Tanpa terasa, sudah enam bulan usia Alif. Sejak usia putranya itu dua bulan, Ranti sudah kembali sibuk terjun langsung pada usaha rotinya. Bu Ayu pun masih setia membantu mereka untuk segala urusan rumah, termasuk mengurus Alif. Ranti merasa beruntung bertemu dan meminta bantuan wanita itu dulunya.Bu Ayu tak pernah perhitungan dengan pekerjaannya. Segala yang mampu dikerjakan olehnya, akan langsung dikerjakannya tanpa menunggu perintah. Rumah yang ditempati Ranti tak ubah dianggapnya rumah sendiri. Terlebih pada Alif, wanita itu sudah menganggapnya bak cucu sendiri. Sering kali Firman, putra bungsunya malahan menyusul ke rumah Ranti hanya untuk bermain bersama Alif."Bu Ranti, maaf sebelumnya. Bolehkah jika Firman, adik Bunga menyusul ke sini jika sudah pulang sekolah? Katanya sepi sendirian di rumah. Kangen sama Alif juga. Tapi, itu pun jika Bu Ranti dan Pak Bayu tak keberatan. Saya paham dan mengerti jika tak dibolehkan."Kala itu Bu Ayu menyampaikan keinginan pada Ranti dengan na
"Ibu sudah makan memangnya?" tanya Ranti sembari memainkan jemarinya di layar pipih gawai miliknya. Menghubungi Sinta agar segera ke rumahnya."Kalau saya gampang, Bu. Tak menyusui. Bu Ranti yang tak boleh terlambat makan, nanti masuk angin. Menyusui itu kelihatannya saja ringan. Padahal kalau air susu sang ibu tak berkualitas itu jelas akan mempengaruhi tumbuh kembang bayinya."Ranti tersenyum saat mendengar ucapan Bu Ayu. Walaupun hanya tamatan SD, tapi cara berpikirnya jauh berbeda jika dibandingkan dengan Nina dan Ririn, dua iparnya yang masih berstatus mahasiswa itu."Sebentar lagi saja, Bu. Sekalian mau makan bareng Bang Bayu. Tadi mengabari, sudah di jalan," ujar Ranti sambil meletakkan gawainya kembali. Tak lama kemudian terdengar deru motor melaju ke arah halaman rumah. Tak perlu melihat, Ranti tahu siapa pemiliknya."Bu, titip Alif ya!" pinta Ranti sembari berjalan keluar kamar.Kamar yang tadinya mereka jadikan sebagai ruang salat sekarang berubah fungsi menjadi kamar Alif.
Satu bulan kemudian, rumah yang mereka bangun pun sudah dapat ditempati. Hanya bagian dalam rumah yang sudah beres, sedangkan bagian luar rumah masih perlu dicat dan dirapikan. Tak masalah bagi Ranti. Asalkan mereka dapat pindah dan tinggal di sana. Apalagi kontrakan mereka jatuh temponya pada saat yang bersamaan. Tak ada alasan untuk menunda lagi kepindahan mereka."Bang, mau pindahan hari apa?" tanya Ranti saat menidurkan Alif. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Alif yang hanya tidur dua kali siang tadi sudah tampak mengantuk sejak setengah jam yang lalu. Bayu itu beberapa kali tampak mengucek-ucek matanya. Bahkan sejak tadi bayi itu mulai rewel.Bu Ayu sudah pulang sejak pukul lima sore tadi, bersama Firman yang datang ke rumah sejak pukul dua siang. Ranti sudah mempersiapkan satu kamar untuk Bu Ayu di rumah baru mereka nanti. Persiapan jika wanita itu ataupun Firman hendak menginap ataupun ingin beristirahat di siang hari. Kebaikan wanita itu perlu dibalasnya deng
Bayu mengacungkan jempol kanannya. Tetap asyik di atas papan ketik laptop yang ada di hadapannya.Ranti memilih untuk tidur lebih dulu agar tak terlalu mengantuk harus jika terbangun tengah malam nantinya. Walaupun Alif masih menikmati ASI darinya, tetap saja Ranti harus terbangun memeriksa popok sekali pakai bayinya itu jikalau penuh dengan air kecil. Takutnya menimbulkan ruam pada kulit.Hari Jumat pun tiba. Barang-barang dan baju pun sudah mereka pindahkan sejak hari Senin yang lalu. Mereka tak merasa kesulitan karena Bayu meminta izin menggunakan mobil pick up kantor yang ada setelah lepas jam kerja. Meminta bantuan dua orang tenaga kebersihan kantor, jadilah acara mengangkut barang itu di malam hari. Lagi pula, perlengkapan rumah yang mereka miliki tak terlalu banyak. Rencananya setelah tinggal di sana nantinya baru Ranti akan membeli perlengkapan rumah tangga"Ibu dan Bapak sudah dikabari, Bang?" tanya Ranti sembari menyuapi Alif di halaman rumah baru mereka. Bayi itu duduk di ke
Ranti dan Bayu serempak menolehkan kepala ke arah sumber suara sumbang yang jelas membuat siapapun yang mendengarnya akan mendidih. Semudah itu mereka berucap. Mereka pikir uang itu dengan mudahnya turun dari langit sana?"Percuma uang banyak, kalau sama orang tua sendiri pelit." Kali ini suara berbeda kembali terdengar di gendang telinga Ranti. Ranti menolehkan kepalanya, menyisiri keadaan sekitar. Jangan sampai ada tamu yang bakal ikut menyaksikan kejadian tak pantas ini nantinya.Ranti masih memiliki rasa malu. Merasa tak enak hati jika di antara tamu yang datang untuk mendoakan mereka tadi ikut mendengarkan ucapan iparnya itu. Mereka tentu akan berpikir buruk. Sebagai warga baru di daerah ini, Ranti tak ingin keluarga mereka terlihat buruk di mata tetangga sekitar.Melangkahkan kakinya perlahan Ranti mengikuti jejak suaminya. Menyambut kedatangan keluarga Bayu. Keduanya mengulurkan tangan kanan mereka kepada sang ibu dan bapak yang berdiri paling depan, lantas menciumnya dengan ta
Kali ini Bu Ratna melemparkan pandangan pada kedua putranya, kakak kandung Bayu. Sontak saja keduanya terdiam. Bukan pembelaan dan pembenaran yang dapat mereka berikan pada ibu kandung mereka itu, tapi rasa malu yang luar biasa mereka rasakan saat mendengar betapa mereka begitu tak berharga di mata sang ibu. Kedua istri kakak kandung Bayu itupun merasa tak nyaman hati. Mereka direndahkan oleh mertuanya sendiri."Bu, sudahlah. Malu. Sudah tua masih meributkan uang saja," tukas Pak Rahmat dengan maksud menghentikan istrinya lebih lanjut berucap yang tidak-tidak."Harusnya yang malu itu Bayu, Pak. Bukan Ibu. Bapak ini tak punya hati memangnya? Yu, kami dengarkan kata-kata Ibu tadi?"Kembali Bu Ratna menghujam Bayu dengan tatapan matanya. Hatinya tak terima jika Bayu menjadi anak yang durhaka, lupa pada kedua orang tua dan saudara. "Iya, Bu. Bayu jelas mendengarkan Ibu. Jadi ... intinya Ibu mempermasalahkan rumah kami ini. Benarkan, Bu?" tanya Bayu perlahan. Dada Bayu bergemuruh menahan k
Tiga bulan sudah Ranti dan Bayu menempati rumah baru mereka. Artinya, tiga bulan berlalu sejak insiden di acara syukuran mereka itu. Ranti memilih tak membahas lagi masalah itu di depan Bayu. Menganggap semua yang sudah terjadi bak angin lalu. Untuk apa dipermasalahkan lagi? Tak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi.Ranti fokus pada pengembangan usahanya. Dua bulan yang lalu resmi sudah kios rotinya berubah menjadi toko roti, bolu, dan cake. Penampilan toko didesain semenarik mungkin dengan gambar roti, bolu dan cake bertebaran di dindingnya. Tak hanya menjual di toko, Ranti melebarkan usahanya dengan melayani pemesanan snack untuk acara kantor. Untuk usaha ini, Ranti bermitra dengan beberapa pedagang kue yang dinilainya memiliki cita rasa enak dan penampilan yang menarik. Ranti akan mencicipi terlebih dahulu dan memastikan rasanya benar-benar layak untuk dimasukkan dalam usahanya."Bang, mengapa sudah seminggu ini badan Adek terasa sakit semua ya? Terus juga badan terasa panas di
Pasangan suami istri itu memang memilih tak ikut program pemerintah. Keduanya sepakat tak menunda ataupun membatasi jumlah anak-anak mereka. Bagi mereka, anak-anak merupakan rezeki. Biarkan mereka menerima dengan sebagaimana adanya.Ranti seperti memikirkan sesuatu. Yang dikatakan suaminya itu barangkali benar. Selama ini siklus bulanannya teratur. Tapi saat kehamilan Alif dulu, tubuhnya tak memberikan tanda-tanda seperti ini. "Iya, Bang. Biasanya setiap awal bulan kan? Bagaimana kalau Adek ternyata hamil lagi, Abang tak marah kan?" ujar Ranti dengan cemas sembari menatap wajah Bayu.Suaminya itu tertawa terbahak-bahak. Air mata sampai keluar dari pelupuk matanya. Mengapa istrinya bisa berkata seperti ini? Bayu meraih Ranti dalam dekapannya. Mendekap wanita itu dengan penuh cinta."Mengapa Abang harus marah? Kan Abang yang ikut membuatnya. Masak setelah membuat tak ingin bertanggung jawab? Atau ... Adek mau kita membuatnya lagi saat ini?" bisik Bayu ke telinga istrinya itu dengan nad