Kali ini Bu Ratna melemparkan pandangan pada kedua putranya, kakak kandung Bayu. Sontak saja keduanya terdiam. Bukan pembelaan dan pembenaran yang dapat mereka berikan pada ibu kandung mereka itu, tapi rasa malu yang luar biasa mereka rasakan saat mendengar betapa mereka begitu tak berharga di mata sang ibu. Kedua istri kakak kandung Bayu itupun merasa tak nyaman hati. Mereka direndahkan oleh mertuanya sendiri."Bu, sudahlah. Malu. Sudah tua masih meributkan uang saja," tukas Pak Rahmat dengan maksud menghentikan istrinya lebih lanjut berucap yang tidak-tidak."Harusnya yang malu itu Bayu, Pak. Bukan Ibu. Bapak ini tak punya hati memangnya? Yu, kami dengarkan kata-kata Ibu tadi?"Kembali Bu Ratna menghujam Bayu dengan tatapan matanya. Hatinya tak terima jika Bayu menjadi anak yang durhaka, lupa pada kedua orang tua dan saudara. "Iya, Bu. Bayu jelas mendengarkan Ibu. Jadi ... intinya Ibu mempermasalahkan rumah kami ini. Benarkan, Bu?" tanya Bayu perlahan. Dada Bayu bergemuruh menahan k
Tiga bulan sudah Ranti dan Bayu menempati rumah baru mereka. Artinya, tiga bulan berlalu sejak insiden di acara syukuran mereka itu. Ranti memilih tak membahas lagi masalah itu di depan Bayu. Menganggap semua yang sudah terjadi bak angin lalu. Untuk apa dipermasalahkan lagi? Tak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi.Ranti fokus pada pengembangan usahanya. Dua bulan yang lalu resmi sudah kios rotinya berubah menjadi toko roti, bolu, dan cake. Penampilan toko didesain semenarik mungkin dengan gambar roti, bolu dan cake bertebaran di dindingnya. Tak hanya menjual di toko, Ranti melebarkan usahanya dengan melayani pemesanan snack untuk acara kantor. Untuk usaha ini, Ranti bermitra dengan beberapa pedagang kue yang dinilainya memiliki cita rasa enak dan penampilan yang menarik. Ranti akan mencicipi terlebih dahulu dan memastikan rasanya benar-benar layak untuk dimasukkan dalam usahanya."Bang, mengapa sudah seminggu ini badan Adek terasa sakit semua ya? Terus juga badan terasa panas di
Pasangan suami istri itu memang memilih tak ikut program pemerintah. Keduanya sepakat tak menunda ataupun membatasi jumlah anak-anak mereka. Bagi mereka, anak-anak merupakan rezeki. Biarkan mereka menerima dengan sebagaimana adanya.Ranti seperti memikirkan sesuatu. Yang dikatakan suaminya itu barangkali benar. Selama ini siklus bulanannya teratur. Tapi saat kehamilan Alif dulu, tubuhnya tak memberikan tanda-tanda seperti ini. "Iya, Bang. Biasanya setiap awal bulan kan? Bagaimana kalau Adek ternyata hamil lagi, Abang tak marah kan?" ujar Ranti dengan cemas sembari menatap wajah Bayu.Suaminya itu tertawa terbahak-bahak. Air mata sampai keluar dari pelupuk matanya. Mengapa istrinya bisa berkata seperti ini? Bayu meraih Ranti dalam dekapannya. Mendekap wanita itu dengan penuh cinta."Mengapa Abang harus marah? Kan Abang yang ikut membuatnya. Masak setelah membuat tak ingin bertanggung jawab? Atau ... Adek mau kita membuatnya lagi saat ini?" bisik Bayu ke telinga istrinya itu dengan nad
Hari ini umur Alif tepat satu tahun. Tak ada perayaan yang berlebihan atas peringatan putra mereka itu. Ranti dan Bayu memutuskan mengucapkan rasa syukur mereka dengan membagikan nasi kotak ke beberapa panti asuhan. Ranti memang rutin menyisihkan sebagian rezekinya ke beberapa panti asuhan yang ada di kota ini.Selain itu, Ranti juga membagikan nasi kotak itu pada tetangga-tetangganya. Suasana kekeluargaan di lingkungan mereka yang baru ini memang lebih terasa. Mungkin karena bukan komplek perumahan, warga di sini saling berbaur tanpa melihat asal daerah, agama ataupun pekerjaan. Bertetangga dengan orang lain yang berbeda agama menjadi pemandangan yang biasa saja di daerah ini."Bang, nasi kotak untuk Bapak, Ibu, dan keluarga yang lain bagaimana?" tanya Ranti sembari menghitung ulang jumlah nasi kotak yang akan dibagikan pada para tetangga. Walaupun hubungannya kurang harmonis dengan anggota keluarga Bayu, tetap saja Ranti tak ingin membuat jurang pemisah antara keluarga kecil mereka
Bu Rina pamit pulang dengan membawa tiga kotak nasi dan sebuah bolu gulung tikar. Ranti sengaja membuat bolu gulung tikar hari ini dalam jumlah yang lebih selain untuk dijual. Beberapa untuk dibagikan pada keluarga Bayu dan orang-orang yang dianggap Ranti banyak membantu mereka selama ini. Bu Ayu dan Bu Rina, salah satu diantaranya. Tak lama kemudian tampak kehadiran Bunga untuk menjemput ibunya itu. Gadis itu tampak turun dari motornya dan menyerahkan sebuah amplop dari dalam tas sandang yang dibawanya. Hasil penjualan hari ini dari keempat toko roti disetorkan Bunga pada pemiliknya. Biasanya Ranti akan ke toko menjelang tutup, setelah pagi harinya memastikan semua stok roti telah dikirim ke tokonya itu. Namun sore ini, Ranti tak sempat ke toko lagi.Azan berkumandang saat Ranti memutuskan masuk ke dalam rumah. Menunaikan tiga rakaat di penghujung senja sendirian. Selalu dengan lafal doa yang sama di akhir ibadahnya. Permohonan dan pinta terbaik untuk kehidupan mereka ke depannya.Se
Dua bulan sejak kepergian ayah tercintanya, Ranti mencoba tegar atas ujian yang telah diberikan Sang Maha Pencipta pada dirinya. Usia kehamilannya kini menginjak enam bulan. Tak ada keluhan yang berarti, kecuali pinggangnya terasa sakit dan pegal jika terlalu banyak beraktivitas.Satu minggu awal kematian ayahnya, Ranti memutuskan mendampingi sang ibu melewati saat-saat tersulit mereka. Melepaskan orang yang kita cintai dengan penuh keikhlasan. Menghilangkan bayang keberadaan orang yang selama ini selalu membersamai kita dalam setiap langkah. Mecoba menepis rasa yang muncul kala merindukan kehadirannya bersama kita.Bayu dengan berat hati menyampaikan permohonan maaf karena ketidakhadiran kedua orang tuanya di suasana berduka saat itu. Jujur, ada rasa malu dalam hatinya kala mengucapkan kata maaf di hadapan ibu mertuanya itu. Bayu tahu, Ranti sangat kecewa atas sikap ibu kandung suaminya itu. Dan Bayu tak menyalahkan istrinya. Bagaimana tidak, tiket hendak dibelikan saja pun masih saja
Kondisi Ranti yang sedang hamil ditambah udara malam yang dingin nantinya membuat Bayu memutuskan mereka berangkat dengan kendaraan roda empat yang jarang digunakan itu. Untuk aktivitas keseharian baik Ranti dan Bayu memang lebih sedang dengan sepeda motor."Abang juga tak tahu, Dek. Apa mungkin teman kuliahnya ya?""Bisa jadi. Tapi kenapa lamaran ini kesannya mendadak, Bang? Abang baru diberitahu hari ini kan?"Tampak Bayu menganggukkan kepalanya."Sore ini tepatnya, Dek. Sekitar jam tiga tadi."Ranti menghela napas panjang. Memang acara lamarannya yang mendadak atau memang Bayu yang sengaja dikabarkan oleh ibunya di saat-saat akhir seperti ini? Sesampai di tempat praktek dokter Idil, dokter yang menjadi langganan Ranti untuk memeriksakan kondisi kehamilannya tampak deretan pasangan suami istri sedang berjajar menunggu giliran. Menunggu kurang lebih sepuluh menit, akhirnya mereka mendapat giliran.Alhamdulillah sejauh ini kandungan Ranti sehat. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tumbu
Bayu berhasil memutar memori tentang sosok yang ada di hadapannya saat ini. Benarkah laki-laki ini yang akan melamar adik kandungnya malam ini?Bayu sangat mengenal sosok Randu. Laki-laki yang berada dua tingkat di bawahnya saat masih mengenakan seragam putih abu dulu. Saat itu, walaupun mereka tak satu angkatan, semua guru dan siswa sekolah akan mengenal sosok Randu, adik kelasnya itu.Bukan karena kecerdasan, prestasi ataupun wajah tampan yang luar biasa hingga membuat Randu begitu dikenal semua warga sekolah kala itu. Saat mendengar nama itu, semuanya akan langsung mengingat pada sosok seseorang yang selalu menjadi biang keonaran di sekolah. Jarang membuat tugas, sering bolos, datang terlambat, bahkan menjadi sosok yang sering mengadu otot dengan teman-temannya. Benarkah sosok ini yang akan menjadi suami Nina?"Bayu?" Laki-laki itu sama terkejutnya dengan Bayu saat keduanya saling menatap. Bayu mencoba mengembangkan senyumnya yang mungkin terlihat sangat kaku saat mencoba menerka-n