Ranti tak mengingkari janjinya. Jatah bulanan sebesar satu juta rupiah tetap Ranti berikan kepada ibu mertuanya. Ranti menduga, selain jatah tetap bulanan itu, Bayu juga sering memberikan jatah tambahan jika mendapatkan honor kegiatan dari kantornya. Itu tentunya di luar biaya kuliah Ririn yang masih menjadi tanggung jawab Bayu sampai Ririj menyelesaikan kuliahnya. Ranti tak pernah mempermasalah itu selama ini.
Dengan diantar Ryan, sore harinya Ranti mengantarkan uang itu ke rumah mertuanya. Tak ada sang ibu mertua ajaibnya, hanya ada Pak Rahmat. Akhirnya amplop berisi sepuluh lembar helaian merah itu dititipkan pada bapak mertuanya saja. Tak ada pesan apa pun yang disampaikan Ranti."Kakak yakin melakukan semua ini?" tanya pemuda itu dengan nada hati-hati.Ranti menganggukkan kepalanya."Apa pun yang terjadi tak akan ada yang dapat mengubah kenyataan jika Bang Bayu adalah anak dari Bu Ratna. Rezeki yang mengalir lewat Kakak, Kakak yakin merupakanRyan tak dapat menutupi rasa penasarannya. Jika terkait jam kerja, tentu kakaknya bisa menambah jumlah pegawai yang nantinya akan bekerja dengan sistem shift.Ranti menyunggingkan senyumnya."Rezeki itu sudah ada takarannya. Mau dikejar seperti apa pun, takarannya sudah ditetapkan. Malam khusus kafe saja. Berbagi rezeki dengan orang lain tentu lebih mulia."Sinta mengangsurkan sejumlah uang pada Ranti., beserta catatan omset penjualan dalam seminggu terakhir ini."Beberapa hari ke depan, Ibu mau pulang kampung dulu. Sekalian menghadiri wisuda Ryan. Kalian saling koordinasi dengan Winda ya! Setoran penjualan ditransfer saja ke rekening Ibu pagi-pagi esok harinya."Sinta dan Galuh hanya menganggukkan kepalanya. Ranti beranjak pergi dari tempat yang telah memberinya banyak pembelajaran. Toko yang awalnya hanya sebuah kios berkembang dengan cukup baik hingga sampai pada saat seperti sekarang.Malam harinya Ranti mengajak ibu dan adik
Ranti mengucek matanya berulang kali. Memastikan kontak yang tertulis di layar pipihnya itu benar-benar melakukan panggilan atau sekadar salah pencet saja. Tak mungkin rasanya pengurus panti menghubunginya selarut ini. Atau jangan-jangan, memang sesuatu telah terjadi pada panti itu. Ranti memang cukup kenal dengan Pak Iwan, kepala panti asuhan yang sering dititipinya sedikit rezeki untuk anak-anak tanpa orang tua yang tinggal di sana.Panggilan terhenti. Ranti bernapas lega. Panggilan itu salah alamat saja. Baru saja hendak kembali merebahkan tubuhnya, tiba-tiba nada panggilan kembali terdengar dari gawainya itu. Ranti meraih gawainya kembali.Kontak itu kembali tertulis di layar pipih yang ada di genggamannya. Tak mungkin salah pencet lagi sepertinya. Cepat Ranti menekan tombol berwarna hijau dan meletakkan gawainya di telinga."Assalamu'alaikum," ucap Ranti sembari mengusap matanya untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa.Terdengar uc
Tak ada kata yang terucap dari kedua kakak beradik itu selain petunjuk arah dari Ranti untuk mempercepat mereka sampai ke tujuan. Memilih jalan tikus merupakan alternatif terbaik saat ini. Sepuluh menit berlalu saat keduanya sampai di lokasi.Ranti sempat syok saat melihat kerumunan orang yang ada di sekitar kafenya. Nyala api tak lagi besar sepertinya. Teriakan demi teriakan masih jelas terdengar untuk saling berusaha mematikan api yang tersisa agar tak menjalar kemana-mana.Ryan meminta jalan pada kerumunan warga yang ada di lokasi. Pemuda itu dengan sigap membimbing kakaknya agar dapat lebih mendekat pada titik kebakaran.Mata Ranti mengembun saat melihat banyak orang yang membantu memadamkan api yang ada. Mobil pemadam kebakaran pun sudah ada. Terlihat selang air, ember-ember bahkan karung goni masih ada di tangan orang-orang itu. Teriakan komando dari beberapa orang pun masih jelas terdengar. Terharu. Hanya kata itu yang dapat menggambarkan perasaan R
Ranti masih tak ingin beranjak dari tempat tidurnya meski matahari mulai menampakkan sinar keemasannya. Menjelang azan Subuh baru kembali ke rumah, wanita itu kembali berbaring setelah menunaikan dua rakaatnya. Bukan karena mengantuk dan ingin kembali melanjutkan tidurnya. Tubuhnya merasa tak ada tenaga untuk melakukan apa pun.Hanya menatap langit-langit di kamar, itu yang dilakukannya. Tak ada isakan, hanya lelehan bulir bening perlahan mengalir dari ujung netranya. Seberat ini ujian hidup yang harus dijalaninya? Perlahan, tangan kanannya mengusap perutnya. Ada nyawa di sana. Matanya menatap Fayza yang masih tidur dengan lelap di sampingnya. Bocah ini tak menyadari apa yang sudah dilalui bundanya tadi malam. Sanggupkah dirinya bertahan di kala terjangan badai semakin menggila?"Ran ... kamu tidur?"Ranti membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah pintu kamar. Tampak ibunya masuk sembari membawa sebuah mug bergambar bunga matahari. Mug istimewa, pemberian su
"Istirahatlah, tidur kembali. Mungkin setelah tidur nanti, pikiranmu akan menjadi lebih jernih, tubuhmu juga lebih baik."Bu Dewi tampak menegakkan tubuhnya."Ranti mau mandi saja, Bu. Membasuh tubuh rasanya lebih baik saat ini.""Habiskan dulu tehnya mumpung masih hangat. Mandilah dengan air hangat, barangkali tubuhmu lebih sehat setelahnya."Bu Dewi menyodorkan kembali mug yang masih menyisakan setengah isinya pada Ranti. "Tak usah, Bu. Mandi air dingin lebih baik. Ibu bisa jaga Fayza? Takut dia terbangun dan mencari Ranti. Biasanya Fayza bangun jam segini.""Mandilah, Ibu akan menunggui Fayza. Setelah itu kami sarapan, Ibu sudah membeli bubur ayam dan nasi uduk di tempat Mang Abdul tadi."Ranti tak membantah, kakinya melangkah cepat menuju kamar mandi. Mengguyur tubuh dengan air sepertinya akan mengembalikan kondisi tubuhnya. Di bawah guyuran air yang mengalir melalui celah-celah kecil shower, Ranti kembali
Ranti menyalami tangan kanan ibunya dengan takzim. Memeluk wanita yang telah melahirkannya itu dengan erat seakan mereka akan berpisah dalam waktu yang lama."Kamu ini, Ran. Seperti bakal tak bertemu Ibu lama saja. Ibu minggu depan juga sudah kembali ke sini."Ranti meringis. Berbulan-bulan dekat dengan ibunya, tentu tak sama tanpa kehadiran wanita itu di sisinya, walau hanya seminggu saja.Ryan mencium tangan kakaknya. Memeluk wanita itu depan hangat."Maaf Kakak tak dapat mendampingimu di hari istimewa. Tapi kamu harus tahu, Kakak sangat bahagia dan bangga dengan kesuksesanmu. Laki-laki mandiri, yang jarang minta uang bulanan," ujar Ranti sambil tertawa.Ranti tak ikut menghadiri wisuda Ryan yang akan dilaksanakan lusa nanti. Bukan karena tak sayang pada adik lelaki satu-satunya itu. Ada banyak pertimbangan hingga dirinya mengambil keputusan berat ini.Ide Ryan untuk merombak konsep kafe "Simpur" disetujui Ranti dengan antusias
"Siap, Abang. Nanti kita singgah, tapi makannya di rumah saja ya! Bunda lagi banyak kerjaan soalnya."Bocah itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ranti bersyukur, semua yang terjadi pada keluarganya tak banyak mempengaruhi tumbuh kembang kedua buah hatinya. Sedapat mungkin Ranti berusaha tetap menunjukkan senyumnya di hadapan Alif dan Fayza walaupun hatinya terluka.Ranti menghentikan mobilnya di depan rumah makan Pagi Sore yang memang berada di jalur jalan pulang mereka. "Lauknya disamakan saja ya, Bu? Ayam bakar mau?" tanya Ranti seraya melangkahkan kakinya turun dari mobil setelah memastikan tak ada kendaraan yang lewat dari sisi kanan mobilnya itu."Iya, Bu. Samakan saja."Ranti melangkahkan kakinya ke dalam rumah makan itu, memesan nasi kotak sebanyak seratus kotak. Tak hanya untuk para pekerjanya lima belas orang, Ranti berniat membagikan nasi itu kepada anak-anak panti asuhan yang telah membantu memadamkan api saat kebakaran
Tempat usahanya benar-benar berubah wajah. Terkesan lebih luas dengan penataan tempat yang lebih efisien. Tak ada dinding tembok besar yang akan mengungkung pengunjung dari keadaan sekitar. Konsep tempat terbuka memang menjadi pilihan yang ditawarkan Ryan kepada Ranti.Nominal uang yang dikeluarkan Ranti sepadan dengan hasil yang diperolehnya. Semoga tempat ini memberikan rezeki yang lebih baik dari sebelumnya. Ranti harus siap menjadi satu-satunya penghasil recehan untuk menopang kehidupan keluarganya kala status Bayu resmi diberhentikan kelak.Beberapa pot tanaman hias diletakkan di area yang membuat mata pengunjung teduh saat berlama-lama duduk di sini. Tentu saja, simpur menjadi maskot utama. "Ibu jadi pasang CCTVnya?" tanya Agung membuat konsentrasi Ranti yang sedang memindai sekeliling tempat usahanya buyar seketika."Jadi, Gung. Ibu tak ingin kejadian lama terulang lagi. Paling tidak, kita tahu pergerakan siapa saja di sini."Rant
"Abang tak lagi sering memberikan kami uang.""Bukankah jatah bulanan Ibu tetap kami berikan? Bahkan saat Bang Bayu di penjara pun, Kakak tetap memberikan Ibu uang kan? Padahal saat itu Bang Bayu tak lagi memiliki gaji sama sekali. Uang itu murni dari Kakak.""Tapi Abang dulu sering memberikan tambahan uang buatku dan Ibu di luar jatah bulanan itu."Ranti mengerti penyebab semua kebencian ibu mertuanya itu sekarang."Saat itu Bang Bayu masih bekerja kan?" tanya Ranti dengan nada sehalus mungkin."Kakak pasti telah mengguna-gunai Abang hingga tak lagi peduli ke kami. Padahal sekarang ekonomi Abnag jauh lebih baik daripada saat menjadi pegawai negeri dulu. Usaha Abang maju pesat. Tapi mengapa Abang tak royal lagi pada kami? Abang seakan tak berdaya karena cengkeraman tangan Kakak."Jelas sudah semuanya. Fitnah keji itu jelas-jelas membuat luka hati Ranti kembali menganga. Luka yang pernah ada semakin terasa perih karena mendapat siraman air garam di atasn
Sontak saja Bayu dan Bu Ratna merasa terkejut atas ucapan Ranti itu. Walaupun diucapkan dengan perlahan sehingga tak ada tamu atau pun anggota keluarga lain yang mendengar, tetap saja Bayu merasa terperanjat. Bingung sekaligus terkejut mengapa sang istri berkata seperti itu. Bu Ratna sendiri memilih diam. Tak mampu entah tak mau membalas ucapan menantunya. Wajah sang ibu mertua tak menunjukkan ekspresi apa pun saat menerima piring yang disodorkan Ranti. Namun bagi Ranti semua itu tak ada maknanya lagi.Selanjutnya tiba acara utama. Bayu memberikan sambutannya. Ranti tak henti melepaskan senyum bahagianya. Kebahagiaan hari ini mungkin tak akan terulang lagi ke depannya. "Terima kasih atas kehadiran semua yang sudah hadir di sini sore ini. Tak dapat kami lukiskan perasaan bahagia kami hari ini. Kalian telah membersamai kami selama ini. Bahkan pada saat kami, terutama saya mengalami masa-masa terburuk dalam kehidupan ini. Ucapan tulus ini kami sampaikan. Ta
Ranti melihat aneka masakan yang tersaji. Ayam goreng mentega, sate ayam, selada, kari telur, aneka lalapan, dan tak ketinggalan sambal tomat khas buatan emak Agung. Makanan setengah berat pun sudah tersaji. Bunga menambahkan es kelapa muda sebagai penghilang dahaga.Mengedarkan pandangannya pada keluarga dan pegawai yang sudah hadir. Sebagian sedang menunaikan salat Asar di ruang musala keluarga. Ranti belum melihat sosok tamu istimewanya sore ini. Semoga mereka akan hadir agar semuanya dapat diselesaikan.Masih ingat dengan semua yang dilihatnya dua hari yang lalu, Ranti berusaha sekuat tenaga menahan genangan bulir bening yang siap tumpah dari ujung kedua netranya. Tak ingin menunda lagi, semuanya harus diputuskan sekarang. Berpuluh purnama telah terlalui, kenyataan itu masih tetap sama. Bahkan mungkin sampai ratusan purnama berlalu pun, dirinya tak akan mampu merubah kenyataan itu."Dek, mau dimulai acaranya sekarang?" tanya Bayu yang tiba-tiba muncul
Ranti cepat merangkul ibunya. Seolah-olah ibunya meninggalkan pesan terakhir untuk dirinya. Bulir bening membasahi pipi mereka berdua."Sudah, jangan menangis. Ibu tahu, kamu wanita yang kuat, Ran. Wanita yang tegar. Terus seperti ini ke depannya. Hidup ini ujian, bukan hidup jika tak ada cobaan. Ibu percaya, kamu mampu melewati apa pun yang akan terjadi nanti. Ingat, Ibu akan selalu mendukungmu!"Ranti kembali terisak saat mendengarkan pesan ibunya itu. Dirinya kuat karena ada ibunya. Lantas bagaimana jika sosok yang memeluknya sekarang tak ada lagi suatu saat nanti?"Sudah, hapus air matamu! Sebentar lagi mau menjemput Faiz dan Farah kan?"Bu Dewi mengurai pelukannya. Mengelap air mata yabg membasahi pipi putri tercintanya.Ranti menganggukkan kepalanya. Tak ada lagi panggilan si kembar semenjak kelahiran Faiz dan Farah karena yang kembar tak hanya mereka.Bu Dewi beranjak dari duduknya, meninggalkan Ranti yang sedang merapikan
"Ibu tak punya beban lagi jika suatu saat dipanggil Yang Maha Kuasa untuk menyusul ayah kalian. Anak-anak kami sudah bahagia dengan kekuarganya masing-masing. Walaupun sampai saat ini Ryan dan Bunga belum memberikan Ibu cucu, tak apa. Enam cucu Ibu darimu dan Bayu rasanya sudah cukup memberi kebahagiaan bagi Ibu di usia yang sudah sepuh ini."Sampai saat ini memang Ryan dan Bunga belum mampu menghadirkan cucu untuk ibu mereka. Tak kurang kasih sayang Bu Dewi tetap pada menantunya itu. Tak menyalahkan apalagi menghujat sang menantu atas amanah yang belum mereka dapatkan. Semuanya takdir. Jika janin itu belum hadir di rahim Bunga, artinya Allah belum berkehendak menghadirkan cucu dari anak dan menantunya itu. Allah belum mengizinkan dirinya mendapat cucu dari sang putra bungsu. Bukankah semua yang terjadi di bumi ini atas izin-Nya? Bahkan langit mendung pun tak akan jadi hujan jika Allah belum berkehendak. Sehelai daun hanya akan luruh dari tangkainya jika Allah men
Melalui berpuluh purnama, sikap ibu mertua Ranti tak pernah berubah. Selalu hanya menimbulkan masalah jika sosoknya tiba-tiba muncul di rumah anak dan menantunya. Ranti memilih tak lagi peduli dengan semua sikap yang ditunjukkan wanita itu padanya ataupun anak-anak mereka.Empat kali melahirkan dengan kondisi kehamilan ketiga dan keempat sepasang bayi kembar, Ranti tak pernah merasakan kehadiran sosok ibu mertua membersamai saat harus bertarung nyawa melahirkan cucunya. Untunglah, saat persalinan keempat ada sosok suami yang menungguinya. Menguatkan Ranti untuk terus berjuang menghadirkan anak mereka ke dunia.Tangis haru sempat dirasakan Ranti saat mengingat momen persalinan ketiganya. Tanpa kehadiran sang suami kala itu membuat dirinya bertekad harus kuat berjuang sendiri. Alif sudah duduk di kelas sekolah menengah saat ini. Sedangkan Fayza, Hanun, dan Hanif duduk di bangku sekolah dasar. Ranti memilih sekolah Islam dengan sistem full day untuk keempat
"Bu Ayu, Bu Rina, bawa anak-anak ke kamar mereka."Ranti tak ingin keempat bocah itu merekam peristiwa yang mungkin tak bisa ditebaknya nanti. Setelah keempat anaknya pergi, Ranti menyiapkan diri terhadap hal buruk yang akan terjadi."Ibu, silahkan duduk! Bang Bayu sedang makan di dapur, sebentar lagi selesai."Ranti pun mendudukkan tubuhnya di sofa panjang yang menghadap ke layar kaca. Bu Ratna tak menyambut ajakan menantunya itu."Tak perlu basa-basi. Ibu langsung pada tujuan saja." Wajah ibu mertua Ranti itu merah seperti menahan amarah. Ranti sendiri bingung, apalagi yang menjadi sumber kemarahan wanita yang ada di hadapannya ini. Seharusnya dirinya yang mungkin seringkali harus menahan amarah atas sikap keluarga mertuanya itu. Bukan sebaliknya."Kalian baru pulang umroh kan? Hebat sekali kalian berangkat umroh dengan ibumu, sedangkan aku, ibu dari suamimu tak kalian ajak. Kalian benar-benar kurang ajar. Bayu semakin jadi an
Pekik girang bocah menyambut kedatangan mereka saat memasuki rumah. Hanun bahkan tak mau lepas dari gendongan Ranti lagi. Sedangkan Hanif memilih terus berada di punggung ayahnya. Wajah-wajah yang tadinya kelihatan lelah tak tampak lagi saat mereka melihat senyum bahagia keempat bocah itu."Alif sukses ya menjaga adik-adik?" tanya Ranti sembari tersenyum melihat putra sulungnya itu."Siapa dulu, Bunda. Aliffff."Putra sulung Ranti itu tampak bangga saat disebut sukses menjaga adik-adiknya. Senyum bahagia senantiasa terkembang di bibirnya yang memiliki pola senyuman khas ayahnya. Kulit Alif memang mewarisi Ranti, tapi tidak dengan bentuk wajahnya. "Bu Ranti, Bu Dewi, Pak Bayu, makan dulu. Kami sudah siapkan menu istimewa hari ini."Ucapan Bu Ayu itu membuat Ranti menolehkan kepalanya pada wanita yang telah menjaga anak-anaknya selama mereka pergi. Bu Ayu bersedia tak pulang setiap hari dan menginap di rumah itu bersama Bu Rina. Bunga dan
Hari ini Ranti, Bayu, dan Bu Dewi tiba kembali di tanah air setelah selesai menunaikan ibadah umroh mereka. Rangkaian ibadah yang mampu membuat mereka semakin mendekatkan diri pada-Nya. Tangis bahagia tak mampu Bu Dewi tahan saat melihat Ka'bah di depan matanya. Melangitkan doa dan pinta di tempat yang paling diidamkan oleh umat muslim sedunia."Semua aman?" tanya Ranti kepada adiknya yang menjemput mereka di bandara. Berpisah dengan rombongan yang masing-masing dijemput keluarga mereka."Aman, Kak. Tenang saja."Ryan memilih fokus pada kemudi. Menjalankan kendaraan dengan perlahan karena posisi antrian di pintu keluar yang mengular."Ibu berdoa di sana untuk jodohmu. Disegerakan mumpung Ibu masih ada."Kali ini Bu Dewi yang berbicara. Wanita itu memang sempat memohon satu pinta yang khusus di sana. Usianya sudah menua. Tak ingin putra bungsunya tak ada yang mengurus jika dirinya sudah tiada."Apaan sih, Bu! Namanya jodoh ... kal