"Adel!" Aku menoleh ke asal suara. Itu suara Bu Lasmi, ibu mertuaku. Segera mungkin menghampirinya. "Dika sudah pulang?" tanyanya seraya mengitari sekitarku. "Iya, Ma. Baru saja."Bu Lasmi mengerjap sebentar. "Mama lihat kamu cukup dekat bicara dengannya." Aku mengikuti langkah Mama yang berjalan lebih dulu. "Hah? Tidak, Ma. Cuma ngobrol biasa. Maaf jika membuat Mama tidak nyaman melihatnya," tukasku menjawab. Ternyata Mama memperhatikanku saat bicara dengan Dika. Syukur juga aku tak menjawab banyak pertanyaan dokter muda tersebut. Pertanyaan pribadi masalah pertemuanku dengan Mas Rayyan tak kugubris dan tak kujawab dengan alasan banyak urusan yang ingin kukerjakan dan dokter tersebut memilih pulang tanpa mendapatkan jawabanku. "Dika akan datang ke sini seminggu sekali. Dia yang merawat Rayyan untuk saat ini, jadi tolong jangan terlalu dekat dengannya. Jangan bicara melebihi kapasitasmu sebagai istrinya Rayyan dan jangan ceritakan apa pun tentang yang terjadi di rumah ini padanya
"Iya, Nenek sudah datang. Dia mau makan malam bersamamu dan tentu saja ingin melihat istrimu secara langsung." Mama menatapku lalu meninggalkan Mas Rayyan berjalan ke arahku. "Poles wajahmu, jangan polosan begitu. Kamu istrinya Rayyan jadi harus tetap terlihat cantik!" titah Bu Lasmi membuatku mengangguk patuh. "Dimana diletakkan alat make up-mu? Maya sudah mengantarnya ke sini bukan?" Segera aku berjalan ke walk in closet arah lemari pakaianku karena semua alat make up dan skin care yang dibawakan Maya, kuletakkan di laci bagian tengah. Di dalam kamar ini tidak ada meja rias membuatku bingung harus menyimpan perlengkapan kecantikan wanita itu dimana. Lagipula aku tahu diri ini bukan kamarku seutuhnya, ini kamar Mas Rayyan, kamar laki-laki, jadi wajar tidak ada benda tersebut di sini. "Astaga kenapa diletakkan di sini?" Bu Lasmi protes. Ia lalu mengitari kamar anaknya dengan gelengan kepala. "Ya sudah, cepatan poles wajahmu, tapi jangan terlalu tebal. Ini sudah malam tak perlu ri
"Tentu saja, Bu. Lasmi akan memilihkan calon terbaik untuk Rayyan. Syukurlah kalau Ibu suka." Bu Lasmi menjawab jumawa pernyataan Nenek Alin. Senyum mengembang sempurna di bibirnya. Aku jadi tersenyum bangga dipuji dua wanita terhormat sekaligus seperti mereka. Tidak menyangka sama sekali akan respon Nenek Alin padaku. "Jadi benar yang dikatakan Adel kalau Rayyan bakal sembuh asal dia …." Nenek Alin bertanya kembali dengan menggantungkan ucapannya dan kali ini membahas kondisi Mas Rayyan. "Benar, Bu. Kata dokter Aldi juga begitu."Aku membiarkan Bu Lasmi yang menjawab karena memang sekarang kapasitas beliau yang bicara selaku ibu kandung Mas Rayyan yang paling memahami suamiku itu."Dika juga mengatakan hal yang sama, tapi … Rayyan yang susah diatur. Dia tidak mau diterapi." Tatapan Bu Lasmi ke arah Mas Rayyan. Terlihat wajah kekhawatiran di sana untuk anaknya. "Loh, kok tidak mau Yan? Ini demi kebaikanmu juga. Memang mau berada di sana untuk waktu yang lama? Kasihan juga istrimu d
"Nenek ngapain ngasih beginian. Rayyan tak butuh minuman seperti ini," tolak Mas Rayyan membalas ucapan neneknya seraya melirik ke gelas yang isinya masih utuh. Lalu melengos menghindari tatapan wanita tua tersebut. Nenek Alin tersenyum lalu mendekat, duduk di tepi tempat tidur, di samping Mas Rayyan. "Dicoba dulu, rasanya bakal beda. Kamu bakal nggak bisa tidur semalaman." Satu tangan Nenek ke bahu Mas Rayyan, ia tersenyum penuh arti sembari mengusap lembut bahu kokoh cucunya. Jawaban Nenek membuatku ingin mual dan membelalakkan mata, terkejut. Pikiranku mengarah ke hal negatif. Aku sudah dewasa, walaupun tak pernah pacaran apalagi melakukan hubungan layaknya suami-istri dengan lelaki mana pun, tentu paham sedikit-dikit arti dari yang barusan dikatakan Nenek. Pasti sedang menjurus ke hal tersebut. Ih, membayangkannya saja membuatku bergidik duluan. Pikiranku cepat sekali menangkap hal beginian, ini semua karena teman kerja sering membicarakan hubungan privasinya dengan pacarnya.
"Rayyan tidak mau, Nek. Untuk apa diadakan pesta? Nenek mau mempermalukan Rayyan yang tidak bisa berdiri di atas pelaminan nanti, begitu?" Mas Rayyan menolak. Kulihat garis wajah laki-laki itu mengeras menunjukkan ketidaksukaannya. Dia menatap Bu Lasmi dan Nenek Alin secara bergantian dengan wajah memerah. "Tidak. Bukan seperti itu maksudnya. Nenek hanya ingin menunjukkan kalau kamu telah menikah, terutama buat keluarga Darmansyah. Mereka harus lihat kamu bisa menikah meskipun dengan ketidak sempurnaan."Keluarga Darmansyah? Siapa itu? Benakku menebak ingin tahu. Namun aku tak berani ikut campur apalagi bertanya menimpali pembicaraan mereka. Bukan kapasitasku dan aku belum berhak bicara. "Buat apa?" Mas Rayyan tersenyum kecut. "Itu hanya mempermalukan keluarga kita. Apa Nenek tahu kalau istriku ini dari kalangan biasa, Orang-orang malah menertawakan kita karena berpikir Adel mau menikah denganku demi harta. Siapa yang mau dinikahi laki-laki tak sempurna sepertiku kalau bukan demi ua
"Uang? Buat apalagi, Bu?" Kuturunkan nada suaraku agar tak terdengar siapa pun. "Ya, buat beli perhiasan dan pakaian baru. Kita kan akan menjadi bagian dari keluarga Arya Kusuma. Keluarga terpandang di kota ini. Belum lagi bakal ada pesta besar dan tidak mungkin penampilan Ibu dan yang lainnya seperti biasa saja. Harus ada peningkatan," tutur Bu Mayang membuatku menarik napas dalam-dalam. "Jadi Ibu mau minta berapa?""Sepuluh juta kalau ada. Kalau tidak ada, lima juta juga nggak papa."Mulutku ternganga mendengar permintaannya tersebut. Tak menyangka bakal diminta sebanyak itu. Lagipula darimana kudapatkan uang hitungan juta dalam waktu sekejap? Uang tabungan saja di bawah nominal lima juta. Ya Allah, Bu. Apa yang ada di pikirannya? Tak hentinya membuatku susah bernapas. Pernikahan ini saja masih terasa menyesakkan, aku perlu menghirup udara banyak-banyak untuk mengendurkannya. "Maaf, Bu. Adel nggak punya uang segitu banyak. Ibu kan tahu sendiri penghasilan Adel selama kerja tidak
"Ada apa?"Baru saja masuk kamar sudah ditanya Mas Rayyan. Aku menatapnya bingung. Lalu mendekat. "Hm, tidak ada. Memangnya ada apa, Mas?" tanyaku balik seraya mengamatinya yang sedang memegang buku, seperti biasanya. "Kamu dipanggil Mama kenapa?"Eh, kok dia tahu ya aku dipanggil ibunya? "Mas tahu dari mana kalau aku–""Semua yang ada di rumah ini aku tahu." Belum sempat menuntaskan ucapan, sudah dipotongnya."Oh, tidak apa kok. Cuma …." Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat. Tak mungkin kukatakan sedang dinasihati Mama tentang keluargaku yang mulai ngelunjak pada ibunya. Aku malu. "Aku diminta untuk hati-hati membantu Mas terapi jalan. Takutnya malah membuat Mas cedera." Terpaksa berbohong. Entah sudah berapa kali aku berbohong di rumah ini. Mas Rayyan terpekur sebentar lalu menatapku lekat. "Aku makan malam di kamar saja. Sudah minta Deden mengantarkan ke sini, paling sebentar lagi datang. Jadi jika nanti diminta ke ruang makan, bilang aku sudah makan. Kamu juga tidak pe
Ayah, maaf. Bolehkah aku menyerah. Bolehkah aku durhaka karena mengabaikanmu? Aku lelah. ***Kuketuk pintu kamar Mas Rayyan, takut Mama Lasmi masih di dalam. Aku cuma sebentar menerima telepon dan tidak melihat apakah Mama sudah keluar dari kamar suamiku atau belum. "Siapa?" Suara Mas Rayyan bertanya. "Ini saya Mas, Adel." Sigap aku menjawab. "Masuk!" titahnya kemudian. Segera aku membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Mas Rayyan sedang duduk selonjor di atas tempat tidurnya. Tidak kutemukan sosok ibu mertua di dalam sini. "Kenapa pake ketuk pintu segala. Kamu bebas masuk kamar ini karena statusmu istriku."Oh, rupanya Mama sudah pergi. Kami tidak bertemu saat di luar tadi, bukan beda arah jalan. Aku mengangguk tanpa menoleh padanya dan memutuskan untuk terus berjalan menuju arah kamar mandi karena ingin bebersih sebelum beranjak tidur. "Tunggu!" Langkahku terhenti seketika mendengar ucapannya. Padahal kamar mandi tinggal semeter di hadapan. "Sini! Kita harus bicara," imbuhnya