"Ibu sudah makan memangnya?" tanya Ranti sembari memainkan jemarinya di layar pipih gawai miliknya. Menghubungi Sinta agar segera ke rumahnya."Kalau saya gampang, Bu. Tak menyusui. Bu Ranti yang tak boleh terlambat makan, nanti masuk angin. Menyusui itu kelihatannya saja ringan. Padahal kalau air susu sang ibu tak berkualitas itu jelas akan mempengaruhi tumbuh kembang bayinya."Ranti tersenyum saat mendengar ucapan Bu Ayu. Walaupun hanya tamatan SD, tapi cara berpikirnya jauh berbeda jika dibandingkan dengan Nina dan Ririn, dua iparnya yang masih berstatus mahasiswa itu."Sebentar lagi saja, Bu. Sekalian mau makan bareng Bang Bayu. Tadi mengabari, sudah di jalan," ujar Ranti sambil meletakkan gawainya kembali. Tak lama kemudian terdengar deru motor melaju ke arah halaman rumah. Tak perlu melihat, Ranti tahu siapa pemiliknya."Bu, titip Alif ya!" pinta Ranti sembari berjalan keluar kamar.Kamar yang tadinya mereka jadikan sebagai ruang salat sekarang berubah fungsi menjadi kamar Alif.
Satu bulan kemudian, rumah yang mereka bangun pun sudah dapat ditempati. Hanya bagian dalam rumah yang sudah beres, sedangkan bagian luar rumah masih perlu dicat dan dirapikan. Tak masalah bagi Ranti. Asalkan mereka dapat pindah dan tinggal di sana. Apalagi kontrakan mereka jatuh temponya pada saat yang bersamaan. Tak ada alasan untuk menunda lagi kepindahan mereka."Bang, mau pindahan hari apa?" tanya Ranti saat menidurkan Alif. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Alif yang hanya tidur dua kali siang tadi sudah tampak mengantuk sejak setengah jam yang lalu. Bayu itu beberapa kali tampak mengucek-ucek matanya. Bahkan sejak tadi bayi itu mulai rewel.Bu Ayu sudah pulang sejak pukul lima sore tadi, bersama Firman yang datang ke rumah sejak pukul dua siang. Ranti sudah mempersiapkan satu kamar untuk Bu Ayu di rumah baru mereka nanti. Persiapan jika wanita itu ataupun Firman hendak menginap ataupun ingin beristirahat di siang hari. Kebaikan wanita itu perlu dibalasnya deng
Bayu mengacungkan jempol kanannya. Tetap asyik di atas papan ketik laptop yang ada di hadapannya.Ranti memilih untuk tidur lebih dulu agar tak terlalu mengantuk harus jika terbangun tengah malam nantinya. Walaupun Alif masih menikmati ASI darinya, tetap saja Ranti harus terbangun memeriksa popok sekali pakai bayinya itu jikalau penuh dengan air kecil. Takutnya menimbulkan ruam pada kulit.Hari Jumat pun tiba. Barang-barang dan baju pun sudah mereka pindahkan sejak hari Senin yang lalu. Mereka tak merasa kesulitan karena Bayu meminta izin menggunakan mobil pick up kantor yang ada setelah lepas jam kerja. Meminta bantuan dua orang tenaga kebersihan kantor, jadilah acara mengangkut barang itu di malam hari. Lagi pula, perlengkapan rumah yang mereka miliki tak terlalu banyak. Rencananya setelah tinggal di sana nantinya baru Ranti akan membeli perlengkapan rumah tangga"Ibu dan Bapak sudah dikabari, Bang?" tanya Ranti sembari menyuapi Alif di halaman rumah baru mereka. Bayi itu duduk di ke
Ranti dan Bayu serempak menolehkan kepala ke arah sumber suara sumbang yang jelas membuat siapapun yang mendengarnya akan mendidih. Semudah itu mereka berucap. Mereka pikir uang itu dengan mudahnya turun dari langit sana?"Percuma uang banyak, kalau sama orang tua sendiri pelit." Kali ini suara berbeda kembali terdengar di gendang telinga Ranti. Ranti menolehkan kepalanya, menyisiri keadaan sekitar. Jangan sampai ada tamu yang bakal ikut menyaksikan kejadian tak pantas ini nantinya.Ranti masih memiliki rasa malu. Merasa tak enak hati jika di antara tamu yang datang untuk mendoakan mereka tadi ikut mendengarkan ucapan iparnya itu. Mereka tentu akan berpikir buruk. Sebagai warga baru di daerah ini, Ranti tak ingin keluarga mereka terlihat buruk di mata tetangga sekitar.Melangkahkan kakinya perlahan Ranti mengikuti jejak suaminya. Menyambut kedatangan keluarga Bayu. Keduanya mengulurkan tangan kanan mereka kepada sang ibu dan bapak yang berdiri paling depan, lantas menciumnya dengan ta
Kali ini Bu Ratna melemparkan pandangan pada kedua putranya, kakak kandung Bayu. Sontak saja keduanya terdiam. Bukan pembelaan dan pembenaran yang dapat mereka berikan pada ibu kandung mereka itu, tapi rasa malu yang luar biasa mereka rasakan saat mendengar betapa mereka begitu tak berharga di mata sang ibu. Kedua istri kakak kandung Bayu itupun merasa tak nyaman hati. Mereka direndahkan oleh mertuanya sendiri."Bu, sudahlah. Malu. Sudah tua masih meributkan uang saja," tukas Pak Rahmat dengan maksud menghentikan istrinya lebih lanjut berucap yang tidak-tidak."Harusnya yang malu itu Bayu, Pak. Bukan Ibu. Bapak ini tak punya hati memangnya? Yu, kami dengarkan kata-kata Ibu tadi?"Kembali Bu Ratna menghujam Bayu dengan tatapan matanya. Hatinya tak terima jika Bayu menjadi anak yang durhaka, lupa pada kedua orang tua dan saudara. "Iya, Bu. Bayu jelas mendengarkan Ibu. Jadi ... intinya Ibu mempermasalahkan rumah kami ini. Benarkan, Bu?" tanya Bayu perlahan. Dada Bayu bergemuruh menahan k
Tiga bulan sudah Ranti dan Bayu menempati rumah baru mereka. Artinya, tiga bulan berlalu sejak insiden di acara syukuran mereka itu. Ranti memilih tak membahas lagi masalah itu di depan Bayu. Menganggap semua yang sudah terjadi bak angin lalu. Untuk apa dipermasalahkan lagi? Tak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi.Ranti fokus pada pengembangan usahanya. Dua bulan yang lalu resmi sudah kios rotinya berubah menjadi toko roti, bolu, dan cake. Penampilan toko didesain semenarik mungkin dengan gambar roti, bolu dan cake bertebaran di dindingnya. Tak hanya menjual di toko, Ranti melebarkan usahanya dengan melayani pemesanan snack untuk acara kantor. Untuk usaha ini, Ranti bermitra dengan beberapa pedagang kue yang dinilainya memiliki cita rasa enak dan penampilan yang menarik. Ranti akan mencicipi terlebih dahulu dan memastikan rasanya benar-benar layak untuk dimasukkan dalam usahanya."Bang, mengapa sudah seminggu ini badan Adek terasa sakit semua ya? Terus juga badan terasa panas di
Pasangan suami istri itu memang memilih tak ikut program pemerintah. Keduanya sepakat tak menunda ataupun membatasi jumlah anak-anak mereka. Bagi mereka, anak-anak merupakan rezeki. Biarkan mereka menerima dengan sebagaimana adanya.Ranti seperti memikirkan sesuatu. Yang dikatakan suaminya itu barangkali benar. Selama ini siklus bulanannya teratur. Tapi saat kehamilan Alif dulu, tubuhnya tak memberikan tanda-tanda seperti ini. "Iya, Bang. Biasanya setiap awal bulan kan? Bagaimana kalau Adek ternyata hamil lagi, Abang tak marah kan?" ujar Ranti dengan cemas sembari menatap wajah Bayu.Suaminya itu tertawa terbahak-bahak. Air mata sampai keluar dari pelupuk matanya. Mengapa istrinya bisa berkata seperti ini? Bayu meraih Ranti dalam dekapannya. Mendekap wanita itu dengan penuh cinta."Mengapa Abang harus marah? Kan Abang yang ikut membuatnya. Masak setelah membuat tak ingin bertanggung jawab? Atau ... Adek mau kita membuatnya lagi saat ini?" bisik Bayu ke telinga istrinya itu dengan nad
Hari ini umur Alif tepat satu tahun. Tak ada perayaan yang berlebihan atas peringatan putra mereka itu. Ranti dan Bayu memutuskan mengucapkan rasa syukur mereka dengan membagikan nasi kotak ke beberapa panti asuhan. Ranti memang rutin menyisihkan sebagian rezekinya ke beberapa panti asuhan yang ada di kota ini.Selain itu, Ranti juga membagikan nasi kotak itu pada tetangga-tetangganya. Suasana kekeluargaan di lingkungan mereka yang baru ini memang lebih terasa. Mungkin karena bukan komplek perumahan, warga di sini saling berbaur tanpa melihat asal daerah, agama ataupun pekerjaan. Bertetangga dengan orang lain yang berbeda agama menjadi pemandangan yang biasa saja di daerah ini."Bang, nasi kotak untuk Bapak, Ibu, dan keluarga yang lain bagaimana?" tanya Ranti sembari menghitung ulang jumlah nasi kotak yang akan dibagikan pada para tetangga. Walaupun hubungannya kurang harmonis dengan anggota keluarga Bayu, tetap saja Ranti tak ingin membuat jurang pemisah antara keluarga kecil mereka
"Abang tak lagi sering memberikan kami uang.""Bukankah jatah bulanan Ibu tetap kami berikan? Bahkan saat Bang Bayu di penjara pun, Kakak tetap memberikan Ibu uang kan? Padahal saat itu Bang Bayu tak lagi memiliki gaji sama sekali. Uang itu murni dari Kakak.""Tapi Abang dulu sering memberikan tambahan uang buatku dan Ibu di luar jatah bulanan itu."Ranti mengerti penyebab semua kebencian ibu mertuanya itu sekarang."Saat itu Bang Bayu masih bekerja kan?" tanya Ranti dengan nada sehalus mungkin."Kakak pasti telah mengguna-gunai Abang hingga tak lagi peduli ke kami. Padahal sekarang ekonomi Abnag jauh lebih baik daripada saat menjadi pegawai negeri dulu. Usaha Abang maju pesat. Tapi mengapa Abang tak royal lagi pada kami? Abang seakan tak berdaya karena cengkeraman tangan Kakak."Jelas sudah semuanya. Fitnah keji itu jelas-jelas membuat luka hati Ranti kembali menganga. Luka yang pernah ada semakin terasa perih karena mendapat siraman air garam di atasn
Sontak saja Bayu dan Bu Ratna merasa terkejut atas ucapan Ranti itu. Walaupun diucapkan dengan perlahan sehingga tak ada tamu atau pun anggota keluarga lain yang mendengar, tetap saja Bayu merasa terperanjat. Bingung sekaligus terkejut mengapa sang istri berkata seperti itu. Bu Ratna sendiri memilih diam. Tak mampu entah tak mau membalas ucapan menantunya. Wajah sang ibu mertua tak menunjukkan ekspresi apa pun saat menerima piring yang disodorkan Ranti. Namun bagi Ranti semua itu tak ada maknanya lagi.Selanjutnya tiba acara utama. Bayu memberikan sambutannya. Ranti tak henti melepaskan senyum bahagianya. Kebahagiaan hari ini mungkin tak akan terulang lagi ke depannya. "Terima kasih atas kehadiran semua yang sudah hadir di sini sore ini. Tak dapat kami lukiskan perasaan bahagia kami hari ini. Kalian telah membersamai kami selama ini. Bahkan pada saat kami, terutama saya mengalami masa-masa terburuk dalam kehidupan ini. Ucapan tulus ini kami sampaikan. Ta
Ranti melihat aneka masakan yang tersaji. Ayam goreng mentega, sate ayam, selada, kari telur, aneka lalapan, dan tak ketinggalan sambal tomat khas buatan emak Agung. Makanan setengah berat pun sudah tersaji. Bunga menambahkan es kelapa muda sebagai penghilang dahaga.Mengedarkan pandangannya pada keluarga dan pegawai yang sudah hadir. Sebagian sedang menunaikan salat Asar di ruang musala keluarga. Ranti belum melihat sosok tamu istimewanya sore ini. Semoga mereka akan hadir agar semuanya dapat diselesaikan.Masih ingat dengan semua yang dilihatnya dua hari yang lalu, Ranti berusaha sekuat tenaga menahan genangan bulir bening yang siap tumpah dari ujung kedua netranya. Tak ingin menunda lagi, semuanya harus diputuskan sekarang. Berpuluh purnama telah terlalui, kenyataan itu masih tetap sama. Bahkan mungkin sampai ratusan purnama berlalu pun, dirinya tak akan mampu merubah kenyataan itu."Dek, mau dimulai acaranya sekarang?" tanya Bayu yang tiba-tiba muncul
Ranti cepat merangkul ibunya. Seolah-olah ibunya meninggalkan pesan terakhir untuk dirinya. Bulir bening membasahi pipi mereka berdua."Sudah, jangan menangis. Ibu tahu, kamu wanita yang kuat, Ran. Wanita yang tegar. Terus seperti ini ke depannya. Hidup ini ujian, bukan hidup jika tak ada cobaan. Ibu percaya, kamu mampu melewati apa pun yang akan terjadi nanti. Ingat, Ibu akan selalu mendukungmu!"Ranti kembali terisak saat mendengarkan pesan ibunya itu. Dirinya kuat karena ada ibunya. Lantas bagaimana jika sosok yang memeluknya sekarang tak ada lagi suatu saat nanti?"Sudah, hapus air matamu! Sebentar lagi mau menjemput Faiz dan Farah kan?"Bu Dewi mengurai pelukannya. Mengelap air mata yabg membasahi pipi putri tercintanya.Ranti menganggukkan kepalanya. Tak ada lagi panggilan si kembar semenjak kelahiran Faiz dan Farah karena yang kembar tak hanya mereka.Bu Dewi beranjak dari duduknya, meninggalkan Ranti yang sedang merapikan
"Ibu tak punya beban lagi jika suatu saat dipanggil Yang Maha Kuasa untuk menyusul ayah kalian. Anak-anak kami sudah bahagia dengan kekuarganya masing-masing. Walaupun sampai saat ini Ryan dan Bunga belum memberikan Ibu cucu, tak apa. Enam cucu Ibu darimu dan Bayu rasanya sudah cukup memberi kebahagiaan bagi Ibu di usia yang sudah sepuh ini."Sampai saat ini memang Ryan dan Bunga belum mampu menghadirkan cucu untuk ibu mereka. Tak kurang kasih sayang Bu Dewi tetap pada menantunya itu. Tak menyalahkan apalagi menghujat sang menantu atas amanah yang belum mereka dapatkan. Semuanya takdir. Jika janin itu belum hadir di rahim Bunga, artinya Allah belum berkehendak menghadirkan cucu dari anak dan menantunya itu. Allah belum mengizinkan dirinya mendapat cucu dari sang putra bungsu. Bukankah semua yang terjadi di bumi ini atas izin-Nya? Bahkan langit mendung pun tak akan jadi hujan jika Allah belum berkehendak. Sehelai daun hanya akan luruh dari tangkainya jika Allah men
Melalui berpuluh purnama, sikap ibu mertua Ranti tak pernah berubah. Selalu hanya menimbulkan masalah jika sosoknya tiba-tiba muncul di rumah anak dan menantunya. Ranti memilih tak lagi peduli dengan semua sikap yang ditunjukkan wanita itu padanya ataupun anak-anak mereka.Empat kali melahirkan dengan kondisi kehamilan ketiga dan keempat sepasang bayi kembar, Ranti tak pernah merasakan kehadiran sosok ibu mertua membersamai saat harus bertarung nyawa melahirkan cucunya. Untunglah, saat persalinan keempat ada sosok suami yang menungguinya. Menguatkan Ranti untuk terus berjuang menghadirkan anak mereka ke dunia.Tangis haru sempat dirasakan Ranti saat mengingat momen persalinan ketiganya. Tanpa kehadiran sang suami kala itu membuat dirinya bertekad harus kuat berjuang sendiri. Alif sudah duduk di kelas sekolah menengah saat ini. Sedangkan Fayza, Hanun, dan Hanif duduk di bangku sekolah dasar. Ranti memilih sekolah Islam dengan sistem full day untuk keempat
"Bu Ayu, Bu Rina, bawa anak-anak ke kamar mereka."Ranti tak ingin keempat bocah itu merekam peristiwa yang mungkin tak bisa ditebaknya nanti. Setelah keempat anaknya pergi, Ranti menyiapkan diri terhadap hal buruk yang akan terjadi."Ibu, silahkan duduk! Bang Bayu sedang makan di dapur, sebentar lagi selesai."Ranti pun mendudukkan tubuhnya di sofa panjang yang menghadap ke layar kaca. Bu Ratna tak menyambut ajakan menantunya itu."Tak perlu basa-basi. Ibu langsung pada tujuan saja." Wajah ibu mertua Ranti itu merah seperti menahan amarah. Ranti sendiri bingung, apalagi yang menjadi sumber kemarahan wanita yang ada di hadapannya ini. Seharusnya dirinya yang mungkin seringkali harus menahan amarah atas sikap keluarga mertuanya itu. Bukan sebaliknya."Kalian baru pulang umroh kan? Hebat sekali kalian berangkat umroh dengan ibumu, sedangkan aku, ibu dari suamimu tak kalian ajak. Kalian benar-benar kurang ajar. Bayu semakin jadi an
Pekik girang bocah menyambut kedatangan mereka saat memasuki rumah. Hanun bahkan tak mau lepas dari gendongan Ranti lagi. Sedangkan Hanif memilih terus berada di punggung ayahnya. Wajah-wajah yang tadinya kelihatan lelah tak tampak lagi saat mereka melihat senyum bahagia keempat bocah itu."Alif sukses ya menjaga adik-adik?" tanya Ranti sembari tersenyum melihat putra sulungnya itu."Siapa dulu, Bunda. Aliffff."Putra sulung Ranti itu tampak bangga saat disebut sukses menjaga adik-adiknya. Senyum bahagia senantiasa terkembang di bibirnya yang memiliki pola senyuman khas ayahnya. Kulit Alif memang mewarisi Ranti, tapi tidak dengan bentuk wajahnya. "Bu Ranti, Bu Dewi, Pak Bayu, makan dulu. Kami sudah siapkan menu istimewa hari ini."Ucapan Bu Ayu itu membuat Ranti menolehkan kepalanya pada wanita yang telah menjaga anak-anaknya selama mereka pergi. Bu Ayu bersedia tak pulang setiap hari dan menginap di rumah itu bersama Bu Rina. Bunga dan
Hari ini Ranti, Bayu, dan Bu Dewi tiba kembali di tanah air setelah selesai menunaikan ibadah umroh mereka. Rangkaian ibadah yang mampu membuat mereka semakin mendekatkan diri pada-Nya. Tangis bahagia tak mampu Bu Dewi tahan saat melihat Ka'bah di depan matanya. Melangitkan doa dan pinta di tempat yang paling diidamkan oleh umat muslim sedunia."Semua aman?" tanya Ranti kepada adiknya yang menjemput mereka di bandara. Berpisah dengan rombongan yang masing-masing dijemput keluarga mereka."Aman, Kak. Tenang saja."Ryan memilih fokus pada kemudi. Menjalankan kendaraan dengan perlahan karena posisi antrian di pintu keluar yang mengular."Ibu berdoa di sana untuk jodohmu. Disegerakan mumpung Ibu masih ada."Kali ini Bu Dewi yang berbicara. Wanita itu memang sempat memohon satu pinta yang khusus di sana. Usianya sudah menua. Tak ingin putra bungsunya tak ada yang mengurus jika dirinya sudah tiada."Apaan sih, Bu! Namanya jodoh ... kal