Bu Ayu yang tak mengenal tamunya ini merasa bingung. Bukan lazimnya cara orang bertamu seperti ini. Siapakah kedua wanita yang ada di hadapannya saat ini?"Ibu siapa ya? Kok diam saja, tak mempersilahkan kami masuk," ujar sang gadis dengan nada meremehkan."Maaf, bukannya lancang. Harusnya saya yang bertanya, kalian siapa? Ada perlu apa?" tanya Bu Ayu dengan nada lembut.Hatinya merasa cukup kesal melihat tingkah kedua orang yang mungkin tujuannya hendak bertamu ini. Umur yang telah menginjak kepala empat, banyak bertemu orang dengan banyak tingkah dan pola. Hanya dengan melihat sekilas saja, Bu Ayu dapat menebak sifat kedua wanita. "Saya ini Bu Ratna, ibunya Bayu, yang tinggal di rumah ini. Dan ini anak saya, Nina, adik Bayu."Sontak saja Bu Ayu terkejut saat mendengar penuturan wanita itu. Kok bisa-bisanya Bayu mempunyai ibu dan adik model seperti ini? Bayu dikenalnya sebagai sosok yang ramah dan sopan pada siapapun. Atau jangan-jangan ini ibu dan adik tiri Bayu barangkali. "Kamu s
"Kami hanya membutuhkan orang yang akan menemani aku dan Alif selama Bang Bayu bekerja. Lagi pula, ini pertama kali aku melahirkan. Kami tak punya pengalaman sebelumnya. Aku tak punya sanak saudara di sini. Lantas salah jika aku meminta bantuan pada orang lain yang bersedia?" tanya Ranti pada mertua dan iparnya itu. Ada kekesalan yang sedang coba ditahannya.Sontak saja wajah Bu Ratna dan Nina berubah. Sungguh, mereka tak menyangka Ranti mampu membalas semua perkataan yang mereka lontarkan."Tak punya saudara katamu? Lantas kami ini kami anggap apa, Ran? Kamu pikir kami tak bersedia membantumu?"Bu Ratna tampak meradang saat mendengar ucapan menantunya itu. Wanita paruh baya itu tak terima keberadaannya tak dianggap sama sekali oleh Ranti. "Apa Ibu menganggap aku sebagai bagian keluarga besar selama ini? Satu lagi, Ibu bersedia membantuku? Apa aku tak salah mendengarnya? Melihat anakku saja, cucu kandung Ibu, Ibu tak sudi. Apalagi jika mengurusnya."Lirih Ranti berkata, namun ada kete
Tanpa terasa, sudah enam bulan usia Alif. Sejak usia putranya itu dua bulan, Ranti sudah kembali sibuk terjun langsung pada usaha rotinya. Bu Ayu pun masih setia membantu mereka untuk segala urusan rumah, termasuk mengurus Alif. Ranti merasa beruntung bertemu dan meminta bantuan wanita itu dulunya.Bu Ayu tak pernah perhitungan dengan pekerjaannya. Segala yang mampu dikerjakan olehnya, akan langsung dikerjakannya tanpa menunggu perintah. Rumah yang ditempati Ranti tak ubah dianggapnya rumah sendiri. Terlebih pada Alif, wanita itu sudah menganggapnya bak cucu sendiri. Sering kali Firman, putra bungsunya malahan menyusul ke rumah Ranti hanya untuk bermain bersama Alif."Bu Ranti, maaf sebelumnya. Bolehkah jika Firman, adik Bunga menyusul ke sini jika sudah pulang sekolah? Katanya sepi sendirian di rumah. Kangen sama Alif juga. Tapi, itu pun jika Bu Ranti dan Pak Bayu tak keberatan. Saya paham dan mengerti jika tak dibolehkan."Kala itu Bu Ayu menyampaikan keinginan pada Ranti dengan na
"Ibu sudah makan memangnya?" tanya Ranti sembari memainkan jemarinya di layar pipih gawai miliknya. Menghubungi Sinta agar segera ke rumahnya."Kalau saya gampang, Bu. Tak menyusui. Bu Ranti yang tak boleh terlambat makan, nanti masuk angin. Menyusui itu kelihatannya saja ringan. Padahal kalau air susu sang ibu tak berkualitas itu jelas akan mempengaruhi tumbuh kembang bayinya."Ranti tersenyum saat mendengar ucapan Bu Ayu. Walaupun hanya tamatan SD, tapi cara berpikirnya jauh berbeda jika dibandingkan dengan Nina dan Ririn, dua iparnya yang masih berstatus mahasiswa itu."Sebentar lagi saja, Bu. Sekalian mau makan bareng Bang Bayu. Tadi mengabari, sudah di jalan," ujar Ranti sambil meletakkan gawainya kembali. Tak lama kemudian terdengar deru motor melaju ke arah halaman rumah. Tak perlu melihat, Ranti tahu siapa pemiliknya."Bu, titip Alif ya!" pinta Ranti sembari berjalan keluar kamar.Kamar yang tadinya mereka jadikan sebagai ruang salat sekarang berubah fungsi menjadi kamar Alif.
Satu bulan kemudian, rumah yang mereka bangun pun sudah dapat ditempati. Hanya bagian dalam rumah yang sudah beres, sedangkan bagian luar rumah masih perlu dicat dan dirapikan. Tak masalah bagi Ranti. Asalkan mereka dapat pindah dan tinggal di sana. Apalagi kontrakan mereka jatuh temponya pada saat yang bersamaan. Tak ada alasan untuk menunda lagi kepindahan mereka."Bang, mau pindahan hari apa?" tanya Ranti saat menidurkan Alif. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Alif yang hanya tidur dua kali siang tadi sudah tampak mengantuk sejak setengah jam yang lalu. Bayu itu beberapa kali tampak mengucek-ucek matanya. Bahkan sejak tadi bayi itu mulai rewel.Bu Ayu sudah pulang sejak pukul lima sore tadi, bersama Firman yang datang ke rumah sejak pukul dua siang. Ranti sudah mempersiapkan satu kamar untuk Bu Ayu di rumah baru mereka nanti. Persiapan jika wanita itu ataupun Firman hendak menginap ataupun ingin beristirahat di siang hari. Kebaikan wanita itu perlu dibalasnya deng
Bayu mengacungkan jempol kanannya. Tetap asyik di atas papan ketik laptop yang ada di hadapannya.Ranti memilih untuk tidur lebih dulu agar tak terlalu mengantuk harus jika terbangun tengah malam nantinya. Walaupun Alif masih menikmati ASI darinya, tetap saja Ranti harus terbangun memeriksa popok sekali pakai bayinya itu jikalau penuh dengan air kecil. Takutnya menimbulkan ruam pada kulit.Hari Jumat pun tiba. Barang-barang dan baju pun sudah mereka pindahkan sejak hari Senin yang lalu. Mereka tak merasa kesulitan karena Bayu meminta izin menggunakan mobil pick up kantor yang ada setelah lepas jam kerja. Meminta bantuan dua orang tenaga kebersihan kantor, jadilah acara mengangkut barang itu di malam hari. Lagi pula, perlengkapan rumah yang mereka miliki tak terlalu banyak. Rencananya setelah tinggal di sana nantinya baru Ranti akan membeli perlengkapan rumah tangga"Ibu dan Bapak sudah dikabari, Bang?" tanya Ranti sembari menyuapi Alif di halaman rumah baru mereka. Bayi itu duduk di ke
Ranti dan Bayu serempak menolehkan kepala ke arah sumber suara sumbang yang jelas membuat siapapun yang mendengarnya akan mendidih. Semudah itu mereka berucap. Mereka pikir uang itu dengan mudahnya turun dari langit sana?"Percuma uang banyak, kalau sama orang tua sendiri pelit." Kali ini suara berbeda kembali terdengar di gendang telinga Ranti. Ranti menolehkan kepalanya, menyisiri keadaan sekitar. Jangan sampai ada tamu yang bakal ikut menyaksikan kejadian tak pantas ini nantinya.Ranti masih memiliki rasa malu. Merasa tak enak hati jika di antara tamu yang datang untuk mendoakan mereka tadi ikut mendengarkan ucapan iparnya itu. Mereka tentu akan berpikir buruk. Sebagai warga baru di daerah ini, Ranti tak ingin keluarga mereka terlihat buruk di mata tetangga sekitar.Melangkahkan kakinya perlahan Ranti mengikuti jejak suaminya. Menyambut kedatangan keluarga Bayu. Keduanya mengulurkan tangan kanan mereka kepada sang ibu dan bapak yang berdiri paling depan, lantas menciumnya dengan ta
Kali ini Bu Ratna melemparkan pandangan pada kedua putranya, kakak kandung Bayu. Sontak saja keduanya terdiam. Bukan pembelaan dan pembenaran yang dapat mereka berikan pada ibu kandung mereka itu, tapi rasa malu yang luar biasa mereka rasakan saat mendengar betapa mereka begitu tak berharga di mata sang ibu. Kedua istri kakak kandung Bayu itupun merasa tak nyaman hati. Mereka direndahkan oleh mertuanya sendiri."Bu, sudahlah. Malu. Sudah tua masih meributkan uang saja," tukas Pak Rahmat dengan maksud menghentikan istrinya lebih lanjut berucap yang tidak-tidak."Harusnya yang malu itu Bayu, Pak. Bukan Ibu. Bapak ini tak punya hati memangnya? Yu, kami dengarkan kata-kata Ibu tadi?"Kembali Bu Ratna menghujam Bayu dengan tatapan matanya. Hatinya tak terima jika Bayu menjadi anak yang durhaka, lupa pada kedua orang tua dan saudara. "Iya, Bu. Bayu jelas mendengarkan Ibu. Jadi ... intinya Ibu mempermasalahkan rumah kami ini. Benarkan, Bu?" tanya Bayu perlahan. Dada Bayu bergemuruh menahan k