Safira itu nama mantannya Mas Rayyan. Kakiku terpaku di tempat tak jadi menghampiri Mas Rayyan yang asyik berteleponan dengan mantannya itu. Hati yang berdenyut nyeri memaksaku untuk memutar badan, berbalik ke arah pintu, memutuskan keluar dari kamar. "Adelia."Sebuah panggilan lembut membuat langkahku terhenti.Itu Mas Rayyan.Ternyata aku ketahuan telah masuk kamar. Padahal ingin keluar secara diam-diam. "Mau kemana?" tanyanya dan aku masih di posisi sama. Belum menghadapnya. "Adel." Mas Rayyan kembali memanggil, membuatku terpaksa berbalik menghadapnya. "Mau kemana?" ulangnya seraya memangkas jarak. Ia yang menghampiriku. Aku yang belum siap dengan pertanyaannya jadi tergagap harus menjawab apa. Aku ingin keluar untuk menenangkan hatiku yang tiba-tiba berdenyut tak nyaman. Ada rasa sakit yang sulit diungkapkan. "Hm, anu. Mau ambil air." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Mas Rayyan menoleh sebentar ke atas nakas dimana di sana sudah ada teko air yang masih
Pov Rayyan"Ma." Aku masuk ke dalam ruang kerja Mama. Menghampirinya yang tidak menunjukkan batang hidungnya saat aku pulang ke rumah ini. Saat masuk, Mama terlihat lagi fokus menatap layar laptop. Sepertinya Mama memang sibuk. Ia cuma menatapku sekilas saat aku masuk ke dalam ruangannya. Setelah kembali ke rumah, bergegas aku mencarinya. Bukan karena rindu yang mendera. Kami baru berpisah 24 jam, jadi bukan itu alasanku mencarinya. Aku hanya heran saja tak ada sosoknya di luar barusan. Hanya Nenek dan beberapa orang yang bekerja di sini. "Duduk Yan. Baru sampai?" tanyanya sembari melepaskan kacamata dari hidung bangirnya. Aku mengangguk. Lalu duduk sesuai inginnya. "Cerah wajahmu. Jadi semalam terjadi ya?"Kedua alisku naik saling terpaut. Mengernyit heran. Mama tersenyum tipis. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. "Sudah Mama duga kamu tidak akan tahan menghindarinya. Adelia itu cantik. Cantiknya alami. Cuma sayang dia tidak pandai berdandan saja. Kalau dipoles di
Pov Rayyan Aku terdiam mendengarkan curahan hati istriku. Tak percaya dengan apa yang kudengar. Dia tampak emosi saat mengungkapkan isi hatinya tersebut. Setelah kupikir memang benar aku dan keluargaku terlalu menyetirnya. Memaksakan kehendak kami padanya. Tanpa bantahan ataupun protes darinya, dia terlalu penurut dan patuh. Aku mengamatinya dengan dada berdenyut nyeri, apa sesakit itu rasanya hingga saat dia bicara, suaranya ikut bergetar juga. "Maaf, maafkan aku dan keluargaku," lirihku akhirnya. Aku berlutut di hadapannya dengan meraih tangannya. Kugenggam erat tangan halus tersebut dan refleks mengecupnya. Adelia awalnya terkejut, lalu melengos, seolah enggan menatapku yang berada di hadapannya. Dia juga ingin menarik tangannya dariku, tapi kugenggam erat agar tak terlepas. Aku juga bisa melihat wajah sendu dan mata yang mulai berkaca-kaca di sana. Banyak kesakitan yang sekarang ini bisa kulihat di matanya. Kenapa baru menyadarinya? Kemarin itu aku kemana saja? Aku cuma ped
"Ada apa Adel? Kenapa dengan Ayah?" Mas Rayyan ikutan panik. Pasti karena mendengar pembicaraanku sekilas dengan Ibu. Iya, Ibu Mayang baru saja menghubungi dan menyampaikan kabar buruk untukku. Katanya Ayah jatuh di rumah dan sekarang sudah berada di rumah sakit. Aku tak tahu pasti jatuh seperti apa hingga Ayah harus dibawa ke rumah sakit, yang pasti sesuatu yang mengkhawatirkan. Segera aku ke sana ditemani Mas Rayyan berangkat ke rumah sakit. Ibu Mayang sudah mengirimkan alamat lengkapnya. Sudah pamit juga ke Mama Lasmi dan Nenek Alin, dan mereka mengizinkan. "Yang sabar. Jangan panik begini. Ayah pasti baik-baik saja." Mas Rayyan mencoba menenangkan. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya tersebut. Hati dan ragaku tidak sinkron. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya. Belum pernah mendengar Ayah masuk rumah sakit lagi setelah terakhir dia stroke. Sekarang pasti sesuatu yang sangat mengkhawatirkan sampai Ayah dibawa ke sana. ***Baru sampai lobi rumah sakit, aku segera men
Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Bu Mayang barusan. Bagiku semua itu terdengar lucu. Kocak sekali punya ibu sambung yang cuma memperhatikan anaknya saja hingga anak dari suaminya pun dianggap tak berarti. "Maaf, Bu. Adel tidak bisa memenuhi permintaan Ibu barusan. Adel tidak bisa memberikan Mas Rayyan ke Bella," ucapku terjeda, sengaja berhenti sebentar untuk melihat ekspresinya. Seperti yang kuduga, ia terkejut dengan jawaban yang kuberi. Mungkin tidak mengira kalau aku akan menolaknya. Dulu, saat permintaan ini pernah dilontarkan, aku hanya menjawab pasrah, terserah Mas Rayyan, ujarku waktu itu. Keputusan kuserahkan pada suamiku tersebut. Kalau dia memang menginginkan Bella, maka aku pasrah dan memilih mundur, tapi hal tersebut tak pernah kutanyakan langsung ke Mas Rayyan karena tak berani mendengar jawabannya. Cuma suamiku itu pintar. Dia tahu hal tersebut dari pesan chatku dengan Bu Mayang yang masih tersimpan di ponsel, dan tidak menyukai sikap pasrahku. Mengingat nasihat
Aku menunggu dengan cemas saat dokter dan dua orang perawat masuk ke dalam ruangan ICU memeriksa keadaan Ayah. Mas Rayyan menggenggam erat tanganku, mungkin mencoba menenangkan karena nampak sekali kalau aku sangat gelisah. Aku takut terjadi apa-apa pada Ayah. Kadang pergerakan tubuh seseorang yang belum sadar bisa jadi awal berita buruk. Itu yang kucemaskan. Namun di satu sisi senang karena melihat perhatian Mas Rayan yang berubah 180 derajat dari yang dulu. Sikapnya tak pernah cuek lagi padaku. "Bagaimana Dok? Apa itu sebuah kemajuan?" Mas Rayyan gerak cepat menghampiri salah satu dokter yang baru saja keluar dari sana. Aku setia mengekor langkahnya, berdiri di sisinya ingin tahu juga secara langsung bagaimana kondisi Ayah. Dokter tersebut tersenyum menatap kami berdua. "Alhamdulillah kondisi Pak Burhan sudah melewati masa kritisnya, tapi kita biarkan dulu dia di sini untuk memantau kondisinya dan memastikan kalau Bapak benar-benar sudah keluar dari masa kritis tersebut, nanti ba
Hari demi hari keadaan Ayah semakin membaik. Aku intensif ikut menjaganya juga di rumah sakit. Tidak meninggalkannya pun barang sehari. Selalu ontime di sisinya untuk mengamati sendiri bagaimana keadaannya selama dirawat di sana. Bisa dipastikan dari awal beliau masuk rumah sakit sampai lima hari dirawat, aku ada di dekatnya, ikut tidur di ruangan yang sama dengannya. Aku tak mau jauh dari Ayah, tak ingin lagi kejadian kemarin terulang kembali. Aku garut menjaganya dengan baik. Aku memutuskan menginap di rumah sakit, dan sudah mengantongi izin juga dari Mas Rayyan, begitupun izin dari Mama Lasmi dan Nenek. Mas Rayyan juga ikut menemani. Tak ada masalah dengan Ibu mertua maupun Nenek. Syukurlah kedua orang berpengaruh di rumah Mas Rayyan tersebut mau mengerti dan mengizinkan setelah kuberi alasan kalau aku tidak bisa meninggalkan Ayah sendirian lagi karena hanya dia satu-satunya keluarga yang kupunya. Mungkin terdengar aneh kukatakan seperti itu karena masih ada Bu Mayang dan Bella
"Ini sudah keputusan bulat Ayah, Del. Pernikahan kami memang sudah seharusnya berakhir. Maaf jika selama ini membuatmu menderita," balas Ayah menatapku sendu. Ia memegang tanganku seolah meyakinkanku kalau keputusannya sudah benar dan ia baik-baik saja. Aku tetap menggeleng lemah dengan mata sudah berkaca-kaca mengisyaratkan kalau aku juga baik-baik saja dengan pernikahan mereka. Tidak masalah. Ini sudah berlangsung lama dan mentalku sudah sekuat baja menghadapi ketidakadilan yang sering kurasakan selama hidup bersama mereka. "Oh, jadi gara-gara dia, kamu mengakhiri hubungan kita?!" Ibu Mayang bangkit dari duduknya dan mengarahkan telunjuknya kepadaku. Ia menatapku nyalang. Aku merasa terpojok dan refleks beranjak dari kursi yang kududuki lalu mendekat ke Ayah. Kaget juga dengan respon yang Bu Mayang berikan. Sepertinya dia malah salah paham dan menuduhku yang tidak-tidak. Aku sendiri baru tahu tentang keinginan Ayah ini, di sini sama seperti mereka. Jadi salah besar tuduhan Bu Mayan