"Rayyan tidak mau, Nek. Untuk apa diadakan pesta? Nenek mau mempermalukan Rayyan yang tidak bisa berdiri di atas pelaminan nanti, begitu?" Mas Rayyan menolak. Kulihat garis wajah laki-laki itu mengeras menunjukkan ketidaksukaannya. Dia menatap Bu Lasmi dan Nenek Alin secara bergantian dengan wajah memerah. "Tidak. Bukan seperti itu maksudnya. Nenek hanya ingin menunjukkan kalau kamu telah menikah, terutama buat keluarga Darmansyah. Mereka harus lihat kamu bisa menikah meskipun dengan ketidak sempurnaan."Keluarga Darmansyah? Siapa itu? Benakku menebak ingin tahu. Namun aku tak berani ikut campur apalagi bertanya menimpali pembicaraan mereka. Bukan kapasitasku dan aku belum berhak bicara. "Buat apa?" Mas Rayyan tersenyum kecut. "Itu hanya mempermalukan keluarga kita. Apa Nenek tahu kalau istriku ini dari kalangan biasa, Orang-orang malah menertawakan kita karena berpikir Adel mau menikah denganku demi harta. Siapa yang mau dinikahi laki-laki tak sempurna sepertiku kalau bukan demi ua
"Uang? Buat apalagi, Bu?" Kuturunkan nada suaraku agar tak terdengar siapa pun. "Ya, buat beli perhiasan dan pakaian baru. Kita kan akan menjadi bagian dari keluarga Arya Kusuma. Keluarga terpandang di kota ini. Belum lagi bakal ada pesta besar dan tidak mungkin penampilan Ibu dan yang lainnya seperti biasa saja. Harus ada peningkatan," tutur Bu Mayang membuatku menarik napas dalam-dalam. "Jadi Ibu mau minta berapa?""Sepuluh juta kalau ada. Kalau tidak ada, lima juta juga nggak papa."Mulutku ternganga mendengar permintaannya tersebut. Tak menyangka bakal diminta sebanyak itu. Lagipula darimana kudapatkan uang hitungan juta dalam waktu sekejap? Uang tabungan saja di bawah nominal lima juta. Ya Allah, Bu. Apa yang ada di pikirannya? Tak hentinya membuatku susah bernapas. Pernikahan ini saja masih terasa menyesakkan, aku perlu menghirup udara banyak-banyak untuk mengendurkannya. "Maaf, Bu. Adel nggak punya uang segitu banyak. Ibu kan tahu sendiri penghasilan Adel selama kerja tidak
"Ada apa?"Baru saja masuk kamar sudah ditanya Mas Rayyan. Aku menatapnya bingung. Lalu mendekat. "Hm, tidak ada. Memangnya ada apa, Mas?" tanyaku balik seraya mengamatinya yang sedang memegang buku, seperti biasanya. "Kamu dipanggil Mama kenapa?"Eh, kok dia tahu ya aku dipanggil ibunya? "Mas tahu dari mana kalau aku–""Semua yang ada di rumah ini aku tahu." Belum sempat menuntaskan ucapan, sudah dipotongnya."Oh, tidak apa kok. Cuma …." Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat. Tak mungkin kukatakan sedang dinasihati Mama tentang keluargaku yang mulai ngelunjak pada ibunya. Aku malu. "Aku diminta untuk hati-hati membantu Mas terapi jalan. Takutnya malah membuat Mas cedera." Terpaksa berbohong. Entah sudah berapa kali aku berbohong di rumah ini. Mas Rayyan terpekur sebentar lalu menatapku lekat. "Aku makan malam di kamar saja. Sudah minta Deden mengantarkan ke sini, paling sebentar lagi datang. Jadi jika nanti diminta ke ruang makan, bilang aku sudah makan. Kamu juga tidak pe
Ayah, maaf. Bolehkah aku menyerah. Bolehkah aku durhaka karena mengabaikanmu? Aku lelah. ***Kuketuk pintu kamar Mas Rayyan, takut Mama Lasmi masih di dalam. Aku cuma sebentar menerima telepon dan tidak melihat apakah Mama sudah keluar dari kamar suamiku atau belum. "Siapa?" Suara Mas Rayyan bertanya. "Ini saya Mas, Adel." Sigap aku menjawab. "Masuk!" titahnya kemudian. Segera aku membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Mas Rayyan sedang duduk selonjor di atas tempat tidurnya. Tidak kutemukan sosok ibu mertua di dalam sini. "Kenapa pake ketuk pintu segala. Kamu bebas masuk kamar ini karena statusmu istriku."Oh, rupanya Mama sudah pergi. Kami tidak bertemu saat di luar tadi, bukan beda arah jalan. Aku mengangguk tanpa menoleh padanya dan memutuskan untuk terus berjalan menuju arah kamar mandi karena ingin bebersih sebelum beranjak tidur. "Tunggu!" Langkahku terhenti seketika mendengar ucapannya. Padahal kamar mandi tinggal semeter di hadapan. "Sini! Kita harus bicara," imbuhnya
Pov Rayyan"Tidak! Aku tidak mau. Sekarang bukan zamannya Siti nurbaya, Ma. Aku tidak mau dijodoh-jodohkan. Apa karena aku cacat, Mama asal jodohkan?"Aku berang. Mama tiba-tiba memberikan solusi untuk pertunanganku yang batal. Belum sembuh luka hati dan fisik, Mama malah membuatku makin terpuruk. "Yan, cuma ini satu-satunya jalan agar harta Ayahmu tidak jatuh ke tangan mereka. Ini syarat untuk memenuhi surat wasiat Ayahmu. Kalau kita kehilangan, Mama juga tidak bisa mengobati sakitmu ini. Kita akan terlempar ke jalanan. Kamu mau?" timpalnya memaksa. Akun terdiam. Apa yang dikatakan Mama benar. Meskipun rasanya ingin mati saja, tapi tak tega kalau harus meninggalkan Mama dalam kesengsaraan. Hidupku sudah hancur. Safira yang kukira bisa menerima keadaanku ini malah berpaling dan memutuskan hubungan kami. Padahal berulang kali kuyakinkan kalau aku pasti sembuh, tapi dia tetap dengan pendiriannya. Masih jelas terngiang saat dia bilang tak bisa meneruskan pertunangan kami. Dia tidak bis
Itu dia …? Kok beda sama yang di foto?Kulihat seorang wanita berkebaya putih datang menghampiri tempat akad yang telah kududuki. Ia digandeng dua wanita berbeda usia di sebelah kanan dan kirinya. "Pak, itu dia?" tanyaku ragu berbisik pada Pak Rudi yang merupakan orang kepercayaan Mama. Dia juga yang menjadi salah satu saksi dari pihak mempelai laki-laki, yaitu aku. "Iya." Pak Rudi mengangguk seraya menyunggingkan senyum semringah. "Cantik ya Den," timpalnya lagi tak memalingkan pandangan dari wanita tersebut. Dapat kulihat semua mata tertuju pada wanita tersebut. Apa iya dia orangnya? Aku menatapnya lekat. "Kenapa cantik sekali? Jauh berbeda dengan foto yang ditunjukkan Mama padaku waktu itu. Oh, mungkin keajaiban make up. Bisa saja kan mengubah yang biasa jadi luar biasa. Wajah palsu!" rutukku sendiri dalam hati. Aku mencoba bersikap biasa saja saat wanita tersebut duduk di sebelahku. Ijab kabul yang akan kuhadapi jadi terasa makin tegang karena kehadirannya sekarang ini. K
"Mas ngomong apa sama Ibu?" Adel bertanya setelah ponselnya kukembalikan. "Biasa saja, cuma basa-basi sebagai menantu yang baik."Adel tersenyum mendengar jawabanku. Baginya pasti terdengar lucu. Sejak kapan aku bersikap jadi menantu yang baik? Jadi suami baik saja baru kumulai setelah seminggu berlalu. "Kok senyum? Ada yang salah dengan jawabanku?"Adel menggelengkan kepalanya. "Lucu saja mendengarnya."Tebakanku benar."Lucunya dimana?" Penasaran, aku ingin tahu penjelasannya tersebut. Selain itu, bicara dengannya menjadi candu buatku. Enak dan nyambung. Tipe wanita seperti ini yang kucari. Dulu ada di Safira, tapi sekarang …. "Nggak. Kok. Ya, lucu aja dengarnya, Mas. Nggak usah dibahas, ini Mas, minumnya." Segelas minuman dingin diulurkannya ke arahku. Tampaknya dia ingin mengubah topik pembicaraan. "Terima kasih." Aku membalasnya dengan mengulas senyum pula. Entah berapa kali senyumku terumbar murah padanya. Padahal pertama bertemu, aku sangat ketus. Senyumku mahal. "Kalau k
"Mas Rayyan?" Aku tersentak kaget saat mendapati sosok suamiku itu berada di depanku dalam keadaan tegak berdiri. Dia tidak menggunakan kursi rodanya karena benda tersebut berada jauh di sebelah sisi ranjang satunya, sisi biasa dia tidur. Aku segera bangun mengambil posisi duduk. Mengerjap sekali lagi memastikan penglihatanku tak salah. Siapa tahu aku bermimpi. Baru juga terlelap tidur, terasa ada yang mengusap bagian kepalaku dan itu terasa nyata, makanya aku terbangun. Apa usapan itu dari tangan Mas Rayyan karena dia tepat berada di depanku saat ini. "Mas, kamu?" tanyaku tergagap bercampur bingung. Masih dengan netra yang tak percaya melihat suamiku berdiri kokoh tanpa bantuan. "Eh, a–aku sudah sembuh," ujarnya berterus terang tampak salah tingkah. Seolah menjawab arti dari tatapanku barusan. "Lihatlah! Aku sudah bisa berjalan tanpa bantuanmu. Aku bisa berjalan dengan kekuatanku sendiri."Mas Rayyan mempertegas lagi ucapannya. Ia mondar-mandir berjalan pelan menunjukkan kemampua