Hari ini umur Alif tepat satu tahun. Tak ada perayaan yang berlebihan atas peringatan putra mereka itu. Ranti dan Bayu memutuskan mengucapkan rasa syukur mereka dengan membagikan nasi kotak ke beberapa panti asuhan. Ranti memang rutin menyisihkan sebagian rezekinya ke beberapa panti asuhan yang ada di kota ini.Selain itu, Ranti juga membagikan nasi kotak itu pada tetangga-tetangganya. Suasana kekeluargaan di lingkungan mereka yang baru ini memang lebih terasa. Mungkin karena bukan komplek perumahan, warga di sini saling berbaur tanpa melihat asal daerah, agama ataupun pekerjaan. Bertetangga dengan orang lain yang berbeda agama menjadi pemandangan yang biasa saja di daerah ini."Bang, nasi kotak untuk Bapak, Ibu, dan keluarga yang lain bagaimana?" tanya Ranti sembari menghitung ulang jumlah nasi kotak yang akan dibagikan pada para tetangga. Walaupun hubungannya kurang harmonis dengan anggota keluarga Bayu, tetap saja Ranti tak ingin membuat jurang pemisah antara keluarga kecil mereka
Bu Rina pamit pulang dengan membawa tiga kotak nasi dan sebuah bolu gulung tikar. Ranti sengaja membuat bolu gulung tikar hari ini dalam jumlah yang lebih selain untuk dijual. Beberapa untuk dibagikan pada keluarga Bayu dan orang-orang yang dianggap Ranti banyak membantu mereka selama ini. Bu Ayu dan Bu Rina, salah satu diantaranya. Tak lama kemudian tampak kehadiran Bunga untuk menjemput ibunya itu. Gadis itu tampak turun dari motornya dan menyerahkan sebuah amplop dari dalam tas sandang yang dibawanya. Hasil penjualan hari ini dari keempat toko roti disetorkan Bunga pada pemiliknya. Biasanya Ranti akan ke toko menjelang tutup, setelah pagi harinya memastikan semua stok roti telah dikirim ke tokonya itu. Namun sore ini, Ranti tak sempat ke toko lagi.Azan berkumandang saat Ranti memutuskan masuk ke dalam rumah. Menunaikan tiga rakaat di penghujung senja sendirian. Selalu dengan lafal doa yang sama di akhir ibadahnya. Permohonan dan pinta terbaik untuk kehidupan mereka ke depannya.Se
Dua bulan sejak kepergian ayah tercintanya, Ranti mencoba tegar atas ujian yang telah diberikan Sang Maha Pencipta pada dirinya. Usia kehamilannya kini menginjak enam bulan. Tak ada keluhan yang berarti, kecuali pinggangnya terasa sakit dan pegal jika terlalu banyak beraktivitas.Satu minggu awal kematian ayahnya, Ranti memutuskan mendampingi sang ibu melewati saat-saat tersulit mereka. Melepaskan orang yang kita cintai dengan penuh keikhlasan. Menghilangkan bayang keberadaan orang yang selama ini selalu membersamai kita dalam setiap langkah. Mecoba menepis rasa yang muncul kala merindukan kehadirannya bersama kita.Bayu dengan berat hati menyampaikan permohonan maaf karena ketidakhadiran kedua orang tuanya di suasana berduka saat itu. Jujur, ada rasa malu dalam hatinya kala mengucapkan kata maaf di hadapan ibu mertuanya itu. Bayu tahu, Ranti sangat kecewa atas sikap ibu kandung suaminya itu. Dan Bayu tak menyalahkan istrinya. Bagaimana tidak, tiket hendak dibelikan saja pun masih saja
Kondisi Ranti yang sedang hamil ditambah udara malam yang dingin nantinya membuat Bayu memutuskan mereka berangkat dengan kendaraan roda empat yang jarang digunakan itu. Untuk aktivitas keseharian baik Ranti dan Bayu memang lebih sedang dengan sepeda motor."Abang juga tak tahu, Dek. Apa mungkin teman kuliahnya ya?""Bisa jadi. Tapi kenapa lamaran ini kesannya mendadak, Bang? Abang baru diberitahu hari ini kan?"Tampak Bayu menganggukkan kepalanya."Sore ini tepatnya, Dek. Sekitar jam tiga tadi."Ranti menghela napas panjang. Memang acara lamarannya yang mendadak atau memang Bayu yang sengaja dikabarkan oleh ibunya di saat-saat akhir seperti ini? Sesampai di tempat praktek dokter Idil, dokter yang menjadi langganan Ranti untuk memeriksakan kondisi kehamilannya tampak deretan pasangan suami istri sedang berjajar menunggu giliran. Menunggu kurang lebih sepuluh menit, akhirnya mereka mendapat giliran.Alhamdulillah sejauh ini kandungan Ranti sehat. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tumbu
Bayu berhasil memutar memori tentang sosok yang ada di hadapannya saat ini. Benarkah laki-laki ini yang akan melamar adik kandungnya malam ini?Bayu sangat mengenal sosok Randu. Laki-laki yang berada dua tingkat di bawahnya saat masih mengenakan seragam putih abu dulu. Saat itu, walaupun mereka tak satu angkatan, semua guru dan siswa sekolah akan mengenal sosok Randu, adik kelasnya itu.Bukan karena kecerdasan, prestasi ataupun wajah tampan yang luar biasa hingga membuat Randu begitu dikenal semua warga sekolah kala itu. Saat mendengar nama itu, semuanya akan langsung mengingat pada sosok seseorang yang selalu menjadi biang keonaran di sekolah. Jarang membuat tugas, sering bolos, datang terlambat, bahkan menjadi sosok yang sering mengadu otot dengan teman-temannya. Benarkah sosok ini yang akan menjadi suami Nina?"Bayu?" Laki-laki itu sama terkejutnya dengan Bayu saat keduanya saling menatap. Bayu mencoba mengembangkan senyumnya yang mungkin terlihat sangat kaku saat mencoba menerka-n
"Bu ... sudahlah, malu didengar banyak orang."Bu Ratna tampak masih tak puas. Hampir saja ibu mertua Ranti itu kembali membuka mulutnya jika Nina tak hadir di ruangan itu dengan ditemani Ririn."Duduk, Dek."Bayu menggeser tubuhnya. Memberi ruang pada Nina yang mencoba tersenyum kepada seluruh orang yang duduk di ruangan itu. Namun demikian Ranti merasa senyuman itu seperti bukan layaknya senyum kebahagiaan seorang gadis yang dilamar kekasihnya. Cepat-cepat Ranti menepis perasaannya yang mungkin salah itu."Nina, kamu yakin mau menikah dengan Randu?"Tanpa basa-basi Bu Ratna langsung melemparkan pertanyaan pada Nina."Nina yakin, Bu. Nina dan Bang Randu juga sudah berdiskusi. Kami ingin menikah bulan depan. Bukan begitu, Bang?" tanya Nina pada Randu yang menunjukkan raut bahagia di wajahnya itu."Iya, Bu, Pak. Kami tak ingin lama-lama pacaran. Biar kami halal secepatnya."Bu Ratna jelas terkejut saat mendengar ucapan keduanya."Bulan depan? Apa ini tak terkesan terburu-buru?"Seorang
"Ranti setuju, Bu. Pernikahan Nina dan Randu harus meriah dan mewah kan, Bu? Randu seorang pengusaha, tentu hantaran uang dapurnya akan banyak, Bu. Beda dengan Bang Bayu dulu yang hanya staf biasa. Betul kan Nina? Kalau Kakak boleh tahu ... kira-kira berapa uang dapur yang akan diberikan Randu nantinya?"Sontak saja mata sang ibu mertua melotot ke arah Ranti yang berbicara santai, tanpa merasa bersalah. Ranti pun sengaja tak ingin melihat ke arah wajah mertuanya itu. Dirinya sudah dapat menebak reaksi yang mertua."Untuk apa kamu harus tahu berapa uang dapur yang akan diantarkan Randu nantinya?"Tampak jelas terlihat, Bu Ratna tak suka dengan pertanyaan Ranti pada Nina, anak gadisnya. Uang hantaran itu urusannya sebagai orang tua, mengapa pula Ranti harus tahu jumlahnya?Ranti pura-pura tak melihat bagaimana ekspresi wajah ibu mertuanya itu saat ini. Sang calon mempelai wanita tampak tertunduk. Entah apa yang ada dalam pikiran Nina. Ranti sempat merasa bingung. Gadis yang biasa ceria t
"Sudah ... sudah. Yang penting bagi Bapak, satu hal. Nina sudah memilih. Artinya Nina sudah tahu apa pun konsekuensi atas pilihannya itu. Sekarang kita kembali pada pembicaraan awal. Terkait pelaksanaan akad dan resepsi pernikahan Nina nantinya. Sebulan itu waktu yang singkat, tak lama. Persiapan untuk acara itu harus kita lakukan mulai sekarang."Akhirnya Pak Rahmat mencoba menengahi suasana yang semakin memanas. "Ibu minta kalian semua dapat memberikan sumbangan untuk acara adikmu ini. Kalian bertiga, anak-anak Ibu yang sudah bekerja ... Ibu harap dapat menyumbang untuk acara ini."Ilham dan Anwar beserta istrinya masing-masing merasa terkejut. Permintaan ibunya itu disampaikan secara terang-terangan. Ranti hanya diam, begitu pun suaminya. Dalam pikiran Ranti, wajar saja kalau mereka ikut terlibat terkait biaya pernikahan Nina itu. Bukankah memang sudah sewajarnya kakak beradik saling membantu, saling tolong menolong? Bagaimana pun perlakuan dan sikap Nina pada dirinya, gadis itu te