***Krieeeetttt... Pintu kayu yang sudah lapuk itu perlahan tertutup. Suara derap langkah kaki Melati terdengar mendekat."Mbah.. sampean lupa yo, aku bukan lagi Mawar, Mbah. Aku MELATI, jangan lupakan itu. Santo dengar dan hampir curiga, Mbah," ujar Melati yang kini duduk di samping Mbah Karso. Mbah Karso menatap dengan mata tuanya, memindai wajah yang tampak asing di depannya. Dia Mawar, tapi bukan Mawar. Ah, benar-benar di luar nalar manusia."Maaf yo, Nduk. Maafkan Si Mbah. Mbah cuma belum terbiasa," sesal Mbah Karso."Ndak apa-apa, Mbah. Kita harus lebih berhati-hati agar semua berjalan sesuai dengan rencana. Aku ndak mau pembalasan dendam ini gagal. Mereka yang membuatku mati juga harus mati dengan cara yang jauh lebih kejam dari cara mereka meniadakan aku." Melati menyahut dengan tangan terkepal.Mbah Karso tampak menghela nafas panjang, hatinya sama sakitnya. Kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa karena takdir merenggut membuat hatinya hancur berkeping."Apa rencanamu,
Santo sudah hampir sampai ke tempat biasa Pak Dahlan menunggu penumpang. Namun, dari kejauhan, dia melihat delman Pak Dahlan sudah berjalan menjauh dengan beberapa penumpang di dalamnya. Santo berteriak memanggil, sambil mempercepat langkahnya, namun sialnya sebuah batu membuatnya tersandung dan jatuh. Kakinya terkilir, susah digerakkan."Pak!! Pak Dahlan!" seru Santo. Namun delman satu-satunya di desa itu tampaknya sudah menjauh pergi. "Ck! Pakai acara jatuh segala! Sekarang aku kudu piye? Aku ketinggalan delman, mau balik ke rumah, jauh... Mana kakiku sakit pula, huft!" keluhnya. Santo melihat sekitar dan mendapati langit sudah mulai menggelap. Lelaki itu meneguk salivanya dengan susah payah."Ndak apa-apa, Maghrib masih lama, mending jalan pelan-pelan dan kembali ke rumah," gumamnya berusaha menguatkan diri.Santo berjalan tertatih-tatih, menyeret langkahnya melewati jalanan yang becek dan berbatu. Suara meringis berkali-kali keluar dari mulutnya. "Aghhh sial! Ndak bisa, aku pasti
Tepat dini hari, penyadap getah karet menyebar untuk melakukan pekerjaannya. Was-was sudah pasti, takut apalagi, jangan ditanya. Kabar soal Mawar yang bergentayangan sudah menyebar ke seluruh penjuru desa. Bahkan, desa sebelahpun juga sudah tau tentang hal itu. Tapi apa mau dikata, kewajiban tetaplah kewajiban, meski harus mati-matian melawan rasa takut yang merajai diri.Seperti halnya Pak Karmo dan Istrinya, Sulastri. Mereka keluar dari rumah tepat pukul 01.30, berniat menyadap getah karet demi menyambung hidup."Pak... Perasaanku kok ndak enak, yo? Aku... takut, Pak..." lirih Sulastri. Dia merapatkan diri, melangkah di samping Pak Karmo. "Halah, takut opo? Ada Bapak, ndak bakalan ada yang ganggu!" Sahut Pak Karmo santai. Dia terus menjejaki langkahnya menuju ke perkebunan karet yang sudah tak jauh lagi."Aku takut... Mawar Pak," bisik Sulastri dengan suara bergetar. "Halah, gadis kutukan itu? Ngapain takut, dia yang harusnya takut sama Bapak! Berani muncul, ku buat dia mati dua k
"Bawa Santo ke dalam. Baringkan di amben itu, setelahnya kalian wis boleh pulang," ujar Eyang Putri pada orang-orang yang membantu mengantarkan Santo pulang. Wanita sepuh itu menyingkir dari pintu, memberikan ruang untuk mereka memasuki rumah sederhananya. "Sampun, Eyang!" Salah satu dari mereka berseru. Eyang Putri mengangguk, dia berjalan mendekat. "Apa ndak sebaiknya dibaluri minyak angin dulu, Eyang? Besok pagi-pagi sekali biar saya bantu panggilkan Mbok Nah, sangkal putung di desa sebelah." Yang lain menyahut menimpali.Eyang Putri segera menyeret langkahnya menuju ke kamar yang terletak di bagian paling belakang. Dia membuka dan mengacak lemari kayu jatinya. Shhhhhh... Angin berhembus pelan mengibarkan kelambu jendela yang lupa tak ditutup. Seketika rasa dingin menusuk tulang.Eyang Putri berdecak, "Ck! Ngapain koe berdiri disitu? Nyingkriho (minggirlah), aku buru-buru!" sentaknya dengan suara seraknya. Sosok bergaun hitam itu cuma menatap datar, namun tangannya terangkat dan m
"Jangan melindungiku seolah aku lemah, aku masih bisa mengatasi ini sendiri, Nyai." Mawar menggumam pelan namun terdengar cukup tegas. "Cih! Kau bahkan bisa membalaskan dendammu itu karenaku," ejek Nyai Larapati. "Kau membutuhkanku ... Dan akan selalu begitu," imbuhnya sembari tersenyum sinis. "Terserah, tapi lain kali biarkan aku menjadi kuat berbekal rasa sakitku sendiri. Biarkan aku yang hadapi rintanganku, saat semua selesai, aku akan merasa sangat terpuaskan." Mawar menyahut lirih, Nyai Larapati memahami itu."Baiklah, tapi urus dulu yang satu ini," ucap Nyai Larapati sambil menunjuk ke arah sosok yang kini merangkak mendekat. "Tunjukkanlah seberapa kuat dan seberapa besar sakitmu itu," titah Nyai Larapati. "Kau terlalu berisik untuk setingkat ratu kegelapan, kau lebih mirip seorang Ibu tukang ngomel," cibir Mawar yang kemudian melesat cepat dan menubruk sosok itu. Sosok bergaun merah itu menyeringai, menatap lekat pada tanduk tak sempurna yang menghiasi kepala Genderuwo di hadap
Dinginnya malam menusuk tulang, membuat tubuh tanpa pakaian Pak Joko menggigil. Dia meraba-raba samping tempat tidurnya, berniat membangunkan istrinya untuk mengambilkan sebuah selimut demi menghangatkan dirinya. Namun ternyata istrinya tak ada di sampingnya.Meski terkantuk-kantuk, dengan refleks Pak Joko membuka mata. Dia melirik jam di dinding yang baru menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Perasaannya mendadak tak enak saat teringat percakapannya dengan istrinya beberapa saat lalu."Masa sih dia ke kamar mandi terus ketiduran disana?" gumamnya pelan.Pak Joko segera bangun dan membenarkan lipatan sarungnya yang nyaris lepas. Dia berjalan tergesa-gesa menuju dapur. Pintu dapur sana masih terbuka lebar, membuatnya semakin yakin bahwa Bu Jamila memang masih berada di kamar mandi."Bu ...." Panggilnya.Pasang matanya memicing. Dalam remang tampak sesosok bergaun putih tergeletak di pinggiran sumur. Pak Joko dilema, langkah kakinya tampak maju mundur. Dia ragu apakah yang tergeletak di pi
"Assalamu'alaikum, Le! Ibu pulang," seru Bu Yayuk sambil mengetuk-ngetuk pintu."Mbok, Pak Lik Aji kok ndak cepat buka pintu toh? aku ngantuk, capek," rengek Wahid."Sabar yo, Le. Paling juga dia belum bangun," sahutnya dengan tangan membelai rambut cepak Wahid."Dobrak saja Mbok, biar ndak kelamaan," ujar Wahid memberi saran."Hish, rusak toh pintunya. Sudah, tunggu disini dulu. Jendela ruang tengah bisa dibuka dari luar,"Bu Yayuk melangkah ke samping rumah. Dia menarik-narik daun jendela yang memang sudah rusak penguncinya. Tak butuh waktu lama, jendela itu terbuka. Ukurannya cukup besar untuk dimasuki bocah seusia Wahid."Le, Wahid! Sini masuk duluan lewat jendela, terus koe bukain si Mbok pintu yo!" titah Bu Yayuk.Wahid berlari menghampiri Neneknya. Dia mulai naik ke jendela lalu melompat masuk. Dia berjalan ke depan, melewati bufet yang jadi pembatas antar ruang."Aaaaa!!" serunya menjerit menjadi-jadi."Ono opo Le? Wahid, cepat buka pintunya! Ada apa toh!?" tanya Bu Yayuk pani
Tok Tok Tok"Permisi," ujar Melati yang berdiri kaku di deoan pintu."Siapa itu, Yu?" tanya Bu Yayuk."Ini Melati namanya. Dia kerabat jauhnya Mbah Karso. Datang kesini karena Mbah Karso lagi sendirian dan dalam kondisi ndak sehat," sahut Mbok Asih yang ternyata datang bersamanya."Permisi, salam kenal," ujar Melati sopan. "Ayu banget," gumam mereka yang hadir. Hampir semua mata terpikat akan kecantikannya. Mereka semua menatap kagum, kecuali Eyang Putri dan Bu Jamila."Rasanya wajah itu ndak asing. Dimana aku pernah melihatnya yo?" batin Eyang Putri."Wajahnya ... sepertinya aku pernah lihat," celetuk Bu Jamila."Kita memang pernah ketemu beberapa hari yang lalu, Bu. Sampean mungkin sudah lupa," jawab Melati masih sambil membingkai senyum manis."Apa dia mengenali wajah ini?" batin Mawar."Jangan khawatir, si tua bangka ini pasti sudah pikun. Energiku juga sudah kutekan, dia tak akan bisa merasakan kehadiranku," sahut Nyai Larapati. Lucu dan terkesan aneh. Dua entitas saling berbic
"Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.
"Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S
Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja
Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu
Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena
Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it
"Ngik! Ngik! Uhuk uhuk! opo iki!? aduh, dadaku kok sesak yo!?" Mamat tampak terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya."Uhuk uhuk! asap opo iki?" tanya Astri."Ndak tau! argh sesak!" sahut Mamat.Perempuan 28 tahun itu turun dari amben dengan gemetar. Kekurangan oksigen membuatnya melemas. Dia amati sekeliling kamar yang dipenuhi kabut merah. "Ini bukan asap, Mas! Ini kabut merah! Ah, coba sampean cek Ragil di kamarnya, Mas!" pinta Astri pada suaminya.Mamat berjalan dengan gontai menuju kamar belakang. Di kamar itu Ragil, bocah 9 tahun itu lelap sendirian. Mamat terhenyak melihat Ragil sudah tergeletak di bawah. Wajahnya pucat, napasnya pelan."Gusti! Ragil, Nak!!" panggil Mamat panik. Lelaki 33 tahun itu menghambur masuk. Dia raih putranya ke dalam gendongannya. Dia paksa kakinya yang lemas untuk melangkah keluar."Dek! Ragil ndak sadar! ayo keluar, kita cari bantuan!" teriak Mamat dari ambang pintu.Astri yang terkejut bergegas menyusul suaminya keluar. Namun langkahnya terhent
Kertawani menggeliat pelan di atas amben panjang. Suara ramai membuatnya terjaga. Rupanya tempat yang dia pilih untuk melepas penat semalam adalah sebuah pasar tradisional."Sudah tau ndak ... kabarnya di desa Ledok lagi geger! dukun muda sing terkenal sakti mandraguna itu dibantai," ujar seseibu bernama Sri memulai gosip pagi."Ah sing bener, Sri? aku ndak tau tuh," tanya Inah."Lho beneran, bojoku kan semalam kesana nengokin Pak Leknya yang sakit keras. Ternyata sakitnya itu juga katanya karena ulah si dukun yang nyari tumbal," sahut Sri meyakinkan."Maksudmu piye? tumbalnya ambil dari warga desa Ledok begitu?" Painem, si pedagang kembang ikut bertanya."Ho'oh, kabarnya sih begitu. Makanya, dia dan istrinya benar-benar disiksa habis-habisan semalam. Babak belur karena dipukuli, dicambuk juga." Sri memberi keterangan."Terus piye?" tanya Sutija penasaran."Kata suamiku, terakhir Ki Kartasakti dan Istrinya itu, uhm ...," ujar Sri tagu."Kenapa? Ono opo?" desak Inah tak sabaran."Ki Ka
Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b