"Kamu cerita apa saja sama suami dan ibu mertuamu itu?"Ibu Mayang berbisik di telingaku saat memelukku. Bibirnya memang tersenyum merekah, tapi suaranya mengeluarkan racun amarah. Setiap kata ditekannya dalam membuatku tahu dia sedang marah padaku. Saat ini aku berada di kamar hotel di mana ballroomnya merupakan tempat digelarnya acara pesta pernikahanku nanti bersama Mas Rayyan. Saat ini aku sedang dirias. Ibu sambungku itu menghampiri bersama Bella, anak kesayangannya. Aku menggeleng lemah tanpa suara. Menunjukkan kalau aku tidak mengerti dengan apa yang ditanyakannya. "Bel, lihat Kakakmu, cantik banget ya." Disela bicara denganku, ia berakting seolah senang dengan penampilanku saat ini. Mungkin hanya ingin menunjukkan ke orang lain kalau dia menyukaiku dan menyayangiku seperti anaknya sendiri. Menunjukkan juga kalau kami ini dekat. Hubungan kami baik-baik saja. Padahal …."Oh, i–iya. Cantik." Meski memuji, tapi dari nada suaranya aku tahu adikku itu berbohong. Terkesan datar
Kucoba memperhatikan seksama wanita anggun berkebaya merah yang barusan memeluk erat suamiku saat mengucapkan kata selamat. Cantik. Warna kebayanya serasi dengan lipstik yang dikenakannya. Tidak hanya membuat anggun, tapi terlihat seksi dan menawan. Membuatnya jadi pusat perhatian. Ditambah bagian leher kebayanya yang dibuat rendah hingga menampilkan sedikit dua gundukan menggoda. Pantas saja banyak lelaki yang menatapnya tak berkedip. Padahal kulihat dia datang tak sendiri. Dia datang bersama laki-laki lain yang membersamainya saat naik ke atas pelaminan ini. Aku mengulas senyum tipis saat berhadapan dengannya, bersikap ramah, tapi dibalas wanita tersebut dengan wajah datar, dan tatapan tajam. Jabat tangan pun hanya di ujung jari, tak sampai menautkan dengan benar ke tanganku seperti layaknya orang bersalaman. Justru terkesan enggan dan terpaksa. Kenapa sikapnya seperti itu? Apa yang salah denganku? Cemburu kah? Aneh. Mereka sudah berpisah, dan aku tahu kisahnya. Dia yang meni
"Mas, aku–" "Sayang, katanya mau makan. Aku tunggu-tunggu kok belum nongol juga?" selanya bertanya dengan bibir tertarik ke atas. Ia memanggilku sayang. Aku yang tak sanggup melanjutkan ucapanku jadi ternganga mendengar perkataannya barusan. Mataku sempat membola hingga akhirnya mampu menguasai diri. Bukan seperti yang kubayangkan. Kukira dia akan marah-marah dan menarikku kasar mengikutinya. Namun ternyata ….Tidak! Dia malah bersikap mesra seperti layaknya status kami, suami-istri. Tangannya melingkar di pinggangku hingga badan ini saling menempel bersisian padanya. "Aku–"Belum sempat menjawab, Mas Rayyan malah menyapa Dika. "Hai, Dika. Baru datang? Sudah kenalan sama Ayah?" Suamiku itu melirik sekilas ke arah Ayah yang dibalas Ayah dengan tersenyum renyah. "Sudah. ayah Adel kan? Kami bahkan sudah akrab loh." Dika mengerlingkan matanya ke arah Ayah. Dibalas Ayah dengan senyuman hangat. Memang seramah itu ayahku pada siapa pun, dan Dika pun sama. Dia orang yang tipikal enak dia
Pakaian apa tadi? Apa itu pakaian untukku atau salah kirim? Aku berjalan ke arah nakas mencari sesuatu. Mengambil tas milikku yang tersimpan di sana, bawaanku saat pergi ke hotel ini. Dengan lincah tangan ini menghubungi Mama Lasmi tapi hasilnya nihil, tidak diangkat. Aku ingin menanyakan apa benar ini pakaian ganti untukku atau salah kirim? Aku mondar-mandir mencoba terus menghubunginya, tapi hasilnya sama. Hanya terdengar nada sambung sampai akhir deringnya. "Ada apa?""Astaghfirullah!" Refleks beristighfar karena kaget. Mas Rayyan tiba-tiba menegurku dari arah belakang. Apalagi dia cuma berlilitkan handuk di pinggang. "Anu Mas. Itu …." Aku tergagap untuk menjawab. Tak berani menatapnya. "Apa sih, Del? Wajahmu kenapa begitu? Kayak lihat hantu saja. Kenapa? Ada apa?" tanyanya lagi mengulikku.Mas Rayyan bertanya seraya terus berjalan menuju lemari pakaian yang sama denganku. "Itu Mas." Aku mendongak menatapnya sebentar, masih bingung bagaimana cara untuk memberitahukannya. Mas
"Apa menurutmu aku pecundang yang lari dari kenyataan setelah melakukan sesuatu?" balasnya dengan tatapan menusuk. Ada kilat kemarahan di wajah tampannya. "Aku pasti bertanggung jawab. Kata maaf barusan karena telah mengingkari janjiku di awal padamu. Aku mengaku salah dan ikhlas kalau dihukum. Semua terserah padamu. Apa pun yang kamu minta pasti kuturuti," lanjutnya meyakinkanku saat melihatku hanya diam menyimaknya bicara. "Hanya sebatas tanggung jawab?" ujarku memastikan ingin tahu apakah dia menggunakan perasaan atau tidak saat melakukannya. "Apakah yang barusan Mas lakukan tanpa cinta, dan hanya nafsu semata?" lanjutku lagi memperjelas pertanyaanku sebelumnya serta membungkam mulutnya yang ingin menjawab. Aku ingin kejujuran. "Aku … aku akan mencoba mencintaimu." Meski dikatakan Mas Rayyan demikian. Nada suaranya terdengar ragu. Sulit mempercayainya dan aku benci mendengarnya, tapi aku tak mampu menyalahkannya juga karena mungkin kenyataannya memang seperti itu. Cinta tidak d
Pov Bella"Kata siapa? Kamu jangan mengada-ada ya? Handy itu lagi sakit, dan aku tahu dia di rumah, nggak mungkin kemana-mana. Apalagi ke mall seperti yang kamu bilang!" Aku berang saat Dina menghubungiku cuma ingin memberitahukan kalau Handy, pacarku lagi jalan di mall sama wanita lain. Kumaki dia habis-habisan dengan tidak mempercayai ucapannya tentang pacarku tersebut. Dina adalah teman satu kampus. Tidak dekat, tapi kami pernah satu kelas dan satu circle pertemanan juga. Temannya adalah teman satu gengku. Jadi otomatis kenal satu sama lain. Dia tahu aku berpacaran dengan Handy, salah satu laki-laki terkeren di kampus dan anak orang kaya. "Lah, kok malah marah-marah? Kalau tidak percaya ya sudah. Aku cuma ngasih tahu. Kasihan sama kamu yang ternyata diduain. Lagian itu ada buktinya. Ada fotonya dan kamu lihat sendiri kan itu Handy?" Suara di seberang tak mau kalah. Nadanya ikut naik seolah mengimbangi suaranya yang sudah tinggi sejak awal dikirimi foto Handy. Dia tetap yakin ora
Dering ponselku tak berhenti berbunyi. Aku sampai mematikannya karena sudah terasa mengganggu. Tidak hanya telepon dan pesan dari Ibu Mayang yang terus masuk mengusikku, tapi juga dari Bella. Kedua Ibu beranak tersebut seakan kompak untuk menekanku, memintaku melepaskan Mas Rayyan dari sisiku. "Kamu baik-baik saja, Del?" Mas Rayyan kembali menanyakan keadaanku. Sudah sekeras mungkin aku menutupi keresahanku, tapi sepertinya mudah dirasakan oleh Mas Rayyan. Kenapa sekarang jadi peka? Dia terus bertanya memastikan keadaanku baik-baik saja atau ada masalah. Sekarang kami di dalam mobil sedang dalam perjalanan ke rumah. Bagaimana ini? Haruskah jujur dan menceritakannya? "Kita adalah suami istri sungguhan. Bukan pura-pura lagi, iya tidak?" Mas Rayyan masih mencoba mengulik hatiku. Menekan kalimat tersebut seolah penegasan aku tak boleh memikul sendiri bebanku. Aku mengangguk mengiakan. "Kalau begitu harus saling jujur. Iya kan?" Nah benar kan? Mas Rayyan makin membuatku jadi terde
Safira itu nama mantannya Mas Rayyan. Kakiku terpaku di tempat tak jadi menghampiri Mas Rayyan yang asyik berteleponan dengan mantannya itu. Hati yang berdenyut nyeri memaksaku untuk memutar badan, berbalik ke arah pintu, memutuskan keluar dari kamar. "Adelia."Sebuah panggilan lembut membuat langkahku terhenti.Itu Mas Rayyan.Ternyata aku ketahuan telah masuk kamar. Padahal ingin keluar secara diam-diam. "Mau kemana?" tanyanya dan aku masih di posisi sama. Belum menghadapnya. "Adel." Mas Rayyan kembali memanggil, membuatku terpaksa berbalik menghadapnya. "Mau kemana?" ulangnya seraya memangkas jarak. Ia yang menghampiriku. Aku yang belum siap dengan pertanyaannya jadi tergagap harus menjawab apa. Aku ingin keluar untuk menenangkan hatiku yang tiba-tiba berdenyut tak nyaman. Ada rasa sakit yang sulit diungkapkan. "Hm, anu. Mau ambil air." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Mas Rayyan menoleh sebentar ke atas nakas dimana di sana sudah ada teko air yang masih