"Bu ... sudahlah, malu didengar banyak orang."Bu Ratna tampak masih tak puas. Hampir saja ibu mertua Ranti itu kembali membuka mulutnya jika Nina tak hadir di ruangan itu dengan ditemani Ririn."Duduk, Dek."Bayu menggeser tubuhnya. Memberi ruang pada Nina yang mencoba tersenyum kepada seluruh orang yang duduk di ruangan itu. Namun demikian Ranti merasa senyuman itu seperti bukan layaknya senyum kebahagiaan seorang gadis yang dilamar kekasihnya. Cepat-cepat Ranti menepis perasaannya yang mungkin salah itu."Nina, kamu yakin mau menikah dengan Randu?"Tanpa basa-basi Bu Ratna langsung melemparkan pertanyaan pada Nina."Nina yakin, Bu. Nina dan Bang Randu juga sudah berdiskusi. Kami ingin menikah bulan depan. Bukan begitu, Bang?" tanya Nina pada Randu yang menunjukkan raut bahagia di wajahnya itu."Iya, Bu, Pak. Kami tak ingin lama-lama pacaran. Biar kami halal secepatnya."Bu Ratna jelas terkejut saat mendengar ucapan keduanya."Bulan depan? Apa ini tak terkesan terburu-buru?"Seorang
"Ranti setuju, Bu. Pernikahan Nina dan Randu harus meriah dan mewah kan, Bu? Randu seorang pengusaha, tentu hantaran uang dapurnya akan banyak, Bu. Beda dengan Bang Bayu dulu yang hanya staf biasa. Betul kan Nina? Kalau Kakak boleh tahu ... kira-kira berapa uang dapur yang akan diberikan Randu nantinya?"Sontak saja mata sang ibu mertua melotot ke arah Ranti yang berbicara santai, tanpa merasa bersalah. Ranti pun sengaja tak ingin melihat ke arah wajah mertuanya itu. Dirinya sudah dapat menebak reaksi yang mertua."Untuk apa kamu harus tahu berapa uang dapur yang akan diantarkan Randu nantinya?"Tampak jelas terlihat, Bu Ratna tak suka dengan pertanyaan Ranti pada Nina, anak gadisnya. Uang hantaran itu urusannya sebagai orang tua, mengapa pula Ranti harus tahu jumlahnya?Ranti pura-pura tak melihat bagaimana ekspresi wajah ibu mertuanya itu saat ini. Sang calon mempelai wanita tampak tertunduk. Entah apa yang ada dalam pikiran Nina. Ranti sempat merasa bingung. Gadis yang biasa ceria t
"Sudah ... sudah. Yang penting bagi Bapak, satu hal. Nina sudah memilih. Artinya Nina sudah tahu apa pun konsekuensi atas pilihannya itu. Sekarang kita kembali pada pembicaraan awal. Terkait pelaksanaan akad dan resepsi pernikahan Nina nantinya. Sebulan itu waktu yang singkat, tak lama. Persiapan untuk acara itu harus kita lakukan mulai sekarang."Akhirnya Pak Rahmat mencoba menengahi suasana yang semakin memanas. "Ibu minta kalian semua dapat memberikan sumbangan untuk acara adikmu ini. Kalian bertiga, anak-anak Ibu yang sudah bekerja ... Ibu harap dapat menyumbang untuk acara ini."Ilham dan Anwar beserta istrinya masing-masing merasa terkejut. Permintaan ibunya itu disampaikan secara terang-terangan. Ranti hanya diam, begitu pun suaminya. Dalam pikiran Ranti, wajar saja kalau mereka ikut terlibat terkait biaya pernikahan Nina itu. Bukankah memang sudah sewajarnya kakak beradik saling membantu, saling tolong menolong? Bagaimana pun perlakuan dan sikap Nina pada dirinya, gadis itu te
"Dek, jadi bagaimana untuk resepsi Nina nanti?"Saat itu Bayu dan Ranti sedang bersiap untuk tidur. Malam gelap ditambah hujan lebat yang turun sejak sore tadi membuat keduanya memutuskan tidur lebih awal. Padahal jarum jam di dinding kamar mereka baru menunjukkan pukul sembilan malam.Alif sudah tidur sejak habis Magrib tadi. Putra pertama mereka itu sudah mulai aktif berjalan. Alif sudah memiliki tempat tidur sendiri, namun tetap di dalam kamar Ranti dan Bayu. Sebulan yang lalu Bayu membelikan tempat tidur kecil untuk Alif dengan bagian pinggiran yang tertutup agar tak membuatnya terjatuh. Di usianya sekarang, Alif sering berputar-putar saat tidur dan membuat Bayu cemas jika suatu saat putra pertamanya itu akan menendang perut Ranti di saat sedang tidur.Seminggu berlalu sejak acara lamaran Nina. Bayu belum pernah menyinggung lagi tentang acara resepsi yang akan dilaksanakan sebulan lagi kepada Ranti. Ranti pun memilih tak memulai pembahasan masalah itu.
Bayu menganggukkan kepala seraya mengembangkan senyum kepada salah satu kerabat Randu yang kebetulan melintas di hadapan mereka."Memangnya kalau tampilan biasa-biasa saja itu berarti tak banyak uang, Bang? Abang menyindir Adek?"Karuan saja Bayu terkekeh saat mendengar ucapan Ranti. Istrinya itu memang tampilannya biasa saja, tak menyolok. Padahal Bayu tahu tabungan Ranti tak sedikit. "Terus, bagaimana mungkin Abang berpikir jika Ibu berhutang untuk acara ini?" tanya Ranti seraya mengusap perut buncitnya perlahan. Untunglah model pakaian seragam mereka yang dipilihkan Ririn cukup nyaman untuk wanita hamil seperti dirinya."Bukan berpikir, Dek. Hanya berharap jangan sampai Ibu akan melakukannya."Pembicaraan Bayu dan Ranti terhenti saat pembawa acara mulai meminta para hadirin untuk tenang karena akad nikah akan segera dilaksanakan. Bayu menuntun Ranti mendekat ke arah panggung yang memang dipersiapkan untuk momen sakral hari ini. Tampak
Dua minggu berlalu sejak tragedi pingsannya Nina saat resepsi pernikahannya. Sebenarnya saat itu tak hanya Nina yang pingsan. Bu Ratna, ibu mertua Ranti pun ikut pingsan saat harus mendengar pernyataan dokter bahwa putri kebanggaannya itu sedang berbadan dua. Tak tanggung-tanggung, usia kehamilan Nina sudah berjalan tiga bulan.Bayu tak dapat menahan emosi saat mendengar kabar mengejutkan itu. Hampir saja wajah Randu menjadi sasaran bogem mentahnya jika tak ditahan oleh kedua abangnya. Rasa tak enak hatinya terbukti sudah. Laki-laki yang sekarang berstatus sebagai adik iparnya itu perangainya tak berubah.Saat Nina dilarikan ke rumah sakit pun suara sumbang mulai terdengar."Jangan-jangan Nina hamil, Rin. Ibu-ibu yang ada di dapur sedang hangat-hangatnya membahas tragedi pingsannya Nina tadi," ucap Dinda yang baru saja kembali dari kamar kecil. Wanita itu kembali mendudukkan tubuhnya di samping Rantim"Kakak serius?"Ranti terkejut saat m
"Bu Ranti, nasinya sudah siap jika mau makan. Saya mau menidurkan Alif dulu."Ucapan Bu Ayu membuyarkan lamunan Ranti atas rentetan banyak peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Ranti memilih tak ikut campur atas urusan keluarga suaminya itu. Untuk apa? Tak ada yang bisa dilakukan saat ini kecuali berserah, pasrah pada semua kejadian yang telah terjadi. Nasi telah menjadi bubur, tak mungkin diubah menjadi beras kembali. Yang dapat dilakukan Ranti hanyalah menenangkan Bayu, saat suaminya berkeluh-kesah atas semua tragedi memalukan yang terjadi pada keluarganya itu."Bu Ayu dan Bu Ratna sudah makan?" tanya Ranti yang sudah tampak kesulitan mengangkat tubuhnya dari kursi di ruangan kecil bersebelahan dengan dapur. Ruangan itu menjadi musala sekaligus ruang kerja bagi Ranti dan Bayu."Nanti saja, Bu. Setelah salat. Makanan untuk pegawai pun sudah saya siapkan. Tapi sepertinya mereka lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dulu. Ibu tinggal men
"Biar saya saja yang membuka pintunya," ujar Bu Ayu seraya bangkit dari duduknya dan mencuci tangan dengan cepat. Piring kotor di tangannya diserahkan pada Bu Rina yang masih bermain dengan sabun dan spons di jemarinya.Ranti sendiri sudah dapat menduga pemilik suara tamu di siang hari ini. Siapa lagi, kalau bukan ibu mertuanya tercinta? Entah apa tujuan dan maksud kedatangan wanita yang telah melahirkan suaminya itu kali ini. Berbekal pengalaman yang sudah-sudah, jika tak ada maksud yang penting, ibu mertuanya ini tak akan sudi sepertinya ke rumah mereka.Mengangkat tubuhnya yang cukup kenyang setelah makan siang ini, Ranti lantas berjalan perlahan menuju ruang tamu keluarga yang terhubung dengan pintu samping. Pada saat membangun rumah ini dulu, Ranti sengaja meminta ada dua ruang tamu yang tentunya untuk peruntukan yang berbeda. Ruang tamu utama untuk menyambut para tamu yang memang sengaja datang ke rumah untuk tujuan tertentu. Sedangkan ruang tamu keluarga dig