Pov Rayyan"Tidak! Aku tidak mau. Sekarang bukan zamannya Siti nurbaya, Ma. Aku tidak mau dijodoh-jodohkan. Apa karena aku cacat, Mama asal jodohkan?"Aku berang. Mama tiba-tiba memberikan solusi untuk pertunanganku yang batal. Belum sembuh luka hati dan fisik, Mama malah membuatku makin terpuruk. "Yan, cuma ini satu-satunya jalan agar harta Ayahmu tidak jatuh ke tangan mereka. Ini syarat untuk memenuhi surat wasiat Ayahmu. Kalau kita kehilangan, Mama juga tidak bisa mengobati sakitmu ini. Kita akan terlempar ke jalanan. Kamu mau?" timpalnya memaksa. Akun terdiam. Apa yang dikatakan Mama benar. Meskipun rasanya ingin mati saja, tapi tak tega kalau harus meninggalkan Mama dalam kesengsaraan. Hidupku sudah hancur. Safira yang kukira bisa menerima keadaanku ini malah berpaling dan memutuskan hubungan kami. Padahal berulang kali kuyakinkan kalau aku pasti sembuh, tapi dia tetap dengan pendiriannya. Masih jelas terngiang saat dia bilang tak bisa meneruskan pertunangan kami. Dia tidak bis
Itu dia …? Kok beda sama yang di foto?Kulihat seorang wanita berkebaya putih datang menghampiri tempat akad yang telah kududuki. Ia digandeng dua wanita berbeda usia di sebelah kanan dan kirinya. "Pak, itu dia?" tanyaku ragu berbisik pada Pak Rudi yang merupakan orang kepercayaan Mama. Dia juga yang menjadi salah satu saksi dari pihak mempelai laki-laki, yaitu aku. "Iya." Pak Rudi mengangguk seraya menyunggingkan senyum semringah. "Cantik ya Den," timpalnya lagi tak memalingkan pandangan dari wanita tersebut. Dapat kulihat semua mata tertuju pada wanita tersebut. Apa iya dia orangnya? Aku menatapnya lekat. "Kenapa cantik sekali? Jauh berbeda dengan foto yang ditunjukkan Mama padaku waktu itu. Oh, mungkin keajaiban make up. Bisa saja kan mengubah yang biasa jadi luar biasa. Wajah palsu!" rutukku sendiri dalam hati. Aku mencoba bersikap biasa saja saat wanita tersebut duduk di sebelahku. Ijab kabul yang akan kuhadapi jadi terasa makin tegang karena kehadirannya sekarang ini. K
"Mas ngomong apa sama Ibu?" Adel bertanya setelah ponselnya kukembalikan. "Biasa saja, cuma basa-basi sebagai menantu yang baik."Adel tersenyum mendengar jawabanku. Baginya pasti terdengar lucu. Sejak kapan aku bersikap jadi menantu yang baik? Jadi suami baik saja baru kumulai setelah seminggu berlalu. "Kok senyum? Ada yang salah dengan jawabanku?"Adel menggelengkan kepalanya. "Lucu saja mendengarnya."Tebakanku benar."Lucunya dimana?" Penasaran, aku ingin tahu penjelasannya tersebut. Selain itu, bicara dengannya menjadi candu buatku. Enak dan nyambung. Tipe wanita seperti ini yang kucari. Dulu ada di Safira, tapi sekarang …. "Nggak. Kok. Ya, lucu aja dengarnya, Mas. Nggak usah dibahas, ini Mas, minumnya." Segelas minuman dingin diulurkannya ke arahku. Tampaknya dia ingin mengubah topik pembicaraan. "Terima kasih." Aku membalasnya dengan mengulas senyum pula. Entah berapa kali senyumku terumbar murah padanya. Padahal pertama bertemu, aku sangat ketus. Senyumku mahal. "Kalau k
"Mas Rayyan?" Aku tersentak kaget saat mendapati sosok suamiku itu berada di depanku dalam keadaan tegak berdiri. Dia tidak menggunakan kursi rodanya karena benda tersebut berada jauh di sebelah sisi ranjang satunya, sisi biasa dia tidur. Aku segera bangun mengambil posisi duduk. Mengerjap sekali lagi memastikan penglihatanku tak salah. Siapa tahu aku bermimpi. Baru juga terlelap tidur, terasa ada yang mengusap bagian kepalaku dan itu terasa nyata, makanya aku terbangun. Apa usapan itu dari tangan Mas Rayyan karena dia tepat berada di depanku saat ini. "Mas, kamu?" tanyaku tergagap bercampur bingung. Masih dengan netra yang tak percaya melihat suamiku berdiri kokoh tanpa bantuan. "Eh, a–aku sudah sembuh," ujarnya berterus terang tampak salah tingkah. Seolah menjawab arti dari tatapanku barusan. "Lihatlah! Aku sudah bisa berjalan tanpa bantuanmu. Aku bisa berjalan dengan kekuatanku sendiri."Mas Rayyan mempertegas lagi ucapannya. Ia mondar-mandir berjalan pelan menunjukkan kemampua
"Kamu cerita apa saja sama suami dan ibu mertuamu itu?"Ibu Mayang berbisik di telingaku saat memelukku. Bibirnya memang tersenyum merekah, tapi suaranya mengeluarkan racun amarah. Setiap kata ditekannya dalam membuatku tahu dia sedang marah padaku. Saat ini aku berada di kamar hotel di mana ballroomnya merupakan tempat digelarnya acara pesta pernikahanku nanti bersama Mas Rayyan. Saat ini aku sedang dirias. Ibu sambungku itu menghampiri bersama Bella, anak kesayangannya. Aku menggeleng lemah tanpa suara. Menunjukkan kalau aku tidak mengerti dengan apa yang ditanyakannya. "Bel, lihat Kakakmu, cantik banget ya." Disela bicara denganku, ia berakting seolah senang dengan penampilanku saat ini. Mungkin hanya ingin menunjukkan ke orang lain kalau dia menyukaiku dan menyayangiku seperti anaknya sendiri. Menunjukkan juga kalau kami ini dekat. Hubungan kami baik-baik saja. Padahal …."Oh, i–iya. Cantik." Meski memuji, tapi dari nada suaranya aku tahu adikku itu berbohong. Terkesan datar
Kucoba memperhatikan seksama wanita anggun berkebaya merah yang barusan memeluk erat suamiku saat mengucapkan kata selamat. Cantik. Warna kebayanya serasi dengan lipstik yang dikenakannya. Tidak hanya membuat anggun, tapi terlihat seksi dan menawan. Membuatnya jadi pusat perhatian. Ditambah bagian leher kebayanya yang dibuat rendah hingga menampilkan sedikit dua gundukan menggoda. Pantas saja banyak lelaki yang menatapnya tak berkedip. Padahal kulihat dia datang tak sendiri. Dia datang bersama laki-laki lain yang membersamainya saat naik ke atas pelaminan ini. Aku mengulas senyum tipis saat berhadapan dengannya, bersikap ramah, tapi dibalas wanita tersebut dengan wajah datar, dan tatapan tajam. Jabat tangan pun hanya di ujung jari, tak sampai menautkan dengan benar ke tanganku seperti layaknya orang bersalaman. Justru terkesan enggan dan terpaksa. Kenapa sikapnya seperti itu? Apa yang salah denganku? Cemburu kah? Aneh. Mereka sudah berpisah, dan aku tahu kisahnya. Dia yang meni
"Mas, aku–" "Sayang, katanya mau makan. Aku tunggu-tunggu kok belum nongol juga?" selanya bertanya dengan bibir tertarik ke atas. Ia memanggilku sayang. Aku yang tak sanggup melanjutkan ucapanku jadi ternganga mendengar perkataannya barusan. Mataku sempat membola hingga akhirnya mampu menguasai diri. Bukan seperti yang kubayangkan. Kukira dia akan marah-marah dan menarikku kasar mengikutinya. Namun ternyata ….Tidak! Dia malah bersikap mesra seperti layaknya status kami, suami-istri. Tangannya melingkar di pinggangku hingga badan ini saling menempel bersisian padanya. "Aku–"Belum sempat menjawab, Mas Rayyan malah menyapa Dika. "Hai, Dika. Baru datang? Sudah kenalan sama Ayah?" Suamiku itu melirik sekilas ke arah Ayah yang dibalas Ayah dengan tersenyum renyah. "Sudah. ayah Adel kan? Kami bahkan sudah akrab loh." Dika mengerlingkan matanya ke arah Ayah. Dibalas Ayah dengan senyuman hangat. Memang seramah itu ayahku pada siapa pun, dan Dika pun sama. Dia orang yang tipikal enak dia
Pakaian apa tadi? Apa itu pakaian untukku atau salah kirim? Aku berjalan ke arah nakas mencari sesuatu. Mengambil tas milikku yang tersimpan di sana, bawaanku saat pergi ke hotel ini. Dengan lincah tangan ini menghubungi Mama Lasmi tapi hasilnya nihil, tidak diangkat. Aku ingin menanyakan apa benar ini pakaian ganti untukku atau salah kirim? Aku mondar-mandir mencoba terus menghubunginya, tapi hasilnya sama. Hanya terdengar nada sambung sampai akhir deringnya. "Ada apa?""Astaghfirullah!" Refleks beristighfar karena kaget. Mas Rayyan tiba-tiba menegurku dari arah belakang. Apalagi dia cuma berlilitkan handuk di pinggang. "Anu Mas. Itu …." Aku tergagap untuk menjawab. Tak berani menatapnya. "Apa sih, Del? Wajahmu kenapa begitu? Kayak lihat hantu saja. Kenapa? Ada apa?" tanyanya lagi mengulikku.Mas Rayyan bertanya seraya terus berjalan menuju lemari pakaian yang sama denganku. "Itu Mas." Aku mendongak menatapnya sebentar, masih bingung bagaimana cara untuk memberitahukannya. Mas