Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja
"Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S
"Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.
Seorang gadis muda bermayang panjang berjalan mondar-mandir di depan pintu. Sesekali, dia menggigit kukunya hanya demi menyalurkan kegusarannya. "Dimana Si Mbah? ini sudah hampir tengah malam, kenapa Si Mbah belum pulang juga?" gumamnya bermonolog.Dia membuka jendela gedeknya lantas melongokkan kepalanya keluar. "Gerhana bulan merah?" gumamnya lagi seraya menatap langit malam. Angin berhembus kencang, membelai mesra wajah ayu serta rambut hitam legamnya yang tergerai. Dia memejamkan mata, merasakan kesejukan yang membawa kedamaian sejenak."Ah, ndak ilok (tak baik) buka jendela malam-malam, nanti yang ndak di undang malah datang," gumamnya lirih sembari menarik kembali daun jendelanya, lantas menutupnya rapat. Lelah menunggu, dia memasuki kamarnya, merebahkan tubuh rampingnya di atas amben. Dia menatap langit-langit ruangan, cukup lama hingga akhirnya pasang matanya pejam. Dia, gadis yang paling dibenci di desa telah terlelap.**Tok Tok Tok** Suara ketukan terdengar sebanyak tiga k
"Tak!" "Aarghhh!" seekor ular berbisa mematuk lelaki yang sedang bergerak liar di atas tubuh Mawar. Lelaki itu langsung bangkit, mengurai penyatuan mereka dan mengerang memegangi lukanya."Ulo Weling! Ah, Kang! sampean dipatuk Ulo Weling!"Mereka berdelapan sibuk dengan dia yang baru saja dipatuk ular berbisa. Mawar segera menggunakan kesempatan itu untuk meraih pakaiannya lantas mengenakannya dengan cepat. Tubuh yang lelah dan remuk dia paksakan melangkah. Jalannya tertatih-tatih karena bagian inti tubuhnya terkoyak habis, bersamaan dengan harga dirinya yang lebur tanpa sisa."Robek bajunya, ikat sekitar lukanya dengan itu!""Kakiku panas! Hah.. hahh.. hahh.. aku ndak bisa bernafas, Kang! Hkkkhh!!" Lelaki tadi mengejang, matanya terbelalak seiring dengan nafasnya yang satu-satu.Kepanikan membuat mereka terlambat mengambil tindakan. "Ini pasti gara-gara sumpah si perempuan iblis itu!" umpatan dari mereka kembali terdengar."Dimana dia!?""Lha, bukannya tadi di... Lha kok ilang!?" "
Prakkk!!Mbah Karso memecah celengan berbentuk kendi berbahan tanah liat miliknya hingga isinya tumpah. Dia mulai memunguti satu persatu uang yang berserakan. Air matanya tak henti mengalir dari mata rentanya. "Ndak cukup," lirihnya nyaris tak terdengar."Nduk, sekarang istirahatlah dulu yo Nduk. Tunggu disini, Mbah mau ke rumah Kardi." Mbah Karso berbicara pada jasad Mawar yang dia tidurkan di tikar ruang tamu.Mbah Karso keluar, dia menyeret langkahnya pelan menuju rumah Kardi yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari rumahnya. Nafasnya terengah-engah, dia sudah cukup kepayahan malam ini. Duka dan kenyataan menghantam hati dan mentalnya telak. Tubuh rentanya dipaksa kuat menangani semua seorang diri.Mata Mbah Karso berbinar, rumah sederhana milik Kardi terlihat di kejauhan sana, membuatnya memaksa mempercepat kaki tuanya melangkah.**Dok Dok Dok Dok**"Assalamualaikum! Dii! Kardi!" Serunya dengan suara sengau."Dii!!" Serunya sekali lagi.Krieeeeettt... Suara derit pintu terdenga
Mbah Karso membuka mata, kala merasakan sengatan di kulitnya yang keriput. Benar, mentari telah meninggi, sinarnya terasa menyengat dan membakar kulit. Setelah malam yang begitu melelahkan, tanpa terasa Mbah Karso ketiduran di atas gundukan tanah makam cucunya. "Ngapain disitu, Mbah? Anak itu ndak akan hidup lagi, wis percuma di tangisi! Mending pulang dan lanjut tidur," seru seorang wanita yang tampaknya akan pergi ke sawah mengantarkan kiriman nasi. Mbah Karso memilih diam, tak tertarik untuk sekedar menyahuti. "Hah, sampean kok malah nangis sendirian? wis bagus dia mati, jadi warga desa ini bisa hidup dengan tentram, tanpa perlu takut ratu iblis itu bangkit melalui tubuh Mawar!" imbuh Bu Jamila tanpa peduli perasaan. "Putuku bukan binatang! Seenaknya lambemu (mulutmu) ngomong mati! Aku ngerti, sampean benci Mawar, tapi ndak adakah sedikit saja simpati sampean buat dia yang sudah menyatu dengan tanah? Atau mungkin hati sampean memang wis mati?" umpat Mbah Karso dengan geramnya."
Mbah Karso mengangkat benda bulat kecil di tangannya, memindainya dengan mata renta berlingkar hitam di bawahnya. Sinar mentari menerobos masuk dari celah gedeknya yang berlubang, membuat benda itu makin tampak berkilau karena terbias cahaya."Permata merah ini," gumamnya sembari mengenang masa lalu. Mbah Karso memejamkan matanya rapat. "Bapak, ternyata jadi orang lemah itu menyakitkan, karena kelemahanku ini, aku gagal menjaga Cucuku sendiri." Lagi, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Mawar."Balaskan..." Lirih suara terdengar menyapu gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso celingukan mencari sumber suara yang terdengar mendayu-dayu itu."Si-siapa?" serunya parau. Mbah Karso berdiri dari jongkoknya, sesekali tangan keriput miliknya mengusap-usap tengkuk."Kau melupakan aku, Bocah?" suaranya terdengar dekat, Mbah Karso kembali memindai sekitar, namun lagi-lagi tak dia temukan siapapun. Dia hanya sendirian saja."Akulah yang membersamai Kartasakti," suara itu terdengar semakin