"Pulang Nak, ada yang harus Ayah sampaikan," ucap Ayah di ujung telepon. Tiba-tiba Ayah menghubungiku, biasanya aku yang menghubungi beliau lebih dulu.
"Bilang penting, biar Adel pulang!" Terdengar sayup suara memerintah di seberang sana dan aku tahu itu suara siapa. Itu Ibu Mayang, istri Ayah."Penting, Del, pulang ya." Ayah menuruti perintah suara tersebut dan terdengar memelas padaku. Aku tak suka mendengarnya."Memangnya kenapa, Yah? Ada masalah apa? Bukannya pernikahan Bella seminggu lagi ya? Ada masalah?" tanyaku mencoba menebak dan memancing agar diberitahu. Setahuku memang bakal ada pernikahan di keluarga kami, pernikahan Bella, adikku. Itu pun terkesan mendadak tiba-tiba kudengar dia dilamar, dan baru diberitahu Ayah seminggu sebelumnya. Namun tak begitu jelas akan menikah dengan siapa dan aku tak ingin membahas lebih dalam juga. Jadi kupikir akan pulang sehari sebelum hari itu terjadi. Aku tak enak harus izin cuti lagi dari pekerjaan karena sebulan lalu sudah ambil cuti. Meskipun kena omelan Ibu karena dianggap meremehkan acara sakral anaknya. Kupikir keberadaanku tidak begitu penting bagi mereka. Mereka hanya butuh tenagaku saja. Aku tahu pulang hanya akan membuat tenagaku terkuras habis karena pasti banyak pekerjaan yang menantiku di sana. Itu sebabnya memilih menunda pulang."Nggak usah banyak tanya, suruh pulang. Nanti juga tahu."Lagi-lagi terdengar suara Ibu menimpali. Terdengar ketus, seperti biasanya kalau bicara terkait denganku."Pulang saja ya Nak. Nanti dikasih tahu. Nggak bisa lewat telepon."Aku menghela napas berat. Lalu mengangguk tanpa sadar. Aku tidak tahu apa maksud permintaan mereka dan kenapa terdengar memaksa, tapi kelihatannya memang penting sampai mereka menginginkanku untuk pulang."Iya, Yah. Nanti Adel pulang. Bagaimana kabar Ayah dan yang lain, sehat?""Sudah, tutup teleponnya. Nggak usah berbasa-basi lagi, nanti pulsa Bella habis. Bilangin besok pulang, jangan ditunda-tunda!"Aku mengurut dada mendengar ucapan Ibu tapi tak bisa membalas. Bagaimanapun juga dia istri Ayah. Ibu sambungku. Entah seperti apa aku harus menjelaskannya. Hubungan kami tak dekat dan bisa dianggap tidak baik. Bukan dariku tapi dari pihak Ibu. Dia membenciku meskipun tidak diungkapkannya dengan kata, tapi tindakannya sudah menjelaskan bagaimana rasanya itu padaku."Nak, pulangnya–""Tidak bisa besok Yah. Paling tidak dua hari sebelum pernikahan Bella, akan Adel usahakan datang." Kusela cepat ucapan Ayah karena kesal mendengar perintah Ibu padanya."Oh, iya, Nak. Kabar Ayah baik. Ayah harap kamu di sana juga dalam keadaan baik. Sudah ya Nak. Ayah nantikan kedatanganmu pulang. Ayah rindu." Tak ada jawaban dariku karena sambungan telepon dimatikan Ayah sebelum sempat kujawab. Aku tersandar di kursi tempatku bekerja. Kebetulan Sudah larut malam dan keadaan sekitar sudah sepi. Aku terkena shift malam. Sudah setahun ini aku merantau ke kota lain mencari pekerjaan, meskipun yang kudapat hanya jadi kasir sebuah retail terkenal yang cabangnya ada dimana-mana. Tak apa asalkan terbebas dari mereka yang kusebut keluarga. Meskipun yang kuakui hanya Ayah seorang.***"Assalamu'alaikum." Aku mengucap salam saat berada di depan pintu sebuah rumah sederhana milik orangtuaku. Akhirnya aku pulang. Untung saja manager tempatku bekerja mengizinkan, dengan konsekuensi tak ada lagi hari libur untukku di bulan ini. Tidak apa. Itu sudah resikonya jadi karyawan. Meskipun didesak harus pulang cepat, aku memutuskan pulang di tiga hari sebelum pernikahan Bella dilangsungkan."Waalaikumsalam." Aku tersenyum karena suara Ayah yang menjawab salamku. Dengan cepat masuk ke dalam rumah karena pintunya memang tidak dikunci."Adel. Alhamdulillah kamu pulang, Nak," ucap Ayah setelah aku mengecup takzim tangannya."Pulang juga Kak. Syukurlah. Aku sudah ketakutan Kak Adel nggak mau pulang." Bella merangsek memelukku. Hal yang tidak pernah dilakukannya. Perempuan yang kusebut adik ini tidak pernah memelukku sehangat ini."Bagus lah kamu pulang."Ibu muncul tiba-tiba dan berjalan menuju kursi tamu."Bu." Dengan cepat aku meraih tangannya mencium takzim sama seperti Ayah. Masih ada rasa hormat untuknya meskipun aku tidak pernah dianggapnya. Bagi Ibu, anaknya cuma Bella, dan aku paham dengan sikapnya tersebut."Del, duduk dulu di sini. Ada yang harus kita bicarakan." Ibu melirik ke arah kursi di dekatnya.Aku yang berencana ingin ke kamar terpaksa urung karena perkataannya barusan."Bel, ambilkan minuman untuk kakakmu, Adel pasti lelah." Tampak keterkejutan di wajah Bella begitupun diriku. Ibu seperti mengigau menyuruh anaknya mengambilkan minum untukku."Iya." Tatapan tajam Ibu memaksa Bella mengangguk dan berlalu pergi. Aku diam menyaksikan hal yang tak umum terjadi di rumah ini. Aku mendekat, dan duduk di sebelah Ayah. Memeluknya sekaligus menanyakan bagaimana kabarnya."Del, ada yang mau kami bicarakan." Aku yang dalam posisi memeluk Ayah terpaksa mengurai dekapanku dan beralih menatap Ibu yang sedang bicara. Bella sudah datang membawakanku segelas air putih dan memilih duduk di kursi seberangku. Menatap dengan pandangan yang … aku tak mengerti. Aneh. Sebenarnya ada apa ini? Batinku jadi bertanya-tanya melihat sikap mereka yang tidak biasanya."Del, kamu tahu bukan, tiga hari lagi pernikahan Bella." Ibu menjeda ucapannya menatapku lekat. Aku diam menyimak."Tapi ada masalah. Bella tidak ingin menikah, dia ingin tetap melanjutkan kuliahnya." Sampai di sini ucapan Ibu menambah kerutan di keningku dan aku tetap diam dengan mulut terkunci menerka kemana arah perkataannya. Ibu menatapku lalu bergantian menatap Ayah dan Bella seolah meminta persetujuan akan melanjutkan ucapannya."Tapi pernikahannya tidak bisa dibatalkan. Harus tetap dilangsungkan. Jadi …." Lagi-lagi Ibu bicara terjeda. Membuatku dilanda penasaran akan apa yang sebenarnya ingin diucapkannya."Kamu yang harus menggantikannya."Apa? Aku? Kok ...?Hah? Mulutku terbuka lebar dengan mata membulat sempurna. Tatapanku makin dalam pada Ibu seolah meminta dijelaskan lebih detail apa maksud perkataannya barusan. "Iya, kamu yang harus menggantikan Bella menikah sama Rayyan." Aku refleks menatap Ayah memastikan ucapan istrinya ini benar atau hanya sebuah lelucon. Bisa saja kan mereka lagi mengerjaiku walaupun rasanya itu sangat mustahil. Namun Ayah hanya tertunduk makin dalam seakan takut menatapku dan membenarkan semuanya. "Tunggu, ini apa maksudnya? Kenapa jadi Adel yang menggantikan Bella?" Pertanyaan itu terlontar juga dari mulutku. Aku ingin kejelasan. Kutatap tajam semua orang yang berada di ruangan ini. Tak terkecuali Ayah. "Kak Adel tenang saja. Rayyan itu ganteng kok. Ini fotonya kalau Kakak tidak percaya." Bella sudah merangsek maju ke arahku menunjukkan foto di dalam ponselnya tanpa kuminta. Foto laki-laki yang seharusnya adalah calon suaminya. "Ganteng kan Kak. Dia juga anak orang kaya. Kakak pasti tidak akan menyesal
"Sebenarnya aku ini anak Ayah atau bukan?" Saat menanyakannya, pandanganku ke arah lain, enggan menatap sosok yang sedang kuberi pertanyaan tersebut. Sakit hati melihat dia yang kuanggap keluarga satu-satunya tak pernah berpihak padaku, bahkan untuk keputusan penting menyangkut masa depanku. Apa benar aku darah dagingnya atau justru ternyata anak pungut hingga kasih sayangnya tak pernah adil kepadaku. Tinggal kami berdua di ruang tamu ini karena Ibu pergi menemui Bu Lasmi untuk memberitahukan kesiapan pernikahan nanti lusa sedang Bella pergi keluar dengan alasan ada janji dengan teman."Ah, adikku itu enak sekali hidupnya, tidak sepertiku." Aku membatin dalam hati meratapi perbedaan kami. "Kamu anakku, Del. Anak kesayanganku." Mataku mendelik tak suka dan refleks menatap orangtua yang garis wajahnya mirip denganku itu. "Anak kesayangan tapi rasa anak tiri. Begitu kan, Yah? Apa Ayah sadar sedari kecil tak pernah menunjukkan rasa itu padaku? Ayah terus saja fokus ke Bella. Seakan
Aku terbatuk mendengar pertanyaan Wina karena kaget. Tenggorokanku terasa tercekat. Ingin minum tapi benda cair tersebut tidak ada di kamarku. "Tunggu aku ambilkan air." Wina seolah paham dengan kondisiku. Namun tanganku menahan langkahnya. Kepalaku menggeleng menolak keinginannya tersebut. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja." Setelah berdeham beberapa kali rasanya sudah mendingan. Wina urung keluar kamar. Aku tidak ingin merepotkannya. "Maaf ya, cuma nanya. Soalnya aneh saja karena pernikahanmu terkesan mendadak dan ala kadarnya. Pagi buta diminta dadakan ke sini buat menghiasmu. Tak pernah terjadi padaku. Kukira ada insiden tersebut," ujarnya menjelaskan. "Apa yang kalian tahu tentang pernikahanku ini? Maksudku apa kata warga sini? Mereka tahu kalau aku akan …."Wina menggendikan bahunya. "Sama sepertiku. Tidak tahu. Bu Mayang bahkan minta aku merahasiakan pernikahan ini. Kamu pulang saja sepertinya tidak ada yang tahu." Wina memberitahu sedikit berbisik sambil menoleh ke arah pi
"Yan, tunggu dulu. Sebentar lagi, ya? Kita ambil foto dulu. Sebagai bukti." Bu Lasmi mencoba menenangkan anaknya, yang tidak lain adalah suamiku saat ini. Namun perkataannya barusan justru memantik rasa penasaranku. Sebagai bukti? Maksudnya?Aku menatap keduanya dengan tanda tanya besar di kepalaku. Lalu refleks beralih memandang dua orang yang kukenal, Ibu dan Bella. Keduanya menunjukkan ekspresi yang berbeda. Ibu seolah tak tahu menahu dan langsung melengos, sedang Bella, adikku itu tersenyum miring. "Del, dekatan lagi. Biar fotonya bagus.""Hah?! Oh, iya," jawabku kaget tapi segera menurut. Aku mendekatkan badanku ke Rayyan yang tak bergerak sama sekali dari posisinya duduk. Tak menoleh juga ke arahku. Beberapa buah foto diambil layaknya sebuah foto pernikahan, meskipun ekspresi Rayyan tak menunjukkan rasa suka, apalagi bahagia. Sama sepertiku namun aku masih bisa menyembunyikan rasa itu. Tidak sepertinya yang blak-blakan menunjukkan. Setelah sesi foto berakhir kulihat Rayyan
Bu Lasmi tersenyum lalu mengangguk seolah menjawab iya pertanyaanku. "Sebenarnya Rayyan tidak ingin menikah tapi keadaan memaksanya harus. Sekali lagi aku tidak bisa menjelaskan apa alasannya, ini berhubungan dengan masalah internal keluarga kami, tapi mencari wanita yang mau menerimanya apa adanya itu tidak akan mudah. Jadi inilah jalan satu-satunya. Aku terpaksa mengintimidasi keluargamu. Aku tahu kamu juga terpaksa. Jadi, kalau kamu keberatan, aku akan menggajimu karena mau merawat Rayyan. Anakku itu tidak lumpuh permanen, dia masih bisa berjalan asal rutin berobat dan menjalani terapi. Jadi kamu hanya akan merawatnya sampai dia bisa berjalan. Pernikahan kalian pun akan berakhir setelah Rayyan sembuh. Ini kesepakatan kita. Aku akan membayarmu asal kamu mau bertahan di sisinya. Apalagi jika mau membantu merawatnya dengan baik. Soal utang ayahmu, kamu jangan khawatir. Utangnya tetap dianggap lunas." Detak jantungku seakan terhenti saat mendapatkan tawaran gila dari ibu mertua. As
"Oh, I–iya." Aku mendekat ke arahnya. Duduk di sofa yang berdekatan dengan kursi rodanya. Tanganku gemetar saat ingin menyuapkan makanan ke mulutnya karena laki-laki di depanku ini menatap lekat tak berkedip. Namun hal memalukan terjadi. Perutku tiba-tiba berbunyi dan kuharap suara tersebut tak terdengar olehnya. Satu suapan telah berhasil masuk ke mulutnya. Syukurlah tak ada respon apa pun atas insiden bunyi memalukan itu. Sepertinya dia tidak dengar. Aku yang ingin menyuapkan kembali makanan tersebut ke mulutnya terhenti saat tangannya menahan tanganku di udara. "Aku kenyang." "Hah? Tapi baru satu suapan, ini masih banyak tersisa," ucapku terkejut dengan perkataannya. Apa makanannya tidak enak? Itu tidak mungkin. Aku yakin menu ini pasti pernah disajikan untuknya. Baru satu suapan, masa' sudah kenyang. "Kalau kubilang kenyang, ya kenyang. Kenapa? Masalah? Kamu tinggal membuangnya saja. Apa susahnya?" balasnya enteng membuat darah di otakku mendidih. Orang kaya memang segamp
"Ngapain Nenek kemari? Bukankah semua sudah beres, Ma?" Aku yang kebingungan hanya menatap bergantian antara Bu Lasmi dan Mas Rayyan. Menyimak obrolan mereka. "Entah. Tiba-tiba Nenek nelpon dan bilang mau kemari. Sepertinya dia mau memastikan pernikahan kamu dan mungkin mau kenalan sama istrimu." Saat mengatakan hal ini, Bu Lasmi menatapku. "Nenek bikin masalah saja. Terus kami harus satu kamar? Harus sekarang? Kenapa tidak besok saja?" Mas Rayyan menawar pada ibunya. Aku pun kalau dibolehkan bicara belum siap sebenarnya tidur dengannya. Apalagi kami tidak saling kenal. Bertemu pun baru ini, di hari pernikahan kami. Aku yakin tak ada yang mengalami pernikahan seperti kami. Bu Lasmi mengangguk. "Sekarang saja. Mama tidak tahu kapan Nenek datang. Takutnya dia datang mendadak terus tiba-tiba sudah ada di sini. Kamu kan tahu hal itu bukan hal yang sulit baginya."Oh, begitu ya. Untuk orang kaya memang bukan hal yang sulit. Tidak sepertiku yang harus naik bis, menempuh jarak empat jam
"Kenapa bengong?" "Jangan negatif dulu! Aku minta kamu siapkan air mandiku. Pakaian dan bantu aku ke kamar mandi. Bukan untuk ikut apalagi memandikanku. Aku bisa sendiri," lanjutnya lagi menjelaskan dengan wajah sewot. "Oh, i–iya," ujarku merasa lega. Pikiranku memang sudah negatif. Kirain minta dimandikan. Eh, tapi bagaimana caranya dia mandi kalau aku tidak ikut ke dalam, terus dia ….""Aduh!" Kepalaku dikeplaknya. "Mikir apa lagi? Cepat! Buruan!" paksanya dengan melotot dan memaksa aku bergerak cepat. "I–iya, tunggu." Aku bergegas menuju kamar mandinya. "Airnya anget aja ya. Kisaran 26 derajat," teriaknya lagi dari luar. Aku terbengong seraya menggaruk kepala. Tidak tahukah dia kalau aku dalam mode bingung berada di dalam kamar mandinya. Bingung memulai dari mana. Dia minta air hangat tapi aku tidak tahu bagaimana mengukur suhu tepat 26 derajat seperti permintaannya. Belum lagi banyak tombol yang jujur belum pernah kulihat sebelumnya karena belum pernah menggunakan kamar mandi