“Kalian ini siapa, kenapa bisa dipenjara? Aku tahu kalian juga dari dunia persilatan. Apa kalian telah menyinggung kerajaan?” tanya Saka kemudian setelah beberapa saat merenung.“Tidak salah memang, di dunia persilatan kami dijuluki Lima Macan dari Utara. Aku yang paling tua, Raksadewa,” jawab orang yang paling kuat auranya.Saka baru mendengar nama julukan ini. Mungkin karena dia belum luas pengalaman di kancah kaum pendekar.“Mereka berempat adik-adikku, Raksageni, Raksajaya, Raksadirga dan Raksagara. Kami sudah dua purnama dikurung di sini,” lanjut Raksadewa.“Apa harus diceritakan kepada dia?” tanya Raksageni tampak ragu.“Kebusukan harus diungkapkan, tidak peduli dia orang baik atau jahat,” ujar Raksagara menimpali.“Aku duga dia orang baik yang difitnah,” kata Raksadirga juga tentang Saka.“Baiklah, kebusukan memang harus diungkapkan. Kalau beruntung, dia akan keluar dari sini,” sambung Raksadewa. Lalu memanggil Saka agar mendekat ke mereka.“Kami akan jelaskan, mengapa kami dik
Saka meloncat dari atap ke atap mendekati tempat kejadian. Gerakannya semakin ringan. Sementara tatapannya terus mengawasi sekelompok orang yang tengah dikepung.Akan tetapi dia juga harus tetap waspada agar tidak terlihat oleh kelompok pengepung. Setelah agak dekat barulah Saka dapat melihat dengan jelas.“Itu rombongan Ki Warakas, dan yang mengepung itu orang-orang perguruan Kalajingga!” Saka ingat ucapan Arum Sari, nyawa Ki Warakas dalam ancaman.“Mengapa mereka bisa hendak membunuh orang di dalam kota?” pikir Saka.Sementara di sana Ki Warakas dan yang lainnya juga sudah menyadari mereka dikepung. Dia sudah menduga sebelumnya, Ki Badraseti pasti akan membunuhnya karena telah gagal tugas.Namun, dia juga masih berhak untuk tetap hidup. Rencananya dia akan keluar kotaraja sejauh mungkin untuk hidup tenang. Karena sebagai kaum pendekar, dia sudah tidak berguna.“Mereka tidak akan mengampuni kita, jadi lawan sekuat mungkin dan terus bertahan hidup!” seru Ki Warakas kepada pengikutnya.
Dua pukulan sakti yang berasal dari Ki Badraseti dan Pranaseta tertahan pukulan sakti milik Saka Lasmana.Pukulan sakti yang keluarkan Saka berasal dari kitab Sapta Wujud yang bernama Pukulan Bintang Kejora.Cukup dahsyat juga hasilnya karena Saka melakukannya sambil berlari membelakangi lawan. Di depannya, Seta Keling dan Ki Warakas juga berlari cepat.“Seta, lindungi paman Warakas. Biar aku menghalau mereka!” perintah Saka.Seta yang sudah terlanjur terlibat dalam masalah ini menurut saja apa yang diminta Saka.Sebelumnya Seta penasaran ketika melihat Sakab yang tengah duduk di atap tiba-tiba berkelebat ke suatu tempat. Ternyata hendak menolong Ki Warakas yang dia tahu orang itu adalah penyusup di perguruan Girisoca.Sementara Saka sudah berbalik hendak menghadang lawannya. Tangan kanannya sudah memegang bumbung tuak.“Kau mau cari mati atau cari muka!” hardik Ki Badraseti sambil menyiapkan pukulan saktinya.“Mengadu nasib, siapa tahu dapat keuntungan. Ha… ha… ha…!” seloroh Saka lal
“Jangan ikut campur dulu! Lihat dulu apa yang terjadi!” Seta Keling langsung menarik Saka ke tempat lebih gelap.Kali ini Saka yang menurut kepada saudara beda guru ini. Dia mengikuti Seta Keling yang berlari di depan.Seta Keling mencari yang tersembunyi tapi dekat ke tempat kejadian. Akhirnya dia menemukan satu pohon besar dan rindang ditambah keadaan gelap.Dia langsung mengajak Saka Lasmana melompat ke atas pohon. Di atas, atau tepatnya di dalam rindangnya daun dan cabang pohon, mereka harus mencari lagi tempat yang tepat agar bisa melihat peristiwa yang terjadi.“Ada orang berpenampilan acak-acakan!” ujar Seta Keling.“Sepertinya dia kabur dari penjara khusus. Tangan dan kakinya masih terikat rantai,” timpal Saka.Yang terlihat di jalan umum kota memang demikian. Seorang lelaki tinggi besar yang memiliki aura sangat kuat, tapi buruk tengah berjalan sambil menghajar prajurit yang mencoba menghalanginya.Jelas saja tidak prajurit yang mampu menahannya. Semuanya terpental akibat puk
Pada tengah hari atau disebut ‘tangage’ ada juga yang menyebut ‘tangari’, delapan orang berkuda telah sampai di tempat tujuan.Kota Medang Jati masih tampak ramai. Masih banyak yang menggantungkan hidupnya di bekas kotaraja ini.Namun, kedelapan orang berkuda ini bukan untuk menghampiri keramaian. Mereka justru pergi ke pelosok yang sepi.Sebuah bukit yang rapat dengan pepohonan dengan dedaunan rimbun. Udara lembab walaupun di siang terik.Aura kuat memancar dari puncak bukit, di mana di atas sana ada seorang resi linuwih sakti mandraguna yang hidup menyepi. Bertapa menuju moksa ke alam keabadian.Sang Kandiawan yang bergelar Rajaresi Dewaraja, bekas raja Kendan terdahulu sebelum berganti menjadi Galuh.Kedelapan orang itu sudah turun dari kudanya masing-masing. Mereka berdiri di bawah bukit dalam dua kelompok. Tentu saja kelompok Ki Sempana dan Ki Badraseti.Semuanya memandang ke puncak bukit. Selain aura utama yang bersemayam di bukit tersebut, ternyata ada aura lain yang juga cukup
Tentu saja Kalasetra menganggap itu hanya bumbung biasa yang ringan. Nemun, kejap berikutnya si tinggi besar ini terkejut bukan main ketika merasakan betapa bumbung bambu itu sangat berat bagaikan mengangkat gunung.Sekk!Akibatnya tubuh Kalasetra tertarik ke bawah karena menahan beban berat. Badannya membungkuk sehingga bagian ketiaknya terbuka.Kalasetra sangat menyadari hal ini, makanya dia segera melepaskan bumbung tersebut. Namun, peluang bagus itu tidak disia-siakan lawan begitu saja.Pranaseta, Arum Sari dan Arya Kumbara langsung bergerak secepat mungkin tidak ingin kehilangan kesempatan tersebut.Salah satu pedang pendek Pranaseta menusuk ke bagian ketiak sebelah kiri bersamaan dengan ujung selendang Arum Sari yang keras dan tajam menusuk ke tempat sama.Sedangkan ujung golok besar Arya Kumbara berhasil menusuk ketiak kanan cukup dalam.Crepp!“Aaaakh …!”Kalasetra menjerit setinggi langit. Tidak peduli dengan kondisinya yang langsung melemah akibat tusukan tersebut, dia langsu
Saka memberi isyarat kepada temannya agar pura-pura tidak tahu ada orang yang menguntit mereka.Mereka menunggu si penguntit bertindak lebih dahulu. Namun, setelah cukup lama tidak juga ada tindakan dari belakang.Akhirnya Saka menghentikan langkah kudanya. Begitu juga Seta Keling, tapi keduanya tidak menoleh ke belakang. Melainkan menunggu orang di belakang mendekat.“Ternyata memang kalian berdua, aku sempat ragu. Mata tuaku sudah tidak mampu menembus gelapnya malam!”Suara itu berasal dari seseorang yang juga menunggangi kuda. Lelaki setengah baya yang tidak asing bagi Saka dan Seta.“Paman Warakas!” ucap Saka.“Ya, akhirnya aku dapat teman perjalanan!” sahut lelaki paruh baya yang ternyata Ki Warakas.“Memangnya Paman hendak ke mana?” tanya Seta Keling.“Aku hendak membuat perhitungan dengan seseorang yang telah mengambil istriku di desa Gandu. Setelah melewati hutan di depan sana, maka sampailah di desa itu!”Saka dan temannya saling pandang. Apa yang diucapkan Ki Warakas lain de
Ini adalah pertarungan harga diri. Lebih baik mati berkalang tanah daripada direndahkan oleh wanita. Begitulah prinsip yang dipegang Ki Warakas.Laki-laki paruh baya ini angkat senjata melintang di depan. Dia tahu lawannya tidak membutuhkan senjata karena memiliki sepasang tangan kuat seperti baja sesuai julukannya.Namun, tekadnya sudah bulat. Tidak gentar sedikit pun. Kalau tidak bisa mengalahkan Si Tangan Baja, maka setidaknya harus mati bersama.Sementara walaupun bukan urusannya, Saka merasa tegang juga menyaksikan dua orang yang hendak berduel hidup mati.Untuk menghilangkan ketegangan, seperti biasa Saka meneguk minuman yang tak pernah habis.“Saka, boleh aku mencicipi arakmu itu?” pinta Seta Keling, dia juga tidak kalah tegang. Lalu dia menyodorkan tangannya.“Kau tidak akan kuat mengangkat bumbung ini, buka saja mulutmu, dongakkan wajahmu ke atas!” suruh Saka.Seta Keling baru sadar dan ingat ketika Kalasetra tidak kuat memegang bumbung bambu itu karena sangat berat.Maka mur
"Sampai kapan aku mengawasi seperti ini," gerutu Nari Ratih sambil memakan buah jambu. Kalau ditinggalkan takut yang dikhawatirkan terjadi. Bukankah dia sedang berjaga mencegah jatuhnya korban pembunuhan lagi. Namun, kalau dipikir lagi sejenak hatinya jadi ragu. Sebabnya prajurit kerajaan yang ditugaskan menangani kasus ini sudah mengendus ke Seta Aji. Kalau sudah begitu bisa saja Seta Aji tidak melanjutkan aksinya. Bagaimana kalau prajurit kerajaan mendatangi rumah dan menangkap Seta Aji? Sia-sia saja dia berjaga di situ. Apa yang dipikirkan Nari Ratih memang benar. Lima prajurit kerajaan yang dipimpin seorang Bekel mendatangi rumah Seta Aji. Tentu saja pihak berwenang dari kerajaan juga menyelidiki tiga pembunuhan yang terjadi. Dari tanda silang yang tergores di paha korban menunjuk satu tersangka, Seta Aji. Sampai di depan rumah Seta Aji, enam prajurit ini hanya mendapati Amba Citra yang sed
Giliran Nari Ratih yang kerutkan kening sambil menarik wajahnya. Lalu dia menghempas napas lega. Maklum saja Amba Citra menyangka demikian, karena dia belum tahu kalau dia sudah mempunyai suami seorang pendekar tangguh.Amba Citra menatap sahabatnya menunggu jawaban. Si gadis ini perawakannya tak jauh beda dengan Nari Ratih. Tinggi semampai, cantik, hanya wajahnya bulat dengan mata agak belo. Berbeda dengan Nari Ratih yang memiliki wajah lonjong dan mata tipis.Nari Ratih tidak segera memberitahukan tentang statusnya yang sudah bersuami. Ada yang lebih penting yang harus didahulukan, yaitu mencari pembunuh sahabatnya."Aku hanya ingin memperoleh keterangan yang banyak tentang dia darimu,""Baik, tapi apa kau yakin aku memiliki pengetahuan banyak tentang Seta Aji?""Tentu saja, karena kau tetangganya!""Baiklah, silakan bertanya!" Amba Citra mengangkat telapak tangannya menghadap ke atas.Nari Ratih menarik napas panjang.
Seketika langsung berjingkat badannya. Dadanya mendadak berdebar kencang. Bagaimana bisa ada orang masuk? Padahal dia sudah mengunci pintu sejak masuk tadi."Kau!"Semakin terkejut gadis ini begitu mengenali orang misterius ini."Bagaimana kau bisa masuk?"Lelaki berpakaian serba hitam ini tersenyum sinis dengan sorot mata tajam mengandung hawa sadis. Seperti elang hendak mencengkram mangsanya."Aku sudah menunggu kamu dari tadi." Suaranya besar tapi pelan dan seolah sengaja diserak-serakkan."Gila, kamu! Masuk tanpa ijin. Mau apa kamu? Mencuri?"Si lelaki mengekeh pelan. "Ya, aku mau mencuri nyawamu,""Bangsat, kamu! Antara aku dan kamu sudah tidak ada hubungan lagi, sudah tidak ada masalah lagi. Mau apa lagi kamu?"Sudah aku bilang, aku mau nyawamu. aku masih sakit hati dicampakkan sama kamu. Aku dendam, dan Kamu harus terima akibatnya,""Sinting, kamu! Pergi! Atau aku panggil kakangku buat m
Berita terbunuhnya Rara Intan yang mayatnya dikirim dalam sebuah peti sampai juga ke keluar Ki Barna. Nari Ratih dan Saka pun otomatis mendengar berita ini.Peristiwa ini terjadi siang hari setelah beberapa lama penguburan Arum Honje."Tandanya sama seperti pembunuhan Arum Honje," kata Ki Barna menjelaskan. Rara Intan Putri ketiga juragan Gumara orang terkaya di desa Jati Waringin. Mayat Rara Intan ditemukan di dalam sebuah peti yang dikirim oleh seseorang yang misterius."Dalam satu hari ini sudah dua kali Saka dan Nari Ratih menghadiri pemakaman. Pagi tadi penguburan Arum Honje sahabatnya Nari Ratih. Sekarang Rara Intan.Walaupun bukan orang yang dikenal keduanya, tapi cara pembunuhan yang dilakukan sama seperti yang menimpa Arum Honje.Awalnya Ki Barna yang mendengar kegegeran itu. Geger karena tidak menyangka, pagi hari Rara Intan pergi ke pasar sendirian. Tetapi pulang dikirim dalam peti mati.Yang membuat penasaran yaitu ad
"Dia calon istri Raden Sujiwa, putra seorang menteri dari Manukrawa, tidak ada alasan calon suaminya yang membunuh,""Dari petunjuk yang sengaja ditinggalkan, jelas maksud pembunuhan ini adalah balas dendam. Tapi dendam apa?""Kalau soal harta kekayaan, tidak mungkin. Keluarga Ki Barna tidak memiliki harta yang berlimpah. Misalnya, adiknya Randu ingin menguasai harta warisan sendiri, itu tidak mungkin!" tegas Nari Ratih."Sepertinya masalah cinta. Saka meneguk tuaknya. "Coba kau ingat-ingat barangkali sebelum Raden Sujiwa, mungkin ada lelaki lain yang pernah jadi kekasihnya. Atau ada wanita mencintai Raden Sujiwa, dia tidak ingin ada wanita lain yang memilikinya,"Nari Ratih menopang dagunya. Pikirannya berputar-putar memanggil ingatannya."Aku tidak tahu tentang Raden Sujiwa, tapi aku tahu Arum Honje pernah memiliki kekasih sebelum dilamar Raden Sujiwa."Menduga-duga boleh saja, tapi harus disertai bukti kuat yang mengarah kepad
Orang yang dipanggil Tuanku ini melepaskan pukulan. Ternyata dia memiliki tenaga dalam lumayan, tapi masih berada di bawah Resi Danuranda. Tentu saja hanya dalam beberapa gebrak, Tuanku telah ambruk kehilangan tenaganya.Di sebelah sana Nari Ratih juga telah menyelesaikan tugasnya. Semua penjaga rumah telah terkapar dengan luka parah yang membuat mereka tak mampu menyerang lagi. Mereka masih dibiarkan hidup.Beberapa saat kemudian berdatangan orang-orang. Saka Sinting langsung mengarahkan mereka masuk ke dalam rumah."Cari dan ambillah yang menjadi milikmu saja!"Setelah semuanya selesai. Si Tuanku, Resi Danuranda dan semua anak buahnya diikat dan dikumpulkan di bangunan tanpa dinding.Saka Sinting berpesan kepada orang-orang bekas pengikut Resi Danuranda yang hendak pulang, agar ada yang melaporkan ke pihak kerajaan.Empat hari kemudian, rombongan prajurit Galuh yang datang dipimpin seorang senapati. Mereka juga datang bersama
Saka Sinting bergerak mendekati resi Danuranda. Bagi sang resi ini kesempatan untuk meleburkan tubuh Saka Sinting dengan apinya yang panasnya mampu mencairkan baja sebesar kerbau dalam waktu singkat."Konyol, cari mati kau!" seru sang Resi tersenyum merasa menang. Lalu dengan cepat dia songsong Saka Sinting. Dua telapak tangan berhasil meraih bahu pemuda itu.Seketika api membungkus seluruh tubuh Saka Sinting. Bahkan dari mulut sang resi juga menyembur lidah api khusus membakar bagian kepala.Namun, Saka Sinting tetap tenang. Dia tidak merasakan kepanasan sama sekali. Kobaran api itu tidak membuatnya terbakar.Tubuhnya dalam keadaan baik-baik saja. Malah seolah sengaja dirinya dibakar. Saka Sinting berdiri sambil bersedekap. Kedua matanya menatap tajam wajah resi Danuranda.Beberapa lama keadaan tetap seperti itu meskipun resi Danuranda telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Jika dilihat dari jauh maka kobaran api itu seperti api ungg
Bola mata resi Danuranda bergerak-gerak seperti sedang mencari sesuatu. Wajahnya menunjukan kecemasan. Kini dia tengak-tengok ke segala arah. Sepertinya dia merasakan kehadiran seseorang."Aneh, sepertinya ada jurig menyusup. Tapi untuk apa?" Resi Danuranda mendesah lalu melangkah keluar. Ternyata dia cukup peka juga. Tapi hanya sekadar peka tidak mampu mendeteksi lebih jauh.Saka Sinting tersenyum memandangi punggung sang resi. "Aku memang jurig, tapi cuma sementara, resi gadungan!"Jelaslah sekarang tujuan semua ini. Kalau dulu ada Boma Sangara yang hendak membangun kerajaan baru. Kini, entah siapa orang yang dipanggil Tuanku itu, dia merencanakan menguasai kota raja Pakuan.Saka Sinting kembali ke raga kasarnya. Sampai di sana pemuda ini terkejut karena resi Danuranda berdiri mematung di bawah pohon di mana raga kasarnya berada. Wajahnya tampak mendongak ke atas."Rupanya penyusupnya ada di sini!" seru resi Danuranda. Tangan kanannya m
Dengan canggung Bayunata menjelaskan tujuan mereka. Pemuda yang jelas tahu cara kerja Resi Danuranda wajar curiga kepada tiga orang yang kini sudah turun dari kereta kuda.Si pemuda mendekati mereka. "Dari mana kalian tahu tentang Eyang Resi?" selidiknya.Sesuai rencana yang sudah diatur sebelumnya, Sundari menjawab. "Saudara saya sudah lebih dulu ikut Eyang Resi, saya dan keponakan saya ini juga ingin mengikuti jejak saudara saya,""Siapa saudara yang kau maksud?""Namanya Nyai Mandita,""Apa kalian tahu syaratnya?"Kemudian Saka Sinting menunjukkan peti besar yang terikat di kolong kereta kuda. Dengan sedikit membukanya, terlihatlah tumpukan perhiasan dan batangan emas.Peti berisi harta perhiasan ini berasal dari Nini Ratminah atas ide dan permintaan Saka setelah tahu persyaratan yang disebutkan Ki Bayunata. Bagi bangsa guriang, itu hal yang sangat mudah mendatangkan harta sebanyak itu.Pemuda itu terperangah