"Tak!"
"Aarghhh!" seekor ular berbisa mematuk lelaki yang sedang bergerak liar di atas tubuh Mawar. Lelaki itu langsung bangkit, mengurai penyatuan mereka dan mengerang memegangi lukanya."Ulo Weling! Ah, Kang! sampean dipatuk Ulo Weling!"Mereka berdelapan sibuk dengan dia yang baru saja dipatuk ular berbisa. Mawar segera menggunakan kesempatan itu untuk meraih pakaiannya lantas mengenakannya dengan cepat. Tubuh yang lelah dan remuk dia paksakan melangkah. Jalannya tertatih-tatih karena bagian inti tubuhnya terkoyak habis, bersamaan dengan harga dirinya yang lebur tanpa sisa."Robek bajunya, ikat sekitar lukanya dengan itu!""Kakiku panas! Hah.. hahh.. hahh.. aku ndak bisa bernafas, Kang! Hkkkhh!!" Lelaki tadi mengejang, matanya terbelalak seiring dengan nafasnya yang satu-satu.Kepanikan membuat mereka terlambat mengambil tindakan. "Ini pasti gara-gara sumpah si perempuan iblis itu!" umpatan dari mereka kembali terdengar."Dimana dia!?""Lha, bukannya tadi di... Lha kok ilang!?""Ayo cari dia, dia sebab utama atas apa yang menimpa Pramono!""Ahhh, Pramono begini karena dipatuk ulo, Kang!" sanggah salah satunya."Koe ndak ingat toh? Sebelum itu, perempuan setan itu sempat menyumpahi kita mati! Ayo kita buat sumpah itu kembali padanya sebelum sampai ke kita,"Para lelaki itu berpencar, meninggalkan Pramono sendirian dalam keadaan sekarat."Hiks hiks hikh! aku ndak mau mati," lirih Mawar sambil menahan nyeri yang merajai tubuhnya. Darah mengalir, merembes di sela-sela rok selututnya.Drap Drap DrapDari kejauhan sana, terdengar suara derap langkah ramai yang kian mendekat. Mawar menoleh ke belakang, dia gemetaran hebat. Semakin keras usahanya menyeret langkahnya yang tertatih demi menyelamatkan diri.Sreeeeeet!!! "Aaakhhhh!" Mawar meronta, sementara seorang lelaki menarik rambutnya tanpa ampun. Diseretnya tubuh Mawar ke arah tebing yang tak jauh di depan sana.Sementara itu, di desa sebelah..."Duh Gusti, aku ketiduran! Jam berapa ini sekarang!?" seru seorang pria paruh baya sembari menepuk keningnya. Dia menatap langit yang sudah menggelap pekat, juga suasana sekitar yang sudah sepi. Dia segera turun dari amben bambu yang sengaja diletakkan di teras rumah. Pria bernama Mbah Karso itu menurunkan sepasang kakinya, lalu mulai memasang sandal jepit yang sebenarnya sudah tak layak pakai."Niatnya mau istirahat sebentar selesai bersihkan rumah dan pekarangan, eh malah ketiduran. Kasian Mawar, dia pasti sudah menunggu aku di rumah," gumamnya dengan pikiran terbayang wajah cucu semata wayangnya. Dia segera meraih pincuk daun jati berisi makanan yang Tuan Rumah berikan pada Mbah Karso, lalu menyalakan obor yang dia bawa kemudian melangkah pergi menembus kebun mahoni yang terbentang di depan sana."Alhamdulillah, Juragan Sutris bawakan makanan bungkus. Mawar pasti suka, ini makanan mewah yang bahkan belum tentu bisa aku belikan meski setahun sekali. Aku jadi ndak sabar untuk cepat sampai rumah," gumamnya sambil terus menyeret langkahnya dalam gelap."Wis sepi, sepertinya ini wis tengah malam. Oh walah, maafkan Si Mbah yo Nduk! Sampean pasti menunggu dengan cemas," Seru Mbah Karso sambil sesekali mengelap peluh yang membanjiri pelipisnya. Dia mempercepat laju langkahnya, lalu berbelok di belokan depan sana, mengambil jalan pintas melewati perkebunan kopi di bawah tebing.Malam begitu dingin mencekam, suara nyanyian binatang malam mengiringi langkah Mbah Karso yang lebar-lebar. Sesekali, desau angin membuat dedaunan bergemerisik. Tiba-tiba, kilat petir menyambar-nyambar pertanda akan segera turun hujan. Mbah Karso berjalan setengah berlari membelah kegelapan."Aaaarkhhhh!!! Tolong!" suara teriakan terdengar pilu menusuk gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso sontak mengehentikan langkahnya, lalu memutar badan mencari sumber suara."Duh Gusti, suara apa barusan itu? Apa suara memedi?" Gumamnya sambil memicingkan mata memindai sekitar. "Halah, wis pura-pura ndak dengar saja!" sambungnya lalu melanjutkan langkah. Namun lagi-lagi, suara meminta tolong kembali terdengar."Aaaarkhhhh!! Mbah, tolong!!" Teriakan itu terdengar semakin jelas. Mbah Karso yang berada di dekat tebing menoleh ke atas, ke arah dimana sumber suara berasal. Pasang matanya memicing, dia menajamkan pendengarannya.**Brughhh!!!**Seseorang terjatuh tepat di depan mata Mbah Karso. Tubuhnya mendarat tepat di atas bekas pohon tumbang yang ujungnya runcing. Mbah Karso diam mematung, tubuh rentanya gemetaran hebat, degup jantungnya semakin menggila tak terkendali. Dia mendekat, menyoroti wajah ayu yang terpercik darah itu dengan seksama. Mendadak, pasang mata tua itu memanas. Bungkusan daun jati berisi nasi, telur dan ayam balado di tangannya itu jatuh terserak."Nduk..." gumamnya dengan suara bergetar lirih. "Ndukkkkk!!! Mawar!" Teriaknya parau. Mbah Karso mendongak, melihat ke atas tebing. Bulan merah seakan bersembunyi di baliknya. Bayang-bayang beberapa orang terlihat, sebelum akhirnya menghilang ditelan gelap malam.Mbah Karso kembali mengalihkan pandangannya ke arah dara jelita itu. "Mbah.. me-reka... ja-hat.. pe-mer-kosa! me-re-ka meng-harap ke-matian-ku, Mbah.." lirih Mawar dengan terbata-bata menahan sakit tak berperi. Tangan putih pucatnya terulur, pasang mata merah itu menatap nanar pada Mbah Karso, satu-satunya orang di dunia ini yang bersedia menerima hadirnya."Siapa, Nduk!? Siapa yang tega berbuat sekeji ini, siapa!?" tanya Mbah Karso setengah berteriak."Wa-warga.. de-sa, khhkkh.. khhkhh!" Mawar sekarat, dadanya naik turun, pasang matanya melotot tajam, tubuhnya mengejang."Uhuk uhuk!" Semburan darah keluar dari mulutnya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya melemas. Mata itu pejam begitu saja. Tangan yang semula berada dalam genggaman Mbah Karso kini jatuh terkulai. Mbah Karso berteriak, menangis meraung-raung, tak terima atas apa yang menimpa Mawar, cucunya."Aaaaaaargkkkkhhh!! Mawar!!!" serunya dengan suara parau.**Brughhh!**Mbah Karso jatuh bersimpuh, menangisi tubuh yang tak lagi bergerak di hadapannya. Masih segar dalam ingatannya, setiap jengkal kenangan manis yang dia miliki bersama."Nduk, kenapa dunia begitu ndak adil untuk sampean? Selama hidup, sampean jauh dari kata bahagia, kenapa bahkan di penghujung kehidupanpun, yang menghantar sampean adalah nestapa?Katakan, Nduk! Gimana lagi cara si Mbahmu ini bersabar pada takdir!? Cuma sampean yang Mbah punya, namun takdir merenggut sampean paksa dengan cara yang hina!" seru Mbah Karso dengan bahu berguncang. Tangisnya pilu menyayat hati.Burung hantu mengepakkan sayapnya terbang mendekat, bertengger tepat di samping tubuh yang tergeletak bersimbah darah. Kepalanya memutar, menatap lekat ke arah Mawar yang kini tak lagi mekar karena kehidupan meninggalkannya."Ayo kita pulang, Nduk.. Mbah gendong yo?" gumamnya. Pria renta itu mulai memposisikan diri. Dia mengangkat tubuh Mawar dengan susah payah. "Hiks hiks, sampean abot Nduk! Sampean wis gede. (Kamu berat Nduk, kamu sudah besar.)" ujarnya dengan lutut bergetar menahan beban.Brugh! Dia terjatuh bersimpuh, dengan Mawar di pangkuan. "Sayangnya, sampean cuma bertumbuh dewasa, tapi ndak bisa sampai menua." Mbah Karso meratap sembari berusaha bangkit, lalu mulai melangkah tertatih-tatih membelah kegelapan malam."Tenanglah, Cah Ayu. Mbah bakal cari siapa dalang dibalik semua ini. Mbah bakal balaskan semuanya, ndak peduli apapun caranya!" gumam Mbah Karso di sela nafasnya yang terengah-engah karena penyakit asmanya yang seringkali kambuh.Prakkk!!Mbah Karso memecah celengan berbentuk kendi berbahan tanah liat miliknya hingga isinya tumpah. Dia mulai memunguti satu persatu uang yang berserakan. Air matanya tak henti mengalir dari mata rentanya. "Ndak cukup," lirihnya nyaris tak terdengar."Nduk, sekarang istirahatlah dulu yo Nduk. Tunggu disini, Mbah mau ke rumah Kardi." Mbah Karso berbicara pada jasad Mawar yang dia tidurkan di tikar ruang tamu.Mbah Karso keluar, dia menyeret langkahnya pelan menuju rumah Kardi yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari rumahnya. Nafasnya terengah-engah, dia sudah cukup kepayahan malam ini. Duka dan kenyataan menghantam hati dan mentalnya telak. Tubuh rentanya dipaksa kuat menangani semua seorang diri.Mata Mbah Karso berbinar, rumah sederhana milik Kardi terlihat di kejauhan sana, membuatnya memaksa mempercepat kaki tuanya melangkah.**Dok Dok Dok Dok**"Assalamualaikum! Dii! Kardi!" Serunya dengan suara sengau."Dii!!" Serunya sekali lagi.Krieeeeettt... Suara derit pintu terdenga
Mbah Karso membuka mata, kala merasakan sengatan di kulitnya yang keriput. Benar, mentari telah meninggi, sinarnya terasa menyengat dan membakar kulit. Setelah malam yang begitu melelahkan, tanpa terasa Mbah Karso ketiduran di atas gundukan tanah makam cucunya. "Ngapain disitu, Mbah? Anak itu ndak akan hidup lagi, wis percuma di tangisi! Mending pulang dan lanjut tidur," seru seorang wanita yang tampaknya akan pergi ke sawah mengantarkan kiriman nasi. Mbah Karso memilih diam, tak tertarik untuk sekedar menyahuti. "Hah, sampean kok malah nangis sendirian? wis bagus dia mati, jadi warga desa ini bisa hidup dengan tentram, tanpa perlu takut ratu iblis itu bangkit melalui tubuh Mawar!" imbuh Bu Jamila tanpa peduli perasaan. "Putuku bukan binatang! Seenaknya lambemu (mulutmu) ngomong mati! Aku ngerti, sampean benci Mawar, tapi ndak adakah sedikit saja simpati sampean buat dia yang sudah menyatu dengan tanah? Atau mungkin hati sampean memang wis mati?" umpat Mbah Karso dengan geramnya."
Mbah Karso mengangkat benda bulat kecil di tangannya, memindainya dengan mata renta berlingkar hitam di bawahnya. Sinar mentari menerobos masuk dari celah gedeknya yang berlubang, membuat benda itu makin tampak berkilau karena terbias cahaya."Permata merah ini," gumamnya sembari mengenang masa lalu. Mbah Karso memejamkan matanya rapat. "Bapak, ternyata jadi orang lemah itu menyakitkan, karena kelemahanku ini, aku gagal menjaga Cucuku sendiri." Lagi, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Mawar."Balaskan..." Lirih suara terdengar menyapu gendang telinga Mbah Karso. Mbah Karso celingukan mencari sumber suara yang terdengar mendayu-dayu itu."Si-siapa?" serunya parau. Mbah Karso berdiri dari jongkoknya, sesekali tangan keriput miliknya mengusap-usap tengkuk."Kau melupakan aku, Bocah?" suaranya terdengar dekat, Mbah Karso kembali memindai sekitar, namun lagi-lagi tak dia temukan siapapun. Dia hanya sendirian saja."Akulah yang membersamai Kartasakti," suara itu terdengar semakin
"Duh Gusti, semoga dia ndak menemukan aku," batin Mbah Karso. Terdengar lucu memang, dia sedang mencuri ayam tetangga, namun dia juga berdoa kepada Tuhan yang dia sekutukan agar kelakuannya tak ketahuan.Kardi mulai mendekat ke arah kandang. Pasang matanya memicing saat mendapati pintu kandang ayamnya terbuka. "Janc*k! Maling pitik! (Maling ayam!)" umpat Kardi. Dia bergegas menutup kembali pintu kandangnya, kemudian segera mengedarkan pandang ke berbagai penjuru sekitar rumahnya. Giginya bergemulatuk menahan amarah. Wajar saja, dia pecinta ayam, peliharaan ayamnya juga tergolong ayam yang langka dan mahal. Sudah pasti dia menahan geram, tak ingin kehilangan seekorpun ayam kesayangannya.Kardi berkeliling, mencari di semua sisi yang baginya tampak mencurigakan. Tempat terakhir yang akan dia periksa segera adalah kandang ayam petelur, dimana Mbah Karso bersembunyi di baliknya. Suara langkah diseret mendekat, keringat dingin membasahi kening keriput Mbah Karso.**Tes.. Tes.. Tes..**Kard
"Koe dengar suara kerincing kuda ndak?" tanya Eyang Putri, janda sepuh yang begitu dihormati di desa. Dia sedang menikmati makan malam berupa singkong rebus yang dicocol dengan sambal, saat tiba-tiba suara kerincing dan tapak kuda terdengar melewati pelataran rumahnya."Nggih, Eyang. Aku kira cuma aku yang dengar," sahut Santo, cucu semata wayang Eyang Putri."Semoga ini bukan suara kerincing kuda milik dia," gumam Eyang Putri yang seketika menghentikan makannya. Dia bangkit dari amben bambu beralaskan tiker pandan miliknya, lantas berjalan tertatih-tatih menuju jendela.Pasang mata tua dengan guratan halus terukir nyata itu memicing, kemudian hanya dalam beberapa detik saja, netranya membola. "Gawat!! Ini bencana!" Serunya dengan suara khasnya yang berat nan parau. "Ada apa Eyang? Bukankah Mawar sudah berhasil kami singkirkan? Lantas apalagi yang perlu ditakutkan?" tanya Santo pada Eyangnya."Ini bahaya yang jauh lebih besar, apa koe ndak lihat jejak aura serupa kabut merah di udara
Mentari baru saja terbit, membuat langit merona. Suasana pedesaan sangat kental, aroma kepulan asap hasil menanak nasi menyebar bercampur dengan aroma embun yang menyegarkan. Suara kokok ayam dan kicau burung terdengar bersahut-sahutan."Saaaayuuuuuuurrrrrr! Saaayuuuurrrrr!!!" Suara wlijo (bakul sayur) terdengar nyaring. Dia menjajakan sayurannya dengan sepeda onthel tua berkarat. Tak butuh waktu lama, para Ibu-ibu keluar dari rumahnya, berkumpul mengelilingi bakul sayur itu untuk sekedar berebut sayuran segar."Semalam aku ndak bisa tidur, suasana semalam entah kenapa agak lain sejak setelah waktu Isya'. Bayiku juga rewel terus, ndak tau kenapa," ujar Mina, seorang Ibu muda yang baru pindah dari desa sebelah sekitar dua hari yang lalu."Lha, koe ndak diganggu toh?" Bisik Bu Tini sambil berkali-kali mengusap tengkuk belakang yang meremang. Kening Mina mengernyit, "diganggu piye toh, Bu?" tanyanya keheranan. Para Ibu-ibu lain mendekat, lalu ikut berbisik."Sampean juga diganggu, Bu? Hih
Suara isak tangis yang terdengar bersahut-sahutan. Hingga beberapa saat kemudian, Mbah Karso kembali buka suara. "Siapa Nduk? Katakan, siapa orangnya? Siapa Iblis berwujud manusia yang sudah tega melecehkanmu, Nduk!?" tanya Mbah Karso dengan suara parau."Boleh aku lanjutkan ceritaku, Mbah?" tanya perempuan itu. Sakit, dendam, amarah dan putus asa tergambar jelas di matanya. Mbah Karso mengangguk, seolah mempersilahkan. Pria renta itu menghela nafas, menyiapkan hati untuk kembali digerogoti rasa sakit."Aku wis bilang sama mereka, Mbah. Mbah lagi ndak ada di rumah. Tapi mereka bilang, mereka sengaja datang saat sampean ndak ada. Aku ketakutan, Mbah. Aku merasa terancam. Aku melarikan diri lewat pintu belakang, berlari ke arah tebing dengan harapan bisa ketemu Mbah di jalan. Tapi.." "Kenapa, Nduk?""Kaki telanjangku tertusuk pecahan beling, Mbah. Sakit sekali. Aku ndak kuat buat sekedar berlari. Mereka kembali menemukan aku, Mbah. Mereka merudapaksa aku, sampai tanpa sengaja sumpahku
"Dek! Mau kemana toh? Kenapa buru-buru sekali?" tanya lelaku itu. Melati masih diam enggan menyahut. "Siapa namamu? Aku ndak pernah lihat sampean di desa ini sebelumnya," tanyanya lagi sambil menahan pundak Melati dan menariknya pelan. Melati berhenti dan berbalik."Aku MELATI," sahutnya sambil mengukir senyum aneh yang tak disadari oleh lelaki itu. Dia terlalu fokus mengagumi kecantikan wajah gadis jelita bermayang panjang di depannya."Ah, kenalkan aku Santo," ujar Santo memperkenalkan diri. "Sampean mau kemana? Sampean keliatan kebingungan, mau Mas antar?" tawar Santo. Melati mengangguk malu-malu. 'Kena kau!' gumamnya dalam hati.Keduanya berjalan berdampingan, Santo sengaja memperlama perjalanan mereka dengan niat melakukan pendekatan. Santo telah jatuh hati pada dia yang baru saja dia temui sekali ini."Sudah sampai, masuklah," titah Santo."Terima kasih karena sudah mengantar, Kang Mas!" ucap Melati dengan senyum manis terbingkai. Itu tentu membuat jantung Santo berdetak semakin
"Cah g3ndeng! wis dibilangin ojo asal celap-celup sana sini! Barangmu kok yo jadi biang masalah terus sih, Santo!?" tanya Eyang Putri naik pitam.Wanita renta itu menjitak kepala Santo. Dia sudah benar-benar tak paham lagi dengan Cucu satu-satunya itu. Bisa-bisanya dia bersengg4ma dengan setan. Tak masuk akal!"Eyang kok tega marahin Santo yang lagi sakit begini?" protes Santo."Mbuh! memang koe ini biang masalah! kalau koe bukan Cucuku, wis kubuang ke laut koe, To!" geram Eyang Putri."Sabar, Mbok ... sabar." Sunandar tampak berusaha menenangkan.Tok Tok Tok! pintu depan diketuk. Eyang Putri bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Ternyata, Slamet sudah berdiri disana dengan keringat menghiasi kening."Lho, Bagyo dimana?" tanya Eyang Putri."Ngapunten, Eyang. Ban mobil Pak Bagyo kempes, jadi ndak bisa bawa Santo ke kota. Pak Bagyo juga lagi kurang sehat," jelas Slamet.Eyang Putri mengangguk tanda mengerti. Slamet pamit undur diri. Setelah itu Eyang Putri kembali ke kamar Santoso.
"Arkghhhh, Eyang!" jerit Santo dari luar. Eyang Putri terjingkat kaget. Dia segera bangun dari tidurnya. Wanita renta itu berjalan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Suara teriakan Santo masih terdengar nyaring membuat Eyang Putri kalang kabut."Dimana koe, Santo!?" panggil Eyang Putri."Ada apa, Mbok?" tanya Sunandar yang kini juga berdiri di ambang pintu kamarnya."Ndak tau, Ndar. Tapi kedengarannya Santo teriak-teriak. Ini Mbok mau cek dulu," sahut Eyang Putri."Suaranya dari belakang sana, sepertinya dari arah sumur. Biar Nandar temani periksa keadaan, Mbok." Sunandar berjalan dengan langkah perlahan. Pria itu segera keluar ke belakang rumah bersama Eyang Putri. Keduanya kaget saat mendapati Santo dalam keadaan telanjang bulat di depan kamar mandi sana."Santo, kenapa koe teriak-teriak seperti orang kesetanan!? bikin kaget saja, ono opo!?" sentak Eyang Putri."Kenapa juga koe tel*njang bulat begini tengah malam?" timpal Sunandar."A-anuku ... anuku sakit sekali, Pak Lek," erang S
Ctarrrr!Suara gemuruh petir terdengar menggelegar. Lagi dan lagi, hujan turun mengguyur Desa Ledokombo. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana sejak menjelang siang tadi.Santo tergagap, dia sedang asyik tidur saat petir menyambar begitu keras. Jantungnya berdegup kencang. Dia menoleh ke arah jendela yang terbuka, air hujan masuk sebagian ke kamar sebab terbawa angin."Ah, jadi basah!" gerutunya. Dia bangun lalu berjalan tertatih ke arah jendela. Tangannya terulur berniat menutupnya. Namun gerakannya terhenti, dia melihat Melati berdiri di tengah hujan lebat tak jauh dari sana."Melati?" gumam Santoso.Dia mengucek matanya. Namun saat membuka mata, Melati sudah lenyap entah kemana. Santoso menghela napas panjang."Mungkin aku harus tanyakan keadaan Melati ke orang-orang, semoga dia ndak kena imbas teror," lirihnya sambil menutup jendela.Hari sudah sore jelang Maghrib, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit begitu gelap, suara kodok terdengar bersahut-sahutan. Udara menja
Sreeeettt ... Selimut Bu Jamila ditarik perlahan. Kuku-kuku runcing terasa membelai dan sedikit menekan betisnya. Bu Jamila menahan napas, tubuhnya menegang.Bulir-bulir keringat dingin mulai menghiasi keningnya. Udara terasa dingin dan panas secara bersamaan. Beberapa saat kemudian, sosok Mawar tampak merangkak naik ke atas tempat tidur.Lehernya bergerak patah-patah ke kanan dan ke kiri. Mawar menyeringai lebar hingga sudut bibirnya robek menyentuh telinga. Jantung Bu Jamila sudah seakan hampir meledak."Pak ...," panggil Bu Jamila. Siapa yang mendengar? suaranya tak lebih dari sebuah gumaman saja. Mawar terkikik melihat wajah ketakutan wanita itu. Dia mendekatkan wajahnya."Perkenalkan teman hantuku, Bu Dhe ...," bisiknya terdengar mengerikan."Dimana sopan santunmu? berikan salam perkenalan padanya!" titah Mawar masih sambil menyeringai.Bu Jamila tak bisa bergerak. Namun dari ekor matanya dia bisa melihat sosok itu melayang dalam posisi telungkup. Dia maju, memposisikan wajah bu
Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena
Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it
"Ngik! Ngik! Uhuk uhuk! opo iki!? aduh, dadaku kok sesak yo!?" Mamat tampak terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya."Uhuk uhuk! asap opo iki?" tanya Astri."Ndak tau! argh sesak!" sahut Mamat.Perempuan 28 tahun itu turun dari amben dengan gemetar. Kekurangan oksigen membuatnya melemas. Dia amati sekeliling kamar yang dipenuhi kabut merah. "Ini bukan asap, Mas! Ini kabut merah! Ah, coba sampean cek Ragil di kamarnya, Mas!" pinta Astri pada suaminya.Mamat berjalan dengan gontai menuju kamar belakang. Di kamar itu Ragil, bocah 9 tahun itu lelap sendirian. Mamat terhenyak melihat Ragil sudah tergeletak di bawah. Wajahnya pucat, napasnya pelan."Gusti! Ragil, Nak!!" panggil Mamat panik. Lelaki 33 tahun itu menghambur masuk. Dia raih putranya ke dalam gendongannya. Dia paksa kakinya yang lemas untuk melangkah keluar."Dek! Ragil ndak sadar! ayo keluar, kita cari bantuan!" teriak Mamat dari ambang pintu.Astri yang terkejut bergegas menyusul suaminya keluar. Namun langkahnya terhent
Kertawani menggeliat pelan di atas amben panjang. Suara ramai membuatnya terjaga. Rupanya tempat yang dia pilih untuk melepas penat semalam adalah sebuah pasar tradisional."Sudah tau ndak ... kabarnya di desa Ledok lagi geger! dukun muda sing terkenal sakti mandraguna itu dibantai," ujar seseibu bernama Sri memulai gosip pagi."Ah sing bener, Sri? aku ndak tau tuh," tanya Inah."Lho beneran, bojoku kan semalam kesana nengokin Pak Leknya yang sakit keras. Ternyata sakitnya itu juga katanya karena ulah si dukun yang nyari tumbal," sahut Sri meyakinkan."Maksudmu piye? tumbalnya ambil dari warga desa Ledok begitu?" Painem, si pedagang kembang ikut bertanya."Ho'oh, kabarnya sih begitu. Makanya, dia dan istrinya benar-benar disiksa habis-habisan semalam. Babak belur karena dipukuli, dicambuk juga." Sri memberi keterangan."Terus piye?" tanya Sutija penasaran."Kata suamiku, terakhir Ki Kartasakti dan Istrinya itu, uhm ...," ujar Sri tagu."Kenapa? Ono opo?" desak Inah tak sabaran."Ki Ka
Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b