"Apa menurutmu aku pecundang yang lari dari kenyataan setelah melakukan sesuatu?" balasnya dengan tatapan menusuk. Ada kilat kemarahan di wajah tampannya. "Aku pasti bertanggung jawab. Kata maaf barusan karena telah mengingkari janjiku di awal padamu. Aku mengaku salah dan ikhlas kalau dihukum. Semua terserah padamu. Apa pun yang kamu minta pasti kuturuti," lanjutnya meyakinkanku saat melihatku hanya diam menyimaknya bicara. "Hanya sebatas tanggung jawab?" ujarku memastikan ingin tahu apakah dia menggunakan perasaan atau tidak saat melakukannya. "Apakah yang barusan Mas lakukan tanpa cinta, dan hanya nafsu semata?" lanjutku lagi memperjelas pertanyaanku sebelumnya serta membungkam mulutnya yang ingin menjawab. Aku ingin kejujuran. "Aku … aku akan mencoba mencintaimu." Meski dikatakan Mas Rayyan demikian. Nada suaranya terdengar ragu. Sulit mempercayainya dan aku benci mendengarnya, tapi aku tak mampu menyalahkannya juga karena mungkin kenyataannya memang seperti itu. Cinta tidak d
Pov Bella"Kata siapa? Kamu jangan mengada-ada ya? Handy itu lagi sakit, dan aku tahu dia di rumah, nggak mungkin kemana-mana. Apalagi ke mall seperti yang kamu bilang!" Aku berang saat Dina menghubungiku cuma ingin memberitahukan kalau Handy, pacarku lagi jalan di mall sama wanita lain. Kumaki dia habis-habisan dengan tidak mempercayai ucapannya tentang pacarku tersebut. Dina adalah teman satu kampus. Tidak dekat, tapi kami pernah satu kelas dan satu circle pertemanan juga. Temannya adalah teman satu gengku. Jadi otomatis kenal satu sama lain. Dia tahu aku berpacaran dengan Handy, salah satu laki-laki terkeren di kampus dan anak orang kaya. "Lah, kok malah marah-marah? Kalau tidak percaya ya sudah. Aku cuma ngasih tahu. Kasihan sama kamu yang ternyata diduain. Lagian itu ada buktinya. Ada fotonya dan kamu lihat sendiri kan itu Handy?" Suara di seberang tak mau kalah. Nadanya ikut naik seolah mengimbangi suaranya yang sudah tinggi sejak awal dikirimi foto Handy. Dia tetap yakin ora
Dering ponselku tak berhenti berbunyi. Aku sampai mematikannya karena sudah terasa mengganggu. Tidak hanya telepon dan pesan dari Ibu Mayang yang terus masuk mengusikku, tapi juga dari Bella. Kedua Ibu beranak tersebut seakan kompak untuk menekanku, memintaku melepaskan Mas Rayyan dari sisiku. "Kamu baik-baik saja, Del?" Mas Rayyan kembali menanyakan keadaanku. Sudah sekeras mungkin aku menutupi keresahanku, tapi sepertinya mudah dirasakan oleh Mas Rayyan. Kenapa sekarang jadi peka? Dia terus bertanya memastikan keadaanku baik-baik saja atau ada masalah. Sekarang kami di dalam mobil sedang dalam perjalanan ke rumah. Bagaimana ini? Haruskah jujur dan menceritakannya? "Kita adalah suami istri sungguhan. Bukan pura-pura lagi, iya tidak?" Mas Rayyan masih mencoba mengulik hatiku. Menekan kalimat tersebut seolah penegasan aku tak boleh memikul sendiri bebanku. Aku mengangguk mengiakan. "Kalau begitu harus saling jujur. Iya kan?" Nah benar kan? Mas Rayyan makin membuatku jadi terde
Safira itu nama mantannya Mas Rayyan. Kakiku terpaku di tempat tak jadi menghampiri Mas Rayyan yang asyik berteleponan dengan mantannya itu. Hati yang berdenyut nyeri memaksaku untuk memutar badan, berbalik ke arah pintu, memutuskan keluar dari kamar. "Adelia."Sebuah panggilan lembut membuat langkahku terhenti.Itu Mas Rayyan.Ternyata aku ketahuan telah masuk kamar. Padahal ingin keluar secara diam-diam. "Mau kemana?" tanyanya dan aku masih di posisi sama. Belum menghadapnya. "Adel." Mas Rayyan kembali memanggil, membuatku terpaksa berbalik menghadapnya. "Mau kemana?" ulangnya seraya memangkas jarak. Ia yang menghampiriku. Aku yang belum siap dengan pertanyaannya jadi tergagap harus menjawab apa. Aku ingin keluar untuk menenangkan hatiku yang tiba-tiba berdenyut tak nyaman. Ada rasa sakit yang sulit diungkapkan. "Hm, anu. Mau ambil air." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirku. Mas Rayyan menoleh sebentar ke atas nakas dimana di sana sudah ada teko air yang masih
Pov Rayyan"Ma." Aku masuk ke dalam ruang kerja Mama. Menghampirinya yang tidak menunjukkan batang hidungnya saat aku pulang ke rumah ini. Saat masuk, Mama terlihat lagi fokus menatap layar laptop. Sepertinya Mama memang sibuk. Ia cuma menatapku sekilas saat aku masuk ke dalam ruangannya. Setelah kembali ke rumah, bergegas aku mencarinya. Bukan karena rindu yang mendera. Kami baru berpisah 24 jam, jadi bukan itu alasanku mencarinya. Aku hanya heran saja tak ada sosoknya di luar barusan. Hanya Nenek dan beberapa orang yang bekerja di sini. "Duduk Yan. Baru sampai?" tanyanya sembari melepaskan kacamata dari hidung bangirnya. Aku mengangguk. Lalu duduk sesuai inginnya. "Cerah wajahmu. Jadi semalam terjadi ya?"Kedua alisku naik saling terpaut. Mengernyit heran. Mama tersenyum tipis. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. "Sudah Mama duga kamu tidak akan tahan menghindarinya. Adelia itu cantik. Cantiknya alami. Cuma sayang dia tidak pandai berdandan saja. Kalau dipoles di
Pov Rayyan Aku terdiam mendengarkan curahan hati istriku. Tak percaya dengan apa yang kudengar. Dia tampak emosi saat mengungkapkan isi hatinya tersebut. Setelah kupikir memang benar aku dan keluargaku terlalu menyetirnya. Memaksakan kehendak kami padanya. Tanpa bantahan ataupun protes darinya, dia terlalu penurut dan patuh. Aku mengamatinya dengan dada berdenyut nyeri, apa sesakit itu rasanya hingga saat dia bicara, suaranya ikut bergetar juga. "Maaf, maafkan aku dan keluargaku," lirihku akhirnya. Aku berlutut di hadapannya dengan meraih tangannya. Kugenggam erat tangan halus tersebut dan refleks mengecupnya. Adelia awalnya terkejut, lalu melengos, seolah enggan menatapku yang berada di hadapannya. Dia juga ingin menarik tangannya dariku, tapi kugenggam erat agar tak terlepas. Aku juga bisa melihat wajah sendu dan mata yang mulai berkaca-kaca di sana. Banyak kesakitan yang sekarang ini bisa kulihat di matanya. Kenapa baru menyadarinya? Kemarin itu aku kemana saja? Aku cuma ped
"Ada apa Adel? Kenapa dengan Ayah?" Mas Rayyan ikutan panik. Pasti karena mendengar pembicaraanku sekilas dengan Ibu. Iya, Ibu Mayang baru saja menghubungi dan menyampaikan kabar buruk untukku. Katanya Ayah jatuh di rumah dan sekarang sudah berada di rumah sakit. Aku tak tahu pasti jatuh seperti apa hingga Ayah harus dibawa ke rumah sakit, yang pasti sesuatu yang mengkhawatirkan. Segera aku ke sana ditemani Mas Rayyan berangkat ke rumah sakit. Ibu Mayang sudah mengirimkan alamat lengkapnya. Sudah pamit juga ke Mama Lasmi dan Nenek Alin, dan mereka mengizinkan. "Yang sabar. Jangan panik begini. Ayah pasti baik-baik saja." Mas Rayyan mencoba menenangkan. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya tersebut. Hati dan ragaku tidak sinkron. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya. Belum pernah mendengar Ayah masuk rumah sakit lagi setelah terakhir dia stroke. Sekarang pasti sesuatu yang sangat mengkhawatirkan sampai Ayah dibawa ke sana. ***Baru sampai lobi rumah sakit, aku segera men
Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Bu Mayang barusan. Bagiku semua itu terdengar lucu. Kocak sekali punya ibu sambung yang cuma memperhatikan anaknya saja hingga anak dari suaminya pun dianggap tak berarti. "Maaf, Bu. Adel tidak bisa memenuhi permintaan Ibu barusan. Adel tidak bisa memberikan Mas Rayyan ke Bella," ucapku terjeda, sengaja berhenti sebentar untuk melihat ekspresinya. Seperti yang kuduga, ia terkejut dengan jawaban yang kuberi. Mungkin tidak mengira kalau aku akan menolaknya. Dulu, saat permintaan ini pernah dilontarkan, aku hanya menjawab pasrah, terserah Mas Rayyan, ujarku waktu itu. Keputusan kuserahkan pada suamiku tersebut. Kalau dia memang menginginkan Bella, maka aku pasrah dan memilih mundur, tapi hal tersebut tak pernah kutanyakan langsung ke Mas Rayyan karena tak berani mendengar jawabannya. Cuma suamiku itu pintar. Dia tahu hal tersebut dari pesan chatku dengan Bu Mayang yang masih tersimpan di ponsel, dan tidak menyukai sikap pasrahku. Mengingat nasihat