Pada tengah hari atau disebut ‘tangage’ ada juga yang menyebut ‘tangari’, delapan orang berkuda telah sampai di tempat tujuan.Kota Medang Jati masih tampak ramai. Masih banyak yang menggantungkan hidupnya di bekas kotaraja ini.Namun, kedelapan orang berkuda ini bukan untuk menghampiri keramaian. Mereka justru pergi ke pelosok yang sepi.Sebuah bukit yang rapat dengan pepohonan dengan dedaunan rimbun. Udara lembab walaupun di siang terik.Aura kuat memancar dari puncak bukit, di mana di atas sana ada seorang resi linuwih sakti mandraguna yang hidup menyepi. Bertapa menuju moksa ke alam keabadian.Sang Kandiawan yang bergelar Rajaresi Dewaraja, bekas raja Kendan terdahulu sebelum berganti menjadi Galuh.Kedelapan orang itu sudah turun dari kudanya masing-masing. Mereka berdiri di bawah bukit dalam dua kelompok. Tentu saja kelompok Ki Sempana dan Ki Badraseti.Semuanya memandang ke puncak bukit. Selain aura utama yang bersemayam di bukit tersebut, ternyata ada aura lain yang juga cukup
Tentu saja Kalasetra menganggap itu hanya bumbung biasa yang ringan. Nemun, kejap berikutnya si tinggi besar ini terkejut bukan main ketika merasakan betapa bumbung bambu itu sangat berat bagaikan mengangkat gunung.Sekk!Akibatnya tubuh Kalasetra tertarik ke bawah karena menahan beban berat. Badannya membungkuk sehingga bagian ketiaknya terbuka.Kalasetra sangat menyadari hal ini, makanya dia segera melepaskan bumbung tersebut. Namun, peluang bagus itu tidak disia-siakan lawan begitu saja.Pranaseta, Arum Sari dan Arya Kumbara langsung bergerak secepat mungkin tidak ingin kehilangan kesempatan tersebut.Salah satu pedang pendek Pranaseta menusuk ke bagian ketiak sebelah kiri bersamaan dengan ujung selendang Arum Sari yang keras dan tajam menusuk ke tempat sama.Sedangkan ujung golok besar Arya Kumbara berhasil menusuk ketiak kanan cukup dalam.Crepp!“Aaaakh …!”Kalasetra menjerit setinggi langit. Tidak peduli dengan kondisinya yang langsung melemah akibat tusukan tersebut, dia langsu
Saka memberi isyarat kepada temannya agar pura-pura tidak tahu ada orang yang menguntit mereka.Mereka menunggu si penguntit bertindak lebih dahulu. Namun, setelah cukup lama tidak juga ada tindakan dari belakang.Akhirnya Saka menghentikan langkah kudanya. Begitu juga Seta Keling, tapi keduanya tidak menoleh ke belakang. Melainkan menunggu orang di belakang mendekat.“Ternyata memang kalian berdua, aku sempat ragu. Mata tuaku sudah tidak mampu menembus gelapnya malam!”Suara itu berasal dari seseorang yang juga menunggangi kuda. Lelaki setengah baya yang tidak asing bagi Saka dan Seta.“Paman Warakas!” ucap Saka.“Ya, akhirnya aku dapat teman perjalanan!” sahut lelaki paruh baya yang ternyata Ki Warakas.“Memangnya Paman hendak ke mana?” tanya Seta Keling.“Aku hendak membuat perhitungan dengan seseorang yang telah mengambil istriku di desa Gandu. Setelah melewati hutan di depan sana, maka sampailah di desa itu!”Saka dan temannya saling pandang. Apa yang diucapkan Ki Warakas lain de
Ini adalah pertarungan harga diri. Lebih baik mati berkalang tanah daripada direndahkan oleh wanita. Begitulah prinsip yang dipegang Ki Warakas.Laki-laki paruh baya ini angkat senjata melintang di depan. Dia tahu lawannya tidak membutuhkan senjata karena memiliki sepasang tangan kuat seperti baja sesuai julukannya.Namun, tekadnya sudah bulat. Tidak gentar sedikit pun. Kalau tidak bisa mengalahkan Si Tangan Baja, maka setidaknya harus mati bersama.Sementara walaupun bukan urusannya, Saka merasa tegang juga menyaksikan dua orang yang hendak berduel hidup mati.Untuk menghilangkan ketegangan, seperti biasa Saka meneguk minuman yang tak pernah habis.“Saka, boleh aku mencicipi arakmu itu?” pinta Seta Keling, dia juga tidak kalah tegang. Lalu dia menyodorkan tangannya.“Kau tidak akan kuat mengangkat bumbung ini, buka saja mulutmu, dongakkan wajahmu ke atas!” suruh Saka.Seta Keling baru sadar dan ingat ketika Kalasetra tidak kuat memegang bumbung bambu itu karena sangat berat.Maka mur
“Trisula Naga Dewa!”Masih memegang tongkat dengan kedua tangan, tubuh Ki Warakas berputar bagai tertarik ke atas. Sekejap kemudian seluruh badannya dilapisi kabut abu-abu.Lama kelamaan sosok Ki Warakas seolah berubah menjadi pusaran angin yang menjulang ke langit.“Tangan Baja Raja Dewa!”Sementara Si Tangan Baja tampak mengalami perubahan pada sosoknya. Tubuhnya membesar setengah kali dari ukuran semula.Yang paling mencolok adalah kedua tangannya menjadi lebih besar hampir menyamai tubuhnya dan panjangnya hingga menyentuh tanah.Sosok Supala seperti seekor kingkong bertangan besar. Warna kulitnya juga berubah kemerahan dan memperlihatkan urat-urat kencang di dalamnya.Rambut panjang Supala juga tampak berjingkrak seperti singa. Wajahnya jadi menyeramkan walau masih kentara bentuk aslinya.“Edan! Ilmu apa itu?” ucap Saka sampai berkali-kali meneguk tuaknya.“Punya ilmu setinggi itu, kenapa Ki Warakas masih takut kepada Badraseti?” pikir Seta Keling.“Badraseti pasti memegang kunci
Tidak lama kemudian Saka bersama Seta Keling berkelebat di udara hinggap ke atas pohon besar di pinggir jalan guna melihat lebih dekat.“Kereta apa itu?” bisik Seta Keling yang berjongkok di salah satu dahan pohon agak bawah dari yang ditempati Saka.“Ternyata ada lima, tadi aku lihat cuma satu yang di depan saja!” ujar Saka.“Kenapa tidak memakai penerangan?”“Itulah yang aku curigai!”“Mereka berasal dari sana, arah yang akan kita tuju,” tunjuk Seta Keling.Lalu hening. Keduanya sedang berpikir dalam-dalam mencari dan menghubungkan segala keterangan yang telah didapat.“Kita ikuti saja dulu. Aku yakin di dalam kereta-kereta kuda itu adalah barang-barang yang sangat penting,” kata Saka Lasmana.Setiap kereta kuda dikawal lima orang. Semuanya berpakaian beda-beda. Tidak ada yang seragam. Namun, dari ciri-cirinya jelas mereka memiliki kepandaian walaupun tidak nampak membawa senjata.“Baiklah, sepertinya malam ini tidak istirahat lagi!” sahut Seta Keling yang terdengar seperti mengeluh
Kita tinggalkan dulu Saka yang mengejar musuh. Kita ikuti pergerakan Seta Keling.Murid Ki Argasura ini tidak mengikuti rombongan kereta kuda, melainkan mendahului mereka ke tempat yang telah ditunjuk dua orang bertopeng tadi.Sebuah bukit kecil. Meski malam hari dia tidak kesulitan menemukan tempat tersebut. Ternyata di sini sudah ada sekitar dua puluh orang yang siap menyambut kedatangan rombongan kereta.“Ternyata yang disebut utusan itu sudah datang lebih dulu!” gumam Seta di tempat persembunyian.Beberapa saat sebelumnya Seta Keling sudah menyimpulkan dari hasil dugaannya. Bahwa rombongan kereta kuda itu membawa senjata yang akan dikirim kepada si pemesan.Pastilah senjata itu berasal dari tempat yang akan dia tuju bersama Saka Lasmana. Senjata yang akan diselundupkan.Berarti orang-orang yang sedang menunggu ini berasal dari Rawung Langit. Orang yang telah terpengaruh oleh otak busuk yang mengejar keuntungan pribadi dan golongannya.Seta Keling harus berbuat sesuatu terhadap ora
Saka mengeluarkan jurus Orang Gila Melempar Buah. Tubuhnya mengeluarkan hawa panas dari dalam. Lawan yang dia hadapi bukan sembarang orang.Orang yang paling dekat dengan Ki Jangkung Wulung. Murid utama yang memiliki kepandaian paling tinggi.Boma Sagara.Lelaki bertubuh kekar ini menggunakan jurus yang bernama Sembah Denawa. Gerakan seperti tarian wayang orang, tegas, kaku, tapi ganas.Namun, Saka bisa mengimbangi dengan jurusnya. Ciri khasnya lebih sering sempoyongan seperti orang mabuk. Lebih parah dari jurus Congcorang Mabok.Gerakan Saka kadang-kadang seperti hendak jatuh, tapi cepat berdiri lagi. Bumbung tuaknya dimainkan sedemikian rupa. Kadang dilempar ke atas lalu ditangkap lagi.Boma Sagara cukup terkesima melihat jurus lawan. Dia tidak pernah melihat sebelumnya. Dia memang sudah mendengar tentang Saka yang dulu disangka sudah tewas.Saka masih hidup dan memiliki kepandaian baru. Jurus-jurusnya persis orang mabuk apalagi selalu membawa bumbung bambu berisi tuak aneh yang tid