"Oh, I–iya." Aku mendekat ke arahnya. Duduk di sofa yang berdekatan dengan kursi rodanya. Tanganku gemetar saat ingin menyuapkan makanan ke mulutnya karena laki-laki di depanku ini menatap lekat tak berkedip.
Namun hal memalukan terjadi. Perutku tiba-tiba berbunyi dan kuharap suara tersebut tak terdengar olehnya. Satu suapan telah berhasil masuk ke mulutnya. Syukurlah tak ada respon apa pun atas insiden bunyi memalukan itu. Sepertinya dia tidak dengar. Aku yang ingin menyuapkan kembali makanan tersebut ke mulutnya terhenti saat tangannya menahan tanganku di udara."Aku kenyang.""Hah? Tapi baru satu suapan, ini masih banyak tersisa," ucapku terkejut dengan perkataannya. Apa makanannya tidak enak? Itu tidak mungkin. Aku yakin menu ini pasti pernah disajikan untuknya. Baru satu suapan, masa' sudah kenyang."Kalau kubilang kenyang, ya kenyang. Kenapa? Masalah? Kamu tinggal membuangnya saja. Apa susahnya?" balasnya enteng membuat darah di otakku mendidih. Orang kaya memang segampang ini berucap. Mereka belum pernah makan cuma mie instan tiap hari demi mencukupi uang bulanan di kota orang. Belum lagi disisihkan sedikit buat dikirim ke orang tua, seperti yang kulakukan saat kerja merantau jauh dari keluarga. Aku berjuang mati-matian dengan gaji yang sejujurnya tidak mencukupi untuk melakukan hal tersebut tiap bulannya. Lalu makanan yang sungguh enak dan mewah untuk ukuran sarapan pagi ini diminta dibuang? Keterlaluan! Tidak bisa bersyukur."Jangan dibuang, sayang," ucapku berhasil meredam emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. Aku harus lebih bersabar menghadapinya. Kuletakkan kembali sendok ke atas piring."Ya sudah, makan tuh bekasku kalau sayang. Mau?" ujarnya kemudian terdengar menantang. Aku mendongak menatapnya lekat, lalu beralih menatap ke piring yang masih penuh dengan makanan di atasnya. Mungkin dipikirnya aku jijik makan bekasnya tersebut. Tidak, karena dia baru makan satu suapan, jadi tinggal ganti sendoknya saja. Makanannya pun tidak tercampur, jadi aman kalaupun itu bekasnya. Lagi pula dia kan suamiku. Bukan hal aneh kan makan satu piring atau bekas suami."Iya, nanti kumakan." Kuletakkan piring tersebut di atas nakas. Rencananya akan kumakan setelah keluar dari kamarnya ini."Kenapa nanti? Makan sekarang! Bilang saja kamu nggak mau makan bekasku, jadi pura-pura dibawa keluar untuk dibuang, iya kan? Dasar, sok an bilang sayang tapi nggak mau menghabiskan sisa orang. Makanya jangan asal protes kalau tidak sesuai dengan tindakan." Aku menghela napas berat lalu dengan terpaksa mengambil kembali piring yang baru kuletakkan. Takut tersinggung, akhirnya aku makan dengan sendok bekasnya tersebut. Tak kupedulikan seperti apa tanggapannya karena aku fokus makan. Setidaknya rasa laparku teratasi dengan makan bekas sarapannya. Makanannya juga enak sesuai dengan tampilannya."Berapa hari tidak makan? Pantas perutmu berbunyi begitu."Deg! Aku melongo tapi tak berani menatapnya. Gerakan tangan terhenti di udara. Astaga! Jadi suamiku ini dengar? Kepalaku makin tertunduk ke bawah menahan malu. Tak mampu kujawab, aku terpaksa mengabaikan pertanyaannya dan terus makan."Kenapa menerima pernikahan ini? Demi uang? Sudah pasti, apalagi. Tak ada yang tulus di dunia ini." Ia bicara lagi. Suaranya terdengar ketus, sedikit menyindir juga. Keningku mengernyit mendengarnya. Dia yang bertanya, dia juga yang menjawabnya. Jadi sebenarnya dia bertanya padaku atau hanya bicara sendiri? Jadi kuputuskan tetap fokus makan berharap secepatnya habis. Biar aku bisa pergi dari kamar ini."Aku bertanya, kenapa tidak dijawab?" Tanganku yang ingin menyendok, terhenti seketika karena ditahannya."Biarkan kuhabiskan makanan ini dulu, baru bicara. Boleh kan?" tukasku berani menjawabnya dengan mulut penuh. Mas Rayyan melepaskan tangannya seraya menggelengkan kepala. Aku kembali makan dalam diam."Ingat! Pernikahan kita ini hanya pura-pura, tidak sungguhan. Kamu hanya kuanggap sebagai perawat saja, bukan istri, jadi ingat batasanmu."Istri pura-pura? Apalagi ini? Ibu dan anak sama saja. Mereka satu pemikiran. Jadi aku di sini bukan istri orang, apalagi menantu, tapi hanya perawatnya saja.Baik, Adelia. Camkan itu!Aku membatin sendiri. Memperingati diri sendiri.Tok! Tok!Suara pintu diketuk. Refleks kepalaku menoleh ke asal suara.Terdengar pula suara seseorang bicara dibalik pintu tersebut. "Ini saya, Den Rayyan. Deden sama Maya."Deden? Oh, dia yang barusan mengantarkan makanan untuk suamiku ini."Ya, masuk!"Segera kuhentikan makanku.Laki-laki cungkring itu masuk ditemani seorang wanita muda yang kukenali kerja di sini, tapi aku tak tahu siapa namanya. Dia yang menyambut kami saat datang pagi tadi. Mereka membawa box besar menggunakan troli.Apa itu? Apa isinya? Aku mengamati jeli, box yang dibawa mereka."Apa itu?" Syukur Mas Rayyan yang bertanya menyuarakan pertanyaanku dalam hati."Ini pakaian Non Adelia. Nyonya meminta kami membawa kemari karena Non Adelia sekarang tinggal di sini." Maya yang menjawab. Pakaianku? Kapan mereka mengambilnya dari rumah? Aku bahkan belum membereskannya. Memilah yang pantas atau tidak untuk dibawa ke sini. Lalu sekarang baju seperti apa yang mereka bawa ke sini?"Eh, tapi aku belum membereskannya, biar aku saja yang–" Kucoba menghentikan Maya yang ingin membongkar isi box tersebut keluar dari tempatnya. Ada perasaan malu karena pakaianku hanya pakaian biasa dan tentunya harganya pun di bawah apa yang dikenakan orang kaya ini. Belum lagi bisa jadi ada pakaian dalam dan lainnya."Biar saya saja, Non. Saya sudah biasa meletakkan dan membereskan masalah pakaian.""Tapi–""Tunggu dulu! Ini apa maksudnya? Kenapa diletakkan di kamar ini? Dia kan tidak …?" Mas Rayyan menatapku bingung. Menggantung ucapannya."Non Adelia kan istrinya Den Rayyan, jadi harus satu kamar, makanya pakaian Non Adelia ditaruh di sini.""Kata siapa? Tidak! Singkirkan itu dari sini! Kami tidak satu kamar." Aku yang bingung melihat perdebatan ini hanya mampu diam. Bingung juga kalau harus bersuara karena aku bukan siapa-siapa di sini meskipun statusku istrinya. Kulihat Deden pun cuma diam menyimak."Tapi ini kata Nyonya." Maya masih bersuara."Iya, ini kataku."Refleks kami semua serempak menoleh ke pintu dimana suara itu terdengar.Bu Lasmi masuk dan membenarkan ucapan Maya."Nyonya." Kompak Deden dan Maya sedikit membungkuk saat melihat majikan mereka menghampiri. Aku pun ikut berdiri. Tak lupa menyeka sisi bibir bekas makan barusan."Kalian boleh keluar.""Baik, Nyonya." Kompak keduanya menurut. Melihat Deden dan Maya pergi aku jadi bingung apakah harus ikut mereka atau tetap di sini. Kakiku ingin ikut, tapi hati menolak. Aku merasa perintah itu untuk Deden dan Maya, bukan untukku."Ma, apa maksudnya semua ini? Bukankah sudah jelas dari awal kalau kami akan beda kamar. Itu kan yang Mama janjikan?" protes Rayyan pada ibunya.Oh begitu? Aku baru tahu. Mana sebelumnya aku pede bicara padanya kalau kami satu kamar karena aku istrinya. Ternyata …. "Maaf, Yan. Semua tidak seperti rencana di awal. Kalian ternyata harus satu kamar," jawab Bu Lasmi bicara lembut padanya."Nggak! Rayyan nggak mau." Mas Rayyan melengos menatap ke jendela. Menjauh dari ibunya. Posisiku sungguh tak nyaman. Sebenarnya ingin menjauh tapi Bu Lasmi sepertinya tidak memerintahkan hal tersebut, aku takut salah langkah."Harus, Yan. Nenekmu akan datang. Kamu tahu kan apa maksud Mama."Nenek? Apa hubungannya?"Ngapain Nenek kemari? Bukankah semua sudah beres, Ma?" Aku yang kebingungan hanya menatap bergantian antara Bu Lasmi dan Mas Rayyan. Menyimak obrolan mereka. "Entah. Tiba-tiba Nenek nelpon dan bilang mau kemari. Sepertinya dia mau memastikan pernikahan kamu dan mungkin mau kenalan sama istrimu." Saat mengatakan hal ini, Bu Lasmi menatapku. "Nenek bikin masalah saja. Terus kami harus satu kamar? Harus sekarang? Kenapa tidak besok saja?" Mas Rayyan menawar pada ibunya. Aku pun kalau dibolehkan bicara belum siap sebenarnya tidur dengannya. Apalagi kami tidak saling kenal. Bertemu pun baru ini, di hari pernikahan kami. Aku yakin tak ada yang mengalami pernikahan seperti kami. Bu Lasmi mengangguk. "Sekarang saja. Mama tidak tahu kapan Nenek datang. Takutnya dia datang mendadak terus tiba-tiba sudah ada di sini. Kamu kan tahu hal itu bukan hal yang sulit baginya."Oh, begitu ya. Untuk orang kaya memang bukan hal yang sulit. Tidak sepertiku yang harus naik bis, menempuh jarak empat jam
"Kenapa bengong?" "Jangan negatif dulu! Aku minta kamu siapkan air mandiku. Pakaian dan bantu aku ke kamar mandi. Bukan untuk ikut apalagi memandikanku. Aku bisa sendiri," lanjutnya lagi menjelaskan dengan wajah sewot. "Oh, i–iya," ujarku merasa lega. Pikiranku memang sudah negatif. Kirain minta dimandikan. Eh, tapi bagaimana caranya dia mandi kalau aku tidak ikut ke dalam, terus dia ….""Aduh!" Kepalaku dikeplaknya. "Mikir apa lagi? Cepat! Buruan!" paksanya dengan melotot dan memaksa aku bergerak cepat. "I–iya, tunggu." Aku bergegas menuju kamar mandinya. "Airnya anget aja ya. Kisaran 26 derajat," teriaknya lagi dari luar. Aku terbengong seraya menggaruk kepala. Tidak tahukah dia kalau aku dalam mode bingung berada di dalam kamar mandinya. Bingung memulai dari mana. Dia minta air hangat tapi aku tidak tahu bagaimana mengukur suhu tepat 26 derajat seperti permintaannya. Belum lagi banyak tombol yang jujur belum pernah kulihat sebelumnya karena belum pernah menggunakan kamar mandi
"Maaf, ya, yang tadi cuma bercanda kok." Dika meminta maaf dan mungkin untuk perkataannya yang ingin merebutku dari Mas Rayyan. Aku hanya tersenyum tetap dalam posisi yang sama berada dua meter dari mereka. Tidak juga mempercayai ucapannya karena aku yakin dia tak serius. Lagipula siapa diriku ingin diperebutkan oleh kedua laki-laki tampan ini? Meskipun yang satu statusnya jelas suami sendiri. Kulihat Dika masih sibuk memeriksa kondisi Mas Rayyan. Beberapa peralatan kedokteran dikeluarkannya dari dalam tas yang dibawanya. Aku mengamati serius apa yang dilakukannya. "Mau coba berjalan?" Mas Rayyan menggeleng tanda menolak."Tidak langsung jalan, mencoba berdiri dulu. Pelan-pelan." Suamiku itu tetap menggelengkan kepalanya.Terdengar helaan napas Dika. "Cobalah terapi berjalan, pasti cepat sembuh. Lumpuhmu ini tidak permanen, Yan. Kamu saja yang malas. Mau sampai kapan duduk di kursi roda? Jangan sampai menyesal nantinya," nasihat Dika. Ucapannya benar. Kalau memang ingin sembuh, ha
"Adel!" Aku menoleh ke asal suara. Itu suara Bu Lasmi, ibu mertuaku. Segera mungkin menghampirinya. "Dika sudah pulang?" tanyanya seraya mengitari sekitarku. "Iya, Ma. Baru saja."Bu Lasmi mengerjap sebentar. "Mama lihat kamu cukup dekat bicara dengannya." Aku mengikuti langkah Mama yang berjalan lebih dulu. "Hah? Tidak, Ma. Cuma ngobrol biasa. Maaf jika membuat Mama tidak nyaman melihatnya," tukasku menjawab. Ternyata Mama memperhatikanku saat bicara dengan Dika. Syukur juga aku tak menjawab banyak pertanyaan dokter muda tersebut. Pertanyaan pribadi masalah pertemuanku dengan Mas Rayyan tak kugubris dan tak kujawab dengan alasan banyak urusan yang ingin kukerjakan dan dokter tersebut memilih pulang tanpa mendapatkan jawabanku. "Dika akan datang ke sini seminggu sekali. Dia yang merawat Rayyan untuk saat ini, jadi tolong jangan terlalu dekat dengannya. Jangan bicara melebihi kapasitasmu sebagai istrinya Rayyan dan jangan ceritakan apa pun tentang yang terjadi di rumah ini padanya
"Iya, Nenek sudah datang. Dia mau makan malam bersamamu dan tentu saja ingin melihat istrimu secara langsung." Mama menatapku lalu meninggalkan Mas Rayyan berjalan ke arahku. "Poles wajahmu, jangan polosan begitu. Kamu istrinya Rayyan jadi harus tetap terlihat cantik!" titah Bu Lasmi membuatku mengangguk patuh. "Dimana diletakkan alat make up-mu? Maya sudah mengantarnya ke sini bukan?" Segera aku berjalan ke walk in closet arah lemari pakaianku karena semua alat make up dan skin care yang dibawakan Maya, kuletakkan di laci bagian tengah. Di dalam kamar ini tidak ada meja rias membuatku bingung harus menyimpan perlengkapan kecantikan wanita itu dimana. Lagipula aku tahu diri ini bukan kamarku seutuhnya, ini kamar Mas Rayyan, kamar laki-laki, jadi wajar tidak ada benda tersebut di sini. "Astaga kenapa diletakkan di sini?" Bu Lasmi protes. Ia lalu mengitari kamar anaknya dengan gelengan kepala. "Ya sudah, cepatan poles wajahmu, tapi jangan terlalu tebal. Ini sudah malam tak perlu ri
"Tentu saja, Bu. Lasmi akan memilihkan calon terbaik untuk Rayyan. Syukurlah kalau Ibu suka." Bu Lasmi menjawab jumawa pernyataan Nenek Alin. Senyum mengembang sempurna di bibirnya. Aku jadi tersenyum bangga dipuji dua wanita terhormat sekaligus seperti mereka. Tidak menyangka sama sekali akan respon Nenek Alin padaku. "Jadi benar yang dikatakan Adel kalau Rayyan bakal sembuh asal dia …." Nenek Alin bertanya kembali dengan menggantungkan ucapannya dan kali ini membahas kondisi Mas Rayyan. "Benar, Bu. Kata dokter Aldi juga begitu."Aku membiarkan Bu Lasmi yang menjawab karena memang sekarang kapasitas beliau yang bicara selaku ibu kandung Mas Rayyan yang paling memahami suamiku itu."Dika juga mengatakan hal yang sama, tapi … Rayyan yang susah diatur. Dia tidak mau diterapi." Tatapan Bu Lasmi ke arah Mas Rayyan. Terlihat wajah kekhawatiran di sana untuk anaknya. "Loh, kok tidak mau Yan? Ini demi kebaikanmu juga. Memang mau berada di sana untuk waktu yang lama? Kasihan juga istrimu d
"Nenek ngapain ngasih beginian. Rayyan tak butuh minuman seperti ini," tolak Mas Rayyan membalas ucapan neneknya seraya melirik ke gelas yang isinya masih utuh. Lalu melengos menghindari tatapan wanita tua tersebut. Nenek Alin tersenyum lalu mendekat, duduk di tepi tempat tidur, di samping Mas Rayyan. "Dicoba dulu, rasanya bakal beda. Kamu bakal nggak bisa tidur semalaman." Satu tangan Nenek ke bahu Mas Rayyan, ia tersenyum penuh arti sembari mengusap lembut bahu kokoh cucunya. Jawaban Nenek membuatku ingin mual dan membelalakkan mata, terkejut. Pikiranku mengarah ke hal negatif. Aku sudah dewasa, walaupun tak pernah pacaran apalagi melakukan hubungan layaknya suami-istri dengan lelaki mana pun, tentu paham sedikit-dikit arti dari yang barusan dikatakan Nenek. Pasti sedang menjurus ke hal tersebut. Ih, membayangkannya saja membuatku bergidik duluan. Pikiranku cepat sekali menangkap hal beginian, ini semua karena teman kerja sering membicarakan hubungan privasinya dengan pacarnya.
"Rayyan tidak mau, Nek. Untuk apa diadakan pesta? Nenek mau mempermalukan Rayyan yang tidak bisa berdiri di atas pelaminan nanti, begitu?" Mas Rayyan menolak. Kulihat garis wajah laki-laki itu mengeras menunjukkan ketidaksukaannya. Dia menatap Bu Lasmi dan Nenek Alin secara bergantian dengan wajah memerah. "Tidak. Bukan seperti itu maksudnya. Nenek hanya ingin menunjukkan kalau kamu telah menikah, terutama buat keluarga Darmansyah. Mereka harus lihat kamu bisa menikah meskipun dengan ketidak sempurnaan."Keluarga Darmansyah? Siapa itu? Benakku menebak ingin tahu. Namun aku tak berani ikut campur apalagi bertanya menimpali pembicaraan mereka. Bukan kapasitasku dan aku belum berhak bicara. "Buat apa?" Mas Rayyan tersenyum kecut. "Itu hanya mempermalukan keluarga kita. Apa Nenek tahu kalau istriku ini dari kalangan biasa, Orang-orang malah menertawakan kita karena berpikir Adel mau menikah denganku demi harta. Siapa yang mau dinikahi laki-laki tak sempurna sepertiku kalau bukan demi ua