicara.Tak ada jawaban.Kucoba makin dekat."Brak!"Rayyan menutup bukunya dengan keras."Keluar!" ucapnya lagi terdengar keras."Ehm, aku–""Keluar! Aku ingin sendiri!" titahnya lagi dengan berteriak. Buku yang dipegangnya sampai diangkat ke atas seolah ingin melemparkannya ke arahku.Melihat hal tersebut bergegas aku menuju pintu dan keluar dari kamarnya."Non, tidak apa?""Astagfirullah!" Aku sampai beristighfar saking kagetnya. Tiba-tiba seorang laki-laki muda, mungkin pekerja di rumah ini menegurku yang berada di depan pintu kamar Rayyan, lagi bersandar di dindingnya. Aku belum pernah melihatnya, tapi kalau dia ada di sini pasti salah satu orang yang kerja di rumah ini. Entah berapa orang yang bekerja di sini, aku belum mengetahuinya. Belum kenalan apalagi dikenalkan. Bahkan aku belum sarapan sampai detik ini. Tak ada yang menawariku makan. Pantas perutku melilit sakit saat melihat makanan yang dibawa laki-laki tersebut di hadapanku.Aku menggeleng lemah sembari meneguk saliva.Lelaki itu tersenyum tipis ke arahku."Yang sabar ya Non. Ini saya bawakan sarapan pagi untuk Den Rayyan. Hm, kalau bisa Non saja yang antarkan. Boleh?" tanyanya terdengar hati-hati dalam berucap. Nampan berisi piring sarapan pagi itu disodorkannya ke arahku. Aku sebenarnya ingin menolak, tapi kepalaku tak bisa diajak kerja sama. Dia malah mengangguk mengiakan."Terima kasih, Non. Kata Nyonya, nanti kalau Non mau makan, bisa ke ruang makan. Di sana sudah tersaji sarapan pagi ini. Memang agak siangan dikit dari waktunya. Kalau Den Rayyan memang tidak keluar. Dia suka berada di dalam kamarnya. Jadi tolong dimaklumi." Aku cuma mengangguk dan menerima nampan berisi sarapan suamiku itu. Lalu masuk kembali ke dalam kamar dengan hati nelangsa."Mana Deden? Bukankah tadi suaranya? Kenapa kamu lagi yang masuk?" tanyanya amat ketus.Oh, namanya Deden. Laki-laki itu yang mengetuk pintu dan izin membawakan sarapan pagi untuk suamiku ini. Namun aku yang mengantarkannya ke dalam. Terpaksa."Sama saja bukan, yang penting kamu makan," sahutku setelah memangkas jarak darinya."Biasanya diletakkan dimana?" tanyaku lagi. Aku tidak tahu dimana suamiku makan dan bagaimana caranya makan saat di kamar tidur. Apa piring ini diletakkan di atas nakas atau di atas tempat tidur."Disuapin.""Hah? Apa?" tanyaku memastikan. Aku takut salah dengar. Takut juga membuatnya marah."Biasanya aku makan disuapin," ulangnya lagi membuatku ternganga.Disuapin? Astaga! Sepertinya aku memang perawat, bukan istrinya."Oh, I–iya." Aku mendekat ke arahnya. Duduk di sofa yang berdekatan dengan kursi rodanya. Tanganku gemetar saat ingin menyuapkan makanan ke mulutnya karena laki-laki di depanku ini menatap lekat tak berkedip. Namun hal memalukan terjadi. Perutku tiba-tiba berbunyi dan kuharap suara tersebut tak terdengar olehnya. Satu suapan telah berhasil masuk ke mulutnya. Syukurlah tak ada respon apa pun atas insiden bunyi memalukan itu. Sepertinya dia tidak dengar. Aku yang ingin menyuapkan kembali makanan tersebut ke mulutnya terhenti saat tangannya menahan tanganku di udara. "Aku kenyang." "Hah? Tapi baru satu suapan, ini masih banyak tersisa," ucapku terkejut dengan perkataannya. Apa makanannya tidak enak? Itu tidak mungkin. Aku yakin menu ini pasti pernah disajikan untuknya. Baru satu suapan, masa' sudah kenyang. "Kalau kubilang kenyang, ya kenyang. Kenapa? Masalah? Kamu tinggal membuangnya saja. Apa susahnya?" balasnya enteng membuat darah di otakku mendidih. Orang kaya memang segamp
"Ngapain Nenek kemari? Bukankah semua sudah beres, Ma?" Aku yang kebingungan hanya menatap bergantian antara Bu Lasmi dan Mas Rayyan. Menyimak obrolan mereka. "Entah. Tiba-tiba Nenek nelpon dan bilang mau kemari. Sepertinya dia mau memastikan pernikahan kamu dan mungkin mau kenalan sama istrimu." Saat mengatakan hal ini, Bu Lasmi menatapku. "Nenek bikin masalah saja. Terus kami harus satu kamar? Harus sekarang? Kenapa tidak besok saja?" Mas Rayyan menawar pada ibunya. Aku pun kalau dibolehkan bicara belum siap sebenarnya tidur dengannya. Apalagi kami tidak saling kenal. Bertemu pun baru ini, di hari pernikahan kami. Aku yakin tak ada yang mengalami pernikahan seperti kami. Bu Lasmi mengangguk. "Sekarang saja. Mama tidak tahu kapan Nenek datang. Takutnya dia datang mendadak terus tiba-tiba sudah ada di sini. Kamu kan tahu hal itu bukan hal yang sulit baginya."Oh, begitu ya. Untuk orang kaya memang bukan hal yang sulit. Tidak sepertiku yang harus naik bis, menempuh jarak empat jam
"Kenapa bengong?" "Jangan negatif dulu! Aku minta kamu siapkan air mandiku. Pakaian dan bantu aku ke kamar mandi. Bukan untuk ikut apalagi memandikanku. Aku bisa sendiri," lanjutnya lagi menjelaskan dengan wajah sewot. "Oh, i–iya," ujarku merasa lega. Pikiranku memang sudah negatif. Kirain minta dimandikan. Eh, tapi bagaimana caranya dia mandi kalau aku tidak ikut ke dalam, terus dia ….""Aduh!" Kepalaku dikeplaknya. "Mikir apa lagi? Cepat! Buruan!" paksanya dengan melotot dan memaksa aku bergerak cepat. "I–iya, tunggu." Aku bergegas menuju kamar mandinya. "Airnya anget aja ya. Kisaran 26 derajat," teriaknya lagi dari luar. Aku terbengong seraya menggaruk kepala. Tidak tahukah dia kalau aku dalam mode bingung berada di dalam kamar mandinya. Bingung memulai dari mana. Dia minta air hangat tapi aku tidak tahu bagaimana mengukur suhu tepat 26 derajat seperti permintaannya. Belum lagi banyak tombol yang jujur belum pernah kulihat sebelumnya karena belum pernah menggunakan kamar mandi
"Maaf, ya, yang tadi cuma bercanda kok." Dika meminta maaf dan mungkin untuk perkataannya yang ingin merebutku dari Mas Rayyan. Aku hanya tersenyum tetap dalam posisi yang sama berada dua meter dari mereka. Tidak juga mempercayai ucapannya karena aku yakin dia tak serius. Lagipula siapa diriku ingin diperebutkan oleh kedua laki-laki tampan ini? Meskipun yang satu statusnya jelas suami sendiri. Kulihat Dika masih sibuk memeriksa kondisi Mas Rayyan. Beberapa peralatan kedokteran dikeluarkannya dari dalam tas yang dibawanya. Aku mengamati serius apa yang dilakukannya. "Mau coba berjalan?" Mas Rayyan menggeleng tanda menolak."Tidak langsung jalan, mencoba berdiri dulu. Pelan-pelan." Suamiku itu tetap menggelengkan kepalanya.Terdengar helaan napas Dika. "Cobalah terapi berjalan, pasti cepat sembuh. Lumpuhmu ini tidak permanen, Yan. Kamu saja yang malas. Mau sampai kapan duduk di kursi roda? Jangan sampai menyesal nantinya," nasihat Dika. Ucapannya benar. Kalau memang ingin sembuh, ha
"Adel!" Aku menoleh ke asal suara. Itu suara Bu Lasmi, ibu mertuaku. Segera mungkin menghampirinya. "Dika sudah pulang?" tanyanya seraya mengitari sekitarku. "Iya, Ma. Baru saja."Bu Lasmi mengerjap sebentar. "Mama lihat kamu cukup dekat bicara dengannya." Aku mengikuti langkah Mama yang berjalan lebih dulu. "Hah? Tidak, Ma. Cuma ngobrol biasa. Maaf jika membuat Mama tidak nyaman melihatnya," tukasku menjawab. Ternyata Mama memperhatikanku saat bicara dengan Dika. Syukur juga aku tak menjawab banyak pertanyaan dokter muda tersebut. Pertanyaan pribadi masalah pertemuanku dengan Mas Rayyan tak kugubris dan tak kujawab dengan alasan banyak urusan yang ingin kukerjakan dan dokter tersebut memilih pulang tanpa mendapatkan jawabanku. "Dika akan datang ke sini seminggu sekali. Dia yang merawat Rayyan untuk saat ini, jadi tolong jangan terlalu dekat dengannya. Jangan bicara melebihi kapasitasmu sebagai istrinya Rayyan dan jangan ceritakan apa pun tentang yang terjadi di rumah ini padanya
"Iya, Nenek sudah datang. Dia mau makan malam bersamamu dan tentu saja ingin melihat istrimu secara langsung." Mama menatapku lalu meninggalkan Mas Rayyan berjalan ke arahku. "Poles wajahmu, jangan polosan begitu. Kamu istrinya Rayyan jadi harus tetap terlihat cantik!" titah Bu Lasmi membuatku mengangguk patuh. "Dimana diletakkan alat make up-mu? Maya sudah mengantarnya ke sini bukan?" Segera aku berjalan ke walk in closet arah lemari pakaianku karena semua alat make up dan skin care yang dibawakan Maya, kuletakkan di laci bagian tengah. Di dalam kamar ini tidak ada meja rias membuatku bingung harus menyimpan perlengkapan kecantikan wanita itu dimana. Lagipula aku tahu diri ini bukan kamarku seutuhnya, ini kamar Mas Rayyan, kamar laki-laki, jadi wajar tidak ada benda tersebut di sini. "Astaga kenapa diletakkan di sini?" Bu Lasmi protes. Ia lalu mengitari kamar anaknya dengan gelengan kepala. "Ya sudah, cepatan poles wajahmu, tapi jangan terlalu tebal. Ini sudah malam tak perlu ri
"Tentu saja, Bu. Lasmi akan memilihkan calon terbaik untuk Rayyan. Syukurlah kalau Ibu suka." Bu Lasmi menjawab jumawa pernyataan Nenek Alin. Senyum mengembang sempurna di bibirnya. Aku jadi tersenyum bangga dipuji dua wanita terhormat sekaligus seperti mereka. Tidak menyangka sama sekali akan respon Nenek Alin padaku. "Jadi benar yang dikatakan Adel kalau Rayyan bakal sembuh asal dia …." Nenek Alin bertanya kembali dengan menggantungkan ucapannya dan kali ini membahas kondisi Mas Rayyan. "Benar, Bu. Kata dokter Aldi juga begitu."Aku membiarkan Bu Lasmi yang menjawab karena memang sekarang kapasitas beliau yang bicara selaku ibu kandung Mas Rayyan yang paling memahami suamiku itu."Dika juga mengatakan hal yang sama, tapi … Rayyan yang susah diatur. Dia tidak mau diterapi." Tatapan Bu Lasmi ke arah Mas Rayyan. Terlihat wajah kekhawatiran di sana untuk anaknya. "Loh, kok tidak mau Yan? Ini demi kebaikanmu juga. Memang mau berada di sana untuk waktu yang lama? Kasihan juga istrimu d
"Nenek ngapain ngasih beginian. Rayyan tak butuh minuman seperti ini," tolak Mas Rayyan membalas ucapan neneknya seraya melirik ke gelas yang isinya masih utuh. Lalu melengos menghindari tatapan wanita tua tersebut. Nenek Alin tersenyum lalu mendekat, duduk di tepi tempat tidur, di samping Mas Rayyan. "Dicoba dulu, rasanya bakal beda. Kamu bakal nggak bisa tidur semalaman." Satu tangan Nenek ke bahu Mas Rayyan, ia tersenyum penuh arti sembari mengusap lembut bahu kokoh cucunya. Jawaban Nenek membuatku ingin mual dan membelalakkan mata, terkejut. Pikiranku mengarah ke hal negatif. Aku sudah dewasa, walaupun tak pernah pacaran apalagi melakukan hubungan layaknya suami-istri dengan lelaki mana pun, tentu paham sedikit-dikit arti dari yang barusan dikatakan Nenek. Pasti sedang menjurus ke hal tersebut. Ih, membayangkannya saja membuatku bergidik duluan. Pikiranku cepat sekali menangkap hal beginian, ini semua karena teman kerja sering membicarakan hubungan privasinya dengan pacarnya.
"Syaratnya kalian tetap tinggal di rumah besar. Tidak ada yang boleh pindah ke tempat lain."Oh, itu. Syukurlah. Kukira syarat yang susah. Aku bisa bernapas lega jadinya. "Tapi kami bawa Ayah Burhan, bisa?" Kali ini dadaku kembali berdegup kencang. Mas Rayyan memberikan penawaran. Ayah. Aku yang meminta pada Mas Rayyan agar Ayah ikut dengan kami. Sekarang apa jawaban Mama Lasmi? Aku takut permintaan ini ditolaknya.Tampak Mama Lasmi menarik napas berat lalu menatapku lekat hingga membuatku tak nyaman. Pasti sekarang Mama Lasmi tambah marah padaku. Ia tentu tahu kalau keinginan tersebut datang dariku."Terserah."Jawaban Mama Lasmi terdengar pasrah, tapi dengan nada minor. Membuatku masih tak nyaman. Pasti itu untuk menyenangkan anaknya, bukan ikhlas dari dalam hati. Setelah mengatakan hal tersebut, ibu mertuaku tersebut pamit pulang. Dia bahkan tidak masuk lagi ke dalam ruangan Ayah sekedar pamit sebagai sikap basa-basi semata menghormati besannya. Aku duduk di sebelah Mas Rayyan
"Maksud Mas?" tanyaku penasaran. Kutatap sepasang bola mata berwarna hitam legam di depanku saat ini. "Kita tinggal di rumah kita. Rumah yang memang sudah dipersiapkan jika nanti aku menikah.""Mas yakin? Mama Lasmi bagaimana?" Aku hati-hati bertanya. Meski sudut hatiku senang karena ternyata Mas Rayyan mempunyai rumah pribadi. Senang di sini artinya aku bisa bebas mengajak Ayah ikut serta tinggal dengan kami tanpa rasa sungkan pada Mama Lasmi dan Nenek. Ayah pasti juga mau dan tidak akan menolaknya. Namun di sisi lain aku pun merasa tak enak karena seolah memisahkan Mas Rayyan dari ibunya. Itu karena Mas Rayyan anak tunggal. Belum lagi rumahnya sangat besar dan luas. Kami tinggal di sana saja masih terlalu besar untuk ditinggali. Apalagi jika ditinggal pergi? Mungkin akan semakin sepi terasa. "Nggak perlu khawatirkan ibuku, setelah nikah, ini adalah hidupku, hidup kita. Selama ini aku sudah patuh padanya. Sampai sekarang ini. Kenapa keinginan yang satu ini ditolak? Kita perlu mand
"Ini sudah keputusan bulat Ayah, Del. Pernikahan kami memang sudah seharusnya berakhir. Maaf jika selama ini membuatmu menderita," balas Ayah menatapku sendu. Ia memegang tanganku seolah meyakinkanku kalau keputusannya sudah benar dan ia baik-baik saja. Aku tetap menggeleng lemah dengan mata sudah berkaca-kaca mengisyaratkan kalau aku juga baik-baik saja dengan pernikahan mereka. Tidak masalah. Ini sudah berlangsung lama dan mentalku sudah sekuat baja menghadapi ketidakadilan yang sering kurasakan selama hidup bersama mereka. "Oh, jadi gara-gara dia, kamu mengakhiri hubungan kita?!" Ibu Mayang bangkit dari duduknya dan mengarahkan telunjuknya kepadaku. Ia menatapku nyalang. Aku merasa terpojok dan refleks beranjak dari kursi yang kududuki lalu mendekat ke Ayah. Kaget juga dengan respon yang Bu Mayang berikan. Sepertinya dia malah salah paham dan menuduhku yang tidak-tidak. Aku sendiri baru tahu tentang keinginan Ayah ini, di sini sama seperti mereka. Jadi salah besar tuduhan Bu Mayan
Hari demi hari keadaan Ayah semakin membaik. Aku intensif ikut menjaganya juga di rumah sakit. Tidak meninggalkannya pun barang sehari. Selalu ontime di sisinya untuk mengamati sendiri bagaimana keadaannya selama dirawat di sana. Bisa dipastikan dari awal beliau masuk rumah sakit sampai lima hari dirawat, aku ada di dekatnya, ikut tidur di ruangan yang sama dengannya. Aku tak mau jauh dari Ayah, tak ingin lagi kejadian kemarin terulang kembali. Aku garut menjaganya dengan baik. Aku memutuskan menginap di rumah sakit, dan sudah mengantongi izin juga dari Mas Rayyan, begitupun izin dari Mama Lasmi dan Nenek. Mas Rayyan juga ikut menemani. Tak ada masalah dengan Ibu mertua maupun Nenek. Syukurlah kedua orang berpengaruh di rumah Mas Rayyan tersebut mau mengerti dan mengizinkan setelah kuberi alasan kalau aku tidak bisa meninggalkan Ayah sendirian lagi karena hanya dia satu-satunya keluarga yang kupunya. Mungkin terdengar aneh kukatakan seperti itu karena masih ada Bu Mayang dan Bella
Aku menunggu dengan cemas saat dokter dan dua orang perawat masuk ke dalam ruangan ICU memeriksa keadaan Ayah. Mas Rayyan menggenggam erat tanganku, mungkin mencoba menenangkan karena nampak sekali kalau aku sangat gelisah. Aku takut terjadi apa-apa pada Ayah. Kadang pergerakan tubuh seseorang yang belum sadar bisa jadi awal berita buruk. Itu yang kucemaskan. Namun di satu sisi senang karena melihat perhatian Mas Rayan yang berubah 180 derajat dari yang dulu. Sikapnya tak pernah cuek lagi padaku. "Bagaimana Dok? Apa itu sebuah kemajuan?" Mas Rayyan gerak cepat menghampiri salah satu dokter yang baru saja keluar dari sana. Aku setia mengekor langkahnya, berdiri di sisinya ingin tahu juga secara langsung bagaimana kondisi Ayah. Dokter tersebut tersenyum menatap kami berdua. "Alhamdulillah kondisi Pak Burhan sudah melewati masa kritisnya, tapi kita biarkan dulu dia di sini untuk memantau kondisinya dan memastikan kalau Bapak benar-benar sudah keluar dari masa kritis tersebut, nanti ba
Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Bu Mayang barusan. Bagiku semua itu terdengar lucu. Kocak sekali punya ibu sambung yang cuma memperhatikan anaknya saja hingga anak dari suaminya pun dianggap tak berarti. "Maaf, Bu. Adel tidak bisa memenuhi permintaan Ibu barusan. Adel tidak bisa memberikan Mas Rayyan ke Bella," ucapku terjeda, sengaja berhenti sebentar untuk melihat ekspresinya. Seperti yang kuduga, ia terkejut dengan jawaban yang kuberi. Mungkin tidak mengira kalau aku akan menolaknya. Dulu, saat permintaan ini pernah dilontarkan, aku hanya menjawab pasrah, terserah Mas Rayyan, ujarku waktu itu. Keputusan kuserahkan pada suamiku tersebut. Kalau dia memang menginginkan Bella, maka aku pasrah dan memilih mundur, tapi hal tersebut tak pernah kutanyakan langsung ke Mas Rayyan karena tak berani mendengar jawabannya. Cuma suamiku itu pintar. Dia tahu hal tersebut dari pesan chatku dengan Bu Mayang yang masih tersimpan di ponsel, dan tidak menyukai sikap pasrahku. Mengingat nasihat
"Ada apa Adel? Kenapa dengan Ayah?" Mas Rayyan ikutan panik. Pasti karena mendengar pembicaraanku sekilas dengan Ibu. Iya, Ibu Mayang baru saja menghubungi dan menyampaikan kabar buruk untukku. Katanya Ayah jatuh di rumah dan sekarang sudah berada di rumah sakit. Aku tak tahu pasti jatuh seperti apa hingga Ayah harus dibawa ke rumah sakit, yang pasti sesuatu yang mengkhawatirkan. Segera aku ke sana ditemani Mas Rayyan berangkat ke rumah sakit. Ibu Mayang sudah mengirimkan alamat lengkapnya. Sudah pamit juga ke Mama Lasmi dan Nenek Alin, dan mereka mengizinkan. "Yang sabar. Jangan panik begini. Ayah pasti baik-baik saja." Mas Rayyan mencoba menenangkan. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya tersebut. Hati dan ragaku tidak sinkron. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya. Belum pernah mendengar Ayah masuk rumah sakit lagi setelah terakhir dia stroke. Sekarang pasti sesuatu yang sangat mengkhawatirkan sampai Ayah dibawa ke sana. ***Baru sampai lobi rumah sakit, aku segera men
Pov Rayyan Aku terdiam mendengarkan curahan hati istriku. Tak percaya dengan apa yang kudengar. Dia tampak emosi saat mengungkapkan isi hatinya tersebut. Setelah kupikir memang benar aku dan keluargaku terlalu menyetirnya. Memaksakan kehendak kami padanya. Tanpa bantahan ataupun protes darinya, dia terlalu penurut dan patuh. Aku mengamatinya dengan dada berdenyut nyeri, apa sesakit itu rasanya hingga saat dia bicara, suaranya ikut bergetar juga. "Maaf, maafkan aku dan keluargaku," lirihku akhirnya. Aku berlutut di hadapannya dengan meraih tangannya. Kugenggam erat tangan halus tersebut dan refleks mengecupnya. Adelia awalnya terkejut, lalu melengos, seolah enggan menatapku yang berada di hadapannya. Dia juga ingin menarik tangannya dariku, tapi kugenggam erat agar tak terlepas. Aku juga bisa melihat wajah sendu dan mata yang mulai berkaca-kaca di sana. Banyak kesakitan yang sekarang ini bisa kulihat di matanya. Kenapa baru menyadarinya? Kemarin itu aku kemana saja? Aku cuma ped
Pov Rayyan"Ma." Aku masuk ke dalam ruang kerja Mama. Menghampirinya yang tidak menunjukkan batang hidungnya saat aku pulang ke rumah ini. Saat masuk, Mama terlihat lagi fokus menatap layar laptop. Sepertinya Mama memang sibuk. Ia cuma menatapku sekilas saat aku masuk ke dalam ruangannya. Setelah kembali ke rumah, bergegas aku mencarinya. Bukan karena rindu yang mendera. Kami baru berpisah 24 jam, jadi bukan itu alasanku mencarinya. Aku hanya heran saja tak ada sosoknya di luar barusan. Hanya Nenek dan beberapa orang yang bekerja di sini. "Duduk Yan. Baru sampai?" tanyanya sembari melepaskan kacamata dari hidung bangirnya. Aku mengangguk. Lalu duduk sesuai inginnya. "Cerah wajahmu. Jadi semalam terjadi ya?"Kedua alisku naik saling terpaut. Mengernyit heran. Mama tersenyum tipis. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. "Sudah Mama duga kamu tidak akan tahan menghindarinya. Adelia itu cantik. Cantiknya alami. Cuma sayang dia tidak pandai berdandan saja. Kalau dipoles di