Benar saja. Wajah Dinda dan Nia seketika memerah. Entah karena menahan malu atau karena menahan amarah atas sindiran Ranti. Ranti memilih tak peduli, seperti mereka yang tak pernah peduli dengan perasaannya selama ini.Dinda mendekat ke arah meja tempat Ranti berada. Mencoba melemparkan senyum kecil untuk menenangkan suasana hati Ranti."Begini, Ran. Kamu kan sedang hamil besar. Tentunya tak mudah untuk menjalankan usaha roti ini sendirian. Apalagi jika nanti kamu melahirkan. Jangan sampai usaha rotimu terbengkalai. Sayang. Kebetulan, aku dan Nia kan tidak bekerja. Tak ada kegiatan selain mengurus rumah dan anak-anak. Kami bersedia membantu kamu. Tenang saja, anggap kami ini sebagai pegawai kepercayaanmu. Kami akan memberikan laporan yang jelas kepadamu setiap harinya," ujar Dinda perlahan. Pandangan Ranti berpindah pada Nia. Wanita itu sama santainya dengan Dinda. Manggut-manggut seolah membenarkan ucapan Dinda.Ranti ingin tertawa di dalam hati saat mendengar pengakuan jujur itu. E
Usia kehamilan Ranti sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari saja, anak pertama mereka akan dilahirkannya ke dunia. Ranti pun tak terlalu sibuk dengan urusan kiosnya lagi. Hanya sekali sehari, Ranti pergi ke kios untuk memastikan persedian bahan dan membuat laporan keuangan. Selebihnya ada Bunga, gadis yang dapat diandalkan oleh Ranti untuk memastikan usaha rotinya itu tetap berjalan lancar seperti biasa. Bunga tak menolak tanggung jawab yang diserahkan padanya itu. Apalagi saat Ranti menaikkan gajinya sejak tanggung jawab itu diberikan. Bunga pun tak sendiri. Ada Sinta, pegawai yang baru direkrut Ranti untuk membantu Bunga.Saat ini Bayu dan Ranti pun sedang memulai pembangunan rumah mereka. Sebidang tanah dengan luas lebih dari setengah hektar yang berlokasi di daerah Kampak menjadi tempat mereka untuk membangun istana impian. "Kita membangunnya bertahap saja, Bang. Sesuai keuangan kita. Yang penting rumah itu sudah mulai kita bangun," ujar Ranti saat memulai pembangunan rumah
"Ke bidan Aryani? Tak ke dokter Idil saja?" tanya Bayu cemas sembari berusaha mengusap-usap punggung Ranti yang sedang berbaring dengan posisi miring.Ranti memang berkonsultasi pada bidan dan dokter kandungan selama kehamilan. Jika tak ada masalah saat melahirkan, Ranti ingin melahirkan di bidan saja. Lebih nyaman rasanya daripada harus melahirkan dengan ditangani oleh dokter kandungan yang berjenis kelamin laki-laki. Di kota ini memang belum ada dokter kandungan wanita. Hanya saja, saat terakhir berkonsultasi Ranti sudah berpesan pada bidan Aryani bahwa jika kondisinya nanti ada masalah, meminta bantuan bidan itu membawanya ke dokter kandungan tempat selama ini Ranti memeriksakan rutin kandungannya juga."Ke Bidan Aryani saja, Bang. Kalau Adek ada masalah nantinya, baru Abang bawa ke Dokter Idil ya. Bidan Aryani juga sudah Adek pesankan," ujar Ranti sembari mencoba mengangkat tubuhnya dari kasur. "Abang pesan taksi online dulu kalau begitu, Dek."Bayu meraih gawai yang ada di kanto
Karena persalinannya normal dan tak ada masalah, sore harinya Ranti sudah diizinkan oleh bidan untuk pulang. Sang bidan berjanji akan berkunjung ke rumah untuk melakukan pemeriksaan pada Ranti dan bayinya di hari ketiga dan hari ketujuh. Ranti sangat bersyukur dapat ditangani oleh Bidan Aryani ini. Pelayanannya yang sabar dan ramah membuat seorang ibu yang akan melahirkan tak merasa takut ataupun cemas. Apalagi dengan adanya sistem kunjungan seperti yang dijanjikannya ini. Sebagai wanita yang baru pertama kali melahirkan, Ranti merasa benar-benar sangat terbantu. Apalagi dengan kondisinya jauh dari sanak saudara saat ini."Abang pesan taksi online dulu, Dek. Jangan bilang mau naik motor tadi. Kasihan Alif kena angin nantinya," ujar Bayu sembari menggerakkan jemarinya di layar pipih gawai miliknya.Muhammad Alif Jalaluddin, nama yang dipilih Ranti dan Bayu untuk putra pertama mereka. Seperti harapan mereka agar putra mereka nantinya memiliki kemuliaan agama dalam hidupnya.Kali ini Rant
Ranti hanya tersenyum mendengar ucapan Bayu. Diraihnya gawai untuk menghubungi Bunga. Ternyata Bunga berjanji jika malam nanti akan membawa ibunya langsung ke rumah Ranti. Biar Ranti sendiri yang menyampaikannya pada sang ibu. Ranti berharap wanita itu dapat membantunya. Tak ada sanak saudara yang dapat diharapkannya saat ini.Harapan Ranti terkabul. Wanita paruh baya yang bernama Bu Ayu itu dengan senang hati menerima tawaran yang diajukan Ranti padanya."Ibu senang sekali, akhirnya punya pekerjaan tetap seperti ini. Selama ini serabutan, Bu. Tak tetap penghasilannya. Sedangkan adik Bunga butuh biaya untuk sekolah. Untung saja, sejak Bunga bekerja dengan Ibu, dia dapat menolong Ibu mencukup kebutuhan hidup sehari-hari. Sekali lagi terima kasih, Pak, Bu. Mulai besok saya akan datang ke sini sekitar jam tujuh pagi diantar Bunga."Ranti tahu, Bunga mengambil cicilan motor bekas saat mulai bekerja dengannya. Melihat sikap gadis itu yang baik selama ini, Ranti berharap ibunya pun memiliki
Bu Ayu yang tak mengenal tamunya ini merasa bingung. Bukan lazimnya cara orang bertamu seperti ini. Siapakah kedua wanita yang ada di hadapannya saat ini?"Ibu siapa ya? Kok diam saja, tak mempersilahkan kami masuk," ujar sang gadis dengan nada meremehkan."Maaf, bukannya lancang. Harusnya saya yang bertanya, kalian siapa? Ada perlu apa?" tanya Bu Ayu dengan nada lembut.Hatinya merasa cukup kesal melihat tingkah kedua orang yang mungkin tujuannya hendak bertamu ini. Umur yang telah menginjak kepala empat, banyak bertemu orang dengan banyak tingkah dan pola. Hanya dengan melihat sekilas saja, Bu Ayu dapat menebak sifat kedua wanita. "Saya ini Bu Ratna, ibunya Bayu, yang tinggal di rumah ini. Dan ini anak saya, Nina, adik Bayu."Sontak saja Bu Ayu terkejut saat mendengar penuturan wanita itu. Kok bisa-bisanya Bayu mempunyai ibu dan adik model seperti ini? Bayu dikenalnya sebagai sosok yang ramah dan sopan pada siapapun. Atau jangan-jangan ini ibu dan adik tiri Bayu barangkali. "Kamu s
"Kami hanya membutuhkan orang yang akan menemani aku dan Alif selama Bang Bayu bekerja. Lagi pula, ini pertama kali aku melahirkan. Kami tak punya pengalaman sebelumnya. Aku tak punya sanak saudara di sini. Lantas salah jika aku meminta bantuan pada orang lain yang bersedia?" tanya Ranti pada mertua dan iparnya itu. Ada kekesalan yang sedang coba ditahannya.Sontak saja wajah Bu Ratna dan Nina berubah. Sungguh, mereka tak menyangka Ranti mampu membalas semua perkataan yang mereka lontarkan."Tak punya saudara katamu? Lantas kami ini kami anggap apa, Ran? Kamu pikir kami tak bersedia membantumu?"Bu Ratna tampak meradang saat mendengar ucapan menantunya itu. Wanita paruh baya itu tak terima keberadaannya tak dianggap sama sekali oleh Ranti. "Apa Ibu menganggap aku sebagai bagian keluarga besar selama ini? Satu lagi, Ibu bersedia membantuku? Apa aku tak salah mendengarnya? Melihat anakku saja, cucu kandung Ibu, Ibu tak sudi. Apalagi jika mengurusnya."Lirih Ranti berkata, namun ada kete
Tanpa terasa, sudah enam bulan usia Alif. Sejak usia putranya itu dua bulan, Ranti sudah kembali sibuk terjun langsung pada usaha rotinya. Bu Ayu pun masih setia membantu mereka untuk segala urusan rumah, termasuk mengurus Alif. Ranti merasa beruntung bertemu dan meminta bantuan wanita itu dulunya.Bu Ayu tak pernah perhitungan dengan pekerjaannya. Segala yang mampu dikerjakan olehnya, akan langsung dikerjakannya tanpa menunggu perintah. Rumah yang ditempati Ranti tak ubah dianggapnya rumah sendiri. Terlebih pada Alif, wanita itu sudah menganggapnya bak cucu sendiri. Sering kali Firman, putra bungsunya malahan menyusul ke rumah Ranti hanya untuk bermain bersama Alif."Bu Ranti, maaf sebelumnya. Bolehkah jika Firman, adik Bunga menyusul ke sini jika sudah pulang sekolah? Katanya sepi sendirian di rumah. Kangen sama Alif juga. Tapi, itu pun jika Bu Ranti dan Pak Bayu tak keberatan. Saya paham dan mengerti jika tak dibolehkan."Kala itu Bu Ayu menyampaikan keinginan pada Ranti dengan na