"Ada apa?"Baru saja masuk kamar sudah ditanya Mas Rayyan. Aku menatapnya bingung. Lalu mendekat. "Hm, tidak ada. Memangnya ada apa, Mas?" tanyaku balik seraya mengamatinya yang sedang memegang buku, seperti biasanya. "Kamu dipanggil Mama kenapa?"Eh, kok dia tahu ya aku dipanggil ibunya? "Mas tahu dari mana kalau aku–""Semua yang ada di rumah ini aku tahu." Belum sempat menuntaskan ucapan, sudah dipotongnya."Oh, tidak apa kok. Cuma …." Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat. Tak mungkin kukatakan sedang dinasihati Mama tentang keluargaku yang mulai ngelunjak pada ibunya. Aku malu. "Aku diminta untuk hati-hati membantu Mas terapi jalan. Takutnya malah membuat Mas cedera." Terpaksa berbohong. Entah sudah berapa kali aku berbohong di rumah ini. Mas Rayyan terpekur sebentar lalu menatapku lekat. "Aku makan malam di kamar saja. Sudah minta Deden mengantarkan ke sini, paling sebentar lagi datang. Jadi jika nanti diminta ke ruang makan, bilang aku sudah makan. Kamu juga tidak pe
Ayah, maaf. Bolehkah aku menyerah. Bolehkah aku durhaka karena mengabaikanmu? Aku lelah. ***Kuketuk pintu kamar Mas Rayyan, takut Mama Lasmi masih di dalam. Aku cuma sebentar menerima telepon dan tidak melihat apakah Mama sudah keluar dari kamar suamiku atau belum. "Siapa?" Suara Mas Rayyan bertanya. "Ini saya Mas, Adel." Sigap aku menjawab. "Masuk!" titahnya kemudian. Segera aku membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Mas Rayyan sedang duduk selonjor di atas tempat tidurnya. Tidak kutemukan sosok ibu mertua di dalam sini. "Kenapa pake ketuk pintu segala. Kamu bebas masuk kamar ini karena statusmu istriku."Oh, rupanya Mama sudah pergi. Kami tidak bertemu saat di luar tadi, bukan beda arah jalan. Aku mengangguk tanpa menoleh padanya dan memutuskan untuk terus berjalan menuju arah kamar mandi karena ingin bebersih sebelum beranjak tidur. "Tunggu!" Langkahku terhenti seketika mendengar ucapannya. Padahal kamar mandi tinggal semeter di hadapan. "Sini! Kita harus bicara," imbuhnya
Pov Rayyan"Tidak! Aku tidak mau. Sekarang bukan zamannya Siti nurbaya, Ma. Aku tidak mau dijodoh-jodohkan. Apa karena aku cacat, Mama asal jodohkan?"Aku berang. Mama tiba-tiba memberikan solusi untuk pertunanganku yang batal. Belum sembuh luka hati dan fisik, Mama malah membuatku makin terpuruk. "Yan, cuma ini satu-satunya jalan agar harta Ayahmu tidak jatuh ke tangan mereka. Ini syarat untuk memenuhi surat wasiat Ayahmu. Kalau kita kehilangan, Mama juga tidak bisa mengobati sakitmu ini. Kita akan terlempar ke jalanan. Kamu mau?" timpalnya memaksa. Akun terdiam. Apa yang dikatakan Mama benar. Meskipun rasanya ingin mati saja, tapi tak tega kalau harus meninggalkan Mama dalam kesengsaraan. Hidupku sudah hancur. Safira yang kukira bisa menerima keadaanku ini malah berpaling dan memutuskan hubungan kami. Padahal berulang kali kuyakinkan kalau aku pasti sembuh, tapi dia tetap dengan pendiriannya. Masih jelas terngiang saat dia bilang tak bisa meneruskan pertunangan kami. Dia tidak bis
Itu dia …? Kok beda sama yang di foto?Kulihat seorang wanita berkebaya putih datang menghampiri tempat akad yang telah kududuki. Ia digandeng dua wanita berbeda usia di sebelah kanan dan kirinya. "Pak, itu dia?" tanyaku ragu berbisik pada Pak Rudi yang merupakan orang kepercayaan Mama. Dia juga yang menjadi salah satu saksi dari pihak mempelai laki-laki, yaitu aku. "Iya." Pak Rudi mengangguk seraya menyunggingkan senyum semringah. "Cantik ya Den," timpalnya lagi tak memalingkan pandangan dari wanita tersebut. Dapat kulihat semua mata tertuju pada wanita tersebut. Apa iya dia orangnya? Aku menatapnya lekat. "Kenapa cantik sekali? Jauh berbeda dengan foto yang ditunjukkan Mama padaku waktu itu. Oh, mungkin keajaiban make up. Bisa saja kan mengubah yang biasa jadi luar biasa. Wajah palsu!" rutukku sendiri dalam hati. Aku mencoba bersikap biasa saja saat wanita tersebut duduk di sebelahku. Ijab kabul yang akan kuhadapi jadi terasa makin tegang karena kehadirannya sekarang ini. K
"Mas ngomong apa sama Ibu?" Adel bertanya setelah ponselnya kukembalikan. "Biasa saja, cuma basa-basi sebagai menantu yang baik."Adel tersenyum mendengar jawabanku. Baginya pasti terdengar lucu. Sejak kapan aku bersikap jadi menantu yang baik? Jadi suami baik saja baru kumulai setelah seminggu berlalu. "Kok senyum? Ada yang salah dengan jawabanku?"Adel menggelengkan kepalanya. "Lucu saja mendengarnya."Tebakanku benar."Lucunya dimana?" Penasaran, aku ingin tahu penjelasannya tersebut. Selain itu, bicara dengannya menjadi candu buatku. Enak dan nyambung. Tipe wanita seperti ini yang kucari. Dulu ada di Safira, tapi sekarang …. "Nggak. Kok. Ya, lucu aja dengarnya, Mas. Nggak usah dibahas, ini Mas, minumnya." Segelas minuman dingin diulurkannya ke arahku. Tampaknya dia ingin mengubah topik pembicaraan. "Terima kasih." Aku membalasnya dengan mengulas senyum pula. Entah berapa kali senyumku terumbar murah padanya. Padahal pertama bertemu, aku sangat ketus. Senyumku mahal. "Kalau k
"Mas Rayyan?" Aku tersentak kaget saat mendapati sosok suamiku itu berada di depanku dalam keadaan tegak berdiri. Dia tidak menggunakan kursi rodanya karena benda tersebut berada jauh di sebelah sisi ranjang satunya, sisi biasa dia tidur. Aku segera bangun mengambil posisi duduk. Mengerjap sekali lagi memastikan penglihatanku tak salah. Siapa tahu aku bermimpi. Baru juga terlelap tidur, terasa ada yang mengusap bagian kepalaku dan itu terasa nyata, makanya aku terbangun. Apa usapan itu dari tangan Mas Rayyan karena dia tepat berada di depanku saat ini. "Mas, kamu?" tanyaku tergagap bercampur bingung. Masih dengan netra yang tak percaya melihat suamiku berdiri kokoh tanpa bantuan. "Eh, a–aku sudah sembuh," ujarnya berterus terang tampak salah tingkah. Seolah menjawab arti dari tatapanku barusan. "Lihatlah! Aku sudah bisa berjalan tanpa bantuanmu. Aku bisa berjalan dengan kekuatanku sendiri."Mas Rayyan mempertegas lagi ucapannya. Ia mondar-mandir berjalan pelan menunjukkan kemampua
"Kamu cerita apa saja sama suami dan ibu mertuamu itu?"Ibu Mayang berbisik di telingaku saat memelukku. Bibirnya memang tersenyum merekah, tapi suaranya mengeluarkan racun amarah. Setiap kata ditekannya dalam membuatku tahu dia sedang marah padaku. Saat ini aku berada di kamar hotel di mana ballroomnya merupakan tempat digelarnya acara pesta pernikahanku nanti bersama Mas Rayyan. Saat ini aku sedang dirias. Ibu sambungku itu menghampiri bersama Bella, anak kesayangannya. Aku menggeleng lemah tanpa suara. Menunjukkan kalau aku tidak mengerti dengan apa yang ditanyakannya. "Bel, lihat Kakakmu, cantik banget ya." Disela bicara denganku, ia berakting seolah senang dengan penampilanku saat ini. Mungkin hanya ingin menunjukkan ke orang lain kalau dia menyukaiku dan menyayangiku seperti anaknya sendiri. Menunjukkan juga kalau kami ini dekat. Hubungan kami baik-baik saja. Padahal …."Oh, i–iya. Cantik." Meski memuji, tapi dari nada suaranya aku tahu adikku itu berbohong. Terkesan datar
Kucoba memperhatikan seksama wanita anggun berkebaya merah yang barusan memeluk erat suamiku saat mengucapkan kata selamat. Cantik. Warna kebayanya serasi dengan lipstik yang dikenakannya. Tidak hanya membuat anggun, tapi terlihat seksi dan menawan. Membuatnya jadi pusat perhatian. Ditambah bagian leher kebayanya yang dibuat rendah hingga menampilkan sedikit dua gundukan menggoda. Pantas saja banyak lelaki yang menatapnya tak berkedip. Padahal kulihat dia datang tak sendiri. Dia datang bersama laki-laki lain yang membersamainya saat naik ke atas pelaminan ini. Aku mengulas senyum tipis saat berhadapan dengannya, bersikap ramah, tapi dibalas wanita tersebut dengan wajah datar, dan tatapan tajam. Jabat tangan pun hanya di ujung jari, tak sampai menautkan dengan benar ke tanganku seperti layaknya orang bersalaman. Justru terkesan enggan dan terpaksa. Kenapa sikapnya seperti itu? Apa yang salah denganku? Cemburu kah? Aneh. Mereka sudah berpisah, dan aku tahu kisahnya. Dia yang meni