"Ini sudah keputusan bulat Ayah, Del. Pernikahan kami memang sudah seharusnya berakhir. Maaf jika selama ini membuatmu menderita," balas Ayah menatapku sendu. Ia memegang tanganku seolah meyakinkanku kalau keputusannya sudah benar dan ia baik-baik saja. Aku tetap menggeleng lemah dengan mata sudah berkaca-kaca mengisyaratkan kalau aku juga baik-baik saja dengan pernikahan mereka. Tidak masalah. Ini sudah berlangsung lama dan mentalku sudah sekuat baja menghadapi ketidakadilan yang sering kurasakan selama hidup bersama mereka. "Oh, jadi gara-gara dia, kamu mengakhiri hubungan kita?!" Ibu Mayang bangkit dari duduknya dan mengarahkan telunjuknya kepadaku. Ia menatapku nyalang. Aku merasa terpojok dan refleks beranjak dari kursi yang kududuki lalu mendekat ke Ayah. Kaget juga dengan respon yang Bu Mayang berikan. Sepertinya dia malah salah paham dan menuduhku yang tidak-tidak. Aku sendiri baru tahu tentang keinginan Ayah ini, di sini sama seperti mereka. Jadi salah besar tuduhan Bu Mayan
"Maksud Mas?" tanyaku penasaran. Kutatap sepasang bola mata berwarna hitam legam di depanku saat ini. "Kita tinggal di rumah kita. Rumah yang memang sudah dipersiapkan jika nanti aku menikah.""Mas yakin? Mama Lasmi bagaimana?" Aku hati-hati bertanya. Meski sudut hatiku senang karena ternyata Mas Rayyan mempunyai rumah pribadi. Senang di sini artinya aku bisa bebas mengajak Ayah ikut serta tinggal dengan kami tanpa rasa sungkan pada Mama Lasmi dan Nenek. Ayah pasti juga mau dan tidak akan menolaknya. Namun di sisi lain aku pun merasa tak enak karena seolah memisahkan Mas Rayyan dari ibunya. Itu karena Mas Rayyan anak tunggal. Belum lagi rumahnya sangat besar dan luas. Kami tinggal di sana saja masih terlalu besar untuk ditinggali. Apalagi jika ditinggal pergi? Mungkin akan semakin sepi terasa. "Nggak perlu khawatirkan ibuku, setelah nikah, ini adalah hidupku, hidup kita. Selama ini aku sudah patuh padanya. Sampai sekarang ini. Kenapa keinginan yang satu ini ditolak? Kita perlu mand
"Syaratnya kalian tetap tinggal di rumah besar. Tidak ada yang boleh pindah ke tempat lain."Oh, itu. Syukurlah. Kukira syarat yang susah. Aku bisa bernapas lega jadinya. "Tapi kami bawa Ayah Burhan, bisa?" Kali ini dadaku kembali berdegup kencang. Mas Rayyan memberikan penawaran. Ayah. Aku yang meminta pada Mas Rayyan agar Ayah ikut dengan kami. Sekarang apa jawaban Mama Lasmi? Aku takut permintaan ini ditolaknya.Tampak Mama Lasmi menarik napas berat lalu menatapku lekat hingga membuatku tak nyaman. Pasti sekarang Mama Lasmi tambah marah padaku. Ia tentu tahu kalau keinginan tersebut datang dariku."Terserah."Jawaban Mama Lasmi terdengar pasrah, tapi dengan nada minor. Membuatku masih tak nyaman. Pasti itu untuk menyenangkan anaknya, bukan ikhlas dari dalam hati. Setelah mengatakan hal tersebut, ibu mertuaku tersebut pamit pulang. Dia bahkan tidak masuk lagi ke dalam ruangan Ayah sekedar pamit sebagai sikap basa-basi semata menghormati besannya. Aku duduk di sebelah Mas Rayyan
"Pulang Nak, ada yang harus Ayah sampaikan," ucap Ayah di ujung telepon. Tiba-tiba Ayah menghubungiku, biasanya aku yang menghubungi beliau lebih dulu. "Bilang penting, biar Adel pulang!" Terdengar sayup suara memerintah di seberang sana dan aku tahu itu suara siapa. Itu Ibu Mayang, istri Ayah. "Penting, Del, pulang ya." Ayah menuruti perintah suara tersebut dan terdengar memelas padaku. Aku tak suka mendengarnya. "Memangnya kenapa, Yah? Ada masalah apa? Bukannya pernikahan Bella seminggu lagi ya? Ada masalah?" tanyaku mencoba menebak dan memancing agar diberitahu. Setahuku memang bakal ada pernikahan di keluarga kami, pernikahan Bella, adikku. Itu pun terkesan mendadak tiba-tiba kudengar dia dilamar, dan baru diberitahu Ayah seminggu sebelumnya. Namun tak begitu jelas akan menikah dengan siapa dan aku tak ingin membahas lebih dalam juga. Jadi kupikir akan pulang sehari sebelum hari itu terjadi. Aku tak enak harus izin cuti lagi dari pekerjaan karena sebulan lalu sudah ambil cuti.
Hah? Mulutku terbuka lebar dengan mata membulat sempurna. Tatapanku makin dalam pada Ibu seolah meminta dijelaskan lebih detail apa maksud perkataannya barusan. "Iya, kamu yang harus menggantikan Bella menikah sama Rayyan." Aku refleks menatap Ayah memastikan ucapan istrinya ini benar atau hanya sebuah lelucon. Bisa saja kan mereka lagi mengerjaiku walaupun rasanya itu sangat mustahil. Namun Ayah hanya tertunduk makin dalam seakan takut menatapku dan membenarkan semuanya. "Tunggu, ini apa maksudnya? Kenapa jadi Adel yang menggantikan Bella?" Pertanyaan itu terlontar juga dari mulutku. Aku ingin kejelasan. Kutatap tajam semua orang yang berada di ruangan ini. Tak terkecuali Ayah. "Kak Adel tenang saja. Rayyan itu ganteng kok. Ini fotonya kalau Kakak tidak percaya." Bella sudah merangsek maju ke arahku menunjukkan foto di dalam ponselnya tanpa kuminta. Foto laki-laki yang seharusnya adalah calon suaminya. "Ganteng kan Kak. Dia juga anak orang kaya. Kakak pasti tidak akan menyesal
"Sebenarnya aku ini anak Ayah atau bukan?" Saat menanyakannya, pandanganku ke arah lain, enggan menatap sosok yang sedang kuberi pertanyaan tersebut. Sakit hati melihat dia yang kuanggap keluarga satu-satunya tak pernah berpihak padaku, bahkan untuk keputusan penting menyangkut masa depanku. Apa benar aku darah dagingnya atau justru ternyata anak pungut hingga kasih sayangnya tak pernah adil kepadaku. Tinggal kami berdua di ruang tamu ini karena Ibu pergi menemui Bu Lasmi untuk memberitahukan kesiapan pernikahan nanti lusa sedang Bella pergi keluar dengan alasan ada janji dengan teman."Ah, adikku itu enak sekali hidupnya, tidak sepertiku." Aku membatin dalam hati meratapi perbedaan kami. "Kamu anakku, Del. Anak kesayanganku." Mataku mendelik tak suka dan refleks menatap orangtua yang garis wajahnya mirip denganku itu. "Anak kesayangan tapi rasa anak tiri. Begitu kan, Yah? Apa Ayah sadar sedari kecil tak pernah menunjukkan rasa itu padaku? Ayah terus saja fokus ke Bella. Seakan
Aku terbatuk mendengar pertanyaan Wina karena kaget. Tenggorokanku terasa tercekat. Ingin minum tapi benda cair tersebut tidak ada di kamarku. "Tunggu aku ambilkan air." Wina seolah paham dengan kondisiku. Namun tanganku menahan langkahnya. Kepalaku menggeleng menolak keinginannya tersebut. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Setelah berdeham beberapa kali rasanya sudah mendingan. Wina urung keluar kamar. Aku tidak ingin merepotkannya. "Maaf ya, cuma nanya. Soalnya aneh saja karena pernikahanmu terkesan mendadak dan ala kadarnya. Pagi buta diminta dadakan ke sini buat menghiasmu. Tak pernah terjadi padaku. Kukira ada insiden tersebut," ujarnya menjelaskan. "Apa yang kalian tahu tentang pernikahanku ini? Maksudku apa kata warga sini? Mereka tahu kalau aku akan …."Wina menggendikan bahunya. "Sama sepertiku. Tidak tahu. Bu Mayang bahkan minta aku merahasiakan pernikahan ini. Kamu pulang saja sepertinya tidak ada yang tahu." Wina memberitahu sedikit berbisik sambil menoleh ke arah pi
"Yan, tunggu dulu. Sebentar lagi, ya? Kita ambil foto dulu. Sebagai bukti." Bu Lasmi mencoba menenangkan anaknya, yang tidak lain adalah suamiku saat ini. Namun perkataannya barusan justru memantik rasa penasaranku. Sebagai bukti? Maksudnya?Aku menatap keduanya dengan tanda tanya besar di kepalaku. Lalu refleks beralih memandang dua orang yang kukenal, Ibu dan Bella. Keduanya menunjukkan ekspresi yang berbeda. Ibu seolah tak tahu menahu dan langsung melengos, sedang Bella, adikku itu tersenyum miring. "Del, dekatan lagi. Biar fotonya bagus.""Hah?! Oh, iya," jawabku kaget tapi segera menurut. Aku mendekatkan badanku ke Rayyan yang tak bergerak sama sekali dari posisinya duduk. Tak menoleh juga ke arahku. Beberapa buah foto diambil layaknya sebuah foto pernikahan, meskipun ekspresi Rayyan tak menunjukkan rasa suka, apalagi bahagia. Sama sepertiku namun aku masih bisa menyembunyikan rasa itu. Tidak sepertinya yang blak-blakan menunjukkan. Setelah sesi foto berakhir kulihat Rayyan